Monday 25 February 2019

Meneladani Pak AR, untuk kepustakawanan kita

diposting juga di https://www.pustakawan.web.id/2019/02/meneladani-pak-ar-untuk-kepustakawanan.html

Siapa Pak AR? warga Muhammadiyah pasti tahu. Nama lengkapnya Abdur Rozaq Fachrudin, Ketua PP Muhammadiyah dengan periode yang paling lama, 22 tahun. “Pak AR adalah ulama yang tawaduk,” demikian simpul Pak Syafii Maarif.

Seperti ditulis pada buku Pak AR Sang Penyejuk karya Saefudin Simon, Pak AR sekolah di SR kemudian melanjutkan di Mualimin meski hanya bertahan 2 tahun. Beliau kemudian balik ke kampungnya, karena tak ada biaya. Dengan semangat ngajinya yang tinggi, beliau belajar dengan Kyai di kampung, termasuk pada ayahnya: KH. Fachrudin.

Pak AR tidak kuliah. Konon, kabarnya pernah mendaftar kuliah, namun ditolak oleh kampusnya. “Kami ingin Pak AR ngajar, bukan menjadi mahasiswa,” demikian tanggap kampus. Hobinya membaca, di mana saja. Menjadi Mubaligh Muhammadiyah cita-citanya, dan wong ndesolah sasarannya.

Beliau tak punya rumah, bahkan sampai meninggal. Rumah di Cik Di Tiro merupakan pinjaman Muhammadiyah. Di depan rumah berjejer rapi botol bensin eceran. Rumah yang ditempati juga disekat jadi kamar kos. Motornya Yamaha butut tahun 70-an, itupun - kata Pak Syafii Maarif -  pemberian Prawiro Yuwono, orang yang kasihan pada Pak AR. Motor itu menemani ke sana ke mari untuk  berdakwah. Kadang juga berboncengan dengan Bu Qom, istrinya. Karena keduanya berbadan gemuk, kadang Bu Qom hampir duduk di lampu belakang.

***

Pak AR pintar berkomunikasi, berdiplomasi. Dengan warga pengajiannya sudah pasti. Namun, Beliau juga lihai  berkomunikasi dengan orang tinggi level presiden. Presiden Soeharto merupakan kawan baiknya. Ketika berbicara, keduanya menggunakan Jawa Kromo Inggil. Pak Harto begitu mempercayai Pak AR, karena tak pernah minta apapun, kecuali untuk Muhammadiyah dan ummat Islam. Konon, Pak Harto tidak marah ketika diajak “istirahat” oleh Pak AR. Tentu saja karena keduanya sudah akrab, ditambah lagi dengan lumantar bahasa jawa kromo inggil, menjadikan keduanya lebih saling menghormati.

Bantuan untuk Muhammadiyah, atau lembaga lain yang melewati Pak AR selalu utuh. Meski menjadi talang berbagai bantuan, Pak AR tidak teles. Pak AR merupakan talang yang selalu garing, mengantarkan air sampai ke tujuan tanpa kurang. 

***

Pak AR mampu menghadirkan agama dengan bahasa yang ringan, enak, sejuk, dan membahagiakan. “Ceramahnya disukai bukan hanya oleh ummat Islam, namun juga umat agama lain,” kata Pak Amidhan. “Agama Islam itu sejuk jika dihadirkan Pak AR,” demikian kutip Simon dari kawannya, Pak AR mampu menyaring, memilih dan memilah informasi, kemudian disampaikan pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat. Bukan hanya menyampaikan, namun juga melakukan, memberi contoh.


“Pak AR adalah ulama yang tawaduk,” kata Prof. Syafii Maarif. Tidak perlu menyampaikan bahwa dia bisa ini atau itu. Bahkan, konon, kabarnya Pak AR menolak ketika akan dibuatkan buku dalam rangka 70 tahun usianya. “Loh, aku ini bukan siapa-siapa. Ndak pantas dibuatkan buku 70 tahun Pak AR,” katanya. Ketika ceramahnya di RRI akan dibukukan, Pak AR bertanya, “apakah lawakan Basiyo sudah dibukukan?”. Ternyata tidak. Pak AR pun tidak mau ceramahnya dibukukan. 


***

Membaca kisah Pak AR, saya jadi ingat dengan kepustakawanan kita. Mampukan, atau adakah tokoh kepustakawanan ala Pak AR?

Pustakawan yang belajar dari membaca, mempraktikkan, memberi contoh. Lihai berdiplomasi, namun tetap tawaduk, menyejukkan, jauh dari hingar bingar harta dunia, namun tetap berperan dalam mendidik.

Pak AR yang da’i, sama dengan pustakawan. Bahkan Pak AR itu pustakawan. Ah, terlalu jauh saya membandingkan. Tapi, mohon maaf bagi yang kurang berkenan. Pustakawan itu seperti da’i. Tidak harus sekolah formal, cukuplah keingingan kuat, mau membaca, belajar sepanjang hidup.



Da’i itu pustakawan.

Friday 15 February 2019

Cara memperoleh API Key Scopus untuk Publish or Perish


Kawan.....

Ketika kita menggunakan Publish or Perish untuk mengambil data dari Scopus, akan diminta memasukkan API Key. Kenapa? karena Scopus itu berbayar. Kudu ada APInya untuk bisa menjebol database Scopus.

tampilan pilihan sumber data di PoP
API Key bisa diperoleh melalui web Scopus. Tentu ada caranya

pencarian di PoP minta API Key



Untuk memperoleh API Key, silakan login dahulu ke Scopus. Ya, jadi kudu bisa akses laman registrasi, dong? 

Silakan buka scopus.com, lalu login menggunakan akun anda. Jika belum punya, maka anda perlu membuat dahulu. Jika sudah punya akun Mendeley, atau Sciencedirect, anda dapat menggunakannya untuk login.

Login ke Scopus
Setelah register dan login, lihat bagian paling bawah laman Scopus.com, akan muncul menu seperti di bawah ini.
Tampilan menu API
Klik SCOPUS API, maka akan muncul tampilan seperti di bawah ini
menu My API Key

Klik My API Key,  ikuti proses, ikuti prosesnya kemudian buka konfirmasi di email.

konfirm melalui email

Di email, cari email dari Elsevier/Scopus, kemudian klik Confirm Email. Setelah di klik, maka akan diarahkan ke tampilan dashboard API di Elsevier. Klik Create API Key.

klik Create API Key

Kita akan diminta konfirmasi ulang email. Tulis email dan klik Continue

email konfirm

Ikuti Prosesnya, dan API Key akan muncul di dashboard. 

API Key

Masukkan API tersebut ke PoP.

Menyalin API ke PoP



Gunakan API untuk proses pencarian di PoP.  Hasilnya seperti di bawah ini.

Pencarian ke Scopus melalui PoP

Hasil pencarian di PoP bisa dianalisis metricnya, atau dicemplungke ke VosViewer.



----

Terimakasih untuk Mas Adi Wijaya (Mahasiswa S3 DTETI) yang memandu saya memperoleh API Scopus.

Monday 11 February 2019

,

R.Ng. Ronggowarsito sudah mengingatkan bahaya hoax

Sedulur semuanya. 

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pujangga. Sangat termasyhur. Hingga kini pun namanya masih dikenang. Nama kecilnya Bagus Burham, cucu dari R.T. Ranggawasita I.

Burham lahir pada Senin Legi, 10 Dulkangidah 1728 tahun Be. Wuku Sungsang jam 12 siang. Atau pada tanggalan Belanda menunjukkan 15 Maret 1802.  Ketika kecil, Burham diasuh oleh Ki Tanuwijoyo, termasuk ketika mondok di Gebang Tinatar.

Saat ini, patungnya berdiri di museum Radya Pustaka Solo, diresmikan Bung Karno dengan dihantarkan pidato yang begitu menggelora. 

Tak disangkal, Bung Karno menyitir kalimat serat Kalatidha yang ditulis Ranggawarsita pada bait 7 yang begitu terkenal: hamenangi jaman edan…. Bung Karno menyebut bait ini sebagai dasar hukum moreel. “Kita bangsa Indonesia mengalami djaman edan. Kalau tidak eling las waspada, kita akan ikut serta dalam djaman edan tadi,” tegas Bung Karno.

***

Tapi bukan itu yang hendak saya sampaikan. Melainkan bait ke 4, dari 12 bait Kalatidha. Pada buku Anjar Any terbitan 1980, pada halaman 62 terdapat terjemahan bebas dari bait tersebut.

Demikian terjemahannya: “Persoalannya berpangkal karena adanya berita palsu. Dikabarkan akan menjadi pejabat yang lebih tinggi, ternyata tidak. Karena kecewa, lalu berfikir: apa gunanya ada di depan sebagai pejabat?. Nantinya apabila tidak hati-hati akan membuat kesalahan, lebih-lebih kalau sudah lupa diri akan menimbulkan mala petaka saja”. 

