Monday 15 March 2021

Buku “Transformasi Perpustakaan dalam Ekosistem Digital” layak dibeli? Nanti dulu!


Sedang hangat, bahkan panas. Baru keluar oven, sebuah buku tentang kepustakawanan. Judulnya "Transformasi Perpustakaan dalam Ekosistem Digital" atau sebut saja TPdED. Buku ini sudah tersedia di pasaran terbitnya tahun 2020, harganya tembus di atas 100 ribu. Di tokopedia misalnya, dijual 118.000. Harga yang fantastis. 

Foto cover silakan cari sendiri, ya. 😊


Rasa-rasanya, jarang buku kepustakawanan yang tembus sampai 118 ribu. Bahkan sekalipun di toko ISIPII,  tokonya organisasi kebanggaan para sarjana Ilmu Perpustakaan itu (tentu yang gabung).


Di Toko ISIPII, Buku Pustaka tradisi dan kesinambungan karya Pak Putu saja hanya dibandrol 105.000, atau 13 ribu lebuh murah dari buku TPdED. Padahal, siapa yang tidak tahu kapasitas Pak Putu?.  Karyanya tak terbatas ruang dan waktu.


Belum selesai kita banding harga, karena masih ada pembanding lainnya. Buku Antologi kajian dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi ternyata hanya dibandrol 110.000, juga masih lebih murah. Satu lagi. Buku Senarai Pemikiran Sulistyo Basuki, profesor ilmu perpustakaan pertama di Indonesia juga hanya dibandrol 95.000. Tentu saja masih lebih murah. Selisihnya sampai 23.000.


Menurut catatan tanggal 15 Maret 2021, di toko ISIPII, harga buku TPdED ini hanya kalah mahal dari buku Daftar Tajuk Subjek Dalam Bahasa Indonesia yang dibandrol Rp200 ribu.


Dengan harga segitu, lalu sekeren apa buku TPdED ini? Lupakan dulu kaidah  “harga menentukan kualitas”. Mari kita lihat bersama.


Saya belum membeli buku TPdED. Selain karena mahal, saya sendiri berfikir bahwa buku kepustakawanan di Indonesia itu  kebanyakan daur ulang. Mengulang apa yang sudah ada. Jarang yang menawarkan hal baru. Sangat jarang. Kalau toh ada hal baru, biasanya jualan kecap. Jual istilah. Isinya? ah, ya gitulah.


Buku kepustakawanan yang saya punya, 90% sudah saya hibahkan. Kini rak buku saya jadi longgar. Bisa diisi novel atau fiksi lainnya. Buku Conan atau Sherlock jadi punya tempat. Tinggal nambah koleksi seri berikutnya.


Maka, dengan harga fantastis itu, saya kudu hati-hati ketika mau beli TPdED. Khawatir isinya mengecewakan. 😀


*********************##******************


Kembali ke buku TPdED. Karena saya belum beli bukunya, maka saya coba baca, cari tahu dari postigan orang lain di internet. Tentu kudu divalidasi dulu.


Blog ini  https://www.muradmaulana.com/2021/03/menyoal-buku-transformasi-perpustakaan.html menurut saya valid. Saya kenal penulisnya, trek rekornya. Apa yang ditulis di blog ini juga bisa dilacak.  Blog ini membahas 5 hal  keanehan buku TPdED yang baru saja terbit.


Postingan di blog ini menampilkan screenshoot halaman buku TPdED, kemudian komentar serta alamat URL pembanding. Intinya, penulis blog hendak membandingkan isi tulisan TPdED dengan postingan blognya yang terbit tahun 2015, 4 tahun sebalum buku TPdED terbit. Ada indikasi yang agaknya cukup menarik diperhatikan. 


Saya cek. Antara screenshoot buku yang ditampilkan dengan blog yang diklaim sama/mirip/serupa isinya, ternyata memang ada  kalimat atau paragrap yang sama/mirip dengan postingan blog. 


Misalnya:

"Perkembangan jumlah data...........3.472 gambar”.


Tanda …… saya gunakan karena males nulis.  Kalimat itu aslinya panjang sekali. Jika dibaca bikin nafas megap-megap. Oke. Lebih lengkap lihat gambar ini:



Saya mikir, kok bisa ada kalimat sepanjang ini? ada editornya ndak, sih? 


Kalimat di atas mirip dengan kalimat yang ada  di https://www.muradmaulana.com/2015/12/definisi-manfaat-dan-elemen-penting-literasi-digital.html.


Saya tempel di sini:

"Perkembangan jumlah data berformat digital di abad sekarang ini begitu menakjubkan. Ida Fajar Priyanto (2013) mengatakan bahwa setiap orang kini memiliki data yang luar biasa lebih banyak dibandingkan masyarakat kita sebelum beralih ke dunia digital. Josh James (2014) dalam Infographic berjudul Data Never Sleeps 2.0, bahwa di internet setiap menitnya ada pengguna Youtube mengupload 72 jam konten video baru, pengguna Facebook membagikan 2.460.000 potongan konten, pengguna Twitter membagikan 277.000 tweet, pengguna Instagram mengupload 216.000 foto dan pengguna Pinterest membagikan 3.472 gambar."


Coba bandingkan. Samakah?


Kalimatnya hampir atau mungkin bisa dikatakan plek. JIKA memang penulis buku mengambil dari blog yang telah terbit sebelumnya, mestinya penulis tahu apa itu parafrasa dan bagaimana menuliskan sumber. Kecuali ada kebetulan yang sangat kebetulan.


Kalau ada alasan hal di atas disebabkan oleh proses editing penulis yang kurang maksimal pun, Saya meragukan. Kenapa? Kalimat yang plek itu belum layak diajukan ke penerbit. Faktanya naik cetak dan diterbitkan. Prediksi saya, memang itulah yang diajukan oleh penulis ke penerbit. Atau, begitulah gaya menulisnya penulis.  Tentu saja ini sebatas prediksi saya.


Lihat pula catatan lain yang ditampilkan di blog https://www.muradmaulana.com/2021/03/menyoal-buku-transformasi-perpustakaan.html. Juga bandingkan judul buku di atas + warna covernya dengan judul seminar ini https://www.ganipramudyo.web.id/2019/07/transformasi-perpustakaan-dalam.html.


**


Saudara-saudara…


Buku ini telah terbit. Jika ada yang membaca bagian-bagian buku yang diulas pada blog di atas, kemudian mengutip, maka orang akan menulis nama penulis buku sebagai sumber. Itu pasti. Jelas ini bisa berbahaya. Jika dipaksa, ada potensi terputusnya sanad keilmuan, karena ternyata ada orang lain yang mengklaim sebagai penulis pertama atau yang menyusun kalimat itu.


***


Apa yang saya tulis di atas hanya opini. Atau semacam review berdasar data di blog Murad Maulana. Bisa benar, bisa salah. Tapi jika benar, maka, sekali lagi, ini bahaya. 


Sebagai penutup saya berkesimpulan, buku ini tidak layak (saya) dibeli. Mending buat beli kopi. Atau nambah kuota wifi. Entah kalau anda.


Jika tetap ingin membeli, pikirkan lagi sekali. Kecuali buat koleksi.


Perlu dipertimbangkan puli untuk menarik dari peredarannyi. Sorry, huruf i-nya memaksi. #halah.


Sekian


Salam li-terasi! 


Malam selasa, 15 Maret 2021

22.11 wib