Monday 29 October 2007

,

Integrasi klasifikasi ilmu

Pada massa sekarang ini ada kecenderungan dualisme ilmu (sebagian menyebut dikotomi). Keduanya adalah ilmu “agama” dan “ilmu sekuler”. Menurut Prof. Mulyadi Kartanegara, dikotomi ini merefleksikan dua warisan epistomogi yang mempunyai sejarah yang berbeda. Ilmu agama diambil dari warisan tradisional agama/timur (dalam hal ini Islam) dan ilmu sekuler diambil dari tradisi ilmiah barat, yang tidak mau membicarakan hal-hal yang metafisik.

Beliau juga menjelaskan bahwa dalam dunia Islampun ada dualisme sejenis, namun dualisme ini tidak sampai merusak integrasi ontologi dan epistemologi. Dalam Islam dikotomi ini hanya pada metodologi saja, yaitu mengenai bagaimana ilmu itu diperoleh, pertama dengan intuisi, langsung atau ilmu laduni dan yang kedua adalah dengan penalaran rasional dan ketiga adalah observasi. Dalam aras ontologi, ilm aqli mempunyai kepercayaan kuat pada status ontologi baik benda fisik dan nonfisik.

Salah satu akibat dari dikotomi ilmu pada masa sekarang ini adalah klaim kebenaran sepihak. Pendukung ilmu agama mengatakan bahwa sumber kebenaran hanya ada pada wahyu Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian, mereka menolak sumber-sumber non-sriptural. Indra dan nalar diragukan validitas dan efektifitasnya. Dipihak lain para pendukung ilmu sekuler menyandarkan kebenaran hanya pada pengamatan indrawi saja. Nalar/rasio/akal sering dicurigai. Setinggi-tingginya tingkat pencapaian nalar seseorang masih dipandang sebagai spekulatif, sedang pengalaman intuisi dianggap sebagai halusinasi saja. Sementara untuk para agamawan, intuisi (hati) merupakan sumber kebenaran yang tinggi karena dengan intuisi dan kebersihan hati inilah para nabi mendapatken kebenaran dari Tuhannya (wahyu).
Selain itu akibat yang tidak kalah fatal adalah pada obyek ilmu yang dianggap sah untuk dijadikan bahan kajian. Sains modern meyakini bahwa obyek ilmu yang sah adalah obyek yang dapat diindera. Maka obyek yang tidak dapat diindera adalah tidak sah untuk dijadikan obyek kajian ilmu dan tidak mencapai status ilmiah.

Berkaiatan dengan hal diatas, Prof Mulyadi menawarkan integrasi ilmu (meskipun istilah ini sudah bukan istilah asing lagi).
Konsep integrasi ilmu, dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid. Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai “tiada tuhan selain Allah”. Kalimat ini adalah dasar dari keislaman seseorang. Bagi para filosof Muslim, kaimat tauhid ini mengindikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simple (basith), tidak boleh tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak mempunyai genus dan spesies, sehingga pada diriNya esensi dan eksistensi menyatu, tapi bukan satu. Jika kita katakan “Mobil itu ada satu” atau “di garasi ada mobil satu” maka yang kita lihat adalah sebuah mobil yang terdiri dari roda, kemudi, body, mesin dan lain sebagainya. Namun Allah tidak terdiri dari berbagai spesies seperti laiknya mobil. Jika contoh mobil tadi kita gantikan dengan manusia, disebut manusia karena mempunyai berbagai organ untuk menjadi sempurna. Namun Allah Maha Sempurna dengan tidak terdiri dari berbagai dzat. Allah ada dengan dzat Nya sendiri.

Para sufi menyatakan arti kalimat tauhid diatas berbeda dengan para teolog. Mereka lebih mengartikan kalimat diatas dengan “tiada realitas yang betul-betul sejati kecuali Allah”. Maka sesungguhnya alam yang ada ini bukan realitas sesungguhnya. Yang ada pada alam semesta ini adalah tidak abadi. Yang abadi hanyalah Allah. Alam dengan berbagai isinya merupakan medan kreatif Allah dalam menampakkan kekuasannya. Mempelajari alam berarti juga berusaha untuk mempelajari dan mengenal cara kerja Allah di alam semesta. Mempelajari alam mendorong kita meyakini keberadaan Allah. Fenomena alam menjadi tanda yang dengannya kita diberi petunjuk keberadaan, kasihsayang dan kebijakan serta kepintaran-Nya.
Realitas alam semesta sesungguhnya menuju kepada titik yang sama. Yang membedakan hanyalah gradasinya yang berbeda karena esensinya. Karena kesamaan ini maka sama pula secara ontologi, sehingga segala tingkat wujud menjadi sah dan valid untuk menjadi obyek ilmu.

