Monday 26 March 2018

Mufasir kepustakawanan (beradu tafsir)

Resmi, namun berselimut kontroversi. Pilihan "perpustakaan dan sains informasi" telah mengoyak tafsir para pemikir bidang ini (atau sejak lama telah terkoyak?). Hilangnya kata ilmu, dan munculnya kata sains bukan perkara sepele. Ada yang sepakat, ada yang tidak sepakat. Ada yang mengemukakan alasan sangat filosofis, ada yang mungkin alasannya sangat pragmatis.

Keduanya tidak salah... Bahkan, yang tak peduli tentang filosofis dan pragmatisnya perdebatan itu pun, tidak bersalah. Karena sepiring nasi untuk makan esok hari, lebih layak diperjuangkan. Layak diberi perhatian.

***

Akhirnya, beberapa diantara mereka dipertemukan. Tentunya orang pilihan. Agar bertemu muka. Dibuatlah panggung untuk berkhotbah sesuai mahzab yang mereka anut. Mereka, ibarat mufasir, sedang menafsirkan "ayat-ayat" kepustakawanan. Ummat duduk khidmat mendengarkan. Judul panggung itu "memetakan perkembangan ilmu informasi dan perpustakaan di Indonesia".

Kenduri intelektual ini penting. Yang akan menorehkan sejarah perkembangan ilmu, untuk masa-masa yang akan datang. Ini titik awal masa depan. Yang datang akan mengenang. Ada prestise, ada kebanggaan. Jabat tangan, say hello pada kolega. Menyatu dalam atmosfir intelektual. Ketika pulang, selembar SPPD menjadi tanda keberhasilan. Mungkin lengkap dengan sertifikat. Foto-foto? itu pasti.

Bukti kehadiran berupa foto menjadi hal wajib 'ain. Bukan muakad, apalagi sunah. Foto itu akan bercerita, bagaimana kontribusinya pada kenduri inteltktual tersebut. Ya, meski hanya duduk, manggut-manggut, sambil menyeruput air mineral yang tinggal setengah.

Yang bicara, akan dikenang. Namanya dicatat pada lembaran notulensi: menjadi pemateri, atau si penanya. Atau, sekedar menggaris bawahi yang dianggap penting. Paling tidak sudah ambil kesempatan. Tampil di panggung kenduri ini sangat penting. Ini tentang eksistensi.

Yang tidak datang akan terbalut penyesalan....

Karena ini kenduri besar, banyak yang terpikat hadir. Pustakawan, mahasiswa, dosen, tamu undangan. Mereka rela datang dari segenap penjuru. Selembar ijin pimpinan menjadi jaminan. Menembus macet dan panasnya siang, tetap dilakukan.

Hasrat intelektual menjadi segala-galanya.

Namun kapasitas ruang menjadi penghalang. Banyak yang kecele, karena pintu pendaftaran telah tertutup. Kursi tak berbanding lurus dengan jumlah orang yang dahaga, ingin ikut meneguk ilmu. Langung dari belanganya. Atau, cukup rela, meski hanya mampu menjilati tetesan yang jatuh, dijatuhkan, atau tak sengaja jatuh karena bocor bungkusnya.

Begitulah dahsyatnya kenduri ini. Akhirnya, jalur live streaming disiapkan.

***

Mufasir kepustakawanan itu, tak diragukan kapasitasnya. Mereka tahu sanad, rangkaian sejarah keilmuan yang konon, kabarnya telah berlangsung ratusan atau bahkan ribuan tahun. Metode tafsirnya pun sudah terpercaya. Maklum, mereka menyandang pangkat tertinggi dalam pendidikannya. Paripurna. Syarat mufasir mereka punya. Sekarang, di tengah owah dan gingsirnya kepustakawanan di Indonesia, tafsir mereka sungguh-sungguh dinantikan.

Tentunya tafsir-tafsir yang mencerahkan. Yang tidak mbulet. Tafsir yang memetakan. Tafsir yang penuh makna. Bukan tafsir kosong, bukan pesanan. Tafsir yang kontekstual, bukan tafsir import. Tafsir yang aplikable. Tafsir yang adem. Tafsir yang tidak mahal. Tafsir yang mudah dan murah dalam pengamalannya. Tafsir syumuliah.

Tafsir kepustakawanan yang mengindonesia?, Ya.
Bukan menginggris, bukan mengamerika, bukan mengarab. Bahkan, bukan yang memutu, menyulis, atau mengida. Bukan tafsir yang masturbatif.

Hingga, pada akhirnya dengan tafsir itu pustakawan mudah berijtihad. Ijtihad untuk perpustakaannya. Agar tafsir dapat turun dan membawa berkah. Mereka menurunkan tafsir, agar menjawa, menyunda. Meng-ugm, meng-uin. Menyiswa atau memahasiswa. Jangan lupa, meng-orang, memanusia.

***

Ini tulisan dari tiga begawan, ilmuwan Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi (Ilmu dan Sains ikut ditulis, biar adil), yang beberapa waktu lalu adu intelektual di UIN Sunan Kalijaga.
Dibaca, dicerap, direnungkan, ditimbang-timbang bobot bebetnya.
Namun, jangan lupa. Bagi para pustakawan, Senin besok tetap masuk kerja, ya. Jangan terlambat, jangan telat. Tanggungjawab besar ada di perpustakaan. Bersama buku-buku, bersama mahasiswa. Bersama para siswa. Bergembira bersama mereka.

Monday 19 March 2018

, , , ,

Meneguk inspirasi, menuai berkah motivasi

Yokta berjalan berkeliling. Matanya menyapu tiap ruangan, bahkan sampai sudut-sudutnya. Sesekali dia berhenti untuk memotret, bertanya, atau mendengarkan penjelasan. Sorot mata dan gestur tubuhnya mengisyaratkan kekaguman. Yokta jauh-jauh datang dari Bali ke Perpustakaan Unsyiah. Tentu dia tidak sendiri, namun serombongan bersama teman-temannya. Banyak hal yang dia dapatkan. Pada penerapan teknologi di perpustakaan, dia amat terkesan. Tentu saja, mesin EDC (Electronic Data Capture ) turut menambah decak kagumnya.  Diapun berjanji, akan mengikuti apa yang sudah dilakukan Unsyiah. [1]
###
Lain waktu, seorang profesor dari Thailand datang. Namanya Prof.  Surin Maisrikrod. Dia bekerja di Walailak University, Thailand Selatan. Ekspresi senyum dan gestur tubuhnya tak beda dengan Yokta. Surin juga kagum dengan perpustakaan Unsyiah. Pada jumlah kunjungan dan jumlah peminjaman yang selalu meningkat. Serta pada teknologi yang diterapkan. Banyak catatan yang dia buat. Catatan itu akan dia bawa untuk didiskusikan dengan pengelola perpustakaan di kampusnya. [2]
***   
Purwo.co -- Itu bukan cerita rekaan. Namun cerita senyatanya, yang Saya bungkus dengan gaya bertutur, biar terasa hidup. Sumbernya pun tak hanya satu. Jika kurang yakin, coba tengok sumber terkait. Masih ada yang lain, tidak hanya 2 di atas. Ada juga tamu dari Malaysia, [3] atau berbagai institusi lainnya.

shelving crew Perpus UNSYIAH dengan seragam khasnya.
sumber: klik
Tulisan ini, merupakan lanjutan episode pertama. Setahun lalu, saya paparkan "isi" Perpustakaan Unsyiah yang membuat saya kagum. Mulai dari pintu gerbang, pintu masuk, ruang pentas, ruang lesehan, sampai cafe pustaka. [4]

Perpustakaan Unsyiah sedang berada pada ritme perkembangan yang pesat. Rodanya berputar cepat, secepat laju kendaraan MotoGP, atau Formula 1. Cepat dan selalu ingin melibas. Puncaknya dimulai pada 2015. Demikian disampaikan Pak Taufiq, sang Kepala Perpustakaan. Bukan hanya pada satu sisi, namun dari banyak sisi. Lengkap. Berbagai perkembangan inilah yang menjadi sedekah perpustakaan untuk memotivasi dan mendorong inovasi pustakawan lainnya.

Ada dua sudut pandang untuk menakar Perpustakaan Unsyiah: sisi pustakawan dan sisi pemustaka. Dari keduanya, dapat dipanen berbagai inspirasi dan motivasi. Dari sisi pandang saya sebagai pustakawan, ada beberapa hal yang elok dijadikan catatan. Hal tersebut, yang menjadi pemicu, atau pelecut semangat. Atau cambuk yang memaksa mempergegas langkah. Tulisan ini mengulas berbagai hal yang inspiratif dari sisi kerja pustakawan atau pengelolanya.

Berikut beberapa point istimewa yang saya maksud di atas. Beberapa data saya sertakan, untuk memperkuat pemetaan yang saya lakukan.

Kreativitas
Tahun 2014 saya mulai serius mengenal Perpustakaan Unsyiah. Pada acara SLiMS Commeet, sebuah konferensi pegiat software untuk perpustakaan - SLiMS -, di Semarang. Pak Taufiq, Sang Kepala Perpustakaan mempresentasikan penerapan SLiMS di Unsyiah. Tentu saja, paparan itu diawali berbagai kondisi sebelum berbagai perubahan dimulai. Sehingga terlihat terang perbedaan dan perkembangannya. Kuasa dan kompetensi benar-benar bekerja.

Pada pertemuan itu, tertampak jelas semangat yang ada pada diri Pak Taufiq.

Pada tahun-tahun tersebut, RFID (teknologi untuk menyimpan dan mengambil data jarak jauh) sedang menjadi bahan berbumbu lezat bagi pembicaraan para pustakawan. RFID menjadi acuan kelas sosial sebuah perpustakaan: kelas bawah, tengah, atau puncak. Perpustakaan berlomba menjadi yang pertama menerapkannya. Bahkan, ada yang beberapa tahun sebelumnya sudah konferensi pers: hendak menerapkan RFID, meskipun berhenti. Ada yang mengundang museum pencatat rekor guna meneguhkan bahwa dia yang pertama menerapkan RFID. Namun, ada juga yang tidak begitu mempedulikan. Sikap pustakawan pada RFID memang beragam dan sangat menarik.

Unsyiah, yang ada di ujung Sumatera itu, begerak dalam senyap. Ibarat perang, dia melakukan perang gerilya. Untuk memulai, maka semua elemen didekati, dipahamkan, diajak urun kemampuan. Mereka diajak berbagi, dan bersemangat. Mahasiswa tingkat akhir, yang memerlukan bahan untuk riset salah satunya. Senyap. Namun ketika momentum itu datang, Pustaka Unsyiah menunjukkan dirinya. Kolaborasi dengan mahasiswa terwujud. Hasilnya, perpustakaan mampu membuat middle ware (penghubung software SLiMS dan alat RFID) secara mandiri. [5]

Produk mandiri ini membebaskan Unsyiah dari ketergantungan. Bermanfaat bagi perpustakaan, juga mahasiswa. Tentu saja menekan berbagai komponen biaya. Semuanya senang.

*** 
Pertemuan tahun 2014 itu, terulang lagi di 2015 di Malang, dan 2016 di Jogja. Di Malang, Pak Taufiq dan tim kembali menularkan inovasinya. Sama seperti Yokta dan Surin, peserta melongo, heran, bangga, namun juga iri, melihat perkembangan perpustakaan Unsyiah. Luckty dari Lampung, misalnya, yang tanpa tedeng aling-aling menulis testimoni di akun medsosnya. Kemudian juga Ana, pustakawan Mojosari yang sampai berkhayal dan tak bisa tidur setelah mendengar paparan tentang perpustakaan Unsyiah. "Ngebayangin bagaimana indah dan nyamannya perpus Unsyiah", demikian tulisnya.

http://library.unsyiah.ac.id/program-perpustakaan-unsyiah-jadi-inspirasi/

Di Jogja, kami bertemu pada acara pungkasan FPPTI DIY 2013-2016. Saat itu, Pak Taufiq mengatakan, "Kami semua yang bekerja di perpustakaan itu pustakawan". Kalimat yang mengagetkan saya. Karena muncul di saat pustakawan jumawa ingin membuat garis pembatas yang jelas: siapa pustakawan, siapa bukan pustakawan. "Dengan menganggap kami sebagai pustakawan, maka akan meningkatkan percaya diri kami dalam mengelola perpustakaan", demikian alasan beliau. Seolah ingin menegaskan pula, bahwa sesungguhnya setiap manusia adalah pustakawan bagi dirinya sendiri.

Para tahap ini, Perpustakaan Unsyiah memberi contoh bagaimana kreatif mencipta hal baru, atau mencari jalan baru. Sekaligus melawan kejumudan berfikir dalam pengembangan perpustakaan. Diikuti dengan semangat belajar dan berbagi, kepada siapapun dan dimanapun. 

Kolaborasi
Apa yang saya tulis di atas, sebenarnya juga bagian dari kolaborasi. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ada inspirasi terkait kolaborasi yang pantas kita renungkan.

Sosialisasi perpustakaan, atau jamak disebut dengan kegiatan literasi informasi, sudah umum dilakukan, untuk mahasiswa baru atau siapa saja yang membutuhkan. Namun duta baca, masih terbilang sedikit. Bahkan belum ada, sampai kemudian Perpustakaan Unsyiah memulainya. Yang digarap Pustaka Unsyiah bukan hanya duta baca secara seremonial. Bukan. Namun duta baca yang benar-benar dilibatkan pada berbagai kegiatan perpustakaan.

Duta baca digembleng militer.
Sumber: klik
Duta baca ini digarap serius. Tidak sekedar penilaian berkas di meja. Namun, mereka juga dikirim, digembleng di padepokan militer. Dibekali berbagai keterampilan dan pengetahuan. Hasilnya akan tercipta duta baca yang bermental kuat, serta prestisius bagi siapa saja yang menyandangnya.  Dia jadi brand, ikon, contoh, model, fokus, yang diharapkan menjadi magnet. Menarik mahasiswa untuk mengikutinya.

Melibatkan mahasiswa dalam kegiatan perpustakaan juga sudah jamak dilakukan. Saya merasa, di perpustakaan saya pun demikian. Kami berkolaborasi dengan mahasiswa. Mengajak mereka untuk menjadi pemateri kegiatan bagi mahasiswa lain. Namun, memastikan keberlangsungannya tetap terjaga, menjadi tantangan tersendiri.

Agaknya, atas dasar itulah akhirnya Perpustakaan Unsyiah melahirkan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Literasi Informasi. Setahu saya, ini yang pertama di Indonesia. Dengan UKM ini, regenerasi, fokus kegiatan, dan sasaran aktivitas akan lebih terjaga.

ULF, atau Unsyiah Library Fiesta juga menjadi bukti kolaborasi berikutnya. Ini kegiatan akbar, yang gaungnya merambat sampai ke Jawa. Ini kegiatan luar biasa. Melibatkan banyak pihak, mulai dari dosen, mahasiswa, pustakawan, dan bahkan bantuan militer untuk penggemblengan disiplin. Militer!, institusi yang beberapa tahun lalu memiliki hubungan kurang harmonis dengan sipil di Aceh. Perpustakaan mampu merangkulnya. Ini bukti nyata kolaborasi di perpustakaan, yang lebih hidup daripada sekadar kajian di kertas-kertas ilmiah atau slide presentasi.

Open Education Resources, atau populer disebut OER merupakan produk baru hasil kolaborasi di Perpustakaan Unsyiah bersama UKM Literasi Informasi. OER ini, turut meneguhkan ikatan kolaborasi pengembangan perpustakaan Unsyiah.

Berbagai kolaborasi di atas berefek dahsyat. Tingkat kemasyhuran perpustakaan di mata mahasiswa menjadi naik berlipat ganda. Mahasiswa menjadi peduli, dan kreatif terkait perpustakaan. Kerelaan mereka membuat berbagai video pendek bertema perpustakaan, menjadi buktinya. Berbagai video tersebut dapat anda lihat di https://www.youtube.com/channel/UCNyNFy2KGE6JlgqkxN8suDg.



Perpustakaan Unsyiah memberi contoh, bagaimana bentuk kolaborasi yang berkualitas

Profesionalisme 
Saya mulai bagian ini dengan singkat membahas pencitraan. “Kita perlu pencitraan yang sahih”, demikian kata Kang Hasan dalam bukunya “Melawan Miskin Pikiran”. [6] Pencitraan itu perlu dan penting. Namun pencitraan yang benar. Yang nyata, dan bukan rekayasa.

Agaknya, hal ini juga dipahami sungguh oleh pengelola perpustakaan Unsyiah.  Pencitraan atas profesionalisme yang benar-benar dilakukan. Profesionalisme tetap didahulukan. Pencitraan menjadi penopang agar profesionalisme dapat menyebar. Hasilnya pun luar biasa.

Kerja-kerja di Perpustakaan Unsyiah, bagi saya sangat profesional. Pustakawan didorong untuk selalu mencerap dan memamah pengetahuan baru, dari berbagai sumber. Tujuannya satu: agar semakin profesional. Dari sisi tampilan pun oke dan menarik. Tenaga paruh waktu dari mahasiswa juga diberi atribut khusus sebagai identitas. Mereka harus terlihat beda, dan percaya diri dibanding mahasiswa lainnya.

Perpustakaan juga memiliki tim yang berisi pustakawan dan mahasiswa, yang bertugas menulis dan menerbitkannya dalam sebuah buletin: Librisiana. Buletin ini dikelola dengan serius, memiliki struktur dan profesional. Librisiana tidak sendirian. Dia juga ditopang oleh akun media sosial. Instagram, misalnya.

Instagram (IG) Pustaka Unsyiah termasuk aktif. Postingan berkualitas dan promotif rutin menghiasi. Akun ini memposting kegiatan, atau koleksi perpustakaan Unsyiah. IG Perpustakaan Unsyiah tercatat memiliki 7.425 pengikut. Jauh lebih banyak dari IG perpustakaan yang ada di Jawa. Bahkan yang berkategori perpustakaan besar sekalipun.

Yang membuat saya geleng kepala terheran-heran, akun IG Dekan FT UGM pun, menjadi follower IG Perpustakaan Unsyiah. Ini di luar dugaan, sangat-sangat istimewa.

Instagram Perpustakaan Unsyiah

Profesionalisme yang berkesinambungan, akan melahirkan citra positif.

Tidak lupa pada akarnya
Sebagai sebuah perpustakaan perguruan tinggi, Perpustakaan Unsyiah tidak lupa pada akarnya. Masyarakat luas, yang menjadi tempat perguruan tinggi itu berada. Masyarakat yang menanti sentuhan perguruan tinggi untuk dapat memberi pencerahan.

Proses mengakarnya perpustakaan Unsyiah, dilakukan pada beberapa kelompok atau kerumunan. Pustaka Unsyiah hadir di lembaga pemasyarakatan anak, SLB (Sekolah Luar Biasa), serta kerumunan orang di Car Free Day. Bersama mahasiswa dan tentunya Sang Duta Baca, Pustaka Unsyiah memberi pencerahan terkait literasi, belajar sepanjang hayat dan program lainnya.

Car free day (sumber gambar: klik)

Kreativitas + Kolaborasi + Profesionalisme  = lompatan capaian


Epilog
Lahir tahun 1970, kurang lebih 48 tahun usia Perpustakaan Unsyiah. Usia ideal bagi seorang pemimpin. Masih enerjik, haus ilmu, dan gemar berbagi.  Kepala perpustakaan yang begitu profesional turut menambah nilai. Status ilmuwan sang Kepala Perpustakaan menjadi penyempurna. Selaras dengan ungkapan Al Attas, bahwa kepala perpustakaan itu hendaknya seorang ilmuwan, yang juga dididik secara profesional. [7]

Kemunculan perpustakaan Unsyiah pada peta perkembangan perpustakaan di Indonesia sangat menarik. Dia  memorak-porandakan peta Jawa centris, menjadi lebih adil dan merata. Membuka mata, bahwa kompetensi itu di atas segalanya. Dia bukan sekedar perpustakaan. Lebih lengkap. Perpustakaan ini mampu mendobrak kejumudan pengembangan perpustakaan. Mampu menurunkan ide langitan para pemikir, turun ke tanah. Dalam bentuk layanan yang tepat, menarik. Seksi! bagi para pemustakanya.

Letaknya boleh di ujung pulau Sumatra. Jauh dari ibukota negara. Daerahnya pernah dilanda tsunami,hingga seolah tak ada sisa. Juga sekian lama dalam kondisi mencekam karena tarik ulur kekuasaan. Namun, semangat warisan para teuku tetap mengalir di darah mereka. Perpustakaan Unsyiah telah berproses bukan sekedar untuk menjadi baik, namun melakukan berbagai lompatan besar. Sangat layak menjadi tujuan, bagi pustakawan yang kehausan dan hendak meneguk air inspirasi, lalu menuai berkah motivasi.

Beberapa bukti di atas, menjadi bukti bahwa perpustakaan Unsyiah sudah ada para tahap leader, bukan lagi follower. Namun demikian, Perpustakaan Unsyiah tidak boleh silau. Dia tetap harus rendah hati, belajar dari siapapun dan membagi pada siapapun.

Satu hal yang perlu dicatat: regenerasi harus diperhatikan. Agar semua penggeraknya bisa menjadi ideolog secara bergiliran.

Sambisari, 
Selasa, 20 Maret 2018

[1]. http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Librisyana-Ed.-6-Preview-File.pdf.

[2]. http://www.unsyiah.ac.id/berita/profesor-thailand-terkesan-dengan-perpustakaan-unsyiah,

[3]. http://www.unsyiah.ac.id/berita/siswa-malaysia-kunjungi-perpustakaan-unsyiah,

[4]. http://www.purwo.co/2017/03/perpustakaan-unsyiah-model-ideal.html

[5]. http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=18173

[6]. Melawan Miskin Pikiran : Memenangkan Pertarungan Hidup Ala Kang Hasan. Oleh Hasanudin Abdurakhman. Nuansa Cendikia: 2016

[7]. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Ditulis oleh Wan Mohd Nor Wan Daud. Mizan: 2003


Tuesday 13 March 2018

(Pustakawan) Jangan malu belajar ke mahasiswa!!!

“Mas, saya diminta Prof. Djun ketemu njenengan”, mahasiswa yang bernama Dina itu menemui saya. Dia ingin tahu tentang software analisis data kualitatif.

“O, NVivo, kah? ada juga Atlas.ti”. Kami pun ngobrol ngalor ngidul. Saya sampaikan, bahwa saya belum paham benar tentang kedua software ini. Softwarenya sendiri berbayar. Namun ada trialnya 14-30 hari.

Saya carikan info terkait kedua software itu di internet. Apa fungsinya dan di mana unduhnya. Dengan satu catatan, Saya belum bisa ngajari penggunaannya!. Dina meninggalkan nomor hape, untuk saya hubungi jika suatu saat saya bisa mengajari atau ada info lanjutan tentang NVivo.

Lebih dari seminggu kemudian..

Dina kirim wa. “Pak, Fisipol pernah ada pelatihan. Ini posternya”. Saya kaget. Harusnya sebagai pustakawan, info ini saya peroleh dulu, kemudian saya sampaikan ke Dina. Saya jawab terimakasih, meski menahan malu. Untungnya lewat wa.

Singkat cerita, Saya ikut pelatihan NVivo di Fisipol. Dina juga bergabung.

Gedung Fisipol yang megah itu cukup membingungkan saya. Berbeda jauh dengan ketika saya kuliah, 16 tahun lalu. Dulu, hanya ada satu gedung baru, gedung Yong Ma. Sekarang, 90% baru. Bahkan mushola sudah berganti total.

Dengan bertanya kiri kanan, akhirnya saya temukan ruangan pelatihan. Ruangnya tidak begitu besar. Bersih, ada 20 kursi, proyektor, AC, papan tulis transparan. Mewah pokoknya. Pelatihan dimulai, jam 9-14 siang. Tentunya dipotong waktu istirahat. Seperti umumnya pelatihan, kami belajar bagaimana menggunakan software tersebut. Pematerinya Yasa dan Adat , keduanya mahasiswa pegiat CfDS. Mereka begitu mahir. Ditambah ruangan Fisipol yang nyaman, membuat pelatihan menyenangkan.

***

Seminggu berlalu. ....

Sebagaimana keseharian di perpustakaan FT UGM, jika tidak ada jadwal pelatihan, maka terkadang mahasiswa yang meminta. Saat itu, mahasiswa EGov (dulu CIO) datang menemui saya. Saya cerita tentang NVivo. Agaknya mereka banyak yang menggunakan kualitatif. Sepertinya berguna, fikir saya.

E, lha mereka tertarik. “Namun ini bukan pelatihan, lho. Hanya berbagi. Saya belum mahir.” begitu catatan saya.

Sembilan belas mahasiswa EGov itu menjadi kelas pertama NVivo di Perpustakaan FT UGM.

***

Sebagai pustakawan, jangan malu belajar pada siapapun. Termasuk dari mahasiswa. Jadilah jembatan, untuk mengantarkan kemampuan mahasiswa satu, kepada mahasiswa lainnya. Kemampuan mahasiswa tersebut beragam, dan sangat dinamis.

Bukankah musuh pustakawan yang paling besar itu pekerjaan perulangan?