Monday 24 December 2007

Future Library: sebuah impian

Perpustakaan merupakan suatu institusi yang penting dan di perlukan. Setidaknya ini dibuktikan oleh sejarah, mulai dari pertama kali perpustakaan muncul, menemukan bentuknya, dan mengalami berbagai revolusi/perubahan. Embrio perpustakaan berupa kumpulan catatan transaksi niaga, ini terjadi pada jaman purba. Sehingga bila dikaitkan dengan konsep perpustakaan modern jelas-jelas belum terpenuhi.. Catatan-catatan tersebut menggunakan kayu, batu dan lempengan. Kemudian ditemukan media tulis yang disebut papyrus terbuat dari sejenis ruput yang tumbuh di sepanjang sungai NIL. Penemuan ini ada pada 2500 SM dan digunakan sampai dengan 700-an Masehi. Penemuan media tulis berikutnya adalah terjadi di Cina, Eropa hingga akhirnya ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guttenberg. Peerkembangan perpustakaan kuno juga bisa kita telusur mulai dari Sumeria dan babylonia, dengan koleksi-koleksi berupa gambar (pictograph) yang diduga sudah terbuka untuk kawula kerajaan. Mesir dengan huruf hieroglyph-nya. Di Yunani, dengan didirikannya museum, yang salah satu bagiannya adalah perpustakana ayang mengumpulkan teks-teks dan manuskript dari segala bahasa di dunia. Roma, pada masa Julius Caesar, dengan dibukanya perpustakaan untuk umum. Byzantium, yang perpustakaannya menpunyai koleksi mencapai 120.000 buku. Di Arab terutama pada masa Khalifakh Al Makmun, yang mendirikan Bait Al Hikmah ( Rumah Kebijakan ) merupakan penggabungan antara perpustakaan, biro terjemah dan akademi.
Akhirnya pada masa-masa sekarang, di mana manusia telah mencapai kematangan sosial dan kultural. Pada masa-masa ini manusia butuh tempat untuk menyinpan hasil dari karya-karya kultural dan sosialnya.
Perpustakaan dari dahulu sampai sekarang dengan berbagai bentuknya jelas mengalami peningkatan. Diantaranya perubahan/bervariasinya media simpan yang digunakan, sistem klasifikasi koleksi perpustakaan yang digunakan, pengakuan oleh pemerintahan, serta pengakuan oleh masyarakat pemakai perpustakaan itu sendiri.
Mulculnya berbagai media informasi, tanggapan terhadap keperluan informasi, serta adanya ledakan informasi yang maha dasyat (information explosion) menimbulkan perubahan-perubahan pada perpustakaan. Perubahan tersebut adalah dengan bermunculannya berbagai jensi perpustakaan.
Perpustakaan sampai pada masa sekarang masih didominasi oleh dua tipe perpustakaan, yaitu perpustakaan kertas dan perpustakaan terotomasi. Perpustakaan kertas adalah perpustakaan yang teknik operasionalnya masih menggunakan kertas dan bahan pustaka yang dimilikipun adalah kertas. Sedangkan perpustakaan terotomasi merupakan perpustakaan yang dalam operasionalnya menggunakan komputer namun koleksi yang dimiliki masih dalam bentuk kertas.
Pada perpustakaan ini akses informasi masih terbatas. Karena jalur akses informasi masih ada sekat-sekat ruang dan waktu. Sehingga jarak dan tempat akan mempengaruhi dalam pengaksesan informasi.
Hingga akhirnya dalam perkembangan teknologi mulai di kenal media internet dan komputer yang semakin mendunia, serta bentuk media simpan yang semakin maju, dengan ditemukannya format penyimpanan digital. Penemuan-penemuan ini menjadikan perpustakaan juga harus menyesuaikan diri.
Membahas perpustakaan masa depan merupakan sebuah angan-angan, idealisme atau juga bisa dikatakan sebuah mimpi. Namun demikian idealisme perpustakaan masa depan itu itu harus kita bangun dengan berbagai hal yang telah ada sekarang, yang kita usahakan sekarang untuk menutup segala kekurangan yang ada sekarang.
Akses informasi yang tidak maksimal, ruang dan waktu yang masih membatasi penyebaran informasi, ketidakmampuan perpustakaan dalam menyediakan informasi sendirian, perkembangan teknologi yang semakin maju, serta berbagai jenis informasi yang muncul dalam hitungan detik, hal-hal tersebut menggugurkan anggapan bahwa didunia ini ada perpustakaan yang sangat lengkap yang mampu mengcover semua jenis informasi. Padahal di lain pihak manusia membutuhkan informasi tidak kenal waktu dan jenis informasi yang dibutuhkannya tidak bisa di duga sebelumnya.
Ada beberapa hal yang mendasari kenapa perpustakaan dimasa depan merupakan hal yang sangat urgen. Pertama globalisasi. Kehidupan dalam era global di mana lingkungan menuntut untuk berkompetisi. Kesuksesan aktifitas akan ditentukan oleh seberapa besar kemampuannya mengakses sumberdaya informasi global, yang mendukung aktiifitasnya. Dasar kedua adalah tren information explosion. Sejak pertengahan abad terakhir publikasi informasi mengalami peningkatan yang tidak bisa diprediksi. Sehingga mendapatkan, mengorganisir dan membuat informasi ini bisa di akses merupakan tantangan yang serius. Ketiga adalah revolusi dalam teknologi komputer, yang menimbulkan babak baru dalam akses informasi elektronik. Babak baru ini ditandai dengan online information yang bisa diakses tanpa batas dengan jaringan internet. Ketiga hal di atas menggiring manusia untuk selalu belajar. Sehingga timbul apa yang disebut dengan long life education and learning.
Tantangan dunia global tersebut menjadikan perpustakaan –sebagai penyedia informasi- harus melakukan inovasi-inovasi, serta pengembangan. Penyesuaian penyesuaian ini menuntut perubahan, baik pada dataran ide dasar perpustakaan maupun dalam hal teknis perpustakaan.

Jangkauan
Perpustakaan masa depan merupakan perpustakaan yang di bangun untuk semua, tanpa menjadikan berbagai perbedaan sebagai alasan dalam mengakses informasi. Warna kulit, agama, kebangsaan, dan perbedaan lainnya merupakan anugrah Tuhan bukan keinginan manusia yang bersangkutan. Sehingga menjadikannya alasan untuk membatasi akses informasi adalah sebuah kesalahan besar. Selama orang yang besangkutan memang membutuhkan informasi, yang informasi itu ada di perpustakaan yang dia tuju, kenapa tidak. Pertimbangan legalitas dan nilai ekonomis pada informasi pubik haruslah didialogkan.. Tentunya dengan tidak menyangkal bahwa dalam mendapatkan informasi tersebut memang diharuskan untuk memenuhi persyaratan tertentu, menjadi anggota/anggota baca misalnya.
Landasan legal formal kebebasan akses informasi ini adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pasal 19, yang menyatakan “ setiap orang berhak untuk mencari, menerima dan menyebarkan berbagai informasi maupun ide-ide baik lisan maupun tertulis melalui berbagai cara tanpa mengenal batas-batas negara”
Hal ini sejalan dengan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan yang harus bebas nilai. Dalam hal ini artinya siapapun berhak mendapatkan informasi publik dan mengembangkannya tanpa harus takut akan sekat-sekat yang membatasi (warna kulit, kebangsaan, bahasa, bahkan agama). Namun demikian dalam pemanfaatan ilmu/informasi haruslah sarat nilai. Dalam hal ini adalah kemaslahatan untuk ummat manusia.
Hal ini berlaku pada berbagai bentuk layanan perpustakaan. Baik itu yang masih menyimpan koleksi tercetak maupun yang sudah mengemas koleksinya dalam bentuk digital. Lebih-lebih pada perpustakaan yang mengemas koleksinya dalam bentuk digital dan online di internet. Maka semua orang di mana saja, kapan saja bisa menikmati informasi yang ditawarkan dengan mudah dan murah. Selain itu dengan koleksi digital ini maka satu file bisa di share oleh banyak orang dengan ruang dan waktu yang berbeda.
Dialog dan sirkulasi informasi tidak terbatas ruang dan waktu. Pustakawan bisa menawarkan informasi yang dimiliki kepada orang dimanapun dia berada. Demikian pula user bisa menghubungi pustakwan untuk sekedar menanyakan apa yang dimiliki oleh perpustakaannya, atau menanyakan apakan informasi yang dia butuhkan ada di perpustakaan itu serta semua kegiatan sesudahnya bisa dilakukan dari jarak jauh.

Organisasi
Struktur organisasi yang mantap, jelas, lengkap sesuai kebutuhan dan dengan tanggungjawab masing-masing bagian. Organisasi yang mantap tidak gemuk, tapi juga tidak harus ramping. Selama distribusi beban pekerjaan jelas, merata dan mengcover semua lini sesuai kebutuhan, maka itu cukup. Meskipun dengan sedikit orang sekalipun. Adobsi model-model struktur organisasi yang ada di instansi-instansi komersial pun tidak menjadi masalah. Sudah selayaknya di perpustakaan ada Public Relation untuk menjembatani perpustakaan dengan pihak luar. Demikian juga bagian analis pasar, yang bekerja untuk selalu menganalisa arus informasi yang dibutuhkan dan yang ada di tingkat publik itu seperti apa. Demikian pula bagian-bagian yang lain. Kesensitifan terhadap informasi-informasi baru yang berkembang di luar perpustakaan harus selalu ada.
Kaitannya dengan kegiatan organisasi perpustakaan, pada masa-masa yang akan datang dengan aliran informasi yang semakin deras, adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi perpustakaan untuk menangani informasi sendirian. Maka sebenarnya era stand alone library itu sudah selesai. Perpustakaan masa depan haruslah mampu membangun kerjasama yang sinergis, kompak dan saling menguntungkan antar perpustakaan. Kerjasama dalam hal tukar menukar informasi, ataupun koleksi yang dimiliki dengan kesepakatan-kesepakatan kedua belah pihak atau lebih.
Pustakawan yang handal, juga marupakan aspek penting yang harus diperhatikan. Pustakawan haruslah menjadi mediator pengetahuan. Dengan mengemukakan pandangan-pandangan tentang badan-badan pengetahuan yang bisa menuntun ke sumber informasi yang dibutuhkan oleh pemakai. Atau dalam bahasa ringkasnya pustakawan bisa menemukan, menyediakan dan menyampaikan informasi. Sebagai arsitek informasi, dalam hal ini pustakawan dituntut untuk mengorganisisr informasi, sehingga yang rumit bisa disederhanakan dan mudah dipahami oleh pemakai. Serta mengkreasi struktur informasi sehingga memungkinkan pemakai bisa menelusur informasi dengan mudah dan mandiri. Selain kedua hal di atas, dua peran pustakawan yang lainnya adalah pustakawan hibrida dan pemelihara pengetahuan. Sebagai pustakawan hibrida, pustakawan harus mampu memadukan pelayanan pemakain dalam dua model koleksi, koleksi tercetak dan koleksi digital. Dalam pemeliharaan pengatahuan, berkaitan dengan preservasi koleksi yang dimiliki. Hal ini sangat penting, karena tanpa kemampuan yang handal beragam koleksi yang dimiliki perpustakaan bisa lenyap ataupun rusak.

Kekayaan Informasi
Materi koleksi perpustakaan masa depan meliputi materi dari berbagai sumber, sehingga pemakai bisa mengetahui dan mengkomparasikan berbagai informasi yang didapatkannya. Koleksi berikut isi dari informasi yang dimiliki ini dikelola dengan database yang aksesibilitasnya tinggi. Data base yang bisa menunjukkan kapada pemakai akan isi dari informasi. Kelengkapan database standar internasional harus dipenuhi. Sehingga dengan jaringan global, maka semua orang lintas negara akan bisa menikmati koleksi yang ditawarkan. Selain hal tersebut updating informasi haruslah selalu berjalan. Perpustakaan harus sensitif dengan berbagai informasi yang ada di masyarakat.

Fisik Perpustakaan
Bentuk tampilan fisik perpustakaan masa depan sangat penting. Hal ini berhubungan dengan kenyamanan, keefektif dan efisienan pelayanan. Dukungan arsitektur yang sesuai kebutuhan sangatlah penting. Pembagian fungsi-fungsi ruang haruslah disesuaikan dan berorientasi kepada pemakai. Yang pada titik akhir menjadikan bentuk atau fisik perpustakaan hal yang membuat pemakai bisa betah untuk menggali informasi di perpustakaan.

Beberapa hal di atas merupakan sesuatu dari sekian banyak hal yang idealkan untuk perpustakaan masa depan. Dalam hal penamaan bisa bermacam-macam. Terminologi yang banyak dipakai orang saat ini adalah Digital Library. Namun sesungguhnya, menilik dari apa yang ada sekarang idealnya perpustakaan masa depan adalah gabungan antara konsep Digital Library murni dengan perpustakaan terautomasi. Sehingga kekurangan dan kelebihan antara keduanya menjadi saling melengkapi.
Inovasi-inovasi memang merupakan hal yang wajib ‘ain untuk kita lakukan. Sehingga perpustakaan tidak hanya terkesan sebagai gudang berbagai bentuk koleksi. Namun dengan inovasi tersebut bisa meneguhkan bahwa perpustakaan juga merupakan wahana terbentuk, berkumpul, berdialektika, bergumul, berbenturannya ide-ide, hingga menemukan bentuknya yang ideal.

Kelebihan dan Kekurangan
Mengacu pada konsep di atas maka perpustakaan akan dapat menghimpun semua koleksi yang dinginkan dan mendesiminasikan ke berbagai pihak yang membutuhkan. Bebagai jenis informasi dan berbagai jenis pengguna. Namun demikian ada kalanya ada bentuk-bentuk informasi yang harus di rahasiakan demi keamanan negara. Sebagai contoh Data Geologi dan Geofisika, yang menunjukkan kekayaan alam suatu bangsa yang diteliti dengan biaya banyak. Data tentang penyelidikan tersangka pelaku tindak pidana dan perdata, dan data-data lainnya. Permasalahan hakcipta dan permasalahan penarikan biaya.

Daftar Pustaka

Qalyubi, Syuhabuddin dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga.

Keraf, A. Sonny and Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis. Yogyakarta: Kanisius
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, http://www.unhchr.ch/udhr/lang/inz.pdf 22 Oktober 2005 pukul 8:26 PM 10/22/2005

A Strategic Plan For The Future Of Library Services In Massachusetts. 1993. http://mblc.state.ma.us/mblc/publications/other/stratplan.php 19 Oktober 2005, pukul 10.00

Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Romi Satria. 2003. Menengok Proyek Digital Library
www.ilmukomputer.com 19 oktober 2005 pukul 10.00

Harkrisnowo, Harkristuti. 2004. Kebabasan Informasi dan Pembatasan Rahasia Negara.
http://kebebasan-informasi.blogspot.com/2004/11/tentang-rahasia-negara-dan-kebebasan_16.html 22 oktober 2005 pukul 10.00

Wednesday 19 December 2007

Kopimanis

Kopimanis....

Software perpustakaan semakin menjamur. Kata orang pintar, tumbuhnya seperti jamur di musim hujan. Banyak Bro n Sis..!!!!!

Kopimanis merupakan salah satunya. Kopimanis merupakan jawaban atas kesulitan dalam instalasi Igloo/Xigloo. DImana instalasi keduanya butuh pengetahuan tentang bahasa program. Apalagi di dalamnya dibutuhkan php-openisis. Php-openisis ini digunakan untuk membaca database asli ISIS. Hingga dapat ditampilkan dalam web. Instalasi aslinya butuh proses-proses yang lumayan njlimet. Di Windows lebih mudah sih dibanding instalasi php-openisis di Linux/NIX. Apalagi di Linux kita di pusingkan dengan model hak akses pada file-filenya.