Salah satu dari tawaran beliau adalah integrasi klasifikasi ilmu (dua lainnya adalah Integrasi Metodologi dan Integrasi Ontologi serta integrasi ilmu Agama dan rasional)
Hal inilah yang menarik bagi para pustakawan, khususnya pustakawan Muslim dengan koleksi khazanah keislaman.
Integrasi klasifikasi ilmu ini diperlukan, karena akan berpadanan dengan struktur ontologis obyek ilmunya.
Al Farabi, membagi klasifikasi ilmu menjadi tiga.
a. Metafisika
b. Matematika
c. dan Ilmu Alam, ketiganya mempunyai derivasi masing-masing.

Dalam klasifikasi ini, belum terlihat jelas integrasi antara ilmu agama dan rasional. Baru pada klasifikasi ilmu oleh Ibn Khaldunlah (wafat 1406 M) integrasi ini terlihat jelas. Ibn Khaldun membagi ilmu pada dua bagian besar.
ilmu agama (naqli/transmitted)
dan kedua adalah rasional (aqli)

Ilmu naqli menurut Ibn Khaldun terdiri dari
a. tafsir quran dan hadis
b. fiqih
c. tafsir ayat mutasyabihat
d. kalam
e. tasawuf
f. tabir mimpi

Ilmu pada klasifikasi naqli ini, bersifat praktis bukan teoritis, yaitu untuk menjamin penerapan hukum-hukum.
Ilmu rasional/aqli terbagi menjadi empat bagian
logika
a. burhani (demonstrasi)
b. jadali (dialektika)
c. khitabah (retorika)
d. syir (puisi)
e. safsathah (sofistry)
f. ilmu fisika
g. matematika
h. metafisika

Integrasi ilmu dalam klasifikasi Ibn Khaldun ini, tidak dijelaskan lebih mendetail oleh Prof. Mulyadi. Sehingga bisa jadi dengan klasifikasi diatas (tanpa penjelasan mendetail) justru orang akan mengira bukan klasifikasi yang terintegrasi, melainkan justru dikotomi ilmu (pen.)
Kesamaan yang didapat dari klasifikasi diatas hanyalah kesamaan ontologisnya. Klasifikasi ilmu, merupakan aktifitas ideologis (Sardar, 1993). Itulah sebabnya, klasifikasi ilmu dalam DDC, UDC dan LC tidak sesuai dengan pandangan-pandangan selain pandangan barat. Khususnya pada klasifikasi khusus agama. Dalam klasifikasi barat ini, agama atau Islam ditempatkan pada “sub judul”. Karena menurut mereka agama hanyalah bagian dari satu pola total. Namun pada tradisi timur, Islam khususnya Agama (Islam) merupakan semua pola dalam semua aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Para pustakawan dan ilmuan informasi Muslim harus membuat skema klasifikasi sendiri untuk pola sejarah dan kultur yang khas.
Al Kindi (807-973M), (filosof Islam pertama yang menerjemahkan karya Aristoteles ke bahasa Arab), seorang pustakawan di bayt Al Hikmah, adalah salah satu orang yang menciptakan klasifikasi ilmu dalam Islam. Klasifikasi ilmu merupakan salah satu titik tekan aktifitas berfikir pustakawan. Bagi mereka, epistemologi merupakan bagian/paruh dari aktivitas pustakawan. Tatanan koleksi dirak, pengorganisasian informasi, menunjukkan ideologi para pengelolanya. Sehingga pengorganisasian informasi dan ilmu pengetahuan merupakan aktivitas ideologis.

Sumber:
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu: sebuah rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan, 2005

Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam abad 21: menjangkau informasi. Bandung: Mizan, 1993

Sendowo f145 yogyakarta
Jum'at pagi, hari pertama bulan desember tahuan duaribu enam

Friday 26 October 2007

Tan Malaka dan buku-buku

Meskipun namanya tidak banyak dikenal, namun Tan Malaka merupakan satu dari sekian banyak pahlawan nasional bangsa Indonesia. Pengakuan ini tersurat dalam Kepres no 53 tahun 1963, pada masa Presiden Sukarno. Banyak karya Tan Malaka yang terdokumentasikan. Pandangan Tan Malaka mengenai pepustakaan ini, diambilkan dari salah satu bukunya yang terkenal, yang menjadi magnum opusnya, MADILOG (Materialisme, Dialektika dan Logika). Buku ini ditulis dalam jangka waktu 8 bulan, atau 720 jam, dengan rata-rata 3 jam sehari.

Dalam bab mengenai perpustakan, Tan Malaka menuliskan kisah tentang Leon Trotsky, yang membawa buku-buku dalam pembuangannya selama di Alma Ata. Selain itu Tan Malaka juga menyebutkan bagaimana Moh Hatta dengan peti-peti bukunya selama dipembuangan. Tan Malaka mengenang itu dan menyatakan selalu gagal jika ingin melakukan hal serupa.
Satu pernyataan menarik Tan Malaka adalah “bagi seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti disebarkan baik dengan pena maupun dengan mulut, diperlukan pustaka yang cukup.’

Penulisan bab mengenai perpustakaan, atau lebih tepatnya mengenai pustaka, oleh Tan Malaka dimaksudkan untuk menandaskan, bahwa dalam buku ini (MADILOG) Tan Malaka tetap menggunakan berbagai rujukan dalam penulisannya. Diakui memang, dalam buku ini tidak ada satu bab khusus mengenai daftar pustaka. Bahkan ada beberapa point yang kadang hilang, … maklum dalam penulisannya Tan Malaka hanya mengandalkan ingatan dan pemahaman, tanpa menghadapi koleksi rujukannya langsung. Cerdas…
Dalam pembuangan yang pertama, 22 maret 1922, Tan Malaka diiringi buku-buku yang cukup, meskipun tidak lebih dari satu peti besar. Mulai dari Quran, Bible, Budisme, Konfusianisme, Darwinisme, ekonomi, sosial, komunisme, liberal, demokrasi dan lain sebagainya. Namun semua itu terpaksa ditinggalkan di Belanda, karena ketika ingin ke Moskow lewat Polandia, yang mana Polandia sangat memusuhi komunisme, dikhawatirkan dengan adanya buku-buku tersebut, akan dapat dibaca kemana arah pemikiran Tan Malaka. Dalam perjalanan hidupnya di negeri orang, berkali kali Tan Malaka di geledah. Pernah pada satu saat sebuh buku kamus bahasa nggris pun di geledah bahkan sampai ke sampulnyapun diteliti. Sewaktu di Singapura Tan Malaka sangat sedih ketika untuk menjadi anggota perpustakaan pun tidak mampu hanya karena miskin.
Razia terhadap Tan Malaka, kadangkala harus meninggalkan akhir yang tragis. Pustaka Tan Malaka harus hilang, dicuri oleh lailong (tukang copet). Namun demikian, karena sedemikian kuatnya semangat Tan Malaka untuk memiliki koleksi, Tan Malaka pun rela jika harus mengurangi pakaian ataupun makanan.
Ketika Tan Malaka berpisah dengan buku-bukunya, tidak membuatnya menjadi patah semangat. Tan Malaka menggunakan model jembatan keledai dalam mengingat pokok-pokok bahasan dalam buku yang dia miliki. Hingga kemudian muncul gabungan huruf yang aneh dalam catatannya. AFIA-GUMMI, ONIFMAABYCI AIUDGALOG, yang kadang mirip bahasa Sansekerta. Polisi di Manila dan Hongkong pernah dibuat pusing oleh koleksi jembatan keledai Tan Malaka ini.
Pustaka merupakan hal yang sangat penting bagi Tan Malaka, namun selama perjuangannya membuktikan bahwa kehilangan pustakapun tidak membuat surut langkah dalam berjuang. Bagi Tan Malaka otak mesti di dayagunakan untuk menghafal dan memahami. Hingga dalam perjuangan tidak disibukkan dengan beban-beban material.

-------semoga bermanfaat-------

Saturday 20 October 2007

Lebar-an






Lebar-an

Sungguh setiap periode, setiap kejadian atau setiap moment-moment indah
dan penting, selalu disertai dengan berbagai atribut. Baik itu moment berkaitan
dengan negara/nasionalisme ataupun moment berkaitan dengan agama.
Demikian pula Islam dengan berbagai moment yang dimilikinya.
Mulai dari awal tahun Hijriah, turunnya Quran, lahirnya nabi, dan tidak ketinggalan
Puasa yang diikuti dengan Lebaran.

