Tuesday 28 September 2021

[[ Logika ]]



Saya harus akui, bahwa dalam menanggapi dunia kepustakawanan saya tidak banyak baca teori. Bahkan, saya kesampingkan teori. Mengelola perpus itu tak perlu berteori, kalau toh perlu, sitik saja wis. Termasuk hal mendasar: filsafat kepustakawanan, atau filsafat informasi. Mungkin karena itulah, apa yang saya lontarkan kadang diangap liar.

Bahkan ora nggenah, tidak nyambung. Atau ada satu dua hal yang dianggap sama seperti yang sebelumnya dilontarkan tokoh lain. Untuk yang terakhir ini, jane saya rodo bisa nggaya sitik. Xixi. "Mengulang(i)", katanya. Sampai ada yang menyangka saya terpengaruh pikiran tokoh tersebut. Padahal, saya belum pernah membaca pikiran dan pendapat itu. 

---

Nah. Akhirnya saya mikir, "Apa gerangan sebabnya?"

Ingatan saya kembali ke 20 tahun lalu. Suatu malam, di sebuah gedung, di seputar jalan kaliurang. Saat itu digelar acara besar sebuah organisasi kemahasiswaan. Saya ikut jadi panitia, sambil mengikuti apa yang didiskusikan. Atau lebih tepatnya diperdebatkan.

Ya. Sama seperti organisasi mahasiswa lainnya. Dinamikanya bisa dibayangkan-lah. Gayeng.

Uniknya, di tengah perdebatan ada sebuah lontaran yang memecah sengitnya perdebatan. "Kita bisa berdebat, mengajukan teori dan semacamnya, tapi di sini yang berlaku logika XX," begitu kira-kira. XX ini merupakan identitas organisasi. Ndak usahlah saya sebut. Xixi.

Lontaran itu seolah merontokkan teori-teori yang dilontarkan dengan begitu bangganya. Kenapa? Karena yang bermain adalah logika yang dibangun saat argumen itu disampaikan, saat perdebatan itu. Bukan teori atau logika yang sudah ada sebelumnya. Seberapapun kerennya. Seberapapun kuatnya.

Wal hasil, jika toh mengajukan teori sebagai landasan perdebatan, maka teori itupun harus diperdebatkan.

Maka, di sini pemahaman si pengusung teori diuji. Dia sekedar mengutip, ngintil, atau paham dengan teori itu dan yakin dirinya mengikuti teori tersebut. Dia sekedar cari aman menyandarkan pada teori dan tokoh pengusungnya, atau dia yakin benar dengan pilihannya.

Dalam perdebatan malam itu, argumen "kata tokoh A, tokoh B" tidak laku. Ora payu. Logika XX-lah yang berlaku.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi