Thursday 15 March 2007

Perpustakaan kita...

Disela-sela menyusun proposal skripsi, yang kadang rumit, sulit untuk sekedar mengkaitkan ide-ide. Bebal untuk memahami teks-teks berbahasa langit dan berbahasa asing. Wuih… sebuah perjuangan panjang, latihan panjang dan melelahkan….

Perpustakaan kita…

Membincangkan perpustakaan, menurut saya adalah sebuah perbincangan yang hangat. Tidak akan mudah selesai pada satu ide pusat yang sanggup menjadi obat dari segenap permasalahan perpustakaan yang ada. Pergeseran paradigma perpustakaan dari perantara menjadi penyedia, merupakan contoh nyatanya. Masih kita syukuri hanya sebuah pergeseran, jika yang terjadi adalah sebuah kematian paradigma, maka yang terjadi adalah kematian ilmu perpustakaan. Setidaknya sampai saat ini perpustakaan masih hadir sebagai sebuah institusi dan sebuah ilmu…, entah nanti.

Membaca tentang perpuatakaan kita hari ini, akan memaksa kita untuk memeras olah pikir kita, sepanas dan sekeras apapun, ini adalah sebuah pilihan, jika ingin perpustakaan menjadi penentu perkembangan peradaban ummat manusia.

Konsepsi-konsepsi harus keluar dari hasil olah pikir kita. Menelorkan berbagai formula yang diharapkan ampuh untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang menggerogoti tubuh perpustakaan kita. Baik penyakit yang berasal dari diri perpustakaan kita sendiri, maupun berbagai virus penyakit dari luar diri kita sendiri.

Judul diatas diambil, dengan sengaja menjiplak sebuah buku karya Alm. Nurcholis Madjid. Indonesia Kita. Dalam bukunya, Cak Nur, begitu beliau akrab dipanggil, menawarkan 10 formula untuk menyehatkan kembali indonesia. Namun dalam tulisan ini, bukannya akan mengetengahkan formula Cak Nur itu untuk Indonesia. Namun berupaya mengotak-atik formula tersebut untuk perpustakaan kita. Dengan harapan akan ada keterkaitan diantaranya. Mengelola perpustakaan sebagai sebuah lembaga yang didalamnya ada manusia, ada sumberdaya, ada tujuan, ada perpustakaan (negara) tetangga, ada undang-undang (tata tertib), maka tidak ada salahnya kita perbandingkan ini dengan sebuah negara.

Formula, atau disebut sebagai agenda pertama dalam pengelolaan perpustakaan adalah mewujudkan good governance dalam pengelolaan perpustakaan. Good governance dalam hal ini, dapat kita pahami sebagai pelaksanaan pengelolaan perpustakaan yang transparan dan akuntabel. Tidak ada “tedeng aling-aling” dalam segala kebijakannya. Tidak ada tendensi pribadi dan nafsu-nafsu sesaat yang diagungkan. Prinsip transparansi dalam pengelolaan ini, akan dapat membangkitkan kepercayaan kepercayaan dari rakyat atas pemimpinnya, laiknya dalam sebuah negara. Maka para pemakai perpustakaan, bahkan para pustakawan akan semakin bangkit rasa “ngeh” nya dalam berkarya. Kepercayaan inilah yang menjadi modal dasar dalam pengelolaan sebuah perpustakan (negara). Jika kepercayaan sudah mulai tumbuh dan menemukan tempatnya, maka kesamaan visi dan semangat kebersamaan akan semakin mengembang.

Formula kedua adalah menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekwen. Dalam hal ini dapat kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan hukum yang selalu berada pada jalurnya, dan menerima segala konsekwensi dari pelaksanaan hukum ini, meskipun untuk dirinya sendiri. Setelah kepercayan bangkit, sebagai hasil dari good governance, maka penegakan hukum menjadi pasangan serasi dalam melaksanakan agenda-agenda berikutnya. Dalam perpustakaan, layaknya hukum dalam lingkungan negara, berupa reward dan punishment. Pemberian penghargaan atas sebuah prestasi yang diperoleh, atas sebuah pengabdian nyata tentunya layak diberikan. Punishment demikian juga. Hukuman kepada pelanggar aturan, layak untuk diberikan. Selain itu, supremasi hukum dapat dipahami sebagai sebuah pelaksanaan aturan yang fair, adil dan tidak berat sebelah. Karena hukum memang harus ditegakkan.

Melaksanakan rekonsiliasi nasional, dengan menarik pelajaran pait di masa lalu, menatap masa depan dengan perdamaian dengan menyatukan dan mendayagunakan segenap kekuatan bangsa (baca perpustakaan). Dalam perpustakaan hal ini dapat kita maknai dengan membangun pola hubungan dengan semua lapisan perpustakaan, atau pustakawan. Semua perpustakaan direngkuh untuk maju bersama, beserta segenap sumberdaya didalamnya, terutama pustakawan. Dibarengi dengan selalu belajar dari masa lalu sebagi sebuah pengalaman.

