Sunday 15 December 2019

Anggaran Dasar I-Pe-I yang ringkas dan padat

https://ipi.web.id/tentang-ipi/anggaran-dasar/ (15 Des 2019)
Anggaran dasar, tentunya bukan anggaran belanja. Apalagi belanja negara. Bukan. Anggaran dasar itu pondasi, slope. Gabungan dari semen, batu, pasir, dan juga besi. Dia jadi dasaran bangunan.

Anggaran dasar organisasi, berarti untuk menopang bangunan organisasi. Agar kuat, tidak miring, jelas arahnya, dan tentu saja tahan lama.

Jika dihitung dari 1973, maka sudah 46 tahun usia I-Pe-I. Tentunya pondasinya sudah kokoh, kuat, dan teruji.

Bagaimana pondasi tersebut?

Pondasi, anggaran dasarnya mantap. Pasal 1 pun sudah menunjukkan kekuatan organisasi tersebut untuk mewujudkan cita-citanya, “meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia”.

Pasal satu anggaran dasar tersebut berbunyi “Oops! That page can’t be found”


[ tamat ]

Tuesday 10 December 2019

, , ,

Bookless library #2

pos ronda
Kejadian beberapa malam lalu masih terngiang di memory otak Paijo. Ketika Soplo, kawan gaplenya membuatnya tak berkutik. Alih-alih takjub dengan penjelasannya tentang Bookless Library, Soplo justru mengatakan bahwa bookless library itu bukan barang baru. Bahkan, gardu ronda tempat mereka gaple waktu itu, juga bookless library. Demikian yakin Soplo.

Bookless Library #1: http://www.purwo.co/2019/09/bookless-library.html

“Kang, aku diskak Soplo,”. Paijo cerita panjang lebar tentang pengalamannya beberapa waktu lalu. Cerita tentang bookless library, tentang pos ronda, tentang gaple, tentang kopi pada Karyo, seniornya.

Tidak hanya itu. Paijo juga cerita tentang Kang Giyo, kawannya, yang sering membuat analogi musik Elya Khadam vs Via Vallent untuk menjelaskan keharusan berubahnya perpustakaan dan pustakawan. Jaman ini orang lebih suka dangdutnya Via Vallent. Demikian juga perpustakaan. Kudu berubah agar tidak ditinggalkan penikmatnya.

****

“Hmm. Begitu, tho.,” Karyo komentar pendek.

“Iya, Kang. Aku diskak.” Paijo menggaris bawahi.

“Jo. Apa persamaan Ellya Khadam dan Via Vallen?”. Karyo justru malah bertanya pada Paijo.

“Yo sama-sama perempuan tho, Kang,” gitu saja tanya.

“Kamu itu. Ini Serius. Kita coba cari garis penghubungnya. Ellya dan Via Vallent itu sama-sama nyanyi. Jual suara. Lalu diiringi musik, ada ketipung, juga suara gendang. Gendangnya bisa asli bisa pula imitasi,” jelas Karyo.

“Lalu, Kang?”, Paijo penasaran.

“Keduanya ada ciri sama yang tetap ada, sehingga musik generasi berikutnya tetap memakai term dangdut: dangdut koplo. Bukan koplo, thok. Artinya dangdut koplo tetap berhak menyandang nama ‘dangdut’, karena unsur dangdutnya masih ada: kendang, suling, ketipung.” tegas Karyo.

“Kalau unsur dangdut itu tidak ada, maka tak bisa dia disebut dangdut, Jo!”.

Paijo mengangguk. Tumben juga tidak ngeyel.

“Lalu apa alasan tempat yang tak ada bukunya alias bookless itu berhak tersemat kata library sehingga jadi bookless library?”, Paijo nyambung dengan penjelasan Karyo dan bertanya balik.

“Nah, itu, Jo. Kapan sebuah tempat yang tak ada bukunya boleh diberi label library, dan kapan tidak?”, Karyo menegaskan pertanyaan Paijo. Bukan menjawabnya.

“Jelasnya, logika Ellya Khadam dan Via Valent itu tidak nyambung jika dipakai untuk menganalisis bookless library?” Paijo menyimpulkan dengan setengah bertanya.

“Lalu bagaimana dengan pandangan Soplo, Kang? bahwa pos ronda itu juga bookless library.” Paijo penasaran dengan pendapat Karyo.

“Soplo benar, Jo. Benar. Mutlak benar. Pos ronda boleh disebut bookless library. Pendapat Soplo hanya akan gugur jika pos ronda tidak dimungkinkan memiliki salah satu ciri  wajib bookless library!,” Karyo.

“Loh, memangnya apa saja ciri bookless library, Kang?”, tanya Paijo.

“Ra jelas!”, Karyo menjawab singkat.

Paijo mrengut. Dia mbatin, Karyo ketularan mbeling.

[bersambung]



Monday 9 December 2019

,

[ penjara ]

gambar: lisensi free dari Pixabay
Paijo janjian dengan Karyo. Tidak di gardu ronda, atau di halaman rumah. Kali ini mereka janjian ketemu di cafe.

Digilib Cafe, sebuah tempat yang kini jadi ikon di kampusnya.

“Biar kayak orang kaya, Jo?”, tanya Karyo.

“Wo, iya Kang. Selain itu, juga bisa sambil lirik kiri kanan,” Paijo menjawab dengan senyum ditahan.

“Haish. Gayamu, Jo!.”

***

Sampailah mereka di tempat tujuan. Takjub, heran, dan tak henti-hentinya mereka bersyukur bisa sampai di tempat cemlorot itu. Benar-benar nikmat yang tidak bisa didustakan.

Mereka masuk ke cafe. Lagak ndesonya Karyo tetap kelihatan ketika pesan minuman. Karyo heran melihat pembeli didepannya memesan dengan cara ngelus-elus layar. “Itu namanya tab, Kang. Tablet,” Paijo menjelaskan.

Paijo memang sudah pernah ke cafe ini. Dia mengajak Karyo sebagai usaha mengenalkan Karyo pada dunia luar. “Tablet? kayak obat wae.” Karyo bergumam. Paijo terkekeh.

Ketika tiba gilirannya ngelus-elus layar untuk milih menu, Karyo njondil. Matanya mencermati  harga yang tertera. “We, Kang Bayat bisa nesu ini”, lagi-lagi Karyo ngedumel. Bagaiana tidak? Kopi yang biasanya bisa dia tebus dengan harga 3000 dan itupun bisa ngutang, di tempat ini bisa berkali lipat dan tak boleh ngutang.

Paijo tersenyum.

***

Sambil menunggu pesanan, mereka duduk.

“Kang. Wis dengar kabar? tentang petugas penjara yang dipindah tugaskan sementara ke perpustakaan,” Paijo membuka obrolan dengan tema yang sudah disiapkan sejak sebelum berangkat.

“Yo,” Karyo menjawab pendek. Matanya menyapu ruangan. Berhenti sejenak di sudut-sudut ruang, ketika dapat pemandangan yang kontras berbeda. Tiga sosok bening-bening sedang berdiskusi, sesekali tertawa, kadang tersenyum. Mata Karyo tak lepas mamandang lesung pipi yang tiba-tiba tercetak ketika senyuman tersungging.

“Kang Karyo!. Wa, ini. Kalau lihat yang bening-bening, lalu lupa sama konconya.”

“Ssst. Lah, salahmu sendiri. Ngajak ke tempat ini. Neng angkringan ndak ada yang sebening itu, je”. Karyo jujur membela diri.

“Ya, aku dengar berita itu, Jo,” Karyo melanjutkan jawabannya.

“Keren itu, Kang.  Dengan memutuskan memindahkan ke perpustakaan, menunjukkan bahwa pimpinannya benar-benar visioner”, hampir sama dengan Karyo, Paijo membuka diskusinya ini dengan melihat sekeliling. Dua orang ini memang 11/12 kalau masalah yang bening-bening.

“Setidaknya, seperti maksud si pempimpin, petugas bisa belajar di perpustakaan. Keren tho ini, kang?. Tinggal dijelaskan saja target pemimpin pada si petugas yang dipindah,” kata Paijo.