Setelah bait ini, Ronggowarsito njlentrehke bahwa menurut kitab Panitisastra sudah ada peringatan. Pada jaman sekarang yang penuh kebatilan ini, orang yang baik tidak terpakai. Apa gunanya mendengarkan berita yang tidak benar? Kalau dirasa hanya menyakitkan hati saja. Ki Pujangga lebih baik membuat kisah lama, yang dapat dipakai untuk contoh baik serta buruk. 

***

Kalatida merupakan kritik dan sindiran pada berbagai hal yang terjadi pada masa itu. Kalatidha berarti waktu atau jaman edan. Ditulis  dalam bentuk Macapat Sinom oleh Ranggawarsito antara tahun 1861-1873 pada masa Sri Sunan Pakubuwono IX.

Lebih dari 150 tahun silam. Pada masa itu,  berita palsu ternyata sudah merebak dan merusak. Kerusakan karena berita bohong itu, ditulis Ronggowarsito sebelum mbabar jaman edan. Bayangkan! 150-an tahun silam, Ronggowarsito sudah merasakan adanya kerusakan di negeri ini. 

Opo meneh saiki!!

Friday 1 February 2019

, ,

Pustakawan: makhluk dongkrak-an dan malapraktik pendidikan pustakawan

**[1]**

“Pustakawan: makhluk apa itu?”

Pertanyaan yang tidak umum.  “Sejatinya, makhluk seperti apakah pustakawan itu?,” gumam  Paijo.

Setelah renungan panjang, diuyak-uyak alias dikejar-kejar, akhirnya dia ingat, dulu pernah nulis di blognya dengan judul “pustakawan itu bukan siapa-siapa”.

Ya. Bukan siapa-siapa! Paijo memang yakin begitu. Pustakawan itu manusia biasa. Dia bukan manusia super yang bisa ini itu. Berarti, kesimpulannya pustakawan itu makhluk yang bukan siapa-siapa. Dudu sopo-sopo!.

Tulisan itu, fikirnya, sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan “pustakawan makhluk apa itu?”. 

Namun, Paijo ingin mengejar, “bukan siapa-siapa itu karena apa?”.

Paijo ingin menelisik, sebab musabab pustakawan itu bukan siapa-siapa.

Menelisik “sebab” dengan waktu yang terbatas tidaklah mungkin. Kecuali lewat perenungan, kontemplasi agar turun wahyu, kemudian: cling, ketemu jawabannya. Tapi Paijo juga sadar. Dia manusia biasa yang berlumur dosa. Kesalahan dan dosanya sangat mungkin menjadi penghambat turunnya ilham. Ada tabir pemisah pada ilham dan wahyu yang sulit ditembus. 

**[2]**

Di grup pustakawan blogger yang Paijo ikuti, pernah terlontar pertanyaan atas dasar sebuah pengalaman.

Kang Yogi, seorang manajer aset digital terkemuka di Indonesia, kaget tak terkira. Ketika itu dia sedang memilah dan memilih para pelamar. Salah satu yang dilihat, tentunya selain foto pelamar yang bening-bening, juga IPK. Dia kaget saat melihat IPK adik angkatannya yang menjulang tinggi, setinggi tugu monas. Tugu yang kabarnya juga disebut MONumen Akal Sehat. Padahal, dulu di jamannya, IPK mau setinggai tiang bendera saja susahnya minta ampun. Sulit. 

Ada beberapa prediksi dari Kang Yogi, apa sebab IPK si pelamar itu bisa menjulang tinggi. Mungkin si mahasiswa makanannya bergizi, daya hafalnya luar biasa, kemudian yang terakhir nilai menjulang tinggi itu karena dongkrakan.

Dongkrak?

Dongkrak, menurut kamus suci Bahasa Indonesia, berarti alat untuk mengumpil atau menaikkan. Hasil dongkrak-an, berarti hasil dinaikkan, hasil umpilan, angkatan, yang sebelumnya di bawah menjadi naik ke atas. Mumbul.  

Komentar muncul, masih dalam grup itu, yang mengatakan bahwa dongkrakan itu diperlukan agar akreditasi kampus tetap oke, dan tentunya tuntutan pasar. Mungkin ada belas kasihan dari dosen pada alumni kalau IPK kecil, karena bisa menyebabkan tidak lolos masuk syarat mendaftar ASN. Efek berikutnya  akan dahsyat. Si sekolah perpustakaan akan dijauhi calon mahasiswa. Jelas ini berbahaya. Para dosen tidak mau ini terjadi. Itu pasti!

Namun, apakah prediksi ini benar?

“Harus diinvestigasi,” Paijo mengepalkan tangan.

**[3]**

Nah, sore ini, Paijo buka facebook. Biasa, buka akun satu dan lainnya, buka wall kemudian baca status banyak orang. Tanpa sengaja dia nemu status seorang dosen. Tentunya dosen ilmu perpustakaan, bukan dosen ilmu lainnya. Dia tak berani membahas yang lain.

Status di laman FB itu masih ada hubungannya dengan dongkrak mendongkrak. Begitu lugunya si dosen membuka rahasia dapurnya pada status sebuah facebook. 

Entah keluguan itu muncul karena memang lugu, atau, ya mungkin sedang menikmati posisinya sebagai dosen, yang memiliki "kuasa" atas mahasiswanya. Atau bisa juga karena saking mumetnya menjalankan perannya sebagai dosen (ilmu) perpustakaan.

“nilai-nilai itu sudah hasil dongkrak sana dan sini”, demikian tulis dosen itu di laman FBnya. 

“Ini jelas bukan status lugu,” gumam Paijo mengoreksi anggapan awalnya. Karena dia yakin, dosen itu sebagai ilmuwan yang boleh salah, tapi tidak boleh bohong dan harus jujur. “Lebih tepatnya ini status jujur,” koreksi Paijo dalam hati. Status itu sudah melewati tes kevalidan, kajian ilmiah, review, dan akhirnya keluar. Kabarnya ada juga yang nilainya D atau E.

Paijo mikir, kalau D dan E itu juga sudah hasil dongkrakan, lalu aslinya berapa? 

Sebenarnya Paijo masih heran, kenapa selevel dosen membuat status seperti itu? 

Ah, entahlah. 

Status itu merupakan bukti kejujuran, yang didukung oleh keluguan dan apa adanya. Status itu, yang berwujud kumpulan huruf, menjadi kata, menjadi kalimat, kemudian melahirkan tafsir, adalah tanda.  Ini bahasa semiotik. Tanda itu dikirim/terkirim oleh si dosen kepada publik, tentang apa yang terjadi dalam dapurnya.  Jika itu disengaja, maka memang ada pesan yang sengaja dikirim oleh si dosen. Jika itu tidak sengaja alias alamiah, atau tanpa sadar, maka memang demikianlah adanya.


Status itu cukuplah membuktikan, atau bukti awal prediksi Kang Yogi. Selain itu, juga cukup sebagai bukti awal, kenapa pustakawan itu “bukan siapa-siapa”. Atau, juga bukti awal, silang sengkarut kepustakawanan di Indonesia.

Paijo berkesimpulan, dongkrak-mendongkrak itu benar adanya.

"Ah, diperlukan lebih banyak dosen (ilmu) perpustakaan, yang berani membuka dapurnya di muka umum. Agar dunia kepustakawan lebih terang benderang duduk masalahnya," gumam Paijo.

**[4]**

Sendirian, Paijo masih melanjutkan lamunannya. Masih tentang dongkrak mendongkrak. 

Paijo mikir. “Jangan-jangan nilaiku dulu juga dongkrakan, katrolan”. Oh tidak…

Seorang kawannya yang bekerja di bidang penjaminan mutu pendidikan pernah berkata. Waktu itu di sebuah kafe samping rumahnya mereka ngobrol. Intinya: malapraktiknya pendidik itu efeknya sangat panjang, lama. Bahkan efek itu bisa menimbulkan efek ikutan lainnya. Bahaya, dan berpengaruh pada perjalanan bangsa dan negara.

Apakah proses pendongkrakan ini, merupakan malapraktik dalam pendidikan pustakawan?

Jika iya, maka jelas sudah. Silang sekarut kepustakawanan Indonesia memang bermula dari pendidikan pustakawannya. Bermula dari, ah... sudahlah.

Entahlah.
---------------

[[ titik - selesai ]]

Tulisan ini sebelumnya diposting di sini


Sambisari, 
Selasa Wage pagi hari, 22 Jumadilawal, 
Wuku Pahang, 1952 tahun be.