Saturday 30 December 2023

Peta jejaring rezim Rektor UGM selama 7 periode terakhir (s.d. 2022)

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang ada di sini (jejaring rektor UGM).

Kali ini, dataset rezim rektor 2022 kami tambahkan. Oia, rezim di sini mengacu pada arti yang ada di KBBI, yaitu n tata pemerintah negara; pemerintahan yang berkuasa. 

Dataset memuat nama rektor pada tiap periode, + wakil rektor, beserta asal fakultasnya.

Hasilnya adalah peta jejaring fakultas dan nama para rektor dan wakil rektor. Fakultas atau nama rektor dan wakil rektor akan dihubungkan jika mereka pernah ada dalam satu periode rezim yang sama. Dengan demikian akan terlihat fakultas yang mendominasi,  dan wajah jejaringnya.

-------------***------------------

Berdasar fakultas


Terlihat FT dan FE masih mendominasi dengan perolehan 7 occurences. Selain itu total link strengthnya juga tertinggi. Artinya 7 periode rektor, FT dan FE selalu diajak gabung. Dibanding periode sebelumnya, ada pendatang baru yaitu FE-umum dan FIB. 

Sebagaimana diketahui, ada alumni FE yang bukan dosen, bergabung di kabinet rektor tahun 2022 yaitu Ignatius Susatyo Wijoyo. Informasi tersebut dapat dilihat di sini. Namunkemudian tidak tampak lagi di jajaran wakil rektor. Mungkin mengundurkan diri. Mungkin, lho. Silakan lihat gambar di bawah ini.

Tangkapan layar 30 Desember 2023

Kemudian ada pula FIB yang setelah sekian lama tidak masuk rezim, akhirnya mendapat kepercayaan di periode 2022.


Pada peta jejaring di atas, menguatkan gambar sebelumnya yang menunjukkan FE dan FT punya occurence sekaligus link strength tertinggi , terlihat FE dan FT ada di tengah. Artinya dua fakultas ini densitynya tinggi, dan centralitynya tinggi, alias menjadi (SDM) fakultas penggerak di sekian periode rektor.
Gambar di atas menunjukkan FIB dan FE-umum berwarna kuning, yang berarti muncul di tahun-tahun terkini (periode rektor terkini).


Berdasar nama

Jika dilihat dari nama, data menunjukkan Didi Achjari punya kemunculan 3x. Artinya DA ini ada di 3 periode rektor yang berbeda. Data menunjukkan DA ada di periode Sudjarwadi, Pratikno, dan Dwikorita Karnawati. (sumber: ini, ini, kemudian lanjut di periode Dwikorita K)


Gambar di atas menunjukkan bahwa Ova Emilia (klaster biru) melanjutkan tradisi beberapa periode sebelumnya, mengambil pejabat sebelumnya untuk lanjut di periode berikutnya. Pada periode 2022-2027 terdapat Supriyadi yang sebelumnya menjabat WR, kembali menjabat WR.

Hal di atas ditunjukkan oleh jejaring yang membentuk klaster namun saling terhubung (merah, biru, kuning,  toska, dan ungu. Sementara hijau menjadi klaster sendiri karena tidak ada pejabat yang menjadi jembatan ke periode berikutnya.


Gambar di atas menunjukkan nama-nama dan periode muncul sesuai warnanya. Pada warna kuning terlihat nama-nama yang menjadi pendatang baru di jajaran rektor dan wakil rektor. 












3 Capres di Database Scopus: siapa paling populer, dan apa yang dibahas?

Ingat! Ini bukan pencarian paper yang ditulis oleh para capres, melainkan mencari paper yang membahas para capre.

Pencarian dataset dilakukan di database Scopus. Total ditemukan sebanyak 48 publikasi, dengan kata kunci "anies baswedan" OR "prabowo subianto" OR "Ganjar pranowo" OR "Mahfud MD" OR "Muhaimin iskandar" OR "gibran rakabuming" pada title, absrak, keywords.

Sementara itu, untuk setiap keyword hasilnya sebagai berikut:

  1. Anies Baswedan: 9 artikel (5 conference, 4 jurnal) sejak 2018 s.d. 2023
  2. Prabowo Subianto: 34 artikel  (23 jurnal, 5 conference, 3 review, 1 book chapter, 1 erratum) sejak 2012 s.d. 2023
  3. Ganjar Pranowo: 7 artikel  (4 conference, 3 jurnal, 1 book chapter) sejak 2019 s.d. 2022
  4. Muhaimin Iskandar: 0 
  5. Gibran Rakabuming R: 1 paper di tahun 2023
  6. Mahfud MD: 0
----------

Total/gabungan

Kata kunci urut berdasar kemunculan

Dari dataset semua capres/cawapres, terlihat kata kunci paling banyak yaitu Indonesia, disusul twitter, elections, presidential election, sentiment analysis, social media.

Hal ini menunjukkan penelitian yang dilakukan terkait capres/cawapres, paling banyak terkait pemilihan umum serta analisis isu di media sosial.

kata kunci paper terkini

Paper terbaru lebih jelas lagi menunjukkan bahwa isu pilpres masih muncul. Selain itu dibahas pula topik militer, kontrol sipil, serta hubungan sipil militer.

Anies Baswedan

Topik terkait AB, paling banyak tentang covid-19 dan twitter. Agaknya analisis AB di media sosial cukup diminati para peneliti.

Klaster riset terkait AB

Pada gambar di atas, lebih jelas terlihat 9 artikel terkait AB membantuk 5 klaster dengan masing-masing isu utama pada tiap klaster.

Topik berdasar tahun terbit




Prabowo Subianto


Pada topiknya PS, topik pemilihan cukup mendominasi. Selain itu, muncul pula authoritarianism. Uniknya, pada topik PS ini muncul kata kunci jokowi dan joko widodo.

Visualisasi network PS

Visualisasi berdasar tahun

Ganjar Pranowo 

Topik urut berdasar kemunculan

Terkait GP, topik dibahas terkait media sosial utamanya twitter, kemudian disusul communication. 


Visualisasi jejaring kata kunci

Topik berdasar tahun



All by abstract (65 keyword minimal muncul 3x)
Visualisasi abstrak

Pada gambar di atas, tidak ada yang benar-benar menjadi sentral. Prabowo membuat klaster sendiri (merah), dengan berbagai frasa. Uniknya pada klaster ini ada nama Jokowi, yang juga ditemukan pada visualisasi dataset PS. Topik terkaitnya tentang demokrasi, ideologi, challenger, president, campaign, contestation.

Sementara itu GP dan AB tergabung pada klaster hijau, dengan berbagai term yang terkait dengan pengelolaan daerah. Misalnya covid-19, pandemic, policy, action. Jika pada PS ada nama Jokowi, pada GP dan AB ini muncul nama Ridwan Kamil


Tambahan
Pada posisi cawapres, hanya Gibran yang muncul di database scopus. Paper yang membahas Gibran yaitu:
The Political Economy of Media in Reporting the Individual Candidate Bagyo Wahyono-FX Suparjo in the 2020 Surakarta City Election, ditulis oleh Budianto, H. bersama Putra, A.M. dan Setiadji, S.A. Paper ini terbit di Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of Communication, 39(3), pp. 530–543 tahun 2023. Paper dapat diunduh di https://doi.org/10.17576/JKMJC-2023-3903-29.


Kesimpulan

Penelitian popularitas 3 capres di media sosial masih mendominasi. Sementara itu, topik yang dibahas cukup beragam pada masing-masing capres. Mulai dari komunikasi, penanganan covid-19, otoritarianisme, sipil militer, juga demokrasi.

*****
Sambisari,
30 Desember 2023
Sehabis subuh sampai 07.49 WIB



Thursday 12 October 2023

Produktivitas publikasi para dekan dan pimpinan di UGM

Latar belakang
Jujur, ini diawali dengan penasaran dan keisengan saja. Awalnya hanya ingin tahu produktifitas publikasi para dekan di UGM, khusus publikasi yang terindeks Scopus. 

Kenapa?

Karena dekan kan pimpinan tertinggi fakultas, mestinya bisa jadi contoh baik dalam publikasi, dong. 

Kenapa cuma di Scopus? Karena itu yang paling mudah dapat datasetnya.

Oia, ini saya lakukan sebagai bentuk pengembangan profesi saya sebagai pustakawan, yang salah satunya mengumpulkan data, lalu menyajikan. 

Pertanyaan penelitian
  1. Seperti apa profil publikasi para dekan di UGM?
  2. Bagaimana jejaring kepenulisan antar dekan di UGM?
  3. Maunya sih sekalian memetakan topik risetnya. Tapi untuk pertanyaan nomor 3 ini, mungkin nanti harus lebih serius, dan dipublikasikan di paper saja. :)
Metode penelitian
Pertama saya kumpulkan data nama dekan di UGM. Sumbernya dari sini, lalu dikonfirmasi ke web fakultas, terutama untuk dekan yang berganti karena satu dan lain hal. Misal FKKMK yang dekan-nya jadi rektor, juga di FKH yang berganti karena berhalangan tetap.

Nama dekan yang dimaksud, merupakan dekan periode 2021-2026. Lepas dari apapun jabatan sebelumnya, saya ingin tahu, seberapa produktif mereka di dunia publikasi. Ya... misalnya saat menjabat menjadi agak turun publikasinya, maka bisa dilihat pada batasan tahun 2021 ke bawah.

Ditemukan 25 nama, yang terdiri dari nama dekan dari 18 fakultas dan 2 sekolah, serta 5 pimpinan (rektor dan wakil rektor).

Nama tersebut dipakai untuk modal pencarian di Scopus. Pencarian dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2023 malam, setelah pulang dari bekerja. Data performa publikasi di Scopus diambil, termasuk dataset publikasinya. Data angka dibuat tabel lalu disajikan menggunakan Lookerstudio. 

Dataset masing-masing nama disatukan menggunakan Excel, lalu dilakukan pembersihan data nama menggunakan Openrefine. Setelah itu, dipetakan menggunakan Biblioshiny.

Penyatuan dataset menggunakan Excel ini sebenarnya kurang valid, sih. Semestinya pencarian dilakukan menggunakan gabungan ID Scopus. Okelah, ini nanti saya lakukan dipenelitian berikutnya, sebagai koreksi.

Disklaimer: ada 3 dekan yang publikasinya belum berhasil saya unduh datasetnya, yaitu dekan filsafat, dekan fisipol, dan dekan fakultas hukum. Serta ada 1 nama yang belum ditemukan ID Scopusnya, yaitu Arie Sujito. Saat dicek di Sinta, juga kosong. Kemungkinan memang belum punya ID Scopus.

Hasil penelitian
Produktifitas per tahun (klik untuk memperbesar gambar)

Gambar di atas menunjukkan produktifitas publikasi dekan tiap tahun. Terlihat, paling awal publikasi adalah Ova Emilia, yaitu di tahun 1991. Paper Ova berjudul Approaches to learning of students in an Indonesian medical school. Sayangnya, berdasar visualisasi pada gambar, Ova off dari 1991 s.d. 2011, baru di tahun 2012 mulai muncul publikasinya lagi.

Sementara itu, pendatang baru di dunia publikasi terindeks Scopus adalah Satibi, dengan paper paling tua tahun 2016 berjudul National health coverage system: Pharmacists and JKN participant satisfaction in primary health facilities

Lalu, siapa dekan paling banyak tulisannya?

Kuwat Triyana menempati urutan pertama dalam hal produktifitas, dengan total 180 paper dan h-indeks 25; disusul Budi S. Daryono dengan 125 paper dan h-indeks 9.

Terkait h-indeks, ada yang menarik. Meskipun Kuwat Triyana memiliki h-indeks tertinggl (25), namun jika dihitung persen atas jumlah paper, nilainya hanya 13,89%. Artinya, dari total 125 papernya, yang memiliki dampak secara merata dari sisi hitungan sitasi, hanya 13,89% saja.

Tertinggi dari sisi %, khususnya untuk pemilik paper di atas 10 ada pada Suryono dengan h-indeks 8 dari 19 paper, atau sekitar 42.11%.

Budi Setiadi Daryono, dengan total paper 125 (tertingi nomor 2) hanya mencatatkan h-indeks 9, atau sekitar 7.2% saja dari total paper. Lebih rendah dari Kuwat Triyana.

Lebih lengkap, jawaban atas pertanyaan penelitian pertama, terkait profil publikasi para dekan  bisa dilihat di sini. (Kami sajikan dalam LookerStudio)

-----------------####------------------

Jejaring penulis (klik untuk memperbesar gambar)

Gambar di atas menunjukkan klaster dari jejaring kepenulisan (co-author). Saya tandai nama dekan dengan titik merah. Network disajikan dengan setting 150 nama menggunakan aplikasi Biblioshiny.

Nah, dari situ dapat kita lihat jejaring para dekan dalam publikasi. 

Budi Setiadi, Kuwat Triyana, Mahendradata, Selo Sulistyo, Satibi, Budi Guntoro, Jaka Widada, Eni Hermayani memiliki klaster yang saling terhubung. Namun, hubungan ini agaknya (maafkan, belum saya pentelengi) tidak langsung, melainkan melalui co-author lainnya.

Sementara itu Teguh Budipitojo, Suryono, Wening Udasmoro, dan Setiadi hanya ada di 1 klaster terpisah saja.  Bahkan, dengan seting ditampilkan hanya 150 penulis, Wening Udasmoro terhubung dengan Setiadi saja.


Ada yang unik dari jejaring  Ova Emilia, yang berasal dari FKKMK. Ova berjejaring dengan Danang Sri Hatmoko melalu A Hidayat. 

Saya penasaran. Setelah saya telisik, ternyata A Hidayat yang menjadi partner Danang dan Ova merupakan orang yang berbeda. Bersama Danang Sri Hatmoko ada Agung Hidayat (ID 57215037004), sementara bersama Ova Emilia ada Asri Hidayat (ID 57224770220).

Ini kelemahan Biblioshiny, yang tidak bisa membedakan nama orang yang sama untuk orang yang berbeda.

----------------------##------------------------

Oke, pertanyaan penelitian sudah terjawab, ya.

Di bawah ini beberapa gambar lainnya, hasil olah dataset. 

Jejaring kata kunci (klik untuk memperbesar gambar)


Kata kunci urut occurrence (klik untuk memperbesar gambar)



Jejaring negara penulis (klik untuk memperbesar gambar)

Jejaring negara penulis (klik untuk memperbesar gambar)

----------------------###-------------------
Catatan:
  • untuk network negara dan topik, akan kami perbaiki dengan melalukan query menggunakan gabungan ID Scopus.
  • Itung-itung buat proyek iseng berikutnya. Siapa tahu bisa tembus jurnal, ya.... meski cuma Q4 lumayan, lah.
  • Menarik juga mengumpulkan ID Scopus guru besar per bidang ilmu, kemudian disajikan dibandingkan dengan kelompok guru besar di universitas lainnya.



--------------
Sambisari, tanggal 12 bulan ke 10, tahun 2023
Pukul 06.23 pagi


Wednesday 3 May 2023

Membaca Buku "Perpustakaan Digital dalam penguatan akses informasi", karya Imas Maesaroh #1

Saat dikirimi URL buku ini, saya penasaran dengan isinya. Oleh karena itu, saya langsung lihat daftar isinya, untuk tahu apa yang dibahas. 

Namun demikian, agaknya perlu waktu untuk memahami isinya, sehingga pertama saya coba gunakan buku ini untuk belajar tata bahasa. 

Berikut catatan saya:

  1. Halaman vii: kapanpun dan dimanapun -> jika menurut https://ejaan.kemdikbud.go.id/eyd/penulisan-kata/partikel/ lebih tepat pun dipisah atau digabung, ya?
  2. Viii: tulisan tulisan -> tulisan-tulisan
  3. Daftar isi: ada yang  model kalimat, ada yang model judul
  4. TRI DHARMA -> bisa dicek di UU Pendidikan Tinggi
  5. Halaman 1: merubah -> atau mengubah?
  6. Halaman 1: dipubilkasikan -> dipublikasikan
  7. Halaman 1: Salah satu bidang yang sangat terpengaruh dengan perkembangan -> dengan atau oleh?
  8. Halaman 1: Menurut Worcman (2002) terdapat suatu tantangan besar dengan perkembangan teknologi informasi dimana teknologi informasi... -> pemakaian "dengan" sudah tepat? "dimana" apakah sudah tepat? Cek di https://ivanlanin.wordpress.com/2009/12/15/di-mana/. Saya temukan banyak pemakaian "dimana" pada buku ini.
  9. Halaman 1: "Para pengguna internet..." -> penggunaan para digabung dengan pengguna ini termasuk pemborosan ndak, ya?
  10. Halaman 2: Pengguna akan kesulitan untuk menentukan informasi mana yang sesuai dengan kebutuhan dan informasi mana yang memiliki kualitas pengetahuan yang tinggi -> kata "mana" jika dihilangkan agaknya menjadikan kalimat lebih enak di baca.
  11. Halaman 2: Sementara itu, Perguruan Tinggi memiliki --> penulisan "Perguruan Tinggi" diawali huruf besar?
  12. Halaman 2: Perpustakaan yang merupakan salat satu unit di perguruan tinggi memiliki.. -> salat -> salah. "perguruan tinggi" -> ini kecil semua, beda dengan sebelumnya.
  13. Halaman 2: Para dosen dan mahasiswa lebih banyak mengandalkan -> "Para" perlu dipakai?
  14. Halaman 3: sumber sumber -> sumber-sumber
  15. Halaman 3: kapanpun dan dimanapun -> hmm, bisa cek di https://ejaan.kemdikbud.go.id/eyd/penulisan-kata/partikel/
  16. Halaman 3: google -> Google?
  17. Halaman 3: merubah -> mengubah?
  18. Halaman 3: penulisan teknologi informasi dan TI tidak konsisten.
  19. Halaman 14: perpustakaan digital sebagai koleksi informasi yang di atur yang memiliki... -> di atur atau diatur?
  20. Halaman 13: menterjemahkan -> atau menerjemahkan?
  21. ..
Baru sampai halaman 3. Halaman 13 dan 14 di atas ikut dicek karena saya buka secara acak. Saya akan coba lihat lagi  nanti, jika sudah luang.

Wednesday 22 March 2023

Melihat Publikasi Siti Nur Azizah (UNESA)

Kawan seperguruan, mari kita bersama lihat paper-paper Siti Nur Azizah di Scopus. Dapat saya ambil dengan dasar ID  57441632500.

Saya menemukan 6 paper terindeks Scopus.







Berikut ini daftarnya:

Tiga indikator pelayanan publik yang (menurut saya) menjadi prioritas di perguruan tinggi

Saya pernah ditanya: manakah di antara 9 indikator ini yang menjadi prioritas untuk diterapkan di perguruan tinggi? Saya diminta untuk memilih 3 indikator prioritas.

Sembilan pilihan tersebut yaitu: partisipatif, transparan, responsif, tidak diskriminatif, mudah dan murah, efektif dan efisien, akuntabel, sikap, dan terakhir etika. Penanya mendasarkan pilihan ini pada penelitian yang dilakukan Asih Setiawati (2018) yang terbit pada jurnal Wacana Kinerja, dengan DOI: 10.31845/jwk.v21i2.98.

Saya berfikir, bahwa jika indikator itu didasarkan pada sebuah riset, pasti semuanya penting. Jika diminta menentukan 3 prioritas, maka harus dicermati dengan sebaik-baiknya.

**** 

Setelah berfikir sejenak, saya memilih 3 prioritas ini sebagai jawaban: etika, akuntabel, dan responsif.

Namun, setelah saya jawab, ternyata ada pertanyaan berikutnya: apa alasannya, dan berikan contoh program nyata implementasi prioritas tersebut!. Hedew.

Oke. Begini ceritanya.

Tiga pilihan saya itu, merupakan hasil pemetaan dengan skema “mana menjadi dasar yang mana”. Ya, tentu saja, alasan dan proses saya saat memilih sangat mungkin ada kelemahannya. Namun, saya pastikan bahwa memilih dengan berfikir, bukan ngitung benek. Wk Wk

Etika saya pilih menjadi prioritas pertama, karena etika menjadi dasar dari 8 hal lainnya. Etika juga saling terkait dengan indikator sikap. Di perguruan tinggi, persoalan etika belum, bahkan tidak akan selesai. Jika toh sudah baik, perlu di jaga. Artinya tetap sama: tidak akan selesai. Lihat saja meski perguruan tinggi itu dianggap benteng moral dan etika, kasus-kasus etika tetap saja muncul: mulai dari pelecehan, sampai dengan joki plagiat, juga korupsi dan korupsi. Bahkan pernah menjadi headline berita media besar.

Uisin, tho?

Lalu apa yang bisa dilakukan?

Saya bilang, mulai dari hal kecil, “Gerakan dosen menyapa lebih dulu”. Jadi, jika dosen ketemu mahasiswa, ketemu tenaga kependidikan, mereka harus menyapa lebih dahulu. Bukan sebaliknya. Ini sepele, tapi sangat mungkin berdampak besar di kemudian hari. Mahasiswa, dan tendik akan punya role model dalam bergaul, khususnya di kampus. 

Apalagi, dosen merupakan pusat dari proses akademik. Dosen itu yang utama mengajar, dan seharusnya juga yang mendidik mahasiswa. Dosen merupakan satu-satunya unsur sivitas akademika yang stay di kampus. Berbeda dengan unsur sivitas lain: mahasiswa, yang berganti setiap periode. Maka, dosen akan tetap menjadi sorotan sebagai contoh penerapan etika dan moral. Cara bicaranya, intonasinya, kata-kata yang diucapkannya, tulisannya, gaya hidupnya, pergaulannya, integritasnya, juga "nya-nya" yang lain.

Merah hitamnya mahasiswa, dosenlah yang menjadi acuannya.

Tidak berhenti di Gerakan dosen menyapa. Dosen juga harus diawasi agar tidak tergelincir pada pelanggaran etika lainnya. Caranya? Ada di prioritas ke-3.

Bagimana dengan tendik dan mahasiswa? Pokoke dosen duluan, wis. wkwk

Berikutnya akuntabel. Akuntabel, sesuai pada paper Setiawati (2018), berarti adanya pemahaman pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Indikator ini saya tempatkan pada posisi kedua, karena setelah etika sebagai dasar, maka kerja harus punya wujud nyata untuk dipertanggungjawabkan secara terbuka. 

Jika seorang pelayan publik mampu memaknai akuntabel dan tergerak untuk mempertanggungjawabkan secara publik, maka ada beberapa indikator lain yang akan ikut terimplementasikan, misalnya: efektif dan efisien, mudah dan murah, transparan. Tiga indikator yang saya sebut terakhir, ikut mendukung proses pertanggungjawaban.

Apa program nyatanya?

Dilakukan ekspose terbuka hasil kerja, pada tiap unit. Sehingga setiap bagian (dari unit tersebut) mengetahui apa yang dicapai bagian lain. Hasil-hasil ini juga dipublikasikan terbuka melalui berbagai media, untuk diketahui pihak dari luar unit (atau diketahui unit lain dalam 1 organisasi).

Terakhir responsif. Saya tempatkan ini di prioritas ke-3, karena sikap responsif akan mendukung akuntabel. Responsif sendiri akan men-drive aspek partisipatif, dan aspek tidak diskriminatif.

Apa program nyatanya? Semua unit layanan harus memasang kontak respon cepat, dan kontak aduan. 

Friday 10 March 2023

Tentang pilihan rektor UGM 2022-2027, catatan rangkuman saya

Tanpa ba-bi-bu, ini catatan rangkuman saya.

Pra final MWA
  1. Terdapat 7 pendaftar. Enam dari internal, 1 orang dari eksternal (namun tercatat sebagai alumnus). Kondisi ini mengalami penurunan dibanding pendaftar periode sebelumnya. Misalnya 2007 terdapat 10 pendaftar, 2012 yang lolos jadi bakal calon ada 7, 2017 ada 9 pendaftar.
  2. Pada tahap verifikasi berkas, 1 orang pendaftar dari eksternal gagal lolos
  3. Enam bakal calon yang lolos terdiri dari 2 dekan aktif (KH dan KKMK), 2 dari FT, dan 2 mantan dekan (FH dan FPt).
  4. Melihat bakal calon di atas, maka jago saya: FH, dan FPt. Alasannya:
    • saya menganggap dekan aktif harus menyelesaikan dulu jabatan yang diembannya (apalagi itu diemban dengan meminta), maka 2 dekan aktif saya coret; ibarat orang minta minum susu ya harus dihabiskan dan jangan tergiur coklat panas kemudian sisa air susu dikembalikan. Ini masalah integritas yang paling sederhana;
    • saya menganggap perlu perpindahan kepemimpinan UGM ke luar FT. Maka 2 bakal calon dari FT saya coret. Tersisalah FH dan FPt.
  5. Dari enam bakal carek, ada dua potensi rekor:
    • terpilihnya rektor perempuan pertama hasil pilihan dari awal,
    • potensi hattrick FT UGM (3 rektor berturut-turut).
  6. Para bakal calon rektor, datanya dipampang di seleksirektor.ugm.ac.id. Termasuk CV dan video profilnya. Dari yang saya lihat, ada yang serius membuat video, ada juga yang (mungkin karena tersentil kualitas video lainnya) mengganti video profilnya. Sayangnya, di channel tersebut jejak video itu sudah tidak lengkap. Namun, jangan khawatir, jejak video itu masih ada di sini, tampil saat masing-masing bakal calon memulai presentasi.
  7. Dua statemen bakal carek yang bagi saya menarik: keputusan UGM dipengaruhi pihak luar, dan kebebasan akademik yang menurun



Saat final MWA
  1. Ada 3 calon yang masuk final: Ova Emilia (Dekan FKKMK), Deendarlianto dan Bambang Agus Kironoto (FT).
  2. Karena jago saya tidak masuk final, maka saya otak-atik lagi pilihannya. Saya tidak memilih yang potensial menang. Karena saya bukan/tidak bertaruh. Saya mencoba melihat mana yang layak saya pilih. Akhirnya saya lebih memilih FT. Bagi saya, dekan yang aktif (FKKMK) atau masih menjabat, harus menyelesaikan amanahnya. Bukankah ini tindakan mulia dan berintegritas? wkwkwk
  3. Namun, yang terpilih ternyata Prof. Ova, dekan FKKMK. Calon yang tidak saya jagokan. 
  4. Berbeda dari pilrek tahun sebelumnya (2017) dan seingat saya juga 2012; tahun 2022 ini saya tidak menemukan live streaming. Ini catatan menarik bagi saya. Jika benar, maka ada kemunduran. Tingkat transparansinya menurun.
  5. Dari berita beredar, sepertinya di MWA hanya 1 putaran, dengan perolehan angka: Ova 21, Deen 3, Bambang 1. Kenapa tidak ada final mempertemukan 2 calon? mungkin karena pemenang memperolah kemenangan telak. Kemudian disepakati tidak dilanjutkan. Cukup sudah. Atau, bisa jadi calon peringkat 2 menyatakan menerima, dan menyudahi saja prosesnya. Karena tidak ada live streaming, maka kemungkinan yang saya sampaikan di atas itu hanya tebakan saja.
  6. Angka perolehan di atas, menandakan Prof. Ova menang telak. Khusus analisis "kemanangan telak" ini ada di sini.
  7. Akhirnya UGM memiliki rektor perempuan yang dihasilkan dari proses pilihan sejak awal (bukan menggantikan).
  8. Prof. Ova menjadi rektor ke-3 UGM yang berasal dari FKKMK. Rektor UGM yang pertama dari FKKMK Prof. Sardjito, sekaligus rektor pertama UGM. Rektor UGM berikutnya dari FKKMK Prof. Jacob, atau rektor ke-7 UGM
  9. Prof. Ova merupakan rektor ke-17 UGM. Angka cantik hasil penyandingan dari angka 1 (Prof. Sardjito), dan 7 (Prof. Jacob).
  10. Fakultas Teknik UGM gagal membuat hattrick.

Catatan akhir
  1. Saya bukan orang yang punya hak pilih, lho.
  2. Saya mencoba melihat fenomena, kemudian menganalisisnya dengan pisau analisis saya secara pribadi. Latihan. Ini latihan nulis, dan mempertajam analisis.
  3. Yang membaca, jangan nesu, lho. Ini wujud kebebasan akademik. Saya memang blak-blakan.😅

Thursday 9 March 2023

Tendik, mari tengok buku Profesi Wong Cilik, agar landing secara soft

Mendaki itu mudah, seperti halnya mengejar cita-cita. Tapi kalau sudah tercapai, sesudah sampai di puncak, perjalanan kembali itulah yang berbahaya” (Pak Jaga, dalam Profesi Wong Cilik, halaman 264).

******

Saya melihat, pada tenaga kependidikan (tendik) di perguruan tinggi, ada keadaan yang berpotensi menimbulkan post power syndrome. Untuk siapa? 

Semuanya! Termasuk saya.

Meskipun demikian, sangat mungkin ada yang telah dapat menekan dan meminalisir potensi ini.

Potensi ini, khususnya berkaitan dengan jabatan struktural (eselon) yang ada di lingkungan tenaga kependidikan. 

Pada tenaga kependidikan, jarang saya temui seorang tenaga kependidikan yang menduduki jabatan struktural (eselon), kemudian berhenti (atau membatasi) pada suatu waktu tertentu, lalu kembali menjadi staf pelaksana biasa, tidak lagi memimpin.

Yang jamak terjadi, dia akan naik jabatan (jika berprestasi).

Namun, jabatan yang lebih tinggi tentu saja terbatas. Maka, kemungkinan kedua, yang umum terjadi adalah menduduki jabatan itu sampai pensiun.  Atau dipihdahtugaskan, dengan tetap pada jabatan atau jenjang jabatan yang sama.

Menurut saya, "kebiasaan" ini jika terus berlangsung berpotensi kurang sehat.

Setidaknya, kurang sehat ini terjadi pada dua kemungkinan.

Pertama, menghambat proses sirkulasi (bukan rotasi, lho) tendik potensial. Kedua, jika muncul perubahan, berpotensi kaget. 

Perubahan, owah gingsiring jaman yang membuat kaget ini, paling tidak ada dua hal. Pertama perubahan teknologi, yang kedua perubahan kebijakan. 

*** 

Kondisi ini, secara umum berbeda dengan dosen. Saat menduduki jabatan stuktural, kemudian selesai, maka kembalilah dosen itu ke jabatan dan pekerjaan aslinya: dosen yang mengajar. Keadaan berjalan normal. 

Setidaknya begitulah yang umum terjadi.

*** 

Di dunia ini, tidak ada yang tetap, kecuali perubahan. Begitu filosof masa lampau memandang keniscayaan perubahan. 

Orang jawa punya rumus owah gingsiring jaman. Jaman yang selalu berubah. Jika ada pada masa kurang baik, maka orang Jawa berharap, “Semoga suatu saat nanti akan nemahi (menemui) rejo rejaning jaman (zaman yang sejahtera)”.

Namun, orang jawa juga siap jika owah gingsiring jaman itu berlaku sebaliknya. Mereka punya rumus manjing ajur ajer, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan tetap memegang prinsip.

Pada kasus potensi post power syndrome di atas, rasanya (khususnya saya) tenaga kependidikan perlu belajar dari ungkapan Alimudin, seorang mantan bong supit, masih dalam buku Profesi Wong Cilik.

Alimudin jauh hari sudah meramalkan, bahwa karena obah osiking jaman (owah gingsiring jaman dalam ungkapan bahasa Banjarnegara), dia harus bergeser dari profesi bong supit, cari usaha lain. “Bisa manjing ajur ajer, agar tidak terkejut dan makan hati…”, ungkapnya.

***

Sehingga...

Menjadi PR besar bagian SDM, untuk menginternalisasikan cara pandang yang tepat atas sebuah pekerjaan dan jabatan. Membuat keadaan “berhenti menjabat”, khususnya jabatan eselon merupakan hal biasa, bukan akhir segalanya. Tengoklah lagi kutipan kata-kata Pak Jaga pada awal tulisan ini.

Prestasi besar bagian SDM bukanlah saat pegawainya sukses menduduki jabatan-jabatan penting. Namun kesuksesan bagian SDM adalah saat pegawai yang menduduki jabatan itu turun, tanpa post power syndrome.

Semua yang naik, harus siap untuk turun. Meski perjalanan turun itu lebih berbahaya, karena harus menahan beban berat tubuh, dia tetap harus turun. Karena pangkat lan jabatan mung sampiran. 

Turun dan mendarat harus dilakukan dengan soft.  Landing dengan soft pun, harus disiapkan jauh-jauh hari. Tidak serta merta menjelang turun.

https://www.instagram.com/p/CavlKMzP0CM/

Apakah setelah landing, seorang mantan pejabat tetap bisa memimpin?

Tentu bisa.

Pemimpin dan pejabat merupakan dua hal yang berbeda. Pemimpin lebih luas dan lebih tinggi tingkatannya dari sekedar pejabat.

Setelah landing, pada keadaan tanpa jabatan formal, mengacu Robin Sharma pada bukunya Leader Who Had No Title, seorang tenaga kependidikan tetap dapat memainkan perannya sebagai leader. Pemimpin tidak harus dengan memiliki jabatan (formal). Semua bisa menjadi pemimpin dalam arti luas, seluas-luasnya. Pemimpin model ini, justru bisa lebih merdeka.


“Kunci utama mencapai kemenangan spiritual adalah mengalahkan perasaan tertindas, tertekan, terkalahkan, dan lain sebagainya.” (Batur, dalam Profesi Wong Cilik, hal. 248).


Sambisari,
9 Maret 2023
05.42 pagi


Saturday 18 February 2023

Buku LI-nya FPPTI: catatan pungkasan saya

Telah ada 3 tulisan saya sebelumnya, yang membahas buku LI-nya FPPTI yang baru. Pertama secara umum, kedua terkait Bab 5, dan yang ketiga tentang Bab 2.

Sebelumnya, sebagai bagian dari proses komunikasi (agak) ilmiah, saya hendak mencoba menuliskan telaah pada setiap bab buku tersebut. Sebagai produk yang dikonsumsi publik, tentu saja bukan hal terlarang untuk ditelaah. Saya melakukan telaah bukan karena saya sempurna, melainkan karena menjadi bagian dari proses saya belajar. 

Namun, agaknya berat jika meneruskan telaah semua bab. Selain itu, kawan saya, Kang Yogi dalam grup Pustakawan Blogger menyarankan agar disudahi saja. Sebagai junior saya ngestoake dhawuh senior. Saya sudahi saja telaah per bab, saya alihkan ke catatan pungkasan.

Dan, tulisan ini merupakan catatan akhir atau pungkasan itu.

Buku LI-nya FPPTI terbit November 2022. Jika dihitung sampai saat ini, saat tulisan ini saya buat, usia terbitnya sekitar 3-4 bulan. Pada halaman sampul tertulis judul dan logo FPPTI + tahun 2022.  Judul lengkapnya Panduan Literasi Informasi Pendidikan Tinggi. Tidak ada nama penulis.

Nama-nama yang bertanggung jawab atas buku ini ditulis di halaman ii. Nama yang ditulis dikelompokkan pada beberapa peran. Pertama tertulis Tim Pengarah (4 nama),  Penyusun (1 nama dengan keterangan “Ketua Tim”), Tim Perumus (5 nama), Tim Ahli (5 nama), Tim Penyusun (5 nama), Tim Pelatih (2 nama), Tim Reviewer (2 nama), Editor (2 nama), Sekretaris (2 nama). Total ada 28 nama.

Pada halaman iii tertulis hak cipta 2022 Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Pada halaman iv tertulis Katalog dalam Terbitan (KDT), yang memuat informasi penerbit Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti dan FPPTI. 

Namun yang saya belum paham, pada bagian lain di halaman iv, yang tegas ditulis sebagai penerbit hanya FPPTI.

Munculnya nama Kemenristekdikti ini dikuatkan oleh Ketua FPPTI pada halaman v, yang menyebutkan bahwa buku ini lahir dari usulan FPPTI pada Dirjen PRP Kemenristekdikti.

*** 

Berdasar pembacaan saya, yang sebagian telah saya tuangkan pada 3 tulisan sebelumnya, maka ada beberapa catatan pungkasan saya pada buku ini.

Pertama, buku ini terbit November 2022 dengan penerbit (sebagaimana tertulis pada KDT) Kemenristekdikti dan FPPTI. Jika dirunut, pada 2021 Ristek menyatu dengan Kemendikbud. Maka bisa dianggap buku ini terbit terlambat. Diterbitkan oleh institusi, yang saat tahun terbit, institusi tersebut sudah tidak ada.

Kedua, naskah buku ini saya anggap belum selesai sepenuhnya. Setidaknya saya berkesimpulan demikian karena saya (dengan segala kekurangan saya) menemukan berbagai kesalahan yang seharusnya tidak terjadi untuk sebuah buku yang ditulis oleh nama-nama kredibel dan telah tinggi jam terbangnya. Apalagi diberi testimoni sangat positif oleh dua akademisi, salah satunya merupakan guru besar.

Kesalahan tersebut, yang sepele misalnya salah ketik, juga pilihan kata yang tidak tepat. Kemudian yang agak berat misalnya kalimat yang rancu, definisi yang tanpa referensi, bahkan ada referensi yang saya belum temukan di daftar pustaka.

Ketiga, sebagai sebuah buku panduan, buku ini tetap dapat digunakan untuk pustakawan yang hendak belajar menjalankan praktik mengajar literasi informasi sesuai dengan konsep yang diusung buku ini. Namun, jika hendak digunakan sebagai pengayaan teoritis, menurut saya tidak sepenuhnya (bahkan kurang) layak. 

Kenapa? Ada pernyataan yang tanpa dilandasi argumen ilmiah dan referensi. Misanya pada penentuan jurnal atau konferensi yang kredibel dengan melandaskan pada Scopus, Beallslist, ScimagoJR, juga ScolarlyOA.

Keempat, dengan catatan-catatan kekurangannya, buku ini dapat dijadikan contoh karya yang berbeda antara idealisme isi dan kenyataannya.

Misalnya, pada halaman 78 disebutkan tindakan plagiarisme yang tidak disengaja. Dua diantaranya tidak konsisten dalam menggunakan model sitasi, dan jumlah antara sumber yang dikutip dalam teks berbeda dengan yang tercantum dalam daftar pustaka.

Sebatas yang saya lihat, buku ini tidak konsisten dalam menggunakan model atau gaya penulisan sitasi dan referensi, juga berbeda jumlah antara referensi yang ada di teks dan daftar pustaka.

