Tuesday 22 May 2018

MEMBACA

Inti pustakawan itu baca, baca, dan baca.

Seorang kawan bilang ke saya, “untuk perpustakaan, cukup D3 saja”. Ini disampaikan sudah bertahun lalu. Jelas Saya kaget. Jangan salah, ketika mengatakan ini, dia juga seorang pustakawan secara de facto. Karena pandangan inilah, akhirnya dia mengambil S1 bukan (ilmu) perpustakaan, demikian pula S2nya. 

Jangan keliru pula, meski demikian, dia pustakawan handal. Dia bisa menjadi teman diskusi mahasiswa dalam proses penelitian dan kuliahnya. Pengetahuannya tentang pustaka yang dia kelola, mumpuni. Tidak sekedar buku A ada di mana, buku B sedang dipinjam siapa. Tapi isinya, bobot isinya. Dia bisa menghidupkan buku yang mati itu, menjadi bergerak dan menelusup, tercerap.

Dia bukan juru kunci makam yang hanya menunjukkan: itu makam si A, si B. Tapi siapa dan bagaimana pemikiran si A yang dimakamkan di situ. Bagi saya, sulit mencari pustakawan yang bisa begitu.

Mungkin perpustakaanya secara fisik kurang bagus. Tapi dia melakukan proses utama pustakawan secara konsisten: MEMBACA.

Membaca adalah aktivitas utama dari seorang pustakawan. Dia tetap harus menempel pada tiap pustakawan. Jika pustakawan sudah tercerabut dari proses membaca, maka tidak mengherankan jika masyarakatnya pun juga demikian. Seburuk-buruknya sebuah perpustakaan, jika pustakawannya mau MEMBACA, maka perpustakaan tetap akan ada.

Akhirnya kawan saya tadi shifting. Dia menjadi dosen. Tentusaja, karena dia MEMBACA.

Jadi, kalau mau jadi pustakawan itu cukup D3 saja. Selebihnya MEMBACA. Bagian 20% kuliah, 80% baca buku. O, maaf. Sesungguhnya semua manusia itu pustakawan, ding. Apapun tingkat pendidikannya. Bahkan, kursus pun bisa jadi pustakawan plat merah, kok.





Sambisari, akhir Ruwah 1951 Dal
Pagi hari

Thursday 10 May 2018

Iki sasi ruwah, nuli sasi poso

Genduren. Sumber: Yanthi (WAG Ngliparkidul)
Ruwah iku sasi kang nomer wolu. Sak durunge pasa, lan sak wise rejeb. Yen cara arab, pada karo Sya'ban.

Ruwah, kabare  saka tembung "arwah". Mboh bener apa ora. Nanging, saka tembung "arwah" kui, bisa digoleki tegese.

Arwah kui artine "roh". Roh e para leluhur. Kurang luwihe mengkono. Ing sasi ruwah, kanggo nyadang sasi pasa, dianakke pisowanan marang makam leluhur. Ngresiki makam, lan ugo ndedonga. Ndongakake leluhur. Muga-muga oleh dalan padhang. Oleh panggonan kang jembar. Diwales pangabektine marang Gusti, lan dingapuro kabeh dosane.

Kanggo sik ndedongo, dikarepake njaluk ngapuro marang Gusti. Supaya ngancik pasa, wis suci.

Sederhana, utowo sepele dongane. Nanging ngemu teges kang dhuwur maknane.

Ing sasi ruwah, ana uga genduren. Para kadang, konco, tangga, nyangking berkat. Isine sego sak giling (plenak), peyek, gudangan, srondeng. Kading kala ya nganggo krupuk. Oiyo, ana apem barang. Kabeh mau digowo menyang daleme pak Modin. Utawa menyang mesjid, apa neng sarean. Yen ana Ngliparkidul (yoiku asal asliku), di gowo menyang daleme mbah Kaum.  Kaum banjur mimpin donga.

Ana donga kang nganggo basa Arab, ugo basa Jowo. Yo, sajake, kaya kandhane para winasis, Islam teko marang Jawa kanthi mbaur marang kabudayan lokal.

"Ibu bumi bopo angkoso. Ibu Hawa, Nabi Adam. Ingkang dipun memetri, dipun uri-uri...", lan sakpiturute. Ana uga kalimat kang njlentrehake maknane berkat kang digowo. Koyo dene apem. "Ingkang sak lajengipun APEM. Mugi-mugi kito sedaya tansah pinaringan kekiyatan pikiran kang utuh, bunder kados bundere apem, nggih.....". Biasane poro warga njawab, "nggih".

"Ingkang sak lajengipun gudangan. Mugi-mugi kito sedoyo tansah saget gesang wonten ing ngalam ndonya bebarengan kaliyan tiyang sanes, biyantu-ambiyantu, kados dene godong lan janganan ingin gudangan meniki, nggih..."

"Ingkang saklajengipun jenang BARO-BARO....". Aku wis rodo lali klimahe mbah Kaum.

Sedulur....

Kabeh mau ono sik ngarani Nyadran. Ono ugo sing nyebut Ruwahan. Gumantung soko daerahe. Yen ono Gunungkidul, khususe Nglipar, do nyebut Ruwahan.

Apem: sumber Lina (WAG SMK 1)

###

Poro konco...  ing sasi ruwah ono tembang kang misuwur. Kondang. Tembange koyo ing ngisor iki. Mbok menowo, poro konco nate nembang, utowo paling ora nate krungu.

Iki sasi Ruwah, nuli sasi poso 
Kuwajiban kito kudu poso 
Sesasi lawase ora mangan ngombe 
Esuk tekan sore sakrampunge 
Yen wis rampung poso sembahyang rioyo 
Podho suko-suko suko samyo 
Lan halal bi halal marang wong tuwane 
Ugo marang konco lan kancane
Ing pungkasan, sugeng nindhake poso. Mugo-mugo iso sewulan natas. Rampung, sampurno, lan bisa nemoni rioyo. Sik temenan le poso. Kabeh ora ngerti, kapan bakal tekaning pati.

Nuwun

Monday 7 May 2018

Ikhtiar merawat tradisi

Purwo.co - Beberapa laki-laki bersarung beriringan datang. Tangannya menenteng buku kecil yang sudah lusuh. Lusuh, pertanda buku itu sering dibuka. Si empunya rumah, serta beberapa keluarga menyambut dan mempersilakan menempati tempat duduk yang telah disediakan.

Tak perlu lama, ruang utama rumah itu penuh. Laki-laki paruh baya, beberapa berseragam hijau, berpeci. Sebagian mereka bewajah keriput termakan usia. Beberapa anak muda usia menyusul kedatangan. Duduk di tikar yang disediakan di luar rumah. Cahaya lampu dan rembulan menjadikan suasana malam itu begitu semarak. Beberapa simbah-simbah putri juga datang. Menempati lantai di teras, bersama beberapa keluarga si empunya rumah.

Sejurus kemudian, segelas teh panas lengkap dengan kacang goreng dan roti lapis terhidang. Anak-anak muda tadi yang menyuguhkan. Si Empunya rumah mempersilakan, maka segelas teh dan roti potong itu bergantian diemplok.

Rumah tempat berkumpul itu merupakan rumah tinggalan mbah Kakung dari istri saya. Simbah meninggal kurleb 3 tahun lalu. Malam itu diadakan tahlil, untuk berdoa bersama-sama.
Anak dan cucu, bahkan buyut berkumpul.

###

Pak Modin, lelaki tua berpeci hitam membuka acara. Lantunan surat Yasiin mengalun dari bibir masing-masing hadirin. Meski mungkin ada yang hafal, namun setiap orang dibekali dengan satu buku panduan Yasiin dan Tahlil. Tentu untuk dibaca. Mungkin ada yang membaca teks Qurannya, atau mungkin juga membaca teks latinnya.

Di halaman, saya bergabung dengan beberapa tamu. Ikut membaca Yasiin. Saya tidak hafal, maka saya benar-benar membaca. Ya, agak beda dengan yang hafal atau semi-hafal. Tentu dia bisa lebih cepat menyelesaikan. Saya tertinggal, 83 ayat itu selesai beberapa saat setelah yang lain selesai.

Anak-anak kecil tampak berlarian, rukun bermain bersama. Mereka, merupakan para cucu dan buyut dari mbah Kakung. Seolah ingin menunjukkan bahwa mereka hadir. Mereka rindu pada simbah mereka, yang mungkin belum pernah mereka lihat. Mereka ikut mendoakan dengan caranya masing-masing. Dengan bermain, berlarian, berteriak atau menjerit cari perhatian, atau terkadang menangis minta susu.

Kebersamaan dan tingkah lucu mereka menambah suasana guyub malam itu. Meski kadang, orang tua harus berkali-kali mengingatkan agar tidak sampai mengganggu tamu. Atau jangan sampai nyampar gelas di hadapan tamu.

###

Selesai Yasiin, disambung tahlil. Saat pelantunan kalimat syahadat, “laa illa ha illallah”… saya mendengar ada yang unik. Ada suara yang berbeda dengan syahadat ikut terlantun. Nyempil, berbeda. Saya pernah mendengarnya. Saya pastikan bahwa suara itu memang benar-benar dari salah satu yang hadir di malam itu. Bukan dari tempat lain.

Benar. Alunan sholawat jawi pasti dilantunkan Pak Modin bersamaan dengan para tamu melafalkan syahadat. Baru kali ini saya menemukan model tahlil seperti ini. Ingin lebih jelas, saya berpindah ke teras. Setelah sholawat jawi pertama, masih ada yang kedua. Liriknya semacam ilir-ilir, namun syairnya diubah.

Saya mendongak ke bagian dalam, ke ruang utama rumah. Berharap menemukan sosok Pak Modin yang melantunkan sholawat tadi. Nihil. Niat saya merekam juga saya pendam. Takut dianggap tidak sopan. Saya perhatikan sekeliling. Tampak para tamu khusu’ melantunkan dan mendengarkan.

Bagi orang yang mengerti bahasa Jawa, lantunan bahasa jawa yang bewujud kalimat macapat atau sholawat memiliki daya magis. Suara berat, kadang serak dan "tua" yang keluar dari lisan Pak Modin menambah kekuatan magisnya. Pesan kebaikan yang ingin disampaikan diharap lebih mudah mengena. Agaknya memang demikian para wali dahulu bertujuan. Menyusun berbagai wewarah, wejangan, petunjuk kebaikan dalam bentuk tembang.

Di acara tahlil, yang dihadiri banyak orang, diharapkan pesan tadi akan berefek massal. Selain itu, tembang digunakan pula ketika ngudang anak. Ketika menjelang tidur atau waktu lainnya.

Syair pertama kurang lebih seperti ini:
Astaghfirullahal adhim
Inallaha ghafururrohim..
Gusti Allah kulo nyuwun ngapuro
Gusti Allah kulo nyuwun ngapuro
Sekathaing dosa kulo
Dosa agung kelawan ingkang alit
Boten wonten ingkang saget ngapuro
Boten wonten ingkang saget ngapuro
Sanesipun Kang Moho Agung
Kang Ngratuni sakabehing poro ratu
Kang kagungan sifat rohman
Kang kagungan sifat rokhim
Iyo iku Allah asmane
Iyo iku Gusti Allah asmane
Astaghfirullahal adhim
Inallaha ghafururrohim..

####

Selesai acara, di halaman, saya sempatkan ngobrol dengan warga tempatan. Tentang apa yang saya dengar tadi. Saya tak bisa menemui Pak Modin. Mereka bergegas pulang, karena ada acara perkumpulan sholawatan di lain tempat. Saya pun tak bisa mengonfirmasi teks lirik kedua. Dari warga saya peroleh info bahwa mereka memiliki kelompok sholawat, Laras Madyo namanya.

“Biasanya mboten ngangge senggakan, Mas. Niki kok kadingaren”, demikian katanya. Sholawat yang disisipkan pada tahlil tadi disebut senggakan. Warga lain yang baru datang menimpali, “niki wau ngangge senggakan, tho?. Kok tumben”.

Saya sampaikan apresiasi. Menarik, dan saya ingin dapatkan syairnya. Peminat shalawat jawa diakui memang menurun. Tersisa orang tua saja. “Sik enem sakniki senengan oa-oe, Mas”, lanjut warga yang saya ajak ngobrol. “Oa-oe” merupakan teriakan pada pertunjukan dangdut. Singkat kata, dia ingin mengatakan bahwa anak muda sekarang lebih senang nDangdutan yang penuh hingar bingar, dan miskin dari syair-syair petuah.

Ini memang tantangan. Ikhtiar mempertahankan tradisi yang baik, dan tetap mencari yang lebih baik, harus terus dilakukan. Tradisi baik itu identitas. Dia akan membedakan dengan bangsa atau masyarakat lainnya. Tentunya tidak kemudian digunakan sebagai bahan fanatisme, namun digunakan sebagai penciri dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya.

Sambisari,
6 Mei 2018 - 16:29 sore