Lebaran, merupakan istilah yang disematkan pada hari persis setelah puasa
Ramadhan selesai, maka hari setelah hari lebaran itu sering disebut dengan
H+1, H+2 dan seterusnya.
Ada beberapa tafsir atas kata LEBARAN.
Lebaran berasal dari bahasa jawa, LEBAR yang berarti pungkasan, atau
setelah, yang tentunya pungkasan dari puasa atau setelah puasa ramadhan.
Lebaran identik dengan kemenangan, karena sebagaimana kita ketahui bahwa
sebulan penuh ummat Islam berpuasa, melawan segala bentuk nafsu. Hingga
kemudian menang.
Namun jangan salah, LEBARselain mempunyai arti pungkasan atau setelah,
dalam bahasa Jawa juga bisa berarti SIA-SIA. Sia-sia, dalam hal ini
setelah ramadhan bisa kita saksikan dalam banyak hal. Sebagai misal, ketika
kita berkunjung ke sanak saudara, maka yang dihidangkan adalah beraneka
makanan, yang kadang makanan itu tidak ada sewaktu hari-hari biasa. Bahkan,
biaya untuk membuatnyapun sangat besar. Belum lagi konon katanya, kemanapun
kita berjalan maka bukan hanya makanan kecil, namun kita dipersilakan
untuk makan besar. Ider weteng, begitu kata orang jawa. Saya tidak tahu,
arti yang manakah yang pada awalnya dimaksudkan untuk mewakili hari-hari
setelah puasa ramadhan ini, arti setelah atau kesia-siaan.Tentunya kita harus hati-hati dalam memaknai hal ini
Arti lain dari labaran adalah, LEBARnya semua dosa-dosa kita, LUBERnya maaf yang kita berikan kepada orang lain, di LABURnya semua dosa-dosa kita.

Dalam bahasa Jawa, bukan hanya Lebaran saja yang diidentikkan dengan
waktu-waktu sehabis puasa Ramadhan. Istilah lainnya adalah Bakdo. Bakdo,
tidak jauh artinya dengan lebaran, juga bisa berarti setelah. Bakdo merupakan
bahasa Jawa yang berasal dari bahasa Arab "Bada", yang artinya juga setelah.
Hingga kita kenal bakdo Magrib, bakdo Subuh, yang artinya adalah setelah
Magrib atau setelah Subuh. Memang banyak kosa kata Arab yang berasimilasi
dengan bahasa Jawa, yang akhirnya menjadi bahasa Jawa.
Pada substansinya, Lebaran, bakdo (bada), atau Idul Fitri diartikan dengan
sebuah keadaan dimana kita menjadi pemenang. Setelah bertempur dengan hebatnya pada masa-masa puasa.
Bertempur untuk menundukkan nafsu hewani kita yang selalu ingin melampiaskan segala bentuk keinginan. Mulai dari keinginan
makan, minum maupun keinginan untuk melampiaskan nafsu seksual kita.
Bahkan juga menahan dari berbagai bentuk nafsu-nafsu kecil, laiknya menggunjing,
misuh-misuh, marah-marah. Pertempuran ini luarbiasa hebatnya. Dilaksanakan
mulai dari subuh sampai dengan magrib. Meskipun demikian bukan
berarti di malam hari kita bebas sepenuhnya, justru dimalam hari kita disuguhi
dengan berbagai iming-iming ibadah yang pahalanya dilipatgandakan.
Maka kemudian, layaklah menjadi pemenang siapa yang berperang, layaklah
berperang siapa yang mengetahui siapa musuhnya, layaklah tahu siapa musuhnya
siapa yang tahu siapa dirinya sendiri, dan tahu/mengenal diri sendiri itu
merupakan kunci untuk mengenal Tuhannya.
Lebaran, juga merupakan moment dimana kita kembali kepada kesucian,
laiknya bayi yang baru lahir. Definisi ini berkaitan erat dengan proses kemenangan
diatas. Dengan berbagai macam pertempuran melawan hawa nafsu,
maka saat itulah, jika puasanya diterima Allah, segala bentuk dosa akan diampuni.
Bentuk pengampunan dosa inilah yang mengantarkan manusia kepada
pucuk kesucian kembali.
Apakan semua orang yang berpuasa memperoleh puncak kesucian setelahnya?
Wallahu alam bisowwab. Hanya Allahlah yang mengetahui. Ibadah puasa
merupakan ibadah yang dipersembahkan hanya untuk Allah semata. Hanya
Dialah yang berhak menyatakan diterima atau ditolak.
Sekalilagi Wallahu alam bisowwab.