Dengan kalimat pendek, kesimpulan saya: meski mendakwa diri sebagai panduan literasi, buku ini sendiri kurang literasi.

***

Sebagai tambahan informasi, pada halaman sampul belakang, tertulis testimoni dari 2 pengajar Ilmu Perpustakaan.


Terima kasih


Bab 2 buku LI-nya FPPTI yang baru, apa catatan saya?

Oke, sekarang masuk ke Bab 2.

Kenapa tidak urut Bab 4?

Bab 4 halamannya cukup banyak, sehingga berpotensi membuat saya lelah fisik dan pikiran. Saya cari yang sedikit halamannya saja.

Bab 2 berjudul Penelusuran Sumber Informasi yang Reflektif, dimulai dari halaman 25 sampai 43. Total 19 halaman.

Halaman 25 kita mulai dari bagian tujuan instruksional. Bagian ini terdiri dari 10 baris, kurang lebih 70 kata, yang hanya dimuat dalam 1 kalimat. Bayangkan saat membaca, agaknya kesulitan ambil nafas. Terengah-engah.

Halaman 26 terdapat saltik “post tes”. Lanjut di halaman 27 muncul “praktek”, “weaving” yang pada bagian glosari (?) ditulis “Waving”.

Eh, kenapa di akhir glosari saya beri tanda tanya?

Coba cek di KBBI, ya.

Pada halaman ini juga muncul “dimana”. Agaknya ada pengaruh “where” dalam bahasa Inggris. 

Pada halaman 28 masih muncul “praktek”, bahkan lebih dari 1 kali. Ada pula ketidakkonsistenan penulisan huruf pada kata yang mengawali tahapan. 

Pada halaman 29  muncul “dimana”, serta penggunaan yang kurang tepat pada kalimat.

Kalimatnya begini, “Ada beberapa pengertian topik,  dimana berasal dari Bahasa Yunani, yaitu topoi yang artinya inti utama…(dst)”.

Keanehan lain terdapat pada kalimat ini, “Dari dua definisi tersebut memiliki kesamaan, yaitu topik merupakan pokok pembicaraan atau permasalahan yang dibahas.”

Halaman 30 muncul domain Rama dan Garuda yang menginduk ke ristekdikti. Muncul juga kata “peserta”, yang kurang sinkron dengan “Saudara” di Bab 5. 

Masih di halaman 30, penjelasan tentang Contribution terasa rancu. Lihat tangkapan layar di bawah ini.


Pada halaman 31 terdapat awal kalimat, “Berdasarkan tahapan di atas tadi, …”. 

Kemudian ada penyebutan “Misalnya:” untuk mengawai tabel. Alangkah lebih oke jika langsung disebut nomor tabelnya.

Pada halaman 32 terdapat 2 kalimat yang harusnya ada pada paragraf yang sama, namun dipisah.

Kemudian ada kalimat, “Dari pencarian menggunakan website xxxx, misalnya ditemukan kata kunci pencarian dari kata-kata di atas adalah:”. Aneh, ndak?

Halaman 33 terdapat kata “form” tanpa cetak miring. Sederhana, sih. Tapi tetap keliru.

Pada halaman ini masih saja muncul “dimana” yang dekat dengan “where” sebagai penghubung dalam ungkapan bahasa Inggris.

Penyebutan informasi dalam tabel dengan tanpa menyebut tabel juga terjadi di halaman 33.

Bukankah menyebutnya nomor tabel merupakan hal dasar dalam menulis ilmiah?

Lanjut ke halaman 34. Muncul “sintaks”. Cek di KBBI, ya.

Halaman 35 muncul kata “frase” ketika menjelaskan tanda petik dua dalam strategi pencarian. Kalimat lengkapnya silakan lihat pada gambar di bawah ini.


Jika dicari di KBBI, frasa (pakai a) berarti gabungan dari dua kata atau lebih. Cek di KBBI.

Halaman 36 masih terdapat kata “sintaks”, juga “dibawah”. Pada halaman 37 ada kekeliruan penulisan “sciencedirect” pakai “s”. 

Halaman 38 terdapat 3 kata “adalah”, yang dipakai untuk menyebutkan contoh. Menurut saya, lebih tepat menggunakan “yaitu”, atau “misalnya”.  Coba cek arti “adalah” di KBBI. Pada halaman 38 juga terdapat kalimat yang rancu, bahkan ada 2. 

Begini kalimat itu:

1. Informasi tentang sumber primer yang disusun secara sistematis supaya mudah diakses.

2. Sumber tersier (..) merupakan memuat informasi berupa saringan, rangkuman atau kumpulan dari sumber primer dan sekunder.

Halaman 39 terdapat tabel yang tanpa nama dan nomor. Tentu ini beda dengan tabel sebelumnya. Muncul pula “adalah”, serta kalimat yang belum selesai. Begini kalimat itu, “Sumber referensi ini ada yang tercetak atau biasa disebut dengan buku referensi.”

Selain tercetak tidak disebutkan.

Masih di halaman 39, terdapat definisi “data” namun tanpa referensi. Hal serupa ada di halaman 40, yang terdapat definisi kearifan lokal tanpa referensi.

Halaman 40 juga terdapat “disini”, juga pengulangan “dilakukan” dalam 1 kalimat. Halaman 41 juga terdapat pengulangan kata “melihat” dalam 1 kalimat, kemudian diulangi pada kalimat berikutnya.

Halaman 42 terdapat kata “rate” yang dipetik. Apakah ada maksud khusus dari “rate” ini hingga perlu diapit tanda “? Mungkin lebih tepat dicari istilah pengganti saja. 

Halaman 43 terdapat contoh soal dan jawabannya.

Contoh soal itu begini,  “Carilah semua website tentang korupsi dari semua website berdomain pendidikan universitas”.

Soal di atas tidak diakhiri oleh tanda baca apapun. Di bawah soal terdapat jawaban: intitle:korupsi site:edu

Apakah jawaban tersebut sudah mewakili perintah pencarian ke “semua”?

Bagimana dengan domain *.ac.id?

*****

Paijo: sudah kumplit 19 halaman, Kang?

Referensi:

https://ivanlanin.wordpress.com/2009/12/15/di-mana/ 


Friday 17 February 2023

Bab 5 Buku LI-nya FPPTI yang baru: saltik; kalimat yang tidak nyambung, tidak efektif, dan....

Karyo: Lanjut, Jo?

Paijo: Gass, Kang.

Bab 5 terdiri dari 18 halaman, mulai dari 103-120, judulnya Diseminasi Pengetahuan Baru. Bab ini merupakan bab yang hampir terakhir, sebelum penutup. Oia, postingan ini merupakan lanjutan dari postingan sebelumnya, yang ada di sini.


Oke, saya akan coba ulas per halaman.

  1. Pada halaman 103 terdapat pemborosan kata “mampu” dan “dapat” yang muncul bersamaan, jejeran, alias berdampingan. Selain itu, pada halaman ini juga muncul kata “Pelatih”, padahal di bagian lain menggunakan kata “Pengajar”. Agaknya karya ini bentuknya kumpulan, lalu penyelaras bahasa kurang optimal perannya. Atau, mungkin tidak ada penyelaras bahasa.
  2. Halaman 104 terdapat kata “praktek”, padahal di KBBI tertulis “praktik”. Juga kata “researchgate” dengan “r” kecil. Jika ini dimaksudkan sebagai nama, maka seharusnya “R”. Reseachgate pada halaman ini disandingkan dengan jurnal, prosiding, dan repositori. Sudah tepatkah? Menurut saya tidak tepat.
  3. Lanjut halaman 105, ya. Pada halaman ini tertulis “pos-tes”, “mempraktekkan”, awalan point dengan huruf kecil: “refleksi”, “Waving” yang pada bagian lain tertulis “weaving”,  “praktek” muncul lagi.
  4. Halaman 106 saya lihat ada kalimat-kalimat yang tidak efektif, tidak nyambung dengan kalimat sebelumnya. Ada kata “peserta” dan “penelitian” yang muncul pada sebuah kalimat secara tiba-tiba, serta penulisan “di” yang tidak tepat. Bagian ini membahas pentingnya diseminasi karya ilmiah, namun tidak disertai referensi. Okelah, mungkin memang tidak mengutip. Ketidakkonsistenan tanda titik juga muncul di halaman ini.
  5. Lanjut ke halaman 107. Terdapat kata “dalam” pada kalimat pertama, yang rasanya kurang pas. Kemudian kata “mengkomunikasikan”, adanya perulangan frasa  dalam kalimat, definisi tanpa disertai referensi, kalimat yang membingungkan, penulisan “peer review” yang tidak konsisten.
  6. Halaman 108 juga saya cermati. Penulisan nama (bukan istilah) kenapa ditulis miring, ya? Misalnya Elsevier. Pada bagian ini terdapat kalimat yang menghadap-hadapkan jurnal “berbayar” dan “open access”. Agaknya itu tidak tepat. Penulisan “open access” sebagai istilah pun keliru, karena ditulis dengan diawali huruf kapital.
  7. Oke, mari lanjut ke halaman 109. Muncul kata “diatas”, yang seharusnya “di atas”. Sederhana, sih. Tapi fatal untuk sebuah buku level nasional yang ditulis banyak orang. Lanjutkan. Pada halaman ini juga ditulis ResearchGate yang dicetak miring. Ada pula “academia.edu” yang penulisannya kurang tepat. Academia.edu yang sudah ditulis itu, kemudian diulang di kalimat yang sama, namun dengan menulis url. Jika konteksnya penyebutan nama, mestinya tetap nama.
  8. Pada halaman 110 terdapat penulisan urutan langkah yang tidak konsisten dalam penempatan tanda “.” (titik). Penulisan “researchgate” dan “academia.edu” yang tidak konsisten di halaman sebelumnya, berlanjut pula di halaman ini.
  9. Halaman 111 ada tanda baca yang tidak tepat. Misalnya terdapat kalimat yang seharusnya menggunakan “,” serta penulisan tanda “.” pada akhir point. Penulisan url Sinta juga tidak konsisten dengan halaman lainnya.
  10. Penggunaan tanda baca, dan ketidakkonsistenan penulisan alamat Sinta juga muncul di halaman 112.
  11. Pada halaman 113,  muncul pula ketidakkonsistenan dalam mengakhiri point. Selain itu, ada 1 kalimat yang boros, hanya mengulang apa yang sudah sebut sebelumnya. Halaman ini membahas jurnal internasional dan jurnal internasional bereputasi, menggunakan rujukan tahun 2016. Agaknya lebih baik lagi rujukannya ditampak PO PAK Dikti 2019.
  12. Lanjut halaman 114. Terdapat penulisan “Quartile journal”, huruf “Q” kapital, sementara “j” kecil. Penulisan SCIMAGOJR juga tidak konsisten. Pada halaman ini terdapat kata sapaan orang ke-2: “Saudara”, yang sepertinya tidak sinkron dengan bagian lainnya. Saltik juga ada pada halaman ini. Penulisan jurnal dan conference yang bersandingan (padahal keduanya beda). Lho kok beda? Ya bedah, dong. Jurnal itu bahasa Indonesia, sementara conference bukan. Mbok ya pakai yang sama-sama bahasa Indonesia saja. Selain itu ada juga penulisan “Questionable Journal”.
  13. Halaman 115. Pada halaman ini, penulis buku cukup berani menuliskan alamat web Beallslist dan Scholarlyoa. Okelah, mungkin mereka punya pertimbangan, namun paling tidak harus ada landasan ilmiahnya. Lanjut… Ada yang fatal di halaman ini, yaitu penulisan ciri jurnal (dan konferensi) yang diragukan, namun kalimat awalnya tidak lugas dalam menjelaskan. Terdapat kalimat kalimat penjelas setelahnya, namun juga tidak lugas.
  14. Halaman 116. Pada halaman ini, sub bab 5 dimulai dengan kalimat yang menurut saya rancu atau minimal maknanya sulit ditangkap. Begini kalimat itu, “Diseminasi karya ilmiah pada jurnal ilmiah perlu pemahaman yang jelas tentang ruang lingkup karya ilmiah yang kita miliki. Menelusuri jurnal ilmiah sesuai bidang ilmu karya ilmiah yang kita milili”. Beberapa saltik juga ada pada halaman ini.
  15. Halaman 117. Saltik ada juga di halaman ini, selain itu terdapat kalimat yang agaknya bagian dari alur/proses namun ditulis terpisah. Pada halaman ini, mak bedunduk muncul “OJS”.
  16. Halaman 118. Terdapat kalimat penjelas langkah submission sangat tidak efektif. Juga ada potongan kalimat ini, “… maka penting baginya untuk memiliki profil penulis atau ID Unik Penulis.” Apa dasar huruf “U” dan “P” ditulis kapital?
  17. Pada halaman 119 muncul lagi kata “Saudara”. Saltik juga tetap muncul di halaman ini, juga ketidakkonsistenan penulisan nama yang kadang diawali huruf kapital, kadang kala tidak.

 Total 17 halaman, ya. Semua ada catatannya.

Karyo: Weh. Setiap halaman kamu baca, Jo? Kamu mengambil alih tugas editor.  Njuk oleh bayaran piro? Trus apa tulisanmu di atas sudah benar semua tanpa salah.

Paijo: Weh, ya ndak bayaran, tho. Ini kerja probono. Aku bukan proyektor, Kang. Hh. Dan tentu saja, tulisanku pasti ada salahnya. Tugas sidang pembaca untuk mengoreksinya. 

Karyo: Wuih, gayamu, Jo. 

Eh, terlewat. 

Terakhir, halaman 120 yang hanya terdiri dari setengah halaman. Namun, apakah lolos dari coretan saya? Tidak. Silakan cek, ya. :)

Gass. Total 18 halaman.

                                                                                                                                                  

Wednesday 15 February 2023

Buku LI-nya FPPTI yang baru, pakai rujukan apa?

Sudah saya bilang berkali-kali, literasi informasi (LI) jadi tuah sakti bagi pustakawan, tidak terkecuali pustakawan perguruan tinggi.

Berbagai kegiatan berjudul LI pun dikembangkan, baik semacam pelatihan maupun seminar atau lainnya. Termasuk oleh FPPTI,  organisasi hebat pustakawan perguruan tinggi, yang akhirnya menerbitkan buku tentang LI.

Bukan yang pertama sih, tapi patut dihargai. Sebelumnya ada beberapa perpustakaan atau pustakawan yang sudah menyusun buku-buku tentang LI. 

Tujuannya satu: meningkatkan posisi tawar pustakawan. Lainnya merupakan tujuan turunan saja.

*****

Selasa, 14 Februari 2023, di hari valentine dan tepat 1 tahun menjelang pemilu 2024, saya hadir di acara Musda FPPTI DIY. 

Sst. Ini kegiatan saya ikut seminar pertama secara luring, setelah sekian lama mengundurkan diri dari hiruk pikuk kegiatan serupa. :)

Di depan pintu masuk ruang acara, ada meja yang memajang buku-buku. Tampaknya juwalan. 

Saya dekati. Semua buku yang ada di meja tentang perpus. Akeh pokoke. Salah satunya ya buku LI-nya FPPTI tadi. Judulnya “Panduan Literasi Informasi Pendidikan Tinggi”, terbit November 2022, penerbitnya FPPTI.

Buku setebal 148 halaman ini dibandrol 110.000 diskon 10%. Dua lembar uang 50-an ribu saya berikan ke penjual, saya dapat kembalian 1000. Harganya jadi 99.000.

Mahal?

Iya. Untuk ukuran buku setebal 148 halaman, menurut saya mahal. Jika dibelanjakan untuk buku lain, uang 99.000 sudah dapat buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat-nya Mark Manson. Atau sudah bisa bawa pulang Homo Deus-nya Harari, atau kalau mau Sapiens, tinggal nambahi sedikit.

Tapi, buku LI-nya FPPTI itu tetap saya beli.

Kenapa?

Saya penasaran. Setelah pernah merasa kecewa oleh buku LI yang terbit sebelumnya, saya berharap banyak pada buku LI-nya FPPTI ini.

Oia, apa sebab saya kecewa pada buku LI yang sebelumnya saya beli?

Karena isinya (pinjem istilah Pak Faiz, kawan saya) klak-klik. 

*** 

Setelah saya dapat kembalian 1000 rupiah, buku saya terima, lalu saya duduk manis di kursi deretan belakang. Saya buka buku baru itu. Saya bolak-balik halaman isinya. Acak.

Mak jenggirat.

Kesan pertama saya ada pada penomoran halaman. Terdapat 4 halaman yang isinya berupa tabel dan berurutan, tepatnya nyambung. Disajikan berdampingan tapi ungkur-ungkuran, landscape, nomornya ada di sisi luar. 

Bisa dibayangkan. Betapa sulit jadinya saat hendak membaca.

Anda sulit membayangkan?

Maafkan. 

Halaman yang saya maksud yaitu 20-21, 22-23.

** 

Oke. Mari kita lihat daftar isinya. Buku ini, sebagaimana diklaim dalam sambutan ketua umum FPPTI (hal. v), difungsikan sebagai instrumen  pemetaan kompetensi literasi informasi, selain itu juga berwujud modul pelatihan LI.  

Dari dua klaim fungsi buku di atas, isi buku dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian 1 berjudul Panduan dan Framework Literasi informasi. Bagian ini hanya berisi 1 bab saja, yang isinya dibagi dari a sampai g.  Framework yang dibahas dalam bagian  ini, sayang sekali tidak dilengkapi dengan gambar.  

Kemudian Bagian 2 yang diberi judul Modul Literasi Informasi. Bagian ini terdiri dari 4 bab, di awali dengan GBPP (Garis Besar Pengajaran Pelatihan). Setiap bab, agaknya, merupakan penjabaran 4 framework yang dijelaskan di Bagian 1.

Oia, "Bagian" yang saya tuliskan di atas ada dalam isi, mengawali Bab terkait. Namun, "Bagian" itu tidak ditulis pada daftar pustaka. Kenapa? Entahlah.

Setiap framework pada Bagian 2 diulas dalam bentuk SAP alias Satuan Acara Pelatihan. 

Saudara-saudara yang berbahagia. 

Pada bagian inilah, akhirnya lagi dan lagi… saya menemukan  panduan teknis. Ada petunjuk yang berbentuk instruksi klak-klik. Misalnya hal 92-93 tentang Mendeley, 101 tentang edit video, 98 tentang Canva, 109 tentang academia edu, 113 tentang ScimagoJR, serta masih ada lainnya.

Ada pula gambar yang semestinya sudah tidak relevan lagi. Gambar pada  halaman 91 berupa tangkapan layer menu literature search di Mendeley. Padahal, fitur ini sudah lama tidak ada di Mendeley Desktop. Mendeley Desktop pun sebenarnya sudah tidak didukung lagi sejak 1 September 2022, sebulan sebelum buku terbit.

***

Berikutnya terkait tata tulis. Saya nemu beberapa kekeliruan. Misalnya “paraphrase”, yang jika dicari di KBBI akan ditemukan “parafrasa”, pakai “a” bukan “e”. Lebih jelas dapat dilihat di halaman 87. Pada halaman vi juga terdapat saltik. Pada halaman 48 terdapat kesalahan penulisan "di". Pada halaman tersebut "disitus" ditulis gandeng. Juga "diatas". Mungkin juga ada di halaman lainnya.

Cetak miring untuk istilah asing juga kurang konsisten. Misalnya di halaman 55, essential oil tidak dicetak miring. Padahal, masih di halaman yang sama, ada istilah asing yang dicetak miring.

Pada halaman 69-72, terdapat penulisan contoh kerangka tulisan. Namun, rasanya jarak barisnya sangat mengganggu pembaca. 

Buku ini diklaim terbit November 2022. Terhitung baru. Usianya pun, jika dihitung sampai saya menulis review ini, baru 3-4 bulan. Namun, pada halaman 15, saat menjelaskan tentang url Sinta, masih menggunakan sinta.ristekbrin.go.id. Ketidakkonsistenan penulisan URL Sinta juga terlihat di halaman 112. Pada halaman ini, URL Sinta ditempel pada domain ristekdikti, bukan ristekbrin sebagaimana halaman 15. Itupun Sinta2. Padahal, URL Sinta sudah berganti menjadi kemdikbud.

Kemungkinan ini akibat penulisan bareng-bareng, yang penyelaras bahasa-nya kurang kuat berperan.

***

Pada halaman 76, ada penjelasan tentang plagiat yang diambil dari Permendikbud tahun 2010. Padahal, sudah ada Permen baru terkait penegakan integritas dalam publikasi, yaitu Permendikbud nomor 39 tahun 2021 yang di dalamnya juga membahas tentang plagiat.  

Jika buku ini terbit November 2022, semestinya acuan tentang plagiat dapat dipakai yang lebih baru.


-----------***-------------

Catatan (mungkin) yang terakhir.

Pada daftar pustaka tercantum 13 karya. Dari 13 karya itu, yang terbit 2016 ada 2, 2019 ada 1, 2020 ada 1, selain itu terbitan 2013 dan lebih tua lagi. Paling tua, saya lihat tahun 1999. Judulnya the plague of plagiarism. 

Sebagai karya yang terbit 2022, agaknya, hmmm, referensinya kurang kuat.

Pada penulisan daftar pustaka pun ada ketidakkonsistenan. Ada judul karya yang ditulis dengan title case, ada pula yang sentence case. 

Duh.

Referensi framework pada buku ini diklaim dinisbahkan pada Information Literacy Competency Standards for Higher Education dari ACRL 2018, sebagaimana disebutkan pada halaman v, serta pada Bagian 1 halaman 4.

Namun, saya coba cek di daftar Pustaka, tidak saya temukan referensi di atas. 

Nah.

Kalau dari URL ini, https://alair.ala.org/handle/11213/7668, Information Literacy Competency Standards for Higher Education itu berangka tahun 2000, bukan 2018. Yang lebih baru dari 2000 ada, yaitu 2016. Namun judulnya "Framework for Information Literacy for Higher Education" bukan seperti yang ditulis pada buku LI-nya FPPTI. 

Lalu, buku itu pakai referensi yang mana?

Entahlah.

-----**--------

Oke. Dari beberapa catatan di atas, apakah buku literasi ini sudah masuk kategori literate?

Monggo, jika perlu dijawab, boleh dijawab.

Kemudian, apakah buku ini layak dibeli. 

Nah. Kalau ini, ya jelas layak-lah. Wong saya juga beli. :)

Kawan, kalau anda punya uang berlebih, dan ingin tahu LI, belilah. Itung-itung menghargai karya FPPTI, organisasi hebat perpustakaan perguruan tinggi Indonesia.

Namun, jika anda tipis uang, jangan beli. Pinjamlah saja di perpustakaan.

Saran saya logis, kan?

Apalagi buku ini dibuat dengan melibatkan banyak orang, dengan beragam peran. Mulai dari pengarah, penyusun, perumus, tim ahli, tim pelatih, reviewer, editor, dan sekretaris. Total saya hitung ada 28 nama untuk semua peran itu. 

Selain itu, di sampul belakang juga tertulis testimoni 2 begawan ilmu perpustakaan Indonesia. Yang, tentu saja, sebelum memberi testimoni pasti sudah membaca keseluruhan isi buku.

Kurang apa lagi?

Kurang referensi? #ups