Pandangan Paijo ini memang cukup berbeda. Atau bisa dibilang berbeda dari arus utama para pustakawan, yang sebagian besar menolak pemindahan petugas penjara ke perpustakaan. Pemindahan itu seolah meneguhkan bahwa perpustakaan itu tempat hukuman, begitu katanya.  Mungkin mereka lupa, bahwa itu di perpustakaan penjara. Lah penjaran kan memang tempat hukuman. Piye, tha.

Karyo menyela, “Kamu itu mbedani, Jo. Pustakawan lainnya pada protes. Mereka menganggap tidak sepantasnya perpustakaan dijadikan tempat hukuman. Kok kamu malah bergembira ria?”

Paijo tampak sedang menoleh ke bagian pemesanan. Berharap  kopi segera datang.

“Iya, Kang. Aku tahu. Tapi aku juga heran. Begitu banyaknya pustakawan berharap orang datang ke perpustakaan, ini ada petugas yang diminta rutin datang ke perpustakaan, malah sekalian bantu-bantu ngurusi perpustakaan, kok malah ditolak. Kan aneh?,” begitulah jawaban Paijo.

“Petugas ini juga berhak belajar. Meski dia pegawai, dia itu sekaligus pemustaka. Haknya sebagai pemustaka harus ditunaikan. Lak kudune pustakawan senang, ketika pimpinan memindahnya ke perpustakaan,” demikian Paijo.

“Iya, Jo. Tapi pandangannmu itu tidak sesuai dengan garis keumumam pendapat pustakawan. Ora umum.”

“Agaknya, kita sudah kehilangan ruh filosofi dasar perpustakaan sebagai tempat belajar bagi semua orang. Perpustakaan itu tempat belajar, apapun alasan orang itu belajar. Termasuk belajar karena diminta atau sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Ya, seperti petugas penjara itu,” Paijo serius.

“Kita itu ingin menunjukkan kepedulian dengan cara melakukan penolakan, padahal kita tidak ada kuasa penuh atas takdir seseorang. Siapa tahu kepindahannya ke perpustakaan justru menjadi jalan titik balik dirinya. Bisa tho?” Paijo nerocos.

“Di sisi lain, Kang. Sebenarnya si petugas itu tidak dihukum. Dia justru disayang pimpinan, kemudian diminta belajar di perpustakaan. Sebaik-baik tempat untuk belajar. Siapa tahu di perpustakaan dia menemukan passion-nya,” Paijo mulai ndadi.

***

Di tengah obrolan, dua cangkir  kopi datang. Keduanya diletakkan di meja, lengkap dengan sedotan, tisu, dan gelas kecil air putih.

Karyo tampak bingung. Pesan kopi, kok juga diberi air putih. Dua paket kopi itu dibiarkan dulu di meja. Dipandangi dengan seksama. Dari kiri, dari kanan, dari atas. Hanya dari bawah saja yang tidak. Hora iso.

“Trus karepmu piye, Jo?, tanya Karyo.

“Memindah petugas yang bermasalah ke perpustakaan itu bagus kang. Kuncinya kejelasan dari si pimpinan. Target apa yang diberikan pada si petugas yang dipindah. Kalau pepusnya belum ada yang mengelola, justru bisa diminta mengelola. Kalau sudah ada pustakawannya, bisa kolaborasi. Dan ini ujian bagi perpustakaan. Mampukah sistem universal perpustakaan itu mampu melakukan perbaikan pada orang yang dianggap bermasalah?,” kata Paijo.

Agaknya Paijo ingin menjelaskan, bahwa jargon literasi dengan huruf L itu bisa diuji dengan kasus ini.

“Orang yang dianggap bermasalah itu berarti juga memiliki ketidak tahuan, maka tepat ketika diminta ke perpus, agar tahu,” itu prinsip dasarnya, Kang”.

Karyo mencerap penjelasan Paijo. Tuah senioritas Karyo lumpuh. Suasana Digilib membuatnya tak bisa berfikir banyak. Alurnya banyak dipengaruhi logika berfikir Paijo.

***

“Diminum, Kang!,” Paijo menyilakan Karyo.

Karyo meraih cangkir kopinya. Bibirnya mulai mendekat ke bibir cangkir. Dalam hitungan detik, dua bibir itu bertemu. Melumat dan dilumat. “Ssrrrppp”, suara khas nyeruput kopi itupun terdengar..

“Bsssssssss. Kok pahit banget, Jo?,” Karyo gebres-gebres.

Paijo menahan tawa yang sejengkal lagi meledak. “Normalnya kopi itu ya pahit, Kang. Makanya itu diberi segelas air putih sebagai penetralisir.”

“Tapi kalau ngopi di Kang Bayat kok ada manis-manisnya”.

“Itu air gula campur kopi, Kang. Bukan kopi," Paijo ngakak tidak bisa ditahan.

Obrolan itu selesai. Mereka sibuk dengan  cangkirnya masing-masing. Tentunya, dengan tetap melihat kiri kanan, alias cuci mata.

***

 “Wis, kita pulang, Kang,” ajak Paijo. “Jangan lupa cuci tangan. Tadi ketika pesan kopi, Kang Karyo ngelus-elus tablet, kan?”

“Emang kenapa, Jo?,” Karyo penasaran.

“Bekas elusan tablet bisa berpengaruh pada elusanmu pada Mbakyu Karyo nanti malam, Kang”

Karyo mrengut menahan mangkel.

“Tenang, Kang. Tak bayari." Sebuah e-money dicabut Paijo dari dompetnya. Digesek, menekan pin, lalu selesai.

[[ tamat ]]

Thursday 5 December 2019

[Tugas luar]

"Tumben gelem tugas luar, Kang", komentar seorang kawan melalui jejaring sosial. Saya memang jarang tugas luar. Terhitung sudah tahunan saya tidak pergi dari wilayah UGM pada jam kerja, terutama ke luar daerah.
Konsentrasi di tempat bekerja lebih saya utamakan.
Keluar UGM pada jam kerja itu ada dua sebab: sebab eksternal dengan diundang atau ditawari; serta internal karena diminta/diutus. Sebab eksternal masih bisa saya tawar, dengan berbagai alasan. Utamanya karena keterbatasan kemampuan saya. Rumangsa, kata orang jawa.
Namun, sebab internal sulit ditolak.
Kalau ada dua undangan bersamaan, misalnya, maka UGM lebih saya dahulukan. Repotnya, jika sudah menyanggupi acara di luar UGM, kemudian ada undangan atau acara bersamaan di UGM. Hal ini sangat membuat saya merasa bersalah. Mungkin, karena itulah akhirnya saya mengurangi kegiatan dan organisasi yang menjadikan harus keluar UGM dalam jam kerja.
Prinsip dasar yang saya anut adalah UGM first, lebih khusus FT UGM first. Kenapa? karena rejeki saya mengalir lewat kepercayaan UGM pada saya, khususnya FT UGM.
Hingga akhirnya bulan November 2019 saya meninggalkan jam kerja. Pertama ke UII, yang masih satu propinsi, bahkan satu kabupaten. Saya ke UII karena ikut seminar, yang saya merasa masih berhubungan dengan peran saya sebagai pustakawan di FT UGM. Tentunya dengan ijin pimpinan terlebih dahulu.
Kemudian akhir November ke Bandung. Tujuan Ke Bandung ini bukan karena diundang, tapi karena diminta oleh UGM (perpus UGM) sendiri. Maka, saya sebisa mungkin menjalankan perintah.
Pernahkah ada dua kepentingan bersamaan?
Pernah. Dan saya utamakan UGM dahulu. Mungkin ada yang menyayangkan. Tapi begitulah keputusan saya. Selain itu, jujur saja, meski ada kalanya dilanda kangen, saya memang mengurangi kegiatan luar. Capek eui.
Mungkin karena sebab itulah, saya harus menghadapi konsekuensi: tertinggal banyak hal terkait perkembangan kepustakawanan.
Namun, dgn fasilitas internet kampus yang lancar, saya masih punya harapan belajar. Belajar perkembangan kepustakawanan melalui berbagai saluran yang bisa saya jangkau.
note:
hal di atas adalah pertimbangan saya pribadi.
Foto: nenteng tas di depan gerbang ITB