Keempat, adalah merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan yang produktif dari bawah. Ini berkait erat dengan peran seorang pemimpin. Sipemimpin harus mau melihat apa yang menjadi aspirasi bawahannya. Mendengar sekaligus memberikan jalan keluar jika itu sebuah masalah, memberi ruang aktualisasi jika apa yang berasal dari bawah itu adalah sebuah ide. Dengan demikian “rakyat” akan menjadi sekumpulan rakyat yang di manusiakan. Dianggap status kerakyatnnya. Bawahan, atau lebih tepat disebut ujungtombak pepustakaan, yaitu pustakawa yang langsung berinteraksi dengan pemakai, mengetahui betul apa yang diinginkan oleh pemakai. Maka selayaknyalah mereka diajak, langsung maupun tidak untuk mengkonsep kegiatan-kegiatan atau terobosan perpustakaan. Ide ide pengembangan haruslah selalu dikonfirmasikan ke ranah paling bawah. Baik ide pengembangan yang bersifat teknik-mekanis seperti pengembangan sistem otomasi, maupun pengembangan yang bersifat konseptual, misalnya perluasan pelayanan dengan berlangganan database.

Kelima adalah mengembangkan dan memperkuat pranata demokrasi, menjamin kebebasan pers dan akademik. Perpustakaan, sampai saat ini dianggap sebagai sebuah ilmu, maka kerangka akademik selalu akan mendahului dalam setiap perkembangannya. Kebebasan berekspresi secara akademik inilah yang perlu di perkokoh. Hal ini dapat berupa forum berbagi rasa, berbagi ide, melontarkan pendapat lewat lembaga pers, atau berdebat didepan publik sekalipun. Asal semuanya dapat dipertanggungjawabkan dan tetap dalam kerangka akademik. Semuanya sah-sah saja.

Meningkatkan ketahanan dan keamanan dengan meningkatkan harkat dan martabat para personil pustakawannya. Hal ini berarti, diperlukannya sebuah upaya untuk meningkatkan martabat dan martabat para pustakawan. Dengan peningkatan harkat dan martabat ini, maka diharapkan semangat esprit de corps, semangat kesatuan akan tumbuh dan selalu tumbuh. Hal ini akan berbanding lurus dengan peningkatan ketahanan dan keamanan kepustakawanan.

Ketujuh, adalah memelihara keutuhan perpustakaan dengan pendekatan budaya, dan pembangunan otonomisasi. Jika semangat esprit de corps telah terwujud, maka selanjutnya adalah memelihara kesatuan dalam sebuah kerangka budaya dan konsep otonomisasi. Konsep budaya berarti dalam pengelolaan perpustakaaan, terutama dalam perpustakaan besar dan mempunyai cabang-cabang, maka penghargaan atas budaya dan iklim yang dinamik dari setiap perpustakaan yang dimungkinkan berbeda-beda harus kita akui dan hargai keberadaannya. Otonomi berarti pemberian wewenang yang luas dalam mengelola kerumahtanggannya, namun tetap dalam garis-garis kebijakan umum.

Kedelapan adalah berkaitan dengan perataan pendidikan diseluruh lapisan. Diharapkan tidak ada lagi gap, jarak, ketimpangan tingkat pendidikan diantara para pustakawan. Para pengelola perpustakaan haruslah mendorong para pustakawannya untuk kembali mencerap iklim akademik murni dalam sebuah universitas. Para pustakawan yang berniat untuk sekolah lagi, baik beasiswa murni maupun self foundation atau parent foundation sekalipun (oops.), harus didukung dan diarahkan. Semakin meratanya tingkat pendidikan para pustakawan, maka semakin merata dan bervariasi pula tingkat pemikirannya. Tentunya ini merupakan kondisi sangat sehat untuk menggali ide-ide pengambangan. Pendidikan dalam hal ini tidak melulu pendidikan formal an sich, namun juga pendidikan pendidikan moral dan etika yang mesti diterapkan pada semua lapisan. Lagi-lagi pemimpin memegang peranan untuk menjadi contoh dalam hal ini. Jika pemimpin mampu memberi contoh keteladanan etika, maka diharapkan lapisan bawah akan ikut untuk mencontohnya. Namun meskipun bawahan mempunyai landasan etika yang mapan, jika pemimpinnya jauh dari ideal, maka kemungkinan bawahan akan tergerus watak pemimpinnya menjadi besar. Pemimpin wajib mendidik bawahan, baik langsung maupun tidak langsung, melalui contoh-contoh nyata. Tidak sekedar contoh dalam bidang yang digeuti (perpustakaan), namu juga contoh dalam etika dan moralitas. Moralitas pemimpin merupakan harga mati untuk diterapkan.

Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga. Keadilan, kadangkala akan menjadi alasan utama terjadinya berbagai gejolak. Pembagian “kue” yang tidak merata, sesuai dengan porsi yang semestinya akan menimbulkan gejolak. Baik gejolak yang bersifat vertikal maupun horisontal. Analogi kue disini dapat kita pahami sebagai kue dalam arti sebenarnya maupun kue dalam arti konotatif. Jangan sampai setelah kita bangun berbagai hal mulai dari langkah pertama sampai ke delapan, hancur dalam langkah kesembilan. Keadilan, secara lebih luas adalah menempatkan segala sesuatunya dalam sebuah pola aturan yang sesuai dan proporsional.

Terakhir, formulasi dalam pengembangan perpustakaan kita adalah dengan selalu mengambil peran aktif dalam mewujudkan peradaban ummat manusia yang maju dan dan beretika.

Terimakasih dan mohon maaf…