Monday 27 March 2017

, , ,

Perpustakaan UNSYIAH: model ideal untuk menjadi "lebih dari sekedar perpustakaan"

Banyak sekali jumlah perpustakaan di Indonesia. Khusus perpustakaan perguruan tinggi, ada 800-an lebih [1]. Nah, dari sekian banyak ini, mana yang paling menarik? Tentu, bagi masing-masing orang akan berbeda-beda, karena pengalaman dan cara memandangnya pun berbeda.

Perpustakaan yang “lebih dari sekedar perpustakaan”, akan lebih terlihat jika dipandang dari sisi pemustaka. Berikut adalah kisah singkat perjalanan virtual saya sebagai pemustaka, berdasarkan informasi yang saya peroleh selama ini tentang Pustaka Unsyiah.

Poltak: “Unsyiah itu di mana tho, Jo?” 
Paijo: “Di Nangroe Aceh Darussalam, Bro.”
##########

Saya mengenal Pustaka Unsyiah dari internet, serta melalui diskusi dengan Pak Taufiq Abdulgani selaku Kepala Perpustakaan Unsyiah. Saya pernah bertemu beliau pada beberapa acara kepustakawanan. Saya belum pernah datang berkunjung ke Pustaka Unsyiah, bahkan ke Aceh, ataupun ke bumi swarnadwipa.

Namun, pagi ini saya punya rencana, saya hendak berkunjung ke Pustaka Unsyiah. Sebuah perpustakaan perguruan tinggi, yang berdiri sejak 1970 di propinsi ujung Sumatra. Perjalanan pun saya mulai dan nikmati, sampai akhirnya saya tiba di depan bangunan Pustaka Unsyiah. Gedung tiga lantai, bercat putih, yang terlihat begitu kokoh,  

Memasuki gedung Pustaka Unsyiah, rasa nyaman dan hangat telah mulai terasa. Kesan ramah dan bersahabat ditawarkan oleh petugas bagian front-office. Tidak jarang, kita juga akan disambut mahasiswa-mahasiswi paruh waktu yang telah dididik dengan berbagai pelatihan pelayanan. Wajah mereka khas, ramah dan tidak membosankan. Hal ini wajar dan tidak perlu diragukan. Kabarnya, mereka adalah mahasiswa pilihan, dari sekian banyak mahasiswa yang berbondong-bondong mengajukan diri menjadi tenaga paruh waktu di perpustakaan, mereka lah yang lolos seleksi. Luar biasa. Dari kesan awal ini, terasa sekali manfaat perpustakaan bagi mahasiswa.
http://detak-unsyiah.com/wp-content/uploads/2016/12/1481707186622.jpg

Sebelum masuk di area koleksi, saya dihadapkan pada pintu yang terpasang presensi elektronik. Pemustaka tidak lagi menulis manual bukti kehadirannya, namun cukup mendekatkan kartu anggotanya di mesin presensi. Alat ini seolah ingin mengatakan, bahwa meski perpustakaan ini berada di ujung Sumatra, namun tidak kalah dari sisi teknologi. Ide dan keberanian implementasi pengelola Pustaka Unsyiah dari aspek teknologi, menghadirkan pengalaman menarik bagi pemustaka. 

Mahasiswa antri mengular untuk masuk di perpustakaan. Namun, dari apa yang mereka bawa, terasa ada yang aneh. Setelah saya cermati, ternyata tas. Ya!, mahasiswa masuk perpustakaan diizinkan membawa tas. Apakah saling percaya pada semua elemen di perpustakaan hendak dibangun (dan ditunjukkan) dengan (salah satunya) izin boleh membawa tas masuk di perpustakaan?. Aneh? Risiko? Kejujuran? Kehilangan? Tentunya itu yang ada dibenak saya.

http://library.unsyiah.ac.id/g
Tapi tidak. Sepertinya Pustaka Unsyiah ingin menerapkan dan menanamkan saling percaya antar semua elemen di perpustakaan. Tentunya dengan mekanisme tertentu, ada petugas khusus pemeriksaan tas, misalnya. Selain itu, konon kabarnya kebijakan ini diambil karena loker tas sudah tidak mampu menampung tas pemustaka yang kedatangannya melebihi kapasitas loker. Menurut saya, ini menarik. Dari sebuah keterbatasan, melahirkan kebijakan yang justru memberikan nilai lebih pada  Pustaka Unsyiah. Ah, kenapa saya heran? Toh ini Aceh, propinsi istimewa dengan segudang sejarah, dan lekat dengan nilai-nilai akhlak Islam. Selayaknya lah jika saling percaya, kejujuran diterapkan di kehidupan sehari-hari, pun dari perpustakaan.

