Saturday 29 June 2019

Paketan lebaran: untuk Kang Yogi

Pembaca mungkin akan berkerut dahinya. Siapa itu Kang Yogi?

Yogi, lengkapnya Yogi Hartono, merupakan senior saya di dunia kepustakawanan. Senior, sekaligus panutan. Saya belum pernah bertemu langsung. Namun sebuah kepastian yang tak dapat dipungkiri, bahwa Kang Yogi ini benar-benar layak diidolakan.

Tak hanya teori, dia sudah memraktikkan dan sanggup bertahan di tengah perubahan dunia perpustakaan. Tidak tanggung, dia berkiprah di perusahaan besar, dengan tanggungjawab besar. Dan yang perlu anda tahu, pernah dianugerahi penghargaan besar atas semua peran besarnya.

Kang Yogi alumni ilmu perpustakaan. Beda kampus dengan saya. Cara masuknya pun beda. Saya kelas sore, dia kelas pagi. Namun, apakah perannya sekarang ini 100% karena ilmu perpustakaannya?  Atau mungkin ditopang atau didominasi oleh pelatihan atau pendidikan lainnya? Saya kurang tahu pasti.

Yang pasti, pandangan dan sepak terjangnya begitu inspiratif. Menjadi icon dan figur ideal bagi mahasiswa ilmu perpustakaan, juga pustakawan. Saya pun mengidolakannya. Begitu tinggi hasrat saya bertemu, atau main ke kantornya untuk belajar. Namun, ternyata takdir itu belumlah dekat.

Walau bukan Doktor atau Profesor, sudah banyak kampus mengundangnya untuk memberi semangat pada mahasiswa baru, maupun mahasiswa lama. Forum pustakawan pun banyak yang minta jadwal kosongnya. Sama. Ingin mendapatkan informasi tentang ide-ide segar, juga apa yang sudah dilakukannya.

Dia membuat, atau menggiring orang mencipta aliran baru Yogiisme. Tentunya melengkapi Shera Mania, atau Floridi Lovers.

****

Pada suatu waktu Kang Yogi menulis. Tulisannya itu menanggapi tulisan saya. Membaca nama saya pada awal tulisan, saya deg-deg-an. Mak sir.... rasa penasaran, senang, gembira sekaligus ketar-ketir.

Di laman FBnya, tulisan tersebut berjudul [ PERKENALKAN SAYA SEORANG PUSTAKAWAN ], diposting tanggal 28 Juni 2019. Tulisan yang sama diposting pada tanggal yang sama di blognya: https://sisilainpustakawan.wordpress.com/.

"Tulisan ini merupakan tanggapan dari artikel pustakawan UGM, Purwoko, bahwa tak ada yang baru di bidang perpustakaan", demikian kang Yogi memulai tulisannya dengan menyebut nama saya. Paragrap penutupnya juga menggunakan nama. Tentu tidak lagi nama saya. Melainkan nama Ellya Khadam dan Via Valent, untuk memperkuat argumentasi.

Pertama saya berfikir, tulisan saya yang mana yang hendak ditanggapinya?.

Ada beberapa tulisan di blog saya http://purwo.co. Sehingga saya harus mencari, kiranya artikel mana yang dimaksudkan Kang Yogi. Hal ini penting, agar saya bisa membaca arah tanggapannya secara benar, terstruktur, massif dan tentu saja sistematis. 

Titik terang saya dapatkan. Pada sebuah grup WA, kang Yogi mengatakan bahwa tulisan itu menanggapi tulisan saya http://www.purwo.co/2019/06/Digital-Scholarship-makhluk-apakah-itu.html (path saya ganti, isi dan judul sama). 

Pada tulisan itulah saya menuliskan, seperti yang ditanggapi Kang Yogi, bahwa beberapa trend dalam dunia perpustakaan itu sebenarnya bukan hal yang baru. 

****

Saya tidak keberatan, dan menerima tulisan dan ulasan Kang Yogi yang berjudul "Perkenalkan: Saya Seorang Pustakawan", baik yang dipost di FB maupun blognya. Termasuk ke ortodok-an saya. 

Sama sekali tidak keberatan. Bahkan sepakat pada substansi tulisan itu. Kami sealiran. Bahkan, sebelum beliau menulis tulisan tanggapan tersebut, saya pernah menulis pula di FB dengan judul  [ pustakawan dan tukang nggerji ] pada 26 Juni, 2 hari sebelum tulisan Kang Yogi, yang kemudian saya post ulang di http://www.purwo.co/2019/06/pustakawan-dan-tukang-nggerji.html. Tulisan saya tersebut, mendekatkan apa yang saya fikirkan dengan tulisan Kang Yogi.

Untuk menunjukkan kesekatan saya, pada artikel Kang Yogi di akun facebooknya, saya juga menulis tanggapan singkat:

Saya juga sependapat (dengan tulisan kang Yogi), Kang. Ndak ada yang salah dengan pola adaptasi itu. Wong saya juga berusaha mengikutinya. Idep idep umum sanak. :) Namun kesepedapatan saya, tetap tidak/belum mengubah pendapat saya, bahwa perubahan itu tidak begitu substansial dari sesuatu yang diklaim sebagai "ilmu". Alasannya? embuh.

****

Lalu, apa yang saya maksud dengan "Tak ada yang baru di bidang perpustakaan" pada artikel Digital Scholarship: makhluk apakah itu?

Kalimat lengkap saya, yang memuat kata "tidak ada yang baru" tersebut, sebenarnya begini:

Learning common, dan makerspace, ternyata bukan hal baru. Ketika dibawa ke perpustakaan, kemudian dianggap baru. Saya menyebutnya semacam duplikasi. Kuncinya terletak pada pinter-pinternya ilmuwan perpustakaan membungkus dan menjual istilah.
Kalimat itu saya pakai untuk mengawali mengupas Digital Scholarship. Yang kemudian memunculkan kesimpulan saya, bahwa DS itu juga bukan sesuatu yang baru. Hanya wadah saja dari apa yang sudah ada sebelumnya. Bungkus, paketan atas beberapa kebutuhan. Seperti halnya paketan lebaran yang berisi beras, brambang, bawang, minyak tanah, lombok, miri, tumbar, trasi, bahkan plus roti kalengan. Agar orang mudah mendapatkan kebutuhannya.



****
Karyo: uwis, Jo?
Paijo: uwis, Kang.
Karyo: mosok tanggapannya hanya sak uprit?. Tapi ngene, Jo. Paketan itu, sebenarnya juga hal yang baru, lho. Aja dianggep sepele.
Paijo: ya-ya... paketan kui barang anyar. Sarujuk, Kang. Saya merasa bangga, lho, ditanggapi oleh Kang Yogi. Secara kami itu belum pernah ketemu muka. Tapi di grup, nek jagongan rodok eyel-eyelan, kayak kanca dhewe. Ora wigih-wigih.
 

Paijo membayangkan perpustakaannya: masuk kategori Ellya Khadam, atau Via Valent? Klasik, atau pop? Atau perpaduan keduanya?


Sambisari, ba'da subuh
SĂȘtu Kliwon 25 Sawal Be 1952 AJ.
5.40

Pustakawan dan tukang nggerji, dalam pusaran owah gingsiring jaman

Sekarang dikenal istilah disrupsi. Dulu, simbah-simbah punya istilah owah gingsiring jaman. Mirip, malah bisa jadi sama.
Dulu, keluarga kami meminta tetangga untuk nggerji kayu secara manual, memotong kayu sesuai kebutuhan untuk mebeler atau membangun rumah. Ukuran usuk, reng, blandar, dan lainnya. Perlu dua orang tukang. Satu di atas, satu di bawah. Keduanya saling menarik gergaji yang digunakan. Namun hal itu terhenti ketika muncul gergaji mesin, pilihan orang berpindah.
Gergaji mesin lebih cepat, lebih presisi, meskipun sebenarnya area kayu yang kena gergaji lebih lebar, atau lebih banyak kayu terbuang. Ini karena gergaji mesin lebih tebal daripada gergaji manual.
****
Tukang gergaji manual jadi tersingkir. Mereka tak bisa lagi mengharapkan bayaran dari jual jasa nggerji.
Begitulah gambaran sederhana istilah yang sekarang disebut disrupsi.
Tukang gergaji manual, yang menguasai seluk beluk perkayuan ini harus menyesuaikan diri. Tidak lagi jual jasa nggerji. Mereka harus mengolah kayunya. Menjadi mebel, misalnya. Tentunya dengan nilai lebih, tidak ala kadarnya.
Memotong kayu manual boleh tersingkir dan tidak laku, namun kayu olahan tetap diperlukan.
****
Agaknya, ini pula yang dilakukan pustakawan. Seperti halnya tukang gergaji manual yang berkurang bahkan hilang, pustakawan juga demikian. Dia sudah berkurang.
Perpustakaan yang sebelumnya dikelola 10, menjadi 4 orang. Bahkan mungkin bisa hilang. Pustakawan di perpustakaan akan berkurang, tak lagi sebanyak dahulu. Namun interaksi dengan koleksi tetap akan diperlukan. Bentuknya pun bermacam-macam. Profesinya juga bisa berubah.
Tidak sekedar memotong kayu, pustakawan kudu mengolah kayu, agar punya nilai lebih.

Disrupsi, owah gingsiring jaman, sudah ada sejak dulu. Ada dua akibat owah gingsiring jaman: reja-rejaning jaman, atau kalabendu.

Monggo milih

Friday 28 June 2019

Digital Scholarship: makhluk apakah itu?

Istilah baru di dunia perpustakaan, terkadang mencegangkan. Mulai dari learning common, makerspace, scholarly communication, dan baru-baru ini digital scholarship.

Learning common, dan makerspace, ternyata bukan hal baru. Ketika dibawa ke perpustakaan, baru  kemudian dianggap barang baru. Saya menyebutnya semacam duplikasi. Kuncinya terletak pada pinter-pinternya ilmuwan perpustakaan membungkus dan menjual istilah.

Bagaimana dengan digital scholarship?

Mendengar istilah ini, saya berfikir tentang beasiswa. Ketika SMP dulu, guru Bahasa Inggris saya mengatakan bahwa arti scholarship itu beasiswa. Beasiswa digital, begitu kira-kira yang ada dalam fikiran saya saat mendengar digital-scholarship.

Paijo: langsung mumet, Kang. Mosok beasiswa digital?

Saya memperoleh sebuah poster, yang menginformasikan kegiatan, semacam kuliah umum, di perguruan tinggi. Temanya digital scholarship. Pembicaranya, tentu saja, orang pintar semua. Semua bergelar doktor. Salah satunya dari Leiden. Poster tersebut, akhirnya membawa saya sampai pada sebuah web yang menunjukkan aktivitas digital-scholarship di kampus Leiden Univ. Ini websitenya: https://www.library.universiteitleiden.nl/research-and-publishing/centre-for-digital-scholarship.

Sebagai pustakawan praktisi, jika ada istilah baru, saya tertarik pada apa peran pustakawan dalam istilah tersebut? Apakah istilah tersebut benar-benar memiliki sesuatu yang baru, yang berasal dari konsep ilmiah ilmu perpustakaan? Atau jangan-jangan?....

Pada laman URL di atas, terdapat keterangan pembuka.

The Centre for Digital Scholarship organizes meetings and workshops and it is the obvious partner for researchers to contact for questions, consultancy, and training on the following topics:

Nah, ini menarik. Kalimat di atas diikuti dengan 6 point seperti di bawah ini:







Penasaran pada apa yang dilakukan pustakawan terkait 6 hal di atas.

Data management. Pada bagian ini, perpustakaan/pustakawan melayani proses pengelolaan data riset dan hal terkait. Mulai dari merancang rencana manajemen data, sampai menyimpannya. Konsep FAIR diberlakukan pada proses ini. FAIR: Findable, accesible, interoperable, dan reusable.

Text dan Data mining. Pustakawan memberikan layanan terkait data cleaning, enrichment, analysis, visualisation, curation, dan preservation. Dengan diawali oleh mengeksplorasi berbagai kemungkinan berbagai sumber/koleksi untuk teks dan data mining.

Open access. Menyediakan dukungan penuh dalam publikasi berjenis open access, mulai dari kebijakan, pelatihan, dukungan, serta berbagai layanan lainnya. Disediakan berbagai daftar jurnal open access yang sudah membuat kerjasama dengan kampus. Repository yang mendukung, dan lainnya.

Copyright. Kepala perpustakaan Leiden Univ mengatakan bahwa mereka merekrut orang hukum untuk layanan ini. Berbagai pertanyaan terkait hak cipta pada publikasi mestinya kerap ditanyakan oleh mahasiswa. Misalnya:
  • How do I publish an article without having to give up my copyright? 
  • Can place an article found in the Catalogue in Blackboard? 
  • What about the use of images during lectures? 
  • I want to submit my thesis to the Repository, but would also like to see my thesis published at a university press. Is this possible?
Collaborative environments. Hal ini terkait dengan Virtual Research Environments. Istilah yang relatif baru. Namun, ketika saya telusur, VRE ini memanfaatkan Sharepoint-nya microsoft. Bisa lebih mudah dibayangkan layanan yang tersedia. 

GIS. Merupakan sistem untuk editing dan menampilkan data spasial. Tersedia komputer untuk digunakan dalam olah data spasial.


Kita coba lihat satu/satu. Data management, sebenarnya ini bukanlah hal baru. Dikenal sejak lama istilah manajemen data riset. Saya pernah menulisnya di sini dan di sini.

Text dan data mining. Istilah ini sudah populer di dunia informatika. Bukan hal baru secara aktivitas. Pustakawan pun sudah ada yang mulai main data mining dan visualisasi.

Open access juga hal yang sudah lama dikenal. Bahkan pustakawan sudah banyak berkecimpung dalam publikasi ini. Bersinggungan dengan para pengelola jurnal, pustakawan memiliki pengalaman terkait dunia penerbitan jurnal maupun non-jurnal open access.

Copyright. Ini menarik. Apakah pustakawan memiliki cukup ilmu? Leiden Univ. Library, kabarnya merekrut orang hukum untuk melayani berbagai pertanyaan atau konsultasi. Namun demikian, tentu saja dengan membaca, pustakawan mulai tahu beebrapa jenis  copyleft, maupun copyright, dengan berbagai versinya.

Collaborative environment. Di Leiden menggunakan Sharepoint. Ketika saya cek melalui Google, cukup banyak yang memanfaatkan Sharepoint untuk membanguan Virtual Research Environment, baik itu diberi cap bagian dari Digital Scholarship, maupun tidak. Silakan coba buka perbandingan Sharepoint dan Google Drive untuk memperoleh gambaran lebih dalam, klik https://www.eswcompany.com/sharepoint-vs-google-drive/ dan https://comparisons.financesonline.com/sharepoint-vs-google-drive. Atau Sharepoint dengan OneDrive di sini https://technologyadvice.com/blog/information-technology/sharepoint-vs-onedrive-for-business/

GIS, atau layanan sistem informasi geografi. Orang iseng akan mengatakan: lah, di kampus saya itu ada di lab geografi atau geodesi. Mosok mau bikin lab sejenis di perpustakaan?

Kesimpulan awal saya, terkait Digital Scholarship ini adalah: DS ini wadah, bungkus, paketan. Beberapa hal dibungkus dan diberi brand Digital Scholarship. Apa maksudnya? entahlah.


****

Nah, kita lihat pula konsep digital Scholarship di perpustakaan lainnya. Saya menemukan poster ini.



Di NTU ini lebih liberal lagi. Digital scholarshop tuesday. Isinya workshop dan seminar dalam berbagai tema. Informasi lainnya, bisa dilihat di https://blogs.ntu.edu.sg/ntulibrary/tag/digital-scholarship/. Pada beberapa kegiatan di atas terlihat, workshop Prezi pun masuk dalam kegiatan Digital Scholarship. Prezi itu alat untuk membuat presentasi. 

Selain itu, pada poster di atas, ada lagi workshop Canva, atau Piktochart, serta Tableau. Juga beberapa tema yang intinya mempelajari penggunaan software untuk proses riset, atau akademik yang dikelompokkan menjadi: digital publishing, data visualisation, dan presentation tools and sources.

Karyo: terus, apa kesimpulanmu, Jo?
Paijo: masih tetap sama, Kang.
Karyo: apa?
Paijo: ndak ada itu ilmu perpustakaan. Yang ada itu skill mengelola perpustakaan. 

Paijo pun melanjutkan sinaunya. 

Wednesday 12 June 2019

Sunday 2 June 2019

Ngaji serat Kalatida *)

Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga Surakarta, ingkang nalika alit nate nyantri wonten Pondok Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo. Dipun asuh deneng Kyai Kasan Besari.


Ranggawarsita, nate nyerat serat Kalatida. Kalatida artosipun jaman/wekdal ingkang samar-samar, utawi kathah keraguan. Dipun serat  tahun 1860 (159 tahun kepengker). Serat meniko wonten 12 perangan. Bentukipun macapat Sinom. Ingkang kawentar perangan kaping pitu.



Amenangi zaman Ă©dan,
Ă©wuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya kéduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang Ă©ling lan waspada.

Artosipun:
Menyaksikan zaman Ă©dan,
serba susah dalam bertindak,
jika ikut Ă©dan tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (Ă©dan),
bagaimana akan mendapatkan bagian?,
akhirnya kelaparan,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.


***

Ngalam ndonya menika tansah obah lan malih. Wonten ing budaya jawa, obah malihe jaman dipun wastani “owah gingsiring jaman”.

Wonten kathah owah gingsiring jaman. Sak perangan badhe kula aturaken ing mriki.

Para rawuh. Dipun wiwiti nalika manungsa kedah pindah-pindah nalika gesang. Pundi papan ingkang cumepak dhaharan, dipun dugeni.

Lajeng, manungsa netep. Tani. Tanine menungso ngangge okol, tenaga. Naliko mluku, nggaru. Saenggo wonten ingkang buruh mluku, buruh nggaru, buruh matun lan sak panunggalanipun.

Jaman tansah owah. Ngantos menungso saget damel alat ingkang nggantosaken tenaga mluku lan nggaru poro konco tani. Sapi ingkang kangge nggeret luku, nganggur. Buruh mluku leren. Dipun gantos traktor.

Jaman tansah owah. Menungso saget nemu listrik. Saenggo mesin-mesin enggal sami dipun obahaken ngangge listrik. Bakul senthir kukut, amargo mboten payu. Piyantun ingkang pengen nyambut damel, kedah pados pedamelan sanes.

Jaman taksih tansah owah. Lajeng alat ingkang dipun wastani komputer lahir. Piyantun ingkang kepengin nyambut damel, kedah saget ngangge komputer.


Jaman tansah owah. Sak meniko, owah gingsiring jaman dipun wastani “era industry 4.0”.

***

Kula panjenengan sampun akrab kalian GoJek, Grab. Ojek online meniko saget mangertos kula panjanengan sami wonten pundi, sak sampune milih tujuanipun, ojek online meniko pinter pados dalan piyambak, lan ngetung ongkos. Menawi wonten diskon, langsung dihitung.

Samangkeh saget langkung kathah malih alat ingkang saget mikir piyambak. Nggantos sak perangan posisi/pedamelan manungso. Pedamelan ingkang sak derenge dipun pandegani manungso, dipun gantos mesin, alat.

Menawi kita runut, jenis pedamelan meniko tansah berubah. Muncul pedamelan enggal, lan wonten pedamelan ingkang ical, ilang.

Rumiyin wonten dhukun bayi, sakmeniko sampung arang. Paling celak, pinten tahun kepengker wonten sopir bus kota. Dene sak menika sampun langka, kepara ilang.

Ciri sanesipun inggih meniko ingkang dipun wastani internet of things, kabeh sarwo mawi internet. Sak menika, tumbas bakso saget mawi internet, tumbas gethuk ugi mekaten, ngersake taksi, cekap internet. Lajeng pesen hotel, ngantos mbayar angkringan sampun wonten ingkang mawi internet. Ugi tumbas pulsa.

***

Ing tahun  2020-2035 penduduk Indonesia ingkang usia produktif, meniko langkung kathah ditimbang ingkang jompo.

Bahasa gampilipun: jumlah piyantun ingkang kuat nyambut damel (15-64 tahun), langkung kathah tinimbang ingkang sampun jompo.

Nah, yen pedamelan ingkang sak derengipun dipun pandegani manungso dipun gantos mesin, utawi pedamelan lawas sampun mboten dipun butuhaken, lajeng pripun nasib putro wayah kula panjengan sami samangkeh?

Padahal jumlah ingkang butuh damelan meniko kathah sanget?


***

Para rawuh, owah gingsiring jaman meniko wonten kalih akibatipun. Sepindah: kalabendu utawi jaman kang rusak, kaping kalihipun reja-rejaning jaman utawi ayem-makmur.


Jaman tansah berubah, jaman kula panjenengan benten kalih jamanipun putra wayah samangkeh. Sakmenika para putra wayah kedah dipun dorong supados saget kuat ngadepi owah gingsiring jaman.

Caranipun wonten kalih, nanging kalihipun wujud pendidikan. Sepindah pendidikan ilmu agama, supados tetep eling lan waspada, mboten malah melu ngedan.

Kaping kalih ilmu dunia, ilmu pengetahuan lan teknologi kangge nggula wenthah ndonya, supados saget nggayuh reja-rejaning jaman. Kados ngendikane Kanjeng Nabi Muhammad, SAW.

“Kowe luwih ngerti urusan donyamu”  (HR. Muslim, no. 2363)


Nutup serat Kala tida, Ronggowarsito ndonga:

Ya Allah ya Rasulullah kang sipat murah lan asih mugi-mugi aparinga pitulung ingkang martani, ing alam awal akhir dumunung ing gesang ulun


Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah dan pengasih semoga berkenan melimpahkan pertolongan yang menyelamatkan di dunia hingga ke akhirat tempat hidup hamba


------

Disampaikan pada kuliah subuh ing Masjid Quwwatul Muslimin Sambisari
Ngad Pon, 28 Pasa 1952