Hingga kemudian muncul KOPIMANIS. Didalamnya sudah di set untuk bisa dijalankan program Igloo/XIGloo. Dalam Igloo kita bisa melakukan proses mencari. Sedang dalam modul X-Igloo kita bisa melakukan proses sirkulasi.

Selain itu, disertakan pula dalam KOPIMANIS ini Openbiblio, Phpmylibrary, Knowledge Three. Openbiblio dan PhpMylibrary digunakan sama dengan Openbiblio, untuk OPAC dan sirkulasi. Sedang knowledge three merupakan tool untuk manajemen arsip. Its nice....

Kopimanis menggunakan XAMPP sebagai paket server, database dan bahasa programnya. Versi yang di gunakan adalah versi 1.6.2, sedangkan phpnya versi 4.4.7, Mysqlnya 3.23.49 dan apachenya 2.2

Bagi yang tertarik silakan download di:

http://203.130.201.221/kamenrider/
http://203.130.201.221/igloo/web-1.0/


Di http://senayan.diknas.go.id/igloo/web-1.0/?q=node/13

Tuesday 4 December 2007

, ,

Tips Mengubah $ menjadi Rp. di Openbiblio

Temen-temen sekalian, berikut ini tips yang saya tulis untuk mengubah $ ke Rp. beserta tanda pemisah untuk ribuan dan desimalnya.

buka formatFuncs.php di /folder openbiblio/fuctions/

edit dengan kwrite, vi, knote, notepad, wordpad, ms word atau dreamweaver

cari baris berikut:

------------------

$currencySymbol = $localeInfo["currency_symbol"];
if (!$currencySymbol) {
$currencySymbol = '$'; -------------> untuk $ ke Rp.
}

$dec_point = $localeInfo["mon_decimal_point"];
if (!$dec_point) {
$dec_point = '.'; ------------------> untuk pemisah decimal
}

$thousand_sep = $localeInfo["mon_thousands_sep"];
if (!$thousand_sep) {
$thousand_sep = ','; ---------------> untuk pemisah ribuan
}

------------------

ubahlah menjadi:

-----------------

$currencySymbol = $localeInfo["currency_symbol"];
//if (!$currencySymbol) {
$currencySymbol = 'Rp.';

$dec_point = $localeInfo["mon_decimal_point"];
//if (!$dec_point) {
$dec_point = ',';

$thousand_sep = $localeInfo["mon_thousands_sep"];
//if (!$thousand_sep) {
$thousand_sep = '.';



-----------------


setelah itu, supaya account muncul dengan digit yang mencukupi untuk ukuran denda di perpustakaan kita, edit bagian berikut pada database mysql anda:
1. field daily_late_fee pada tabel collection_dm yang semula decimal(4,2) menjadi decimal(10,2)
2. field amount pada tabel member_account yang semula decimal(4,2) menjadi decimal(10,2)



setelah itu, silakan refres dan cek apakah $ sudah berubah menjadi Rp.?

moga bermanfaat.
Happy hacking
, , ,

Studi Islam di Dunia Islam



Studi Islam di Dunia Islam, pada dasarnya berbicara tentang studi Islam di kalangan Muslimin sendiri. Dalam hal ini paling tidak menangkut dua hal pokok, 1. metode studi dan 2. para pemikir [orang yang melakukan studi Islam itu sendiri]

Untuk lebih sistematis berikut uraian studi tentang Islam, dengan aspek-aspeknya. Uraian ini di pisahkan dalam beberapa bagian
Permulaan Islam
Daulah Muawiyah
Daulah Abbasiyah
Daulah Mugholiyah
Daulah Usmaniyah
Jaman Islam Modern

A. Permulaan Islam [awal Islam – Akhir Kekhalifahan]

Pada Permulaan Islam pendidikan Islam dilakukan di Masjid-masjid atau di rumah-rumah. Metode yang dipakai dalam fase ini adalah hafalan. Pada permulaan islam perkembangan Ilmu Pengetahuan dibagi menjadi 3. Pertama Gerakan Agama, menyangkut pembahasan tentang tafsir Quran, hadis, fiqh, akhlaq. Kedua Gerakan tarikh, merupakan Gerakan untuk mengumpulkan data-data sejarah, kisah dan riwayat hidup. Ketiga Gerakan Filsafat, merupakan gerakan dalam bidang mantiq, kimia, kedokteran dan ilmu lain yang berhubungan. Gerakan filsafat ini pada permulaan Islam tidak begitu meluas perkembangannya. Ilmu-ilmu dalam bidang ini berasal dari bangsa-bangsa lain [Romawi, Persia, Qaldan dan lain-lain]. Pada akhirnya ketiga gerakan ini saling berhubungan dan saling membutuhkan, ahli tafsir akan membutuhkan ahli sejarah untuk mengetahui kehidupan nabi dalan menafsirkan hadis serta untuk mengetahui sebab turunnya ayat begitu juga dengan ilmu lainnya. Pada awal perkembangan Islam ini ilmu pengetahuan berpusat di Makkah, Madinah, Basrah dan Kaufah [Irak], Damaskus [Syam], dan Fusthat [Mesir].
Satu hal yang penting pada masa ini untuk mengawali studi tentang Islam yang intensif adalah dengan dibukukannya Al Quran pada masa Khalifah Abu Bakar. Atas desakan Umar ibn Khattab maka Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk untuk membukukan Al Quran. Upaya ini berlanjut sampai dengan kekhalifahan Usman bin Affan., yang kemudian terbentuk musyaf Al Imam sejumlah 6 naskah yang ada di Kuffah. Basrah, Makkah, Syam, Madinah dan 1 naskah ada pada Khalifah Usman sendiri.
Dalam ilmu tafsir, beberapa sahabat seperti Ali bin Abu Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Masud dan Ubay bin Kaab menafsirkan Quran menurut apa yang mereka dengar dari Rosullullah saw. Para sahabat inilah yang dianggab sebagai pembina tafsir pertama dalam Islam, kemudian diikuti oleh tabiin seperti Said bin Jubair.

B. Masa Daulah Amawiyah [41-132 H/656-750 M]

Pada Zaman ini Mesjid tetap merupakan Pusat Kehidupan Ilmu. Ilmu-ilmu, terutama Ilmu agama diajarkan di masjid-masjid. Tokoh-tokoh dalam masa ini antara lain;
Abdullah bin Abbas, mengajarkan ilmu tafsir di pekarangan ka’bah.
Rabiah mengajar di dalam masjid madinah
Hasan Basri, mengajar dalam masjid Basrah
Ja’far Shadiq, mengajar di masjid Madinah, mengajarkan ilmu Kimia.

Dalam masa ini ilmu Islam, filsafat dan Terapan di kategorikan dalam ilmu baru [Al Adaabul Hadisah]. Pembidangan ilmu dalam periode ini di bagi menjadi 2 sebagai berikut:
Al Adaabul hadisah [ilmu-ilmu baru], terbagi:
a. Al-ulumul Islamiyah, diantaranya ilmu –ilmu Al Quran, hadis, Fiqh, Ulumul Lisaniyah, tarikh, dan Jughrafi.
b. Al Ulumud Dakhiliyah, merupakan ilmu perlkuasan oleh kemajuan ilsam. Diantaranya thib [kedokteran], filsafat, ilmu pasti dan ilmu eksakta lainnya
Al Adaabul Qadimah [ilmu-ilmu lama], merupakan ilmu-ilmu yang telah ada sejak masa Jahiliyah. Diantaranya syair, lughah, khithabah dan amsal.

Masa daulah Abbasiyah (Abbasiyah 1 132-232 H/750-847M, Abbasiyah 2 232-334 H/847-946 M, Abbasiyah 3 334-467 H/946-1075 M, Abbasiyah 4 467-656 H/1075-1261 M)

Jarji Zaidan menyatakan bahwa pada masa daulah Abbasiyah studi tentang islam mengalami kemajuan pesat. Ilmu fiqh dan hadis mengalami kematangan pada masa ini. Serta cabang ilmu Islam yang lain yang mengiringi filsafat. (Hasjimy, 1995)

Pusat-pusat pendidikan yang ada pada jaman ini adalah ma’had [tempat belajar], seperti Kuttab [tempat belajar tingkat pendidikan rendah dan menengah], mesjid untuk pendidikan tinggi dan takhassus, majlis Munadharah tempat pertemuah ahli pikir, pujangga untuk membahas hal-hal ilmiah. Darul Hikmah yang didirikan Harun Al-Rasyid dan disempurnakan oleh Al Makmun, merupakan perpustakaan terbesar dilengkapi dengan ruang-ruang untuk belajar. Kemudian pada masa pemerintahannya [456-485 H] Perdana Menteri Nidhamul Mulk mendirikan sekolah dalam bentuknya seperti sekarang ini dengan nama Madrasah [1064 M menurut Azra dalam Nasution, 2004]. Madrasah ini meliputi pendidikan untuk tingkat rendah, menengah dan tinggi dalam segala bidang.
Tokoh-tokon ilmuwan dalam studi Islam pada masa ini antara lain: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy, Abu Bakar Asam , Ibnu Jaru Al Asady [mufassir]. Imam Bukhary, Imam Muslim Ibnu Majah, Baihaqi, At-Tirmizi [Hadis], Al Asyari, Imam Ghazali, Washil ibn Atha [kalam], Shabuddin Sahrawardi, Al Qusyairi dan al Ghazali [tasawuf].
Pada jaman Abbasiyah ini pula di bukukan Ushul Fiqh dan lahirnya istilah-istilah Fiqh [sunnat, wajib]. Para Fuqaha [ahli hukum ]ternama yang masih dijadikan rujukan sampai sekarang juga lahir/mengembangkan ilmunya pada jaman ini. Antra lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad. Pada jaman ini pula lahir mahzab Syiah Zaidiyah dan Imamiyah.
Perkembangan Al Ulumud Dhakhiliyah [ilmu perluasan oleh perkembangan ilmu Islam] juga mencatatkan sejarahnya pada masa ini. Sebuah buku kumpulan karangan dari anggota Ikhwanus Safa berjudul Rosail Ikhwanus Safa berhasil disusun. Isi dari buku ini adalah filsafat Islam meliputi susunan, alam, rahasia langir bumi, bintang, ilmu hayat, ilmujiwa , ilmu pasti, musik, mantik, akhlaq dan lain-lain. Pengarang dari buku ini kebanyakan merupakan orang Mu’tazilah dan Ayiah ekstrim.
Selain itu para ahli kedokteran bermunculan pada masa ini diantaranya Ibnu Sina [Avicenna], Ibnu Masiwaihi, Ibnu Sahal, dan Ali bin Abbas. Dalam ilmu yang lain ada Ibnu baitar [farmasi dan kimia], jabir Batany [falak dan nujum], Tsabit bin Qurrah al-Hirany [ilmu pasti/riyadhiyaat], Ibnu Sa’ad [sejarah], Syarif Idrisy [jughrafi/geografi], Pada masa akhir Daulah Abbasiyah disusunlah buku Al-Mausu’at. Buku ini berisi bermacam-macam ilmu sehingga mirip ensiklopedi.

C. Masa Daulah Mugoliyah 659-925 H/1261-1520 M,

Dalam amsa ini studi Islam tidak begitu berkembang. Pada ilmuwan kebanyakan hanya memberikan syarah [penjelas] atas ilmu-ilmu atau kitab-kitab fiqh yang telah ada sebelumnya. Namun demikian tak sedikit pula ilmuwan-ilmuwan yang menmpelajari berbagai disiplin ilmu (studi Quran, hadis, Tasawuf, Thib, ilmu Pasti bahkan ilmu teknik) yang muncul.

Bahkan pada masa ini merupakan matangnya ilmu sosiologi, ditandai dengan munculnya Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun (1332-1406 M)

D. Masa Daulah Usmaniyah 925-1213 H/1520-1801 M

Setelah sekian lama tidak ada pemikir Islam yang mumpuni akhirnya pada masa ini lahir Muhammad bi Abdul Wahhab (1116-1206 H), yang dianggap membawa perubahan besar dalam dunia Islam.
Pada masa ini juga lahir para ahli-ahli hadis (Abdurrauf al Manawy), tasawuf (Abdul Wahab Sya’rany), filsafat (Ash Shadar bin Abdurrahman al Akhdary), sejarah (Syamsuddin Syamy)

Daftar Pustaka

Encarta Encyclopedia 2005. Microsoft, 2004

Hasjimy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia+Tazakka, 2004

Kontrol istilah



Ada sebuah cerita, cerita ini saya adopsi dari sebuah pertanyaan dari seorang rekan di luar kota, mahasiswa Ilmu Perpustakaan yang mengambil skripsi tetang kontrol bahasa/istilah. Secara umum, begini ceritanya:

Ada penulis bernama Annisa Rahmawati, sampai dengan tahun 2000 dia telah menulis 10 buku. Pada tahun 2002, dia dipersunting oleh seorang laki-laki bernama Rachmad Bahari. Karena pernikahan ini maka Annisa Rahmawati mengganti namanya menjadi Annisa Bahari. Pada perkembangnnya, karena sangat kreatifnya si Annisa ini, dia menghasilkan 20 buku lagi dan telah diterbitkan. Buku-bukunya sangat laku di pasaran, selain karena isinya yang ringan dan memikat, juga gaya bahasanya yang mudah di pahami oleh si pembaca mulai dari remaja sampai dewasa. Maklum buku-buku yang dihasilkannya merupakan buku-buku novel yang cukup nyaman dibaca oleh orang-orang remaja sampai dewasa.

Satu ketika ada seorang fans-nya, yang mengagumi tulisan-tulisannya, dan selalu membeli buku-buku karyanya, sampai dengan tahun 2001. Di kampusnya dia iseng searching koleksi di katalog perpustakaan. Mengecek karya sang penulis pujaan. Dia ketikkan Annisa Rahmawati, kemudian dia ENTER.

Kaget betul ketika dia menemukan ada 30 record yang muncul di layar komputer. Ada 20 judul yang belum dia miliki. Namun dalam hati dia bertanya “Kok dari 30 record ada 20 judul yang tertera dengan penulis Annisa Bahari?”. Padahal dia menuliskan Annisa Rahmawati.

Sejurus kemudian dia klik link DETAIL pada record pertama pada judul koleksi yang belum dia miliki. Ternyata ada data tambahan Annisa Rahmawati

Selidik punya selidik, dia kemudian mengetahui jika si Annisa Rahmawati telah menikah dan mengganti namanya dengan Annisa Bahari, mengikuti nama suaminya.

“Berapa jumlah record yang muncul ketika mahasiswa itu mencari dengan kata kunci Annisa Rahmawati?” merupakan pertanyaan yang dilontarkan kepada saya waktu itu. Terus terang cukup mengernyitkan dahi waktu akan menjawabnya. Saya berfikir cukup serius.

Kontrol bahasa, atau kontrol istilah, memang harus diperhatikan bagi para pustakawan. Bagaimana kita mampu menerka seperti apa kira-kira seorang pencari informasi akan mencari dan dengan kata kunci apa saja kiranya mereka menelusur.

Banyak istilah yang berpasang-pasangan, dan sama dalam hal artinya. Baik dalam satu bahasa, maupun dalam lain bahasa. Carbonat misalnya, dalam bahasa indonesia ditulis karbonat. Dalam tesaurus, kata-kata ini, jika mempunyai persamaan arti maka harus dipilih salah satu. Sholat dan sembahyang, dalam tesaurus islam dipilih sholat, karena ini lebih umum digunakan. Sholat Istisqo, merupakan nama sholat untuk sholat yang dilakukan untuk meminta hujan. Istisqo lebih dipilih dari pada istilah Sholat Minta Hujan.

Dalam tesaurus, kita di beri pedoman istilah mana yag mesti kita pilih. Yang mana istilah ini akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas penelusuran informasi.

Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan besar pada sendi-sendi keidupan manusia. Kegiatan manual dialihkan kepada kegiatan terautomasi. Mesin, dalam hal ini teknologi mengambil perananan penting dalam kehidupan manusia.

Demikian juga diperpustakaan. Berbagai bentuk mesin dan berbagai variannya muncul untuk memudahkan kegiatan kepustakawanan. Mulai dari administrasi perpustakaan, pencarian koleksi, sirkulasi koleksi, sampai dengan alih media koleksi perpustakaan. Semua tidak bisa dengan begitu saja di ceraikan dari teknologi, terutama teknologi informasi.

Authotiry control, khususnya kontrol bahasa/istilah dalam input metadata koleksi perpustakaanpun juga terkena imbasnya. Jika memang teknologi informasi memegang peranan penting, lalu bagaimna nasib istilah-istilah dalam tesaurus, seperti contoh diatas.
Dalam konteks TI (sebutan untuk teknologi informasi), khususnya dalam program/software penelusuran, maka tidak ada lagi kata terpilih (prefered terms) dan kata tidak dipilih (non-prefered terms). Jika sebuah kata, istilah baik itu dalam kata kunci maupun dalam judul, jika kesemuanya terindeks dalam sistem, maka semuanya menempati posisi yang sejajar. Semakin banyak istilah yang dipakai untuk mewakili isi, maka semakin mudah record tersebut ditemukan.

Dalam koleksi Islam, ketika kita ketikkan sembahyang, maka data yang memuat sholatpun juga akan dimunculkan. Sehingga permasalahan yang ada adalah pada pemakaian bahasa asing atau bahasa indonesia (dari sudut pandang indonesia), bahasa asing (inggris) atau bahasa asli, juga bahasa asli atau sinonimnya. Tentunya kita tidak dapat menerka begitu saja, dengan apa seorang pemakai perpustakaan akan mencari koleksi yang diinginkan. Maka itulah, istilah yang mewakili dokumen perlu kita cantumkan pada waktu entri data.

Mempelajari teknisnya dengan CDS/ISIS
CDS/ISIS, merupakan jenis database yang tua dan populer dalam kegiatan perpustakaan. Pola pencarian database ini dapat dilakukan dengan logika Boelan (Boelan Logic), selain itu programnya yang di sebar secara bebas turut memberi andil dalam pengembangan automasi perpustakaan.

Untuk mempelajari kontrol istilah di atas, kiranya menarik jika dalam pengajaran (kuliah) ilmu perpustakaan diberikan dengan demo. Tidak melulu konsep dan teorinya saja. Contohnya dengan CDS/ISIS. Dalam kasus cerita diatas, seorang dosen mengentry data dalam database CDS/ISIS, kemudian di indeks, dan dilakukan demo pencarian. Maka diharapkan mahasiswa akan lebih memahami konsep-konsepnya dengan mudah.

Kenapa CDS/ISIS?, dengan database ini, dapat diperlihatkan kepada mahasiswa pola pencarian dengan 2 jalan, pertama search, kemudian browse. Dengan search, maka diasumsikan sipencari informasi sudah mengetahui kata kunci apa yang hendak digunakan untuk mencari koleksi. Di dalam pendefisinisian kata kunci ini dapat pula diikuti dengan logika Boelan (or, not, and). Selain itu dengan pencarian dengan browse. Dengan cara ini dapat diperliatkan kepada mahasiswa daftar istilah yang diindeks oleh sistem. Kan kita liat bagaimana sejajarnya posisi kata/istilah ini.

Tuesday 6 November 2007

,

Perpustakaan Klaster:



Sejarah telah mencatat bahwa perpustakaan merupakan sebuah entitas yang tidak bisa di nafikkan dalam mendukung kemajuan intelektual sebuah komunitas. Setidaknya ini ditunjukkan oleh Harun al-Rasyid yang membangun Khizanah al-Hikmah. Khizanah al-Hikmah ini lebih dari sekedar perpustakaan, namun juga merupakan pusat penelitian. Khizanah al-Hikmah yang kemudian oleh al-Makmun diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah pada tahun 815 M, yang pada masanya telah menyangga berbagai kegiatan ilmiah. Selain perpustakaan dan penelitian, juga semagai tempat kegiatan studi, riset astronomi dan matematika.
Pada masa-masa ini pula, banyak orang sudah tahu, bahwa telah lahir ilmuwan-ilmuwan modern. Ilmuwan dalam bidang theologi dan juga ilmuwan dalam bidang ilmu umum.
Sebagai contoh Ibnu Sina (Avicenna), yang merupakan seorang ahli kedokteran dan juga seorang folosof. Dengan buku terkenalnya, Al-Kanun (di dunia barat dikenal dengan The Canon) namanya dikenal dunia, dan bukunya telah dijadikan rujukan ilmu kedokteran selama berabad-abad.
Ilmuwan pada masa ini merupakan ilmuwan yang menguasai jenis keilmuwan spesifik dan yang pantas dicatat adalah juga menguasai aspek dasar sebuah ilmu. Jika kita perhatikan lebih jauh maka ilmuwan pada masa ini juga merupakan seorang filosof. Selain itu penguasaan ilmu lain yang mendukung ilmu utama yang dikuasai juga sangat menonjol.
Uraian di atas merupakan sedikit contoh perkembangan keilmuan yang ada di dunia timur. Di Yunani kita kenal Aristoteles, yang dianggap sebagai orang yang pertama kali mengumpul, menyimpan dan memanfaatkan budaya masa lalu, sebagai embrio perpustakaan. Selain Aristoteles terdapat Callimachus yang menyusun bibliografi sastra Yunani sebanyak 120 Jilid.

Perpustakaan universitas, yang banyak orang menyebutnya sebagai jantung universitas, merupakan salah satu penyangga kegiatan keilmuan dalam universitas. Peran vital perpustakaan universitas adalah pendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sebagaimana dikenal dengan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Universitas internasional, pada dasarnya adalah universitas yang dikenal oleh dunia internasional. Kenalnya dunia internasional atas sebuah universitas bisa dilihat dari kualitas out put universitas, baik itu lulusan maupun penelitian dari para mahasiswa atau dosen.
Dalam kaitannya dengan jangkauan universitas untuk menjadi universitas bertaraf internasional, maka tidak bisa diingkari bahwa perpustakaanpun wajib membenahi diri didalam merealisasikan capaian ini.
Aspek pelayanan, fasilitas, promosi dan desiminasi informasi merupakan sebuah kegiatan yang sudah selayaknya dilakukan oleh perpustakaan universitas. Pelayanan yang menitikberatkan pada aspek kepuasaan user, fasilitas yang memudahkan user, promosi layanan dan desiminasi informasi penelitian yang dihasilkan, adalah aspek wajib yang dilakukan perpustakaan. Dengan tanpa bermaksud mengesampingkan aspek teknis dan mekanis diatas, maka sesungguhnya konseptualisasi bentuk perpustakaan yang paling sesuai dalam pengembangan ilmu dan mendukung universitas internasional itulah yang harus rumuskan.
Universitas merupakan lembaga pendidikan yang mencakup berbagai bidang keilmuan, baik eksak maupun sosial. Hal ini tentunya akan berlainan dengan institut atau sekolah tinggi, yang hanya mengampu satu subyek ilmu saja. Aspek keuniversalan di universitas inilah yang kemudian harus di pahami, tidak terkecuali oleh perpustakaan.
Keuniversalan ilmu di universitas, berimplikasi pula pada pengembangan dan interaksi antar ilmu yang ada. Sudah selayaknyalah dikotomi-dikotomi dan pembatasan-pembatasan antar ilmu di minimalisir. Hal ini tentunya tidak lain adalah dalam rangka pengembangan ilmu itu sendiri.
Dalam kenyataannya selama ini berbagai disiplin ilmu selalu ada limitasi, ada batasan, sekat atau tembok besar dan tinggi yang sulit untuk ditembus. Hingga akhirnya ketika ada dua orang dengan disiplin ilmu yang berbeda mengkaji suatu masalah, maka akan ada dua penyelesaian dan pandangan yang berbeda pula. Ini merupakan jebakan diferensiasi ilmu yang harus di ketahui bersama.

Bertolak dari hal tersebut maka sesungguhnya bagaimana bentuk perpustakaan, dalam hal ini perpustakaan universitas dalam rangka mendekatkan berbagai disiplin ilmu itu?. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar, bila yang diinginkan adalah output hasil pendidikan yang mumpuni. Mumpuni dalam arti mampu melihat persoalan, kaitannya dengan riset yang komprehensif dengan pendekatan interdisipliner.

Perpustakaan klaster, sebuah usulan
Diakui atau tidak pada masa sekarang ini, perpustakaan perguruan tinggi, pada umumnya masih menutup diri untuk para pemakai dari luar institusinya. Sebut saja perpustakaan fakultas A, akan memberlakukan persyaratan tertentu untuk pemakai dari luar fakultas A. Hingga kadangkala watu yang dihabiskan untuk mengurus administrasi lebih lama dibanding untuk mendapatkan beberapa informasi yang ada di perpustakaan.
Jelas, realita seperti ini sangat tidak mendukung percepatan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena sesungguhnya ketika semakin mudah orang memperoleh suatu informasi, maka semakin cepat pula seseorang dalam mengembangkan suatu ilmu. Selain itu gesekan-gesekan antar ilmu juga akan menambah khasanah keilmuan.
Sebut saja, interaksi antara ekonomi dan fisika ternyata melahirkan ekonofisika. Hal ini bukan kemudian mengaburkan sekat dan kemerdekaan ilmu satu dengan yang lain, namun dengan “perkawinan” antar ilmu ini justru akan ada pandangan-pandangan yang lebih komprehensif dalam penyelesaian sebuah permasalahan. Selain itu bagaimana konsep stratigrafi dalam ilmu geologi ternyata mampu digunakan untuk mendekati konsep-konsep manajemen strategis. Ini merupakan contoh nyata bahwa interaksi ilmu merupakan hal yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Dengan banyaknya fakultas dalam perguruan tinggi, dapat kita anggap bahwa spesialisasi ilmu sudah sedemikian besar. Hal ini belum terhitung dengan jurusan dan program studi dalam fakultas yang bersangkutan, yang mana hampir tiap-tiap fakultas hingga jurusan mempunyai perpustakaan. Sesungguhnya, berbagai fakultas yang ada ini bisa dikelompokkan pada beberapa klaster, dengan mempertimbangkan keterkaitan ilmunya.
Sebut saja klaster Sosial-Humaniora yang terdiri dari Hukum, Sosial Politik, Ekonomi, Ilmu Budaya, Filsafat, Psikologi. Klaster Kesehatan yang terdiri dari Kedokteran Umum, Kedokteran Gigi, Farmasi. Serta klaster Teknik dan Sains yang terdiri dari Teknik dan MIPA. Pengelompokan ini bukanlah pengelompokan final, karena interaksi ilmu bisa saja berjalan tidak terduga sebelumnya.
Dari klaster yang ada, kemudian ditarik garis lurus untuk model perpustakaan. Artinya perpustakaan yang ada bukan perpustakaan fakultas namun perpustakaan klaster. Tiap klaster mempunyai perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat klasternya dengan tetap tidak menutup kemungkinan dari klaster lain untuk dapat menggunakan perpustakaan tersebut. Dengan model ini maka interaksi ilmu akan lebih intensif. Berbagai gesekan-gesekan ilmu yang diakibatkan oleh interaksi ini akan muncul. Justru keadaan ini menjadi pemicu perkembangan ilmu.

++++

Pada level Universitas, akhirnya dengan konsep perpustakaan klaster ini terdapat perpustakaan sesuai dengan jumlah klaster yang disepakati di universitas. Pemakai utama dari perpustakaan ini adalah mahasiswa, dosen, peneliti, tenaga administratif dari anggota klaster, dengan tidak menutup untuk dari klaster lainnya.
Bagaimana dengan perpustakaan universitas? Konsep perpustakaan universitas pada umumnya adalah menampung koleksi-koleksi yang bersifat umum, sehingga diharapkan berbagai kalangan lintas fakultas bisa mengaksesnya. Dengan konsep klaster ini, maka diidealkan perpustakaan universitas meleburkan diri, dan menyerahkan koleksinya pada klaster-klaster yang ada. Peran kepala Perpustakaan, akhirnya adalah sebagai pengelola atas perpustakaan klaster yang ada.

Mendukung interaksi ilmu
Konsep perpustakaan klaster, akan mendekatkan dan mendukung interaksi ilmu. Perpustakaan klaster yang menampung berbagai koleksi dengan berbagai subyek yang saling berhubungan tentunya pada dataran proses akan mengakibatkan gesekan-gesekan antar ilmu.
Sebagai contoh, pada klaster kesehatan, akan terlihat jelas dengan dimungkikannya seorang calon dokter atau pekerja kesehatan memahami pula aspek ke-farmasian. Demikian pula pada klaster teknik-sains. Seorang mahasiswa teknik sipil dapat juga memahami lebi mendalam tentang aspek kegeologian dalam kaitannya dengan teknik sipil. Interaksi ilmu ini pula yang akan mempercepat dan meningkatkan kualitas sebuah penelitian. Dengan intennya ilmu berinteraksi maka akan dimungkinkan adanya penelitian yang berjalan tidak timpang, yang akhirnya meningkatkan kualitas penelitian. Ketidak timpangan disini adalah dengan dimudahkannya akses atas referensi yang ada, baik karena tempat yang dekat maupun semakin banyaknya orang yang menguasai suatu bidang ilmu tertentu dalam ruang yang sama pula.

Efisiensi sumberdaya
Dengan perpustakaan klaster, maka sebagaimana saya tuliskan diatas, Kepala Pepustakaan menduduki peran pengelola atas perpustakaan klaster yang ada. Pengelolaan disini termasuk penyeragaman aturan yang ada pada tiap perpustakaan klaster. Peraturan yang ada diharapkan bisa mendukung interaksi ilmu pada klaster yang ada dan bahkan interaksi ilmu antar klaster. Sumberdaya yang ada pada perpustakaan pusat bisa dialihkan sebagai pustakawan di tiap klaster. Pemindahan pustakawan inilah yang diharapkan akan menjadi subyek spesialis dalam bidang ilmu di klaster tertentu.

Kemudahan pada pengguna
Kecenderungan pengguna perpustakaan, selalu membutuhkan koleksi lain yang juga mendukung kegiatan perkuliahannya. Seorang mahasiswa teknik fisika tentunya juga membutuhkan literatur tentang fisika dan ilmu murni lain. Mahasiswa kedokteran juga membutuhkan koleksi kefarmasian. Mahasiswa ekonomi menbutuhkan buku-buku sosial. Dengan konsep klaster ini maka kemudahan itu akan didapatkan. User dari perpustakaan sebuah klaster akan mudah menemukan koleksi lain yang dibutuhkannya, dimana keadaan ini akan sulit ditemukan ketika perpustakaan masih dalam konsep fakultas.

Mengenal Konsep Oposisi



Oposisi, dalam Webster Encyclopedia of Dictionary disebut sebagai opposite, yang berarti “diametrically different” atau perbedaan yang sama sekali bertentangan. Disebut juga “contrary” yang berarti berlawanan, membantah.
Dalam politik kenegaran oposisi atau disebut juga oposan, mendefinisikan dirinya dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk yang paling populer adalah partai politik. Partai politik yang kalah dalam pemilu biasanya mengambil jarak dengan penguasa, dan mendeklarasikan dirinya sebagai kaum oposan. Tentunya dengan tidak menafikan bahwa ada partai yang merapat ke pemerintah dengan berbagai alasan dan kepentingan.
Bentuk lain dari kaum oposan adalah LSM/NGO, Gerakan-gerakan mahasiswa, serta gerakan gerakan lain yang memproklamirkan dirinya sebagai penyeimbang pemerintahan [baca:pengkritik pemerintahan]. Latar belakang dan alasan kenapa mereka mengambil sikap dengan mendeklarasikan diri sebagai oposisi, tentunya bermacam-macam. Ada alasan keuntungan, bisa juga alasan ideologis.
Satu hal yang perlu ditekankan dalam konsep oposisi ini adalah: konsep oposisi tidak hanya menempatkan diri “melawan” pemerintah. Oposisi, sesuai dengan arti katanya bisa menempatkan diri dimanapun dalam suatu kelompok, organisasi, lembaga, dan dimana saja.

Kenapa oposisi penting?
Oposisi jelas penting. Berjalannya sebuah organisasi, atau secara luas sebut saja berjalannya sebuah system, tentunya tak akan luput dari berbagai kebijakan yang diambil oleh si penguasa. Kebijakan ini bisa baik dan bermanfaat bagi sasaran [baca:rakyat]. Namun disisi lain bisa jadi kebijakan-kebijakan itu justru merugikan. Dalam hal-hal seperti ini perlu adanya oposan yang punya akses seimbang antara kebawah [rakyat] dan keatas [penguasa]. Fungsi perantara inilah yang bisa mengantarkan keluhan-keluhan si tertindas, atas kebijakan-kebijakan penguasa.
Kekuasaan tentunya melahirkan power, dan power yang absolut akan melahirkan keburukan yang absolut. Power tends to corrupt, and absolut power corrupt absolutely [Lord Acton]. Sehingga oposisi itu mutlak diperlukan, titik.

Beberapa konsep oposisi
Konsep oposisi pertama adalah oposisi seremonial. Dilihat dari asal katanya, seremoni berarti resmi, formal. Oposisi jenis ini ditentukan orangnya, kedudukannya dan fungsinya. Melihat sejarah Indonesia pada masa orde baru, DPR sebagai oposisi seremoni, keanggotaannya ditentukan oleh penguasa dan fungsinya juga ditentukan, sebagai pelantun lagu “setuju”. Namun ternyata, hal-hal seperti ini justru menjadikan bom wantu bagi pemerintah. Ketidak puasan muncul, yang akhirnya kerinduan akan perubahan juga memuncak. Hingga memunculkan oposisi non formal yang berbentuk organisasi-organiasi non pemerintahan. Sebut saja MAR [Majelis Amanat Rakyat], PRD [Partai Rakyat Demokratik], yang berjuang ekstra parlementer. Oposisi-oposisi nonformal inilah yang memunculkan sosok-sosok baru yang mampu membukakan mata rakyat akan kebobrokan penguasa.

Oposisi destruktuf-oportunis
Oposisi jenis ini berusaha untuk selalu merusak citra pemerintahan, dari sudut pandang apapun. Kebijakan yang diambil selalu disikapi secara diametral. Kelemahan-kelemahan selalu dicari. Dengan harapan kewibawaan penguasa runtuh dan kudeta bisa dilakukan. Oposisi ini menginginkan kejatuhan penguasa secepat mungkin, sehingga kaum oposan bisa segera mengambil alih.

Oposisi fundamental ideologis.
Perlawanan yang dilakukan oposisi jenis ini tidak hanya pada dataran kebijakan saja. Namun sampai ke tataran ideologis. Tidak jauh berbeda dengan oposisi jenis kedua, jenis ini menginginkan kejatuhan penguasa, untuk segera bisa digantikan. Namun demikian penggantian ini tidak sekedar penggantian penguasa semata, lebih jauh sampai ke ideologis. Artinya menggantikan dasar negara semula dengan dasar yang dianggap lebih baik. Kaum oposisi fundamental ideologis ini tergerak menjadi oposisi karena dorongan faham. Entah itu bersandar pada religi, sosialisme, komunisme, nasionalisme, pluralisme dan lain lain.

Oposisi konstruktif demokratis
Kelompok oposisi ini meletakkan dasar perjuangan mereka pada kepentingan umum. Berbeda dengan oposisi sebelumnya yang hanya memperjuangkan kepentingan kelompok sehingga adanya kelahiran tiga jenis oposisi pertama justru menjadikan kacaunya tatanan yang ada. ketiga oposisi sebelumnya hanya akan menggantikan otoritarianisme lama dengan otorianisme yang baru. Dalam oposisi kontruktif demokratis, oposisi difungsikan semabagi penyeimbang pemerintahan dengan tetap melihat sisi positif yang telah dicapai, dengan tetap memperjuangkan demokratisasi pemerintahan, dan menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan golongan.

Zona nyaman terkadang membutakan mata sehingga tidak mempu melihat berbagai kekurangan. Zona nyaman terkadang melenakan sehingga mematikan nalar oposan kita. Zona nyaman terkadang memabukkan sehingga membunuh angan ideal kita.

Saturday, December 03, 2005
9:47:46 AM
purwoko@mail.ugm.ac.id

Monday 29 October 2007

,

Integrasi klasifikasi ilmu

Pada massa sekarang ini ada kecenderungan dualisme ilmu (sebagian menyebut dikotomi). Keduanya adalah ilmu “agama” dan “ilmu sekuler”. Menurut Prof. Mulyadi Kartanegara, dikotomi ini merefleksikan dua warisan epistomogi yang mempunyai sejarah yang berbeda. Ilmu agama diambil dari warisan tradisional agama/timur (dalam hal ini Islam) dan ilmu sekuler diambil dari tradisi ilmiah barat, yang tidak mau membicarakan hal-hal yang metafisik.

Beliau juga menjelaskan bahwa dalam dunia Islampun ada dualisme sejenis, namun dualisme ini tidak sampai merusak integrasi ontologi dan epistemologi. Dalam Islam dikotomi ini hanya pada metodologi saja, yaitu mengenai bagaimana ilmu itu diperoleh, pertama dengan intuisi, langsung atau ilmu laduni dan yang kedua adalah dengan penalaran rasional dan ketiga adalah observasi. Dalam aras ontologi, ilm aqli mempunyai kepercayaan kuat pada status ontologi baik benda fisik dan nonfisik.

Salah satu akibat dari dikotomi ilmu pada masa sekarang ini adalah klaim kebenaran sepihak. Pendukung ilmu agama mengatakan bahwa sumber kebenaran hanya ada pada wahyu Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian, mereka menolak sumber-sumber non-sriptural. Indra dan nalar diragukan validitas dan efektifitasnya. Dipihak lain para pendukung ilmu sekuler menyandarkan kebenaran hanya pada pengamatan indrawi saja. Nalar/rasio/akal sering dicurigai. Setinggi-tingginya tingkat pencapaian nalar seseorang masih dipandang sebagai spekulatif, sedang pengalaman intuisi dianggap sebagai halusinasi saja. Sementara untuk para agamawan, intuisi (hati) merupakan sumber kebenaran yang tinggi karena dengan intuisi dan kebersihan hati inilah para nabi mendapatken kebenaran dari Tuhannya (wahyu).
Selain itu akibat yang tidak kalah fatal adalah pada obyek ilmu yang dianggap sah untuk dijadikan bahan kajian. Sains modern meyakini bahwa obyek ilmu yang sah adalah obyek yang dapat diindera. Maka obyek yang tidak dapat diindera adalah tidak sah untuk dijadikan obyek kajian ilmu dan tidak mencapai status ilmiah.

Berkaiatan dengan hal diatas, Prof Mulyadi menawarkan integrasi ilmu (meskipun istilah ini sudah bukan istilah asing lagi).
Konsep integrasi ilmu, dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid. Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai “tiada tuhan selain Allah”. Kalimat ini adalah dasar dari keislaman seseorang. Bagi para filosof Muslim, kaimat tauhid ini mengindikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simple (basith), tidak boleh tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak mempunyai genus dan spesies, sehingga pada diriNya esensi dan eksistensi menyatu, tapi bukan satu. Jika kita katakan “Mobil itu ada satu” atau “di garasi ada mobil satu” maka yang kita lihat adalah sebuah mobil yang terdiri dari roda, kemudi, body, mesin dan lain sebagainya. Namun Allah tidak terdiri dari berbagai spesies seperti laiknya mobil. Jika contoh mobil tadi kita gantikan dengan manusia, disebut manusia karena mempunyai berbagai organ untuk menjadi sempurna. Namun Allah Maha Sempurna dengan tidak terdiri dari berbagai dzat. Allah ada dengan dzat Nya sendiri.

Para sufi menyatakan arti kalimat tauhid diatas berbeda dengan para teolog. Mereka lebih mengartikan kalimat diatas dengan “tiada realitas yang betul-betul sejati kecuali Allah”. Maka sesungguhnya alam yang ada ini bukan realitas sesungguhnya. Yang ada pada alam semesta ini adalah tidak abadi. Yang abadi hanyalah Allah. Alam dengan berbagai isinya merupakan medan kreatif Allah dalam menampakkan kekuasannya. Mempelajari alam berarti juga berusaha untuk mempelajari dan mengenal cara kerja Allah di alam semesta. Mempelajari alam mendorong kita meyakini keberadaan Allah. Fenomena alam menjadi tanda yang dengannya kita diberi petunjuk keberadaan, kasihsayang dan kebijakan serta kepintaran-Nya.
Realitas alam semesta sesungguhnya menuju kepada titik yang sama. Yang membedakan hanyalah gradasinya yang berbeda karena esensinya. Karena kesamaan ini maka sama pula secara ontologi, sehingga segala tingkat wujud menjadi sah dan valid untuk menjadi obyek ilmu.

Salah satu dari tawaran beliau adalah integrasi klasifikasi ilmu (dua lainnya adalah Integrasi Metodologi dan Integrasi Ontologi serta integrasi ilmu Agama dan rasional)
Hal inilah yang menarik bagi para pustakawan, khususnya pustakawan Muslim dengan koleksi khazanah keislaman.
Integrasi klasifikasi ilmu ini diperlukan, karena akan berpadanan dengan struktur ontologis obyek ilmunya.
Al Farabi, membagi klasifikasi ilmu menjadi tiga.
a. Metafisika
b. Matematika
c. dan Ilmu Alam, ketiganya mempunyai derivasi masing-masing.

Dalam klasifikasi ini, belum terlihat jelas integrasi antara ilmu agama dan rasional. Baru pada klasifikasi ilmu oleh Ibn Khaldunlah (wafat 1406 M) integrasi ini terlihat jelas. Ibn Khaldun membagi ilmu pada dua bagian besar.
ilmu agama (naqli/transmitted)
dan kedua adalah rasional (aqli)

Ilmu naqli menurut Ibn Khaldun terdiri dari
a. tafsir quran dan hadis
b. fiqih
c. tafsir ayat mutasyabihat
d. kalam
e. tasawuf
f. tabir mimpi

Ilmu pada klasifikasi naqli ini, bersifat praktis bukan teoritis, yaitu untuk menjamin penerapan hukum-hukum.
Ilmu rasional/aqli terbagi menjadi empat bagian
logika
a. burhani (demonstrasi)
b. jadali (dialektika)
c. khitabah (retorika)
d. syir (puisi)
e. safsathah (sofistry)
f. ilmu fisika
g. matematika
h. metafisika

Integrasi ilmu dalam klasifikasi Ibn Khaldun ini, tidak dijelaskan lebih mendetail oleh Prof. Mulyadi. Sehingga bisa jadi dengan klasifikasi diatas (tanpa penjelasan mendetail) justru orang akan mengira bukan klasifikasi yang terintegrasi, melainkan justru dikotomi ilmu (pen.)
Kesamaan yang didapat dari klasifikasi diatas hanyalah kesamaan ontologisnya. Klasifikasi ilmu, merupakan aktifitas ideologis (Sardar, 1993). Itulah sebabnya, klasifikasi ilmu dalam DDC, UDC dan LC tidak sesuai dengan pandangan-pandangan selain pandangan barat. Khususnya pada klasifikasi khusus agama. Dalam klasifikasi barat ini, agama atau Islam ditempatkan pada “sub judul”. Karena menurut mereka agama hanyalah bagian dari satu pola total. Namun pada tradisi timur, Islam khususnya Agama (Islam) merupakan semua pola dalam semua aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Para pustakawan dan ilmuan informasi Muslim harus membuat skema klasifikasi sendiri untuk pola sejarah dan kultur yang khas.
Al Kindi (807-973M), (filosof Islam pertama yang menerjemahkan karya Aristoteles ke bahasa Arab), seorang pustakawan di bayt Al Hikmah, adalah salah satu orang yang menciptakan klasifikasi ilmu dalam Islam. Klasifikasi ilmu merupakan salah satu titik tekan aktifitas berfikir pustakawan. Bagi mereka, epistemologi merupakan bagian/paruh dari aktivitas pustakawan. Tatanan koleksi dirak, pengorganisasian informasi, menunjukkan ideologi para pengelolanya. Sehingga pengorganisasian informasi dan ilmu pengetahuan merupakan aktivitas ideologis.

Sumber:
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu: sebuah rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan, 2005

Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam abad 21: menjangkau informasi. Bandung: Mizan, 1993

Sendowo f145 yogyakarta
Jum'at pagi, hari pertama bulan desember tahuan duaribu enam

Friday 26 October 2007

Tan Malaka dan buku-buku

Meskipun namanya tidak banyak dikenal, namun Tan Malaka merupakan satu dari sekian banyak pahlawan nasional bangsa Indonesia. Pengakuan ini tersurat dalam Kepres no 53 tahun 1963, pada masa Presiden Sukarno. Banyak karya Tan Malaka yang terdokumentasikan. Pandangan Tan Malaka mengenai pepustakaan ini, diambilkan dari salah satu bukunya yang terkenal, yang menjadi magnum opusnya, MADILOG (Materialisme, Dialektika dan Logika). Buku ini ditulis dalam jangka waktu 8 bulan, atau 720 jam, dengan rata-rata 3 jam sehari.

Dalam bab mengenai perpustakan, Tan Malaka menuliskan kisah tentang Leon Trotsky, yang membawa buku-buku dalam pembuangannya selama di Alma Ata. Selain itu Tan Malaka juga menyebutkan bagaimana Moh Hatta dengan peti-peti bukunya selama dipembuangan. Tan Malaka mengenang itu dan menyatakan selalu gagal jika ingin melakukan hal serupa.
Satu pernyataan menarik Tan Malaka adalah “bagi seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti disebarkan baik dengan pena maupun dengan mulut, diperlukan pustaka yang cukup.’

Penulisan bab mengenai perpustakaan, atau lebih tepatnya mengenai pustaka, oleh Tan Malaka dimaksudkan untuk menandaskan, bahwa dalam buku ini (MADILOG) Tan Malaka tetap menggunakan berbagai rujukan dalam penulisannya. Diakui memang, dalam buku ini tidak ada satu bab khusus mengenai daftar pustaka. Bahkan ada beberapa point yang kadang hilang, … maklum dalam penulisannya Tan Malaka hanya mengandalkan ingatan dan pemahaman, tanpa menghadapi koleksi rujukannya langsung. Cerdas…
Dalam pembuangan yang pertama, 22 maret 1922, Tan Malaka diiringi buku-buku yang cukup, meskipun tidak lebih dari satu peti besar. Mulai dari Quran, Bible, Budisme, Konfusianisme, Darwinisme, ekonomi, sosial, komunisme, liberal, demokrasi dan lain sebagainya. Namun semua itu terpaksa ditinggalkan di Belanda, karena ketika ingin ke Moskow lewat Polandia, yang mana Polandia sangat memusuhi komunisme, dikhawatirkan dengan adanya buku-buku tersebut, akan dapat dibaca kemana arah pemikiran Tan Malaka. Dalam perjalanan hidupnya di negeri orang, berkali kali Tan Malaka di geledah. Pernah pada satu saat sebuh buku kamus bahasa nggris pun di geledah bahkan sampai ke sampulnyapun diteliti. Sewaktu di Singapura Tan Malaka sangat sedih ketika untuk menjadi anggota perpustakaan pun tidak mampu hanya karena miskin.
Razia terhadap Tan Malaka, kadangkala harus meninggalkan akhir yang tragis. Pustaka Tan Malaka harus hilang, dicuri oleh lailong (tukang copet). Namun demikian, karena sedemikian kuatnya semangat Tan Malaka untuk memiliki koleksi, Tan Malaka pun rela jika harus mengurangi pakaian ataupun makanan.
Ketika Tan Malaka berpisah dengan buku-bukunya, tidak membuatnya menjadi patah semangat. Tan Malaka menggunakan model jembatan keledai dalam mengingat pokok-pokok bahasan dalam buku yang dia miliki. Hingga kemudian muncul gabungan huruf yang aneh dalam catatannya. AFIA-GUMMI, ONIFMAABYCI AIUDGALOG, yang kadang mirip bahasa Sansekerta. Polisi di Manila dan Hongkong pernah dibuat pusing oleh koleksi jembatan keledai Tan Malaka ini.
Pustaka merupakan hal yang sangat penting bagi Tan Malaka, namun selama perjuangannya membuktikan bahwa kehilangan pustakapun tidak membuat surut langkah dalam berjuang. Bagi Tan Malaka otak mesti di dayagunakan untuk menghafal dan memahami. Hingga dalam perjuangan tidak disibukkan dengan beban-beban material.

-------semoga bermanfaat-------

Saturday 20 October 2007

Lebar-an






Lebar-an

Sungguh setiap periode, setiap kejadian atau setiap moment-moment indah
dan penting, selalu disertai dengan berbagai atribut. Baik itu moment berkaitan
dengan negara/nasionalisme ataupun moment berkaitan dengan agama.
Demikian pula Islam dengan berbagai moment yang dimilikinya.
Mulai dari awal tahun Hijriah, turunnya Quran, lahirnya nabi, dan tidak ketinggalan
Puasa yang diikuti dengan Lebaran.

Lebaran, merupakan istilah yang disematkan pada hari persis setelah puasa
Ramadhan selesai, maka hari setelah hari lebaran itu sering disebut dengan
H+1, H+2 dan seterusnya.
Ada beberapa tafsir atas kata LEBARAN.
Lebaran berasal dari bahasa jawa, LEBAR yang berarti pungkasan, atau
setelah, yang tentunya pungkasan dari puasa atau setelah puasa ramadhan.
Lebaran identik dengan kemenangan, karena sebagaimana kita ketahui bahwa
sebulan penuh ummat Islam berpuasa, melawan segala bentuk nafsu. Hingga
kemudian menang.
Namun jangan salah, LEBARselain mempunyai arti pungkasan atau setelah,
dalam bahasa Jawa juga bisa berarti SIA-SIA. Sia-sia, dalam hal ini
setelah ramadhan bisa kita saksikan dalam banyak hal. Sebagai misal, ketika
kita berkunjung ke sanak saudara, maka yang dihidangkan adalah beraneka
makanan, yang kadang makanan itu tidak ada sewaktu hari-hari biasa. Bahkan,
biaya untuk membuatnyapun sangat besar. Belum lagi konon katanya, kemanapun
kita berjalan maka bukan hanya makanan kecil, namun kita dipersilakan
untuk makan besar. Ider weteng, begitu kata orang jawa. Saya tidak tahu,
arti yang manakah yang pada awalnya dimaksudkan untuk mewakili hari-hari
setelah puasa ramadhan ini, arti setelah atau kesia-siaan.Tentunya kita harus hati-hati dalam memaknai hal ini
Arti lain dari labaran adalah, LEBARnya semua dosa-dosa kita, LUBERnya maaf yang kita berikan kepada orang lain, di LABURnya semua dosa-dosa kita.

Dalam bahasa Jawa, bukan hanya Lebaran saja yang diidentikkan dengan
waktu-waktu sehabis puasa Ramadhan. Istilah lainnya adalah Bakdo. Bakdo,
tidak jauh artinya dengan lebaran, juga bisa berarti setelah. Bakdo merupakan
bahasa Jawa yang berasal dari bahasa Arab "Bada", yang artinya juga setelah.
Hingga kita kenal bakdo Magrib, bakdo Subuh, yang artinya adalah setelah
Magrib atau setelah Subuh. Memang banyak kosa kata Arab yang berasimilasi
dengan bahasa Jawa, yang akhirnya menjadi bahasa Jawa.
Pada substansinya, Lebaran, bakdo (bada), atau Idul Fitri diartikan dengan
sebuah keadaan dimana kita menjadi pemenang. Setelah bertempur dengan hebatnya pada masa-masa puasa.
Bertempur untuk menundukkan nafsu hewani kita yang selalu ingin melampiaskan segala bentuk keinginan. Mulai dari keinginan
makan, minum maupun keinginan untuk melampiaskan nafsu seksual kita.
Bahkan juga menahan dari berbagai bentuk nafsu-nafsu kecil, laiknya menggunjing,
misuh-misuh, marah-marah. Pertempuran ini luarbiasa hebatnya. Dilaksanakan
mulai dari subuh sampai dengan magrib. Meskipun demikian bukan
berarti di malam hari kita bebas sepenuhnya, justru dimalam hari kita disuguhi
dengan berbagai iming-iming ibadah yang pahalanya dilipatgandakan.
Maka kemudian, layaklah menjadi pemenang siapa yang berperang, layaklah
berperang siapa yang mengetahui siapa musuhnya, layaklah tahu siapa musuhnya
siapa yang tahu siapa dirinya sendiri, dan tahu/mengenal diri sendiri itu
merupakan kunci untuk mengenal Tuhannya.
Lebaran, juga merupakan moment dimana kita kembali kepada kesucian,
laiknya bayi yang baru lahir. Definisi ini berkaitan erat dengan proses kemenangan
diatas. Dengan berbagai macam pertempuran melawan hawa nafsu,
maka saat itulah, jika puasanya diterima Allah, segala bentuk dosa akan diampuni.
Bentuk pengampunan dosa inilah yang mengantarkan manusia kepada
pucuk kesucian kembali.
Apakan semua orang yang berpuasa memperoleh puncak kesucian setelahnya?
Wallahu alam bisowwab. Hanya Allahlah yang mengetahui. Ibadah puasa
merupakan ibadah yang dipersembahkan hanya untuk Allah semata. Hanya
Dialah yang berhak menyatakan diterima atau ditolak.
Sekalilagi Wallahu alam bisowwab.

Friday 21 September 2007

Perpustakaan: pandangan dan kiprah Al Attas

Dalam tulisan ini, dengan segala keterbatasannya, saya ingin menyampaikan pandangan dan kiprah singkat orang-orang yang dianggap "besar", baik pada jamannya maupun "besar" saat jamannya telah lewat,  terkait perkembangan perpustakaan. Kebesarannya dianggap memberikan warna dalam setiap detak perubahan peradaban.

SMNA (Syed Muhammad Naquib Al-Attas)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya ditulis Al Attas) merupakan pemikir jenius sekaligus ideator pada ISTAC (Institute of Islamic Thaught and Civilization), Malaysia. "Al-Attas merupakan seorang pemikir jenius yang dimiliki dunia Islam," begitu yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, tentang kiprah Al-Attas.

Al-Attas lahir di Bogor 5 september 1931. Jika ditelisik, maka silsilahnya akan sampai kepada leluhurnya di Hadramaut, dan jika ditelisik lagi maka akan sampai pada Imam Husein, cucu nabi Muhammad SAW. Beliau pernah mendapatkan pendidikan di Johor, kemudian di Sukabumi, yang akhirnya puncak akademiknya di peroleh di SOAS (School of Orientalisme and African Studies) Inggris. Beliau juga merupakan kolega dari pemikir Islam Fazlur Rahman.

Masa mudanya banyak dihabiskan dengan membaca manuskrip sejarah, agama, sastra dan buku klasik barat yang tersedia di perpustakaan keluarganya.

Pandangan Al-Attas tentang perpustakaan merupakan pandangan integral atas pandangannya mengenai pendidikan Islam. Pandangan kiprah Al-Attas ini penulis ambilkan dari bab 4, sub bab ke-5 berjudul perpustakaan, dari buku sebagaimana pustaka yang tertulis di akhir tulisan. Bab 5 ini berjudul Ide dan Realitas Universitas Islam, terdiri dari universitas sebagai mikrokosmos, Islam dan timbulnya Universitas Barat, Kebebasan Akademik dan pengembangan Ilmu, Pendidikan tinggi: bukan merupakan hak, dan terakhir sub bab Perpustakaan.

Perpustakaan, menurut beliau memegang peranan penting dalam konsepsi tentang universitas Islam. Perpustakaan merupakan tempat ilmu pengetahuan dan hikmah dari berbagai budaya, agama dan tradisi keilmuan, maka selayaknya perpustakaan diberi perhatian/prioritas utama.

Perpustakan kadang bukan hanya sebagai bagian dari institusi pendidikan, namun justru perpustakaan merupakan salah satu bentuk pendidikan tinggi.

Dalam sejarah islam, menurut Al-Attas banyak perpustakaan yang merupakan tempat berbagai kegiatan keilmuan dilaksanakan. Paling populer, sebut saja Baith Al hikmah pada 900-an M di Bahgdad yang di dalamnya berbagai aktivitas keilmuan dilaksanakan. Pengembangan perpustakaan merupakan wujud dari penggambaran insan kamil atau manusia universal oleh sebuah universitas Islam. Insan kamil, merupakan manusia yang mampu menunjukkan sifat-sifat ketuhanan dalam semua perilakunya tanpa harus keilangan identitasnya sebagai makhluk.

Pengembangan perpustakaan dan institusi pengajaran lainnya pada masa Islam pramodern merupakan kenyataan unik pada masanya. Kenyataan ini didasarkan pada penghargaan kepada ilmu pengetahuan oleh Quran, yang merupakan kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Di ISTAC, Al-Attas menginstitusikan pengembangan perpustakaan yang bagus sebagai salah satu tujuan dan sasaran. Perpustakaan ISTAC, yang merupakan bagaian dari bangunan ISTAC, merupakan hasil desain Al-Attas sendiri. Konsep pembangunannya didasarkan pada ekspresi kehadiran Islam yang hikmah, berani, sabar, adil dan harmoni.

Al-Attas menyadari pentingnya berbagai rujukan untuk proses pendidikan. Untuk memperoleh koleksi, Al-Attas menghubungi berbagai penerbit, selain itu dalam berbagai lawatannya ke luar negeri Al-Attas selalu mengatur jadwal sedemikian rupa sehingga berkesempatan untuk menemui para tokoh dan profesional yang dapat membantu usahanya berburu koleksi. Al-Attas, boleh dikatakan sebagai pecinta perpustakaan (lepas dari perdebatan siapa yang layak menyandang PUSTAKAWAN).

Sebagai contoh kiprahya, setelah kepulangannya dari luar negeri pada 1960-an, beliau banyak membantu berbagai universitas di Malaysia untuk mengembangkan perpustakaannya. Membantu mendapatkan rujukan-rujukan terutama dalam bidang stusi Islam, filsafat dan kebudayaan barat, dan kebudayaan melayu. Hubungan dengan para orientalis pun di manfaatkan untuk mendapatkan koleksi-koleksi perpustakaan. Sebagai misal, dengan perpustakaan Joseph Schact, dari sana didapatkan 5000 an jilid koleksi tentang sejarah hukum Islam.

Perpustakaan besar, bukan hanya ditandai dengan kuantitas koleksi mereka, namun juga kualitas koleksi, dengan tersedianya koleksi buku-buku besar dalam satu tempat. Ide ini terutama dituangkan dalam pengembangan ISTAC, mulai Mei 1991. Setelah Fazlur Rahman meninggal, yang merupakan komentator filsafat Ibn Sina dan Islamolog, maka beliau segera mengutus Wan Mohd Noor Wan Daud untuk menemui keluarga almarhum untuk bisa melengkapi koleksi perpustkaaan ISTAC dengan koleksi-koleksi almarhum Fazlur Rahman.

Perburuan manuskrip-manuskrip baik berkaitan dengan islam, budaya dan arus pemikiran-pemikiran dilakukan di banyak tempat. Turki, Mineapolis, Manchester, dan tempat lain di belahan bumi yang berbeda. Hingga pda 1998 ISTAC telah memiliki 110.000 jilid buku rujukan penting termasuk 3000 judul (dalam 29000 jilid) jurnal dalam berbagai bahasa.

Selain manuskript, Al-Attas juga mengumpulkan koleksi berwujud mikrofilm, yang didapatkannya dari perpustakan SOAS London. Momen besar di ISTAC salah satunya adalah persetujuan dengan Bosnia, yang mempercayakan ISTAC untuk menyalin ke dalam mikrofilm semua manuskrip yang ada pada perpustakaan Gazi Huzrev Beg Sarajevo.

Al-Attas menekankan, bahwa kepala perpustakan ISTAC nantinya adalah orang yang dilatih secara profesional, namun sekaligus sebagai seorang ilmuwan.

Penekanan Al-Attas ini didasarkan pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu ilmuwan dari berbagai bidang dan kemampuan dipekerjakan sebagai staf perpustakaan. Ini didasarkan pada kenyataan pada budaya Islam, bahwa banyak ilmuwan terpelajar yang mengelola berbagai pusat informasi atau perpustakaan pada jamannya. Ibn Muskawaih, sebagai salah satu contoh, merupakan seorang sejarawan sekaligus pustakawan di perpustakaan pribadi Ibn Al Amid. Meskipun demikian diakui di dunia barat juga mempunyai konsep pemikiran yang sama. Sebut saja Boyer, dalam key speech-nya pada Symposium Nasional Mengenai Perpustakaan Dan Pencarian Keunggulan Akademik di Universitas Columbia 1998, beliau menekankan

"kita memerlukan pustakawan terpelajar, profesional dan mengerti dan tertarik pada jenjang pendidikan strata satu. Orang yang ikut berkiprah pada materi pendidikan dan dapat mengubungkan antara ruang kuliah dan kehidupan kampus".
................................................................................

Sumber:
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan praktik pendidikn Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan

(Buku diatas merupakan terjemahan oleh Hamid Fahmi Zarkasi, dari judul asli: The Educational Philosophy Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, penulis: Wan Mohd Nor Wan Daud yang diterbitkan ISTAC tahun 1998.

Thursday 16 August 2007

,

X-Igloo: an extended Igloo

Contoh gambar Xigloo dan Igloo ada di http://iglooisis.blogspot.com 

X-Igloo, merupakan salah satu jenis Opensource untuk automasi perpustakaan berbasis web (web-based) yang dikembangkan oleh orang Indonesia. Discussion support untuk program X-Igloo sekaligus Igloo, dapat kita jumpai dalam mailing list ics-isis@yahoogroups.com. Semua orang dapat bergabung dalam komunitas ini. Sedangkan URL resmi yang memberikan informasi mengenai X-Igloo dan Igloo adalah http://yha.perpustakaan.net/igloo selain itu Igloo juga mendapatkan space web di http://igloo.lib.itb.ac.id. YHA (dalam http://yha.perpustakaan.net/igloo) merupakan kepanjangan dari Yono (Wardiyono) Hendro (Hendro Wicaksono) dan Arie (Arie Nugraha), mereka bertigalah yang menjadi pioneer dalam pengembangan Igloo hingga menjadi X-Igloo.


Sourcecode (kode sumber) Igloo 5 dan X-Igloo dapat kita unduh dengan bebas melalui repository sourceforge (http://sourceforge.net), dengan alamat lengkap di http://sourceforge.net/projects/iglooyha/


Sistem Automasi ini, dikembangkan dengan tetap menggunakan database CDS/ISIS yang merupakan database perpustakaan yang paling populer. Modul X-Igloo, sebagai program automasi berjalan berdampingan dengan dukungan program induknya yaitu Igloo versi 5 (sampai tulisan ini ada, Igloo telah mencapai versi 6, namun belum dirulis resmi oleh pengembangnya). Dalam perkembangannya Igloo mengalami berbagai pengembangan dari versi 1 sampai dengan versi 5. Sampai dengan versi terakir ini Igloo telah mampu menghandle proses temu kembali koleksi, baik itu koleksi buku, koleksi digital, maupun koleksi image. Maka dapat dikatakan bahwa selain sebagai OPAC dalam arti umum, Igloo juga mendukung dalam pengelolaan koleksi digital. Versi 5 inilah yang digunakan secara berdampingan dengan modul automasi, yang kemudian disebut X igloo.


Secara umum, Igloo 5 yang ditambah modulnya hingga mendukung program automasi perpustakaan ini, dibangun dengan CDS/ISIS sebagai database utamanya (database koleksi), PHP sebagai bahasa programnya, PHP Openisis untuk membaca database CDS/ISIS dan Apache sebagai Web servernya. Dalam kegiatan automasi, data base disimpan dalam database MySql. Tabel-tabel dalam database Mysql ini yaitu: isis_db, items, loans, member_type, members, members_overdue, dan staffs.


Interface dalam X-Igloo ini terbagi menjadi 3. Pertama adalah interface Igloo 5, yang merupakan sarana penelusuran koleksi berbasis web, yang menggunakan database CDS/ISIS.


Kedua adalah interface setting administrasi X-Igloo. Dalam interface ini terdapat fasilitas Staff Manager, yang memungkinkan Administrator untuk menambahkan staff pustakawan yang mengoperasikan sistem Automasi X-Igloo. Fasilitas berikutnya adalah Membership Type. Dalam menu ini administrator dapat mendefinisikan tipe-tipe keanggotaan yang meliputi nama keanggotaan, periode keanggotaan (dalam hitungan hari), maksimum peminjaman, maksimum perpanjangan, dan denda perhari perkoleksi. Fasilitas terakhir dalam interface ini adalah CDS/ISIS DB data. Dalam menu ini, administrator dapat mendefinisikan database apa saja yang akan di kelola dalam proses automasi perpustakaan menggunakan X-Igloo. Hal ini dimungkinkan karena X-Igloo mendukung multidatabase.


Interface ketiga adalah interface untuk proses sirkulasi. Ada lima menu utama dalam interface ini. Home, membership, circulation, statistic dan item data. Home, merupakan navigasi menuju menu utama. Menu utama pada interface ini menyediakan informasi berkenaan dengan menu yang ada. Sebagai misal, keterangan tentang membership, circulation, dan statistik data. Selain itu terdapat informasi tentang anggota yang terlambat dan terkena denda. Keterangan denda ini ditulis dengan bingkai warna merah menyala, maksudnya dimungkinkan adalah untuk benar-benar mengingatkan akan status keterlambatan dan denda orang yang bersangkutan. Sesudah menu home, menu berikutnya dalam interface ketiga ini adalah membership. Menu ini menyajikan fasilitas untuk mengelola data-data anggota perpustakaan. Ada tiga sub menu dalam menu membership ini. Pertama member listing, yang memungkinkan pustakawan untuk melihat semua member, kemudian register new member yang merupakan fasilitas untuk mendaftar member baru. Ada 8 data dalam Register new member ini, yaitu nama, membership type, member name, sex, address, member phone, member e-mail, dan activation status. Sub menu ketiga adalah Member(s) having overdue. Dengan menu ini maka pustakawan dapat melihat anggota-anggota mana saja yang mempunyai tanggungan pinjaman yang belum dikembalikan dalam status terlambat dan denda. Selain ketiga submenu tersebut, dalam menu membership ini juga terdapat fasilitas search member, yang memungkinkan pustakawan untuk mencari, mengedit bahkan menghapus keanggotaanya.


Menu ketiga dalam interface untuk sirkulasi ini adalah Circulation. Ini merupakan menu utama dalam proses sirkulai perpustakaan. Dalam menu ini, dimungkinkan pula dilakukan proses perpanjangan. Koleksi yang pernah diperpanjang akan ditandai degan [EXTENDED]. Hal ini memudahkan pustakawan untuk mengecek perpanjangan yang telah dilakukan pada suatu peminjaman..


Menu keempat dalam interface ini adalah Statistic. Terdapat tiga jenis informasi didalam menu ini. Pertama Library Transaction statistic, bagian ini hanya memberikan satu informasi yaitu total transaksi peminjaman yang pernah dilakukan oleh sistem. Informasi jenis kedua adalah Library ITEM Statistic. Bagian ini memuat lima informasi, pertama total number item registered merupakan informasi total item yang terdaftar dalam database CDS/ISIS yang dikelola oleh X-Igloo. Kedua on borrowed item, merupakan informasi item yang sedang dipinjam. Ketiga item on library, merupakan jumla item yang ada di perpustakaan (sejenis dengan total number item registered). Informasi keempat adalah most borrowed item, informasi ini berisi item/koleksi yang paling bangak dipinjam beserta database asalnya. Informasi ini tidak sekedar memberitahukan kode itemnya saja, namun lengkap dengan judul dati item tersebut. Informasi kelima adala Total overdue value, ini merupakan total denda yang terkumpul sampai dengan statistik itu dijalankan.


Informasi jenis ketiga dalam menu statistik ini adalah Library member statistic. Terdapat empat jenis informasi, pertama Total number member registered, merupakan jumlah total anggota yang terdaftar. Kedua Most active member, merupakan anggota yang paling aktiv dalam proses pinjam kembali perpustakaan. Total Number of expired member, merupakan informasi anggota yang telah habis masa keanggotaannya, terakhir adalah total number of non-active member, merupaka jumlah total anggota yang tidak aktif. Dalam pendefinisian keanggotaan


Informasi terakhir dalam interface ini adalah ITEM data. Dalam item data ini terdapat tiga fasilitas. Item listing, untuk melihat semua item yang ada. Kedua Add New Item Data, untuk menambah item dan yang terakhir adalah Search item, ini merupakan fasilitas untuk mencari item. Ada lima informasi dari item yang ditampilkan, yaitu nomor item (barcode), judul, database, edit dan delete. Selain itu dari warna tampilan item dapat diketahui item tersebut ada (tersedia) atau dipinjam. Jika informasi item berwarna hijau maka berarti tersedia, namun jika berwarna merah maka item tersebut sedang dipinjam.


Pengembangan Igloo tidak saja melahirkan X-Igloo, namun juga IONC. IONC merupakan pengembangan Igloo yang didesain khusus untuk running cd. Dengan tetap menggunakan PHP Openisis, php dan CDS/ISIS, namun web server digantikan dengan Microweb (untuk IONC ver 2), dan D-Web untuk IONC ver 3. IONC ini merupakan solusi dalam distribusi database perpustakan yang dibangun dengan CDS/ISIS kepada para pemakai perpustakaan, khususnya yang mempunyai fasilitas komputer namun tidak tersambung pada jaringan internet.


Perkembangan opensource memang sangat pesat, terbukti pengembangan Igloo tidak berhenti sampai situ. Belakangan muncul Kopimanis, yang merupakan bundel Igloo, X Igloo disertai Openbiblio dan PhpMylibrary. Kopimanis merupakan program ready to use pada Windows. Hal ini sebagai solusi atas kesulitan-kesulitan dalam instalasi Igloo yang sedikit berbeda dengan instalasi program otomasi pada umumnya.


 


 

Thursday 14 June 2007

, ,

Setelah Kau Menikahiku

sumber http://www.alia.or.id/

Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan,
namun tantangan Idan untuk
membuktikannya tak bisa ditolak.
Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan.

"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang
harus menikah," gerutuku.
Idan tertawa. "Ibumu menanyakan calonmu lagi?"
Aku mengangguk cemberut.
"Apa jawabanmu kali ini?" godanya.

"Aku tidak menjawab.
Aku langsung meninggalkan ruang makan
dan masuk ke kamar."

Idan terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.
"Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan?
Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong.
Dan ibuku malah makin gencar menteror."

Idan tersenyum . "Kau benar-benar seperti anak-anak.
Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan
kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga."

"Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah
seumur hidupnya," komentarku.

Alis Idan terangkat. "Kenapa?"

"Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan."

"Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit."

"Persis!" potongku.
"Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?"

"Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya,
sementara keuntungannya lebih banyak?"

"Sok tahu," cibirku. "Kau sendiri belum menikah.
Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah."

"Aku sudah cukup banyak belajar, Pit.
Umurku sendiri sudah tiga puluh lima,
kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga."

"Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah
cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?"

Idan tersenyum."Ya, memang."

"Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!"

"Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas."

Dan aku menghela nafas panjang.
"Ah, ya. Calon."

....


"Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?"

"Ya," gumamku enggan.

"Bukan karena kau sama sekali anti-menikah."

Aku menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi
kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang
saat datang ke pesta."

"Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?"

"Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus," komentarku pahit. "Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku
ke mana pun aku pergi."

"Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu
ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran."

"Idan!" kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku
ia menghindar sambil tertawa.

"Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak
penggandeng tetap?" tanyanya kemudian, lebih serius.

"Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah
dengan orang yang salah. Kalau saja," aku terdiam.

"Apa?"

"Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis
dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku.
Bagaimana seorang perempuan bisa tahu
kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah?
Yang suka memukuli, mencaci, maki, menghina,
orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat."
"Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali."

Aku menggeleng. "Semua laki-laki binatang."

"Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki."

"Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat."

Idan terbelalak.
Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

"Idan!" desisku. "Nanti orang-orang memperhatikan kita!"

"Pit, kau sadar kalau aku belum mati?
Aku harus mati dulu sebelum jadi roh
dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,"
dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.

"Idan, Idan," desahku.

"Kalau kau memang mau menikah, berobatlah." Ia tergelak.

"Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki."

"Aku tidak bisa, Dan."

"Berarti kau memang tidak bisa menikah.
Tidak mungkin dan tidak akan.
Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana.
Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak.
Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan----------?"

"Idan!" walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu.
Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku,
ia benar-benar telah memahamiku.

"Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?" katanya kemudian.
Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka
dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik.
"Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap.
Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya
seseorang yang akan menemani dan melindungimu."

"Jangan bicara begitu," cetusku, kembali manyun.

"Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih.
Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu
dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung.
Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.
Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,
plus Bodyguard kalau perlu."
"Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,"
Idan membungkuk dalam-dalam.
"Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?"

Aku tertunduk lemas. "Itulah, Dan," desahku.
"Aku tidak tahu. Apalagi Yang aku butuhkan saat ini?
Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan.

Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku.
Aku Punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi,
jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah."

"Bagaimana dengan keturunan?"

"Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak?
Aku bisa mengadopsi bayi, kan?
Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau akumau, aku bisa mengasuh satu, dua
atau bahkan tiga dari mereka.
Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah,
mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir
dan atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa
pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku.
Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan,
aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian.
Kenapa, Dan? Untuk apa?"

Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta mungkin?"

"Kau terlalu banyak menonton film romantis ," olokku.
"Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?"

"Berapa lama?"

"Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi,
kompromi, frustrasi dan imajinasi."

"Imajinasi?"

"Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki
yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus
membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila."
"Astaga," gumam Idan. "Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?"

"Gorila," jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

"Idan," keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak.
Aku sedang membicarakan masalah serius,
dan aku sebal kau tertawai terus menerus."

Wajahnya serta-merta menjadi serius.
"Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku,
kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,
yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah.
Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik.
Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,
tertawalah. Tertawalah keras-keras."

"Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku.
"Aku perlu solusi dan bukan ide-ide konyol."

Idan membisu.
Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati.
"Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu.
Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu.
Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki.
Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami."

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk
mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan
nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.
"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,
jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percayakepadaku?"

Kutatap Idan dengan dahi berkerut.
Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun.
Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki
telah hadir dan menghilang dari hidupku.

Hanya Idan yang tak berganti.
Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,
sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar
dari depresi yang paling parah sekalipun.

Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya."Ya. Aku percaya kepadamu."

"Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini
semata-mata untuk kebaikanmu.
Percayalah bahwa aku sama sekali tidak
memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah."

"Idan! "potongku tandas. "Ide apa?"

"Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,"
ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang
pada ekspresi wajahku.

"Kita akan melakukan pernikahan."

"Apa?"

"Simulasi!" lanjut Idan sesegera mungkin.

"Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran,
akad nikah, kalau perlu honey moon...."

"Bulan madu?" Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam,
"Simulasi. Sekali lagi, simulasi.
Setelah itu kita akan menjadi suami istri --simulasi?
sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia y ang normal dan waras
begitu berambisi untuk berumah tangga.

Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya
tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai
dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya.

Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri,
kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih
menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?"
"Idan," desisku. "Ini ide terbodoh yang pernah kudengar."

"Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,"
sanggah Idan mantap.

"Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar
seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh
menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian...."

"Serius, Idan, serius!"

"Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun.
Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun."

"Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan...."

"Simulasi," Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

"OK. Pernikahan simulasi," geramku.
"Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai."

"Simulasi."

"Idan!"

"Upit!"

"Oh, Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar.
Idan segera menjejeriku.

"Upit, kau tidak perlu semarah ini," katanya.
"Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan
tidak mau pura-pura menikah denganku?"

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya dan menggeleng.
"Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun,
aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang
manapun yang mencintaimu."

Matanya berbinar.
"Kau tidak marah lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu, Dan.
Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan
jalan ke luar dari suatu problem serius. Aku mengerti.
Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku."

"Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit," ekspresinya tampak begitu tulus.

"Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan."

"Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah,
denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat
baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh...,"
ia berhenti saat melihat raut wajahku,
"Ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu."

Ia diam sejenak.

"Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.
Dimana pun."
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.
Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku
ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri.

Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus
digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.
"Apa aku harus menciummu?" tanyaku nyaris berbisik.

"Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,"
matanya kembali tertawa.

"Di pipi. Aku tidak akan melewati batas.
Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku...."

"Idan," teguran itu lebih lembut
daripada yang kuinginkan
dan Idan tersenyum.
Suaranya bergetar. "Saya terima nikahnya Puspita Kirana
binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai."
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat.

Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam
dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya,
Seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya.
Ibu Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia.

Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga.
Mungkin dengan orang-orang lain.
Tapi seharusnya aku merasa bahagia.
Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku.
(Simulasi, Upit, Jangan lupa itu. Suami baru simulasi.)

Tangannya dingin.

Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub,
saat aku mendongak setelah mencium jemarinya.

Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih.

Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah pak penghulu,
Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, "Kau pucat sekali."

"Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi."

"Terlalu nervous?"
"Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh."

Aku tersenyum.
"Bagaimana aku tadi?" bisiknya.
"Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?"

"Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi.
Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku."
Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi.
Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.

Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan
menghabiskan akhir pekan dengan memancing.
Di minggu kelima dia protes, dan mereka bertengkar.

Pertengkaran terhebat yang pertama.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan --simulasi--
kulewatkan di rumahku sendiri.
Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan,
karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk;
mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan
acara pernikahanku dengan Idan.

Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri.
Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai
dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.

Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur.
Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur,
sementara di atas meja terhidang nasi goreng
dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.

"Aku ada rapat pukul setengah delapan,"
seru Idan sambil membalik dadar telurnya.
"Aku mesti berangkat sebelum setengah enam."

Kucicipi nasi goreng buatannya. "Aku tidak tahu kau pintar memasak."

"Pramuka," komentar Idan ter senyum.
Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan.
"Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit."

"Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak,
aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput." Idan terbahak.
"Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi."

"Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu."

"Jangan," Idan menggeleng. "Ia pasti curiga kalau melihat kita
tidur di kamar berbeda."

"Jadi?"

Idan menggaruk kepalanya.
"Bisakah kau masak nasi tiap hari?" pintanya.
"Aku punya rice cooker."
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah?
Ini hanya sebuah permainan.
Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?
Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu
bagaimana rasanya jadi seorang istri,
mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.

"Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik."
Ia tersenyum dan beranjak dari meja
dan kembali dengan sebuah bolpoin merah.
Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender
yang tergantung di dinding dapur.
"Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah
dengan musyawarah keluarga," katanya saat kembali ke kursinya.

"Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati," lanjutnya.
"Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku
kalau kau akan pulang terlambat."

Dahiku berkerut. "Untuk apa?"

"Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu
kalau kau akan pulang terlambat?"

Aku menggeleng.
"Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri
dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh."

"Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa
dan di mana kau kalau pulang terlambat."

"Kau kedengaran seperti diktator."

"Kurasa aku tidak minta terlalu banyak."

"Itu terlalu banyak untukku."

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala.
Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah.
Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini.
Ia benar-benar marah.

"Ingat," lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar istrimu.
Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu."

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal,
buku-buku jarinya memutih.
Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap.
"Baik. Kalau itu maumu," desisnya kemudian.

Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin
mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk.

Tapi aku tak berani mengungkapkan itu.
Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa
dan pergi ke kamarnya Untuk bersiap-siap ke kantor.
Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan.
"Aku pergi, Pit," katanya dingin.

Aku bangkit dari meja menghampirinya,
berniat untuk memperbaiki situasi.
"Sebagian teman-temanku menyarankan ini," ujarku
sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku.

"Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya.
Mereka bilang kau harus mencium keningku."

Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup
dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!

Aku sengaja pulang terlambat malam itu.
Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe
yang belum pernah kukunjungi,
sebagian untuk memperoleh kesendirian
dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan
yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku.
Aku
tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini.
Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya
menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku.
Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat.
Dan seorang sahabat tidak boleh
menuntut terlalu banyak.

Mataku tertaut pada cincin emas mungil
yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah.
Ini hanya permainan, batinku.

Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku.
Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar.
Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya,
itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.

Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam.
Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah.
Aku akan belajar satu hal dari semua ini.
Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan.
Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku.
Kalau ia tidak marah-marah dulu.

Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong.
Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?

Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox.
Dengan menggunakan berbagai tipu daya,
memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku
Kutelepon rumahnya.
Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil.
Idan tidak ada di mana-mana.

Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi?
Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali.
Ia bahkan tidak pergi ke kantor.
Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal
dengan dalih yang dibuat-buat.

Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada.
Malam itu kulewatkan di sisi telepon,
berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering.
Bermacam-macam kengerian terlintas dibenakku
saat aku mengangkat receiver.

"Upit?"

"Idan?" jeritku. "Kau di mana?"

"Pit, aku minta maaf karena marah dan
minggat begitu saja. Boleh aku pulang?"

"Idan, ini rumahmu!" meskipun aku tersenyum,
air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku.

"Kau di mana?"
"Di luar."
"Di luar rumah?"
"Ya. Dan aku lapar."
"Oh, Tuhan...."
Aku lari ke luar rumah.
Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya..

Entah sudah berapa lama ia di sana.
"Kau keterlaluan!Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!" teriakku kepadanya.

"Aku juga rindu kepadamu!" balas Idan tertawa.
Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.
"Di mana saja kau dua hari ini?"
"Di hotel kecil dekat kantor."

Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya.
Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa
aku sudah membeli semua makanan kegemarannya.
Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
"Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?" suaraku bergetar.
"Aku perlu baju bersih," ia tertawa malu.
"Laundri hotel mahal sekali."

Saat ia mencuci piring makannya,
dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung,
"Selain itu , aku khawatir karena kau sendirian di sini."
Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.

"Aku akan pulang terlambat besok," ucapku perlahan.
"Aku harus lembur. Dikejar deadline."
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku.

Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
"Oke," katanya. "Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?"
"Asal kau sisakan cukup untukku," aku tersenyum.

Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah
dibacanya berserakan di ruang tamu.

Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton Filmaction -- genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola - olahraga yang menurutku amat membosankan.
Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi
dengan memencet bagian tengah tubenya,
tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup terima.
Caranya menghabiskan akhir pekannya.
Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam
untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya,
dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing.

Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang
dengan pergi dari satu Galeri ke galeri lain,
dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal,
dan berakhir dengan acara makan-makan,
kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami.

Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing,
karena aku dengan sangat cepat akan merasa jemu.

Sebulan pertama aku berusaha mengerti.
Ia selalu pulang dengan mata berbinar
hingga aku tak tega mengeluh dan protes.

Tapi dipekan kelima kesabaran ku tandas, dan pagi itu,
saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya
ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing.

"Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini," pintaku.
"Kau kan bisa pergi sendiri," katanya sambil memasukkan
kaus bersih dan handuk kecil.

"Seingatku kau berjanji untuk selalu
menggandeng tanganku ke manapun."

"Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,"
ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya.

"Aku sudah janji dengan kawan-kawanku
untuk mencoba tempat memancing baru."
"Kau bisa mencobanya minggu depan."
"Tadi malam tidak ada bulan, Pit.
Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini, "
ia tersenyum sambil melompat-lompat
dengan sepatu bola barunya.
"Aku bisa memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!"
"Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,"
gumamku.
"Pakai voucher dariku saja," sahutnya ringan
sambil mulai lari-lari di tempat.

"Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu?
Kalau kuberi lima belas ribu cukup?"

"Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon."

"Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi
dengan lima belas ribu."

"Oh, Tuhan!"

Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku
dengan tangan di pinggang.
"Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi."
"Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih.
Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku,
dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan."

"Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu.
Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan."

"Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan.
Apa enaknya jalan- jalan sendirian?
Aku perlu teman."

"Kalau begitu ajaklah teman-temanmu."

"Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri.
Dengan suami-suami mereka."

Idan mengerutkan keningnya.
"Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?"
"Ya!"
"Kenapa tidak bilang dari tadi.
Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi.
Aku akan senang kalau kau ada di sana."
"Idan!" jeritku.
"Kau ini buta, tuli atau imbesil sih?
Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!"
Mata Idan menyipit.
"Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,"desisnya.
"Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali."

"Mengalah!" suaranya meninggi.
"Apa aku masih kurang mengalah selama ini?
Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku,
apa kau tidak bisa memberiku...."

"Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua!
Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam
saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!"

"Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau
lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak!
Kau lebih memilih mengurung diri di kamar
dengan Pavarotti dan Flamingo...."

"Placido Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga
untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh
tiap dua menit atau dua puluh dua orang
memperebutkan satu bola kulit!"

"Setidak-tidaknya itu lebih jujur
dan bisa dimengerti dari film- filmmu yang becek air mata itu!"

"Kau kekanak-kanakan!"

"Dan kau, Tuan Putri, kau egois!"
Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar
lewat pintu samping.
Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.

Seperti inikah perasaan para istri
setelah bertengkar dengan suaminya?
Dadaku sesak dan kepalaku sakit.
Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa
mulai membuat mataku pedih.

Aku sama sekali tidak mengira sesuatu
seperti ini terjadi padaku.
Aku tahu Idan melakukan semua ini,
simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah
menuntut apa pun darinya.

Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak
aku menikah --simulasi-- dengannya,
mengurangi jadwal clubbing-ku,
pulang dari kantor sesegera mungkin,
memperhitungkan apa ia akan menyukai
makanan yang kubeli.
Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku?
Tidak!

Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku.
Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti,
dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut.
Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk
sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
"Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan
dandan sedikit,"katanya.
"Aku tidak mau pergi ke mal."
"Kau bilang tadi pagi...."

"Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau
gatal-gatal karena alergimu kumat."

"Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa
pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat...."

"Aku bilang aku tidak mau ke mal!
Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau."

"Jangan seperti anak kecil begini, Pit," geramnya.
"Ayo!"
"Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi,
silakan!"
Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak
berhasil membuat Idan marah.
Pria itu malah bersikap sangat manis.
Wajah Idan benar-benar merah sekarang.
"Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak
pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut
sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi."

"Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku.
Dan aku tetap tak mau pergi."

"Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian,
makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri
dan melar dan melar dan melar dan melar...."
"Idan!" jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke
arahnya.
Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang
telah mencair melumuri t-shirtnya.

Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar
diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang pintu.
Saat itu aku takut, takut sekali.
Ia seperti telah menjadi manusia
lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan.
Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis
hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang
berat memaksaku tertidur kelelahan.

Sorenya aku keluar mengendap-endap.
Idan pasti telah pergi memancing.
Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis
karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya.

Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain
kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku.
Maka selesai mandi, aku segera memasukkan
semua pakaianku ke dalam kopor.
Saat itu Idan datang.
Ia kedengaran sangat gembira,
bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang.
Siulannya berhenti saat ia melihat koporku
dari pintu kamar yang terkuak.

"Apa-apaan ini, Pit? " tanyanya.

"Aku pulang ke rumah Ibu."

Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku.
"Semudah ini kau menyerah?"
"Ini diluar dugaanku."
"Apa?"
"Aku tidak mengira aku menikahi monster."

Idan terdiam, menunduk. "Aku...," katanya lirih.
"Aku bawa pizza kesukaanmu."
"Aku sudah terlalu gemuk."
Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau cantik."
"Aku tidak butuh pendapatmu.
Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa."

"Aku sudah mencoba jadi suami yang baik."

"Kau gagal."

"Setidaknya aku mencoba. Kau ... kau tidak melakukan
apapun supaya pernikahan kita berhasil...."

"Simulasi."
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat.
"Simulasi."

"Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak.
Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan.
Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu."

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali.
Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur.
Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping.
Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini.

Lama kemudian,setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit.
Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.

"Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,"
suara Idan menyambutku.
"Terlalu lama," gumamku.
"Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu."

Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup
saat aku membuka pintu gerbang.
Meninggalkan Idan secepatnya,
hanya itu yang ada di benakku.

Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air
hujan hanya lima puluh meter dari rumah,
aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil
dan menendang pintunya, meninju atapnya,
air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang.
Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut
kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
"Ayo pulang," katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah,
tak memberi ku kesempatan untuk melarikan diri.
Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan
kuncinya di saku.
"Ganti bajumu," katanya.

"Semua bajuku di dalam kopor."

"Ambil bajuku."

"Tidak akan pernah!"

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku
lurus dengan mata berkobar,
"Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"

"Monster," desisku.

Malam itu suhu tubuhku menanjak naik,
kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri.
Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan
sebutir tablet penurun panas danaku membangkang.
Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku,
aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar
pulang ke rumah orang tuaku.

Setelah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat.
Ketika aku terjaga dan menemukan
Idan tengah mengganti kain kompres didahiku,
sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan.

Ketika aku tiba- tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku
dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah
dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.

Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun
dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam.
Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku.
Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.

"Ibu."

Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia enghampiriku.
"Bagaimana? Sudah enakan?"
"Idan mana?" bisikku. Ah,pertanyaan bodoh.
Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku sekarang
atau setidak-tidaknya siapa namaku.
Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan?
rutukku pada diri sendiri.

"Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang."

Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
"Ibu sudah berapa lama di sini?"

"Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?"

Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta
terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah,
Idan sama sekali tak peduli aku sakit.
Aku berbalik dan memejamkan mata.
Air mataku yang panas luruh satu-satu.

Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur.
Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya.
"Bagaimana, Bu?" tanyanya,
suaranya mendekati tempat tidurku.
Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku,
sejuk dan membawa ketenangan.
Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku,
dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya
dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.

"Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi.
Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu."

Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku
dalam hati.
Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara
dengan ibuku.
"Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok."

Ibu tertawa kecil.
"Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan
kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah,
mengurus Upit. Apa kau tidak capai?"

"Saya pakai baterai Energizer, Bu."

Ibu tertawa lagi, "Idan, Idan. Kau mesti istirahat
juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu
sesabar kau merawat dia."

Ibu!
Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!

"Sudah tanggung jawab saya, Bu."

Alangkah klisenya! Sunyi.

"Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?"

"Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi."

"Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam,
jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur.
Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau."

"Ya, Bu."

"Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan."

"Baik, Bu."

Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu
mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya
yang menyakiti perasaanku.
Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku.
Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci
pada diriku sendiri.
Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya,
bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu.
Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu.
Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku.
Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan,
lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi,
menutup lagi entah berapa belaskali.
Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum,
merebuskan mi instant yang tidak kumakan,
menyiapkan roti yang kubuang kelantai,
mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat
dan memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit.
Pijatannya dikakiku terlalu keras, terlalu lembek,
terlalu kasar, tidak terasa.
Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi,
aku membangunkannya untuk menyalakan televisi
agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali
ia mulai mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan
mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah
dan memakiku seperti dulu.
Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah.
Kesabarannya merusak segalanya.

Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya - yang
hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di
matanya - yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan.
Aku dibuatnya merasa bersalah,
karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya
sendiri, menghukum dirinya sendiri,
mungkin lebih berat dari yang kulakukan.

Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan,
sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan. Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi,
aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu.
Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan,
dan aku tiba-tiba merasa malu.

Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan,
hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu.
Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya.
Kenapa aku sampai bisa melupakan itu
dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?

Aku tahu permintaanku wajar.
Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun.
Dan ia juga sama bersalahnya denganku
karena mengobarkan pertengkaran konyol itu.
Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya.
Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya,
Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar.
Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes
ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu.

Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak
perlu berdiri saat menggosok gigi.
Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku
dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku,
hingga saat aku keluar dari kamar mandi,
aku merasa jauh lebih segar dan hidup.

Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas
di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru.
Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku,
menambahkan gula pada susu cokelatku dan
mengupaskan telur sarapan pagiku,
aku hampir menangis karena terharu.
"Kau tidak ke kantor?" tanyaku mencoba membuka percakapan;
kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya
setelah pertengkaran kami.

"Ini hari Minggu, Pit."

"Aku sudah sakit selama seminggu?" bisikku tak percaya.

"Ya," Idan tersenyum.

"Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang.
Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu."

"Ibuku kan di sini."
"Ya. Aku terpaksa memintanya datang.
Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan
pekerjaanku minggu lalu. Maaf."

Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya.

Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi.
"Tidak main bola?"
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi
dengan selai nenas.
"Aku mau memberi kesempatan pada Agus.
Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan."

Aku tersenyum.
"Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku.
Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,"
ia mengangkat bahu dan tersenyum.

"Kau mau pergi memancing nanti sore?"
Ia menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit.
Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah."

"Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku
kepada mereka, ya."

"Terima kasih untuk apa?"

Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan
yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku.

Tapi yang keluar dari mulutku adalah,
"Karena meminjamkanmu untukku hari ini."

Senyum Idan serta merta surut.
Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku.
"Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun,
bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya?
Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji
dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?"

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
"Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,"
katanya kemudian.
"Kita memang perlu ngobrol lebih sering.
Jangan menangis, Pit. Nanti air jerukmu asin."
"Selamat ulang tahun, Pit."

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu.
"Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!"

"Memberimu selamat ulang tahun," jawabnya polos.
Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur
dan menarikku hingga berdiri.

"Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!"
Ia menyeretku ke ruang kerja
dan menyuruhku duduk di depan komputerku.
Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan,
yang sarat dengan berbagai programming software
yang digunakannya untuk bekerja.

Dan satu lagi milikku,lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan. Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku
dengan mata berbinar.
Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak
apa yang telah disiapkan Idan untukku.

Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu?
Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.

"Kau lihat?" Idan memotong renunganku.

"Apa?"

"Hadiahku."

Keningku berkerut.
Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu.
Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start.
Tidak ada yang berubah.
Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias.
Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun,
aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
"Kau tidak menemukannya?" tanya Idan,
dengan setitik kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

"Aku menambah memori komputermu," akunya kemudian.
Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
"Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat."

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya.
Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya,
setidaknya beberapa detik yang lalu,
sebelum ia sadar bahwa aku kecewa.

"Oh," hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."

"Kau boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum
dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa.
Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan
selamat dan senyum pernuh arti.
Ketika aku memasuki ruang kerjaku,
aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu.
Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih.
Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu,
lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi
lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku?
Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.


Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal,
mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
Pram berjanji akan membahagiakan Puspita.
Tapi sayang semuanya sudah terlambat.
Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu.
Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan.
Idan mustahil bisa seromantis itu.
Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih.

Dan ia adalah milik masa lalu
yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali.

Tapi pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang kukenang.
Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya;
tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian
dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri,
dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih
serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.

Tidak ada yang berubah.
Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut,
terhalangi serumpun gelagah.
Ketika aku menghampiri meja itu,
aku tidak lagi merasa sebagai Puspita
yang berusia tiga puluh empat tahun,
yang dewasa dan percaya diri,
tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun,
yang tercabik diantara cinta dan ambisi.

Di meja itu harusnya seseorang menantiku,
seperti sepuluh tahun yang silam.
Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap.
Masa lampau mustahil kembali lagi.
Tapi segalanya masih begitu serupa dulu,
hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku,
menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku.
"Ita,"
kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat.
Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut,
masih persis seperti yang kukenang.
"Kau datang."

"Halo, Pram," sapaku sembari duduk di hadapannya,
tak melepaskan mataku dari senyumnya.
Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada.
Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi
kurasakan tentang siapapun juga.
Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku
masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

"Terima kasih mawarnya," ujarku, sedatar yang mampu kulakukan.

Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.

"Kau masih ingat."

"Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun," katanya tersenyum.
"Kapan kau pulang?"
"Tadi pagi."
"Dengan anak istrimu?"
Pram tertawa kecil.
"Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita."
Jawabannya begitu mengejutkanku
hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku tidak bisa membayangkan menikah
dengan siapa pun selain denganmu,"
senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona
yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku.
"Sepuluh tahun aku mencari,
dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu."

Aku menunduk, bibirku terkatup erat.
Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku,
dan aku menolak.
Aku tak bisa membiarkan peluang karier
yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja,
bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi.
Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya,
terperangkap dan layu di negeri asing,
walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku.

Dan ia pergi.
Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur,
tak satu pun kubalas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun
dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli,
sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang.
Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki
sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.

"Kau sendiri bagaimana, Ta?"
"Aku sekarang editor senior,"
jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna.

Apa artinya seuntai jabatan di sisi... cinta? Kesetiaan?

"Selamat!" ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti.

"Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu."
"Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua," ujarku lirih.
Apa jadinya kalau dulu kukatakan "ya "?

Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?
Ia menggeleng.

"Aku hanya memintamu memilih."

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku.
Suaranya pelan saat ia bertanya, ? Kau sudah menikah?"
Aku mengangguk.
Ia tertawa kecil, agak gugup.

"Siapa?" tanyanya lirih.

"Idan," jawabku kaku.

"Idan? Irdansyah temanmu?"

"Sahabatku."

"Sahabatmu," desahnya. "Sudah berapa putramu?"

Aku menggeleng. "Belum ada," bisikku.

Pram menatapku lekat.
Dua kali ia tampak seolah akan bicara,
tapi Setiap kali, ia berhenti.
Akhirnya, dengan senyum kecil
ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.

"Aku...," dibukanya kotak itu.
"...Aku sendiri menganggap diriku gila,
karena membawakanmu ini.
Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini,
di benakku kau masih Ita-ku yang dulu.
Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi
dan kau pasti sudah menikah. Tapi...."
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia.
Aku terkesima.
"Aku tahu kau suka perhiasan antik.
Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen.
Aku membeli ini darinya,"
tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

"Terima kasih," gumamku terpesona. "Cantik sekali."

"Kau suka?"

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan.

"Kau....Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot...,"
suaraku keluar dengan susah payah.

"Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik
yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila.
Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu.

Setiap kali aku berbelanja barang antik
aku tak bisa tidak mengingatmu," ia tertawa kecil.

"Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini.
Bawaanku sudah banyak sekali.
Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili
dalam radius dua ratus lima puluh kilometer."

Aku tersenyum kecil.
Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan.
Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia?
Apa ia mengenal selera dan kegemaranku?
Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.

Pram masih bicara panjang lebar
tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman.
Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain
telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka,
semakin lapang hati dan terbuka.
Kalau ada yang berubah dalam dirinya,
semua itu hanya menjadikannya sempurna.
Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku.

Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang antik
yang juga jadi salah satu kegemarannya.

"Kalau saja kau bersamaku, Ta," katanya dengan mata berbinar.
"Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa
mencari barang antik...."

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara.
"Maaf," katanya

Sejenak kemudian.

"Aku harus kembali ke kantor," gumamku kaku.

"Baiklah. Mau kuantar?"

"Aku ada mobil."

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri.
"Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang.
Tapi, kalau kau tidak keberatan,
bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini?
Aku perlu teman yang bisa mengantarku
jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop."

Undangan yang sangat menggoda,
yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu
dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi,
kalau saja aku bisa mengucapkan ya.

Pram membaca keraguanku
dan sesaat sorot matanya meredup.
"Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku," katanya.
"Aku tidak punya banyak teman di sini."

"Aku pikir-pikir dulu," jawabku cepat-cepat,
sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama.

Dibelakangnya ia menuliskan sederet nomor.
"Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu."

Malamnya aku berbaring di kamar,
menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia
yang sedang mabuk kepayang.
Aku bukan remaja lagi dan seharusnya
aku lebih bisa menguasai diriku sendiri.
Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri.
Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan
dan khayalan yang kukira telah lama lenyap.

Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram?
Ia mengira dan aku telah meyakinkannya,
kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir.
Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan
hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi
kapan pun aku mau.

Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda?
Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi.
Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi.
Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin.
Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir,
cepat atau lambat.
Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua
yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi?
Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu.

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum,
mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.

Maaf kalau kau menganggapku lancang
karena terus mencintaimu.
Tapi bisakah kau menghentikan badai? Aku tak bisa.
Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri.
Aku ingin bersamanya, selamanya.
Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang,
kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar kepala itu.
"Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan
di galeri baru dekat kantorku."

"Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita."

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram,
mendiskusikan lukisan dan benda seni,
sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi.

Aku tak bisa memungkiri
betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,
membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung
saat bersama Idan.
Setelah lama membicarakan masalah seni rupa,
Pram tiba-tiba bertanya,
"Kenapa kau menikah dengan Idan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Seingatku, ia bukan tipemu."

Aku tertunduk.

"Kenapa, Ita?"

"Idan mencintaiku ," bisikku pelan.

"Apa kau mencintainya."

Kebisuanku mem berinya jawaban.

"Apa kau bahagia?" lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. "Ya."

"Jangan berbohong."

"Idan suami yang baik."

"Tapi apa kau bahagia?"

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa
sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?
"Berapa lama kau menikah dengan Idan?"

"Setahun."
"Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu.
Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan...." "Stop."
Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku.
Tapi bisakah kaurenungkan perasaanku sendiri?
Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu
pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur
dalam genangan air mataku.

"Ita," tanya sekretarisku yang, entah kapan,
telah memasuki ruangan. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa," bisikku, mencoba mengendalikan diri.
"Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan."

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan.
Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya
aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya
tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan.
Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya,
seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.

"Idan."

"Upit? Ada apa pagi-pagi begini?"

"Aku .... Kau tahu ..., " aku terbata.
Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu.
Dia tidak berhak untuk itu.
Tapi itu tidak membuat segalanya mudah.
Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat
tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku.
Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun.
Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya
terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.

"Ya?" desak Idan.

"Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?"

"Sekretarismu? Tentu."

"Bekas pacarnya yang pilot itu kembali."

"Lalu?"

"Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu.
Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi
dengan bekas pacarnya itu.
Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri."

"Tapi Indri sudah punya anak dua kan?"

"Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah.
Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa."

"Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?"

Aku menghela napas.
"Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab."

"Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar," meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya
berteriak kepada seseorang di ujung sana,
"Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. aku menyusul." Istriku. Aku istrinya. Istrinya.
Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
"Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku...,"
suara Idan kembali di telepon.

"Karena kau yang membuatkan kopi?"

"Kau!" ia tertawa, lalu segera kembali serius.
"...Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois.
Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri.

Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan."

"...Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya,
apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?"

"Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar
mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona
dengan nostalgia masa lalu?
Apa mereka benar-benar saling membutuhkan
atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu?
Kalau hanya itu yang mereka inginkan,
mereka akan kecewa kalau terus bersama,
karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda,
sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau."

"Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya.
Ia tidak pernah mencintai suaminya."

"Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?"

"Keadaan."

"Maksudnya?"

"Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya
tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi."

"Astaga. Kasihan sekali."

"Jadi bagaimana?"

Idan diam sejenak.
"Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab
ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri
untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu
ia tidak akan pernah bahagia karena
merasa terpaksa terus bersama suaminya.
Kalau ia meninggalkan suaminya,
aku juga tidak menjamin ia akan bahagia
dengan orang yang hanya mengenalnya dipermukaan,
tidak utuh, seperti suaminya."

"Lantas aku mesti bilang apa?"

"Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri.
Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia
yang reputasinya tidak diragukan lagi."

"Kau sama sekali tidak membantu," desahku.

"Ini bukan keran bocor atau teve rusak
yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit.
Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah,
jangan lagi mengurusi rumah tangga orang."

"Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu."

"Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau
membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat
untuk memberimu saran yang tak berguna."

Aku tertawa pahit.
"Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang.
Terima kasih untuk saran dan waktumu."

"Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi.
I love you, Darling!" ia berteriak.
Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon.
"Iya, Pak, sebentar. Istri saya ...."

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.
Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?
Kita tidak bisa bertemu lagi Pram," ujarku kepada Pram di telepon.
Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang
saat kata-kata itu kuucapkan.
"Kenapa? Idan melarangmu?"

"Dia tidak tahu apa-apa."

"Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri.
Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang
yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa
mendapatkan semuanya?"

Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.

"Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu
dan hidupmu baru akan lengkap denganku.
Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan,
hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang.
Dan kita baru akan memulai hidup,
setelah kita bersama.
Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan,
tapi berdua, kita akan miliki segalanya
...."

"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.

"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi,
kau hanya buang-buang waktu dan tenaga.
Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur.
Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu.
Tidak ada yang lebih penting dari itu
dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku."

"Aku tidak bisa ...."

"Kenapa tidak?"

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan.
Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara.
Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

"Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya,
jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya.
Satu-satunya perasaan yanglayak kau simpan untuknya cuma iba,
karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu
dan ia akan selamanya menikah
dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."

"Aku ...."

"Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang.
Seluruhtubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia
seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku.

"Aku tidak mencintaimu," gumamku.

"Lebih keras lagi."

"Aku tidak mencintaimu."

"Kau berbohong."

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."

"Ita," suara Pram gemetar.
"Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku
dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat.

Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan
bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan.
Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak
dan tidak mungkin menghentikanku.
Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu,
karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku.
Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia.

Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram
adalah yang terbaik untukku dan masa depanku,
sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan.
Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun.
Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri
untuk mencari waktu yang tepat.

Tapi saat itu tak pernah datang.
Setiap kali, aku dilanda keraguan
dan akhirnya membatalkan niatku.
Pram tidak bisa mengerti itu.

"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta.
Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu.
Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain
yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku
segera setelah masa idahmu selesai.
Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi."

"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi ... Entahlah."

"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"

"Aku ...." aku tergagap dan menggeleng.

"Jadi, bicaralah dengan Idan."

Sore itu, aku pulang dengan hati berat.
Aku sudah bertekad untuk bicara
dengan Idan malam itu juga.
Aku tak akan menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras.
Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku.

Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan
menggandeng tanganku ke dalam rumah.

"Ada apa?"

"Sst!"

Ia membawaku ke serambi samping.
Dengan bangga dikembangkannya tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih,
cukup lebar untuk tiga orang,
dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang,
berwarna hijau dengan gambar ... mawar putih?

"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita," katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu.
Wajah Idan benar-benar sumringah.
Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku
yang pasti telah berubah warna.

"Aku ... aku tidak punya hadiah apa-apa,"
gumamku sambil kembali menatap ayunan itu,
menyembunyikan kalutku.

"Aku lupa...."

Idan tertawa.
"Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.
Ia duduk diayunan itu.
"Ayo," katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa.
Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu,
aku dan Idan menikah, simulasi.
Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa
sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku.
Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya,
tapi aku sama sekali tak mendengarkan.
Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata
yang akan segera kuucapkan padanya.
Aku telah berlatih dalam hati
untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas.
Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun
runtuh berserpihan.

"Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,"
teguran Idan membuyarkan renunganku.

"Ada apa?"

Kutatap matanya. "Dan, Pram pulang."

Dahinya berkerut. "Pram?"

"Pacarku yang pergi ke Jerman."

"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."

Ia mengangguk lagi.
Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
"Dia sudah menikah?" tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat,
tanpa memandang wajahnya.
"Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi.
Karena itu, aku ingin kita segera bercerai."

"Oh."

Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat.
Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan,
seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"
Aku mengangguk.

"Kau yakin akan bahagia dengannya?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat.
"Aku ikut bahagia."

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya.
Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana.
Rasa lega meruahi hatiku.

Idan bertanya beberapa hal tentang Pram
dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun
yang mabuk asmara.
Tapi setelah beberapa waktu,
aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.

"Dan?" tegurku.

"Ya?"

"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh,
supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku."

Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.

"Pit, bangun!"

"Ada apa?" gumamku.

Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan
pukul tiga lima belas dini hari.

"Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal."
Aku terlonjak duduk.

"Apa?"

"Ganti baju," perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar."Kapan."

"Baru saja."

"Di?"

"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."

"Idan ...."

Ia membanting pintu kamar di depanku.

Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku
dengan baju yang pantas.
Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala
dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan.
Kuketuk pintu itu perlahan.
"Dan, aku sudah siap."

Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk.

Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman
aku bisa melihatnya meringkuk di sudut,
wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya.
Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal
saat aku menyentuh bahunya.
Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku,
ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku
ia menangis.

Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya.
Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional
dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman
menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya
dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan
kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.

"Pit, bawa Idan pulang."

"Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"

Kak Ira menggeleng. "Coba lihat sendiri," katanya
sambil menunjuk ke halaman belakang.

Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok.
Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok
dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar
ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam
dari yang ditunjukkannya.

Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya
telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja
tinggal berisi sebatang.

Kucabut rokok itu dari antara jemarinya
dan kubunuh di asbak.
Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku.
Aku sadar Kak Ira memang benar.
Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh
dari semua kenangan tentang ibunya.

"Aku mau pulang, Dan, " ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan.
"Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri.
Besok aku pulang naik bus saja."

"Aku tidak mau sendirian di rumah."