Ketika masuk di ruang perpustakaan, saya dihadapkan pada pemandangan yang luar biasa. Mulai dari banyaknya mahasiswa yang beraktivitas di meja ruang sirkulasi, dan di antara rak buku serta koleksi yang berjajar rapi. Tampilan rak terlihat minimalis, namun menghadirkan informasi lengkap tentang koleksi yang dimuatnya, mulai dari subyek dan nomor kelasnya. Jangan salah! Buku berjajar rapi, bukan karena jarang digunakan. Namun, ternyata karena Pustaka Unsyiah memiliki pasukan mahasiswa shelving (penataan buku) yang akan menjaga kerapihan koleksi. 

Saya melanjutkan berkeliling. Sampai lah saya, di berbagai ruang yang berdesain unik, penuh mahasiswa yang belajar sambil duduk, diskusi, menggambar di meja, yang bisa mereka ubah posisi meja tersebut sesuai keinginan. Duduk di sofa, atau lesehan santai sambil diskusi, adalah pemandangan rutin di tiap harinya. Sesekali pustakawan terlihat berkeliling, memastikan pemustaka benar-benar mendapatkan apa yang mereka butuhkan di perpustakaan.
http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/IMG_20160614_112816.jpg

Pengalaman saya sampai di beberapa ruang tersebut, telah cukup membuat saya takjub pada Pustaka Unsyiah. Perjalanan tetap saya lanjutkan.

##########

Tampak, di bagian lain pustaka, mahasiswa berbondong-bondong menenteng laptop, masuk ke sebuah ruangan. Pustakawan dengan sigap mengatur dan mengarahkan tempat duduk mahasiswa. Sejurus kemudian, mahasiswa telah siap di kursi masing-masing, lengkap dengan laptop yang siap digunakan. Di depan, layar dan laptop pemateri telah terpasang siap digunakan, lengkap dengan alat pelantang suara. Ternyata, ada kelas literasi informasi (LI), demikian informasi yang saya dapatkan dari pustakawan. 

UnsyiahLib MobileApp
Pustakawan memulai kelas LI, dengan menyampaikan berbagai sumber informasi yang bisa diakses mahasiswa, database yang dilanggan Pustaka Unsyiah, cara aksesnya, serta koleksi tercetak. Lengkap dengan cara akses menggunakan telepon cerdas (smartphone). Agaknya, pengelola telah menyiapkan aplikasi mobile di aplikasi Android untuk penyebaran koleksinya. Tak lupa, cara memilih informasi yang paling tepat, dan cara mengelolanya juga disampaikan. Peserta mengikuti dengan mempraktikkan pada laptop masing-masing. Sesekali ada yang bertanya kepada pemateri. Beberapa informasi terlihat di layar, mulai dari alamat library.unsyiah.ac.id, uilis.unsyiah.ac.id, etd.unsyiah.ac.id. Menarik sekali, layanan dan fasilitas yang menawarkan pengalaman menarik bagi pemustaka. Pustakawan pun aktif terlibat, dan menjadi pihak yang paling depan untuk membuat mahasiswa literate pada informasi. Saya mengikuti kelas LI ini sampai selesai.


##########

http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2016/02/IMG_4270.jpg
Perjalanan mengeksplorasi perpustakaan saya lanjutkan…. Menjelang siang, setelah kelas LI, saya melihat di sebuah sudut, mahasiswa mulai berkumpul. “Ada apa lagi ini?”, pikir saya. Saya bergegas menuju kerumunan mahasiswa tersebut. Tampak sebuah bagian, yang dipersiapkan sebagai pusat kegiatan. “Kegiatan apakah?”, saya masih belum menemukan jawaban. Tak lama, seorang dengan pakaian unik maju dan menempatkan diri. Tangannya memegang benda aneh, yang kemudian dimainkan… Mahasiswa menonton dengan serius, terlihat senyum kegembiraan dan penasaran di wajah mereka. Ternyata yang saya lihat adalah pertunjukan sulap, pada acara Relax and Easy (RE) @unsyiahlib. Kegiatan santai yang dihadirkan Pustaka Unsyiah untuk menghibur mahasiswa. Konon kabarnya, kegiatan RE diisi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari sulap, seperti yang baru saja saya saksikan, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menyanyi, komedi tunggal (stand up comedy), dan lainnya. Selain melalui RE, dari informasi awal yang saya peroleh, mahasiswa juga diberi wahana kreativitas di Librisyana, sebuah majalah yang diterbitkan Pustaka Unsyiah.

RE ini tidak dilakukan seharian, jadi jangan khawatir mengganggu kegiatan belajar. Justu mahasiswa tampak menunggu, hiburan apa yang akan ditawarkan di acara RE pada pekan berikutnya.

Saya kembali ke rak koleksi di ruang sirkulasi, berniat menyempatkan membuka buku koleksi dan membaca beberapa halaman. Siapa tahu, bisa kenalan dengan mahasiswa Unsyiah, atau malah mahasiswinya...

Terlihat, di salah satu meja, ada mahasiswa yang tampak sendirian. Saya pun menghampirinya. "Ah, mahasiswa pun tak apa, semoga bisa mendapat informasi darinya.", saya bergumam. Dan kami pun mengobrol dengan volume suara yang tetap terkontrol agar tidak mengganggu pemustaka lainnya.

“Wah, asyik mas di perpustakaan, fasilitasnya lengkap, modern, canggih. Bisa akses dari smartphone pula”, seloroh mahasiswa tersebut ketika saya tanya pendapatnya tentang perpustakaan, sambil menunjukkan telepon pintar (smartphone) miliknya yang telah terpasang aplikasi UILIS Mobile Library. Mahasiswa ini ramah, dan terkesan sangat bangga dengan perpustakaannya. “Ikuti saya mas”. Dia meminta saya mengikutinya. Sambil membawa beberapa buku yang sebelumnya dia baca, menuju ke bagian depan ruang sirkulasi. Agaknya dia telah lama di ruang ini untuk mencari koleksi yang dia butuhkan.

Di antrian yang mengular menuju ke sebuah kotak setinggi kira-kira 1.5 meter, dia berhenti. Saya tetap mengikutinya. Sampailah gilirannya di depan kotak tersebut, saya tetap mengikuti di belakangnya. Dia terlihat menyentuh layar model touchscreen, meletakkan buku di kotak kemudian mengambilnya lagi, lalu menenteng buku itu keluar antrian. Saya mencermati apa yang dia lakukan sampai selesai. Dia lakukan sendiri, tanpa bantuan pustakawan. Jelas! dia telah terbiasa melakukannya. 

“Saya tadi meminjam buku, Mas. Meminjam secara mandiri pakai alat tersebut. Cepat,
http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/IMG_0503.jpg
dan mudah. Kata pengelola, itu pakai RFID dengan software SLiMS. Gratis softwarenya, Mas. Kemudian perpustakaan mengembangkannya sesuai kebutuhan”

Dia begitu bersemangat bercerita kepada saya. 

Pengembangan SliMS berikutnya, dilakukan sendiri, kadang dengan mahasiswa. Bagi mahasiswa Unsyiah juga bisa sebagai tugas akhir. Sehingga mahasiswa mudah dalam mencari tema TA, sementara perpustakaan juga mendapat manfaatnya. Anggaran software pun bisa ditekan.”. Dari cerita mahasiswa ini, agaknya dia banyak tahu tentang perpustakaan, dan tahu apa saja yang ditawarkan perpustakaan untuk mahasiswa.

Hmmm, di ujung Indonesia ada perpustakaan secanggih ini. Pengalaman yang ditawarkan kepada pemustaka, sungguh di atas rata-rata. 

Saya mendengar kabar, bahwa pengelola berhasil meyakinkan pimpinan untuk mewujudkan idealisme pengelolaan perpustakaan, sekaligus mendobrak dinding tebal kejumudan perpustakaan. Salah satunya adalah model bisnis Google Adsense dari repository Unsyiah. Dalam hal ini, perpustakaan telah berhasil mendobrak pandangan perpustakaan yang cost center, dan membuktikan bahwa perpustakaan juga bisa menghasilkan pendapatan. [2]


##########

Saya masih mengikuti langkah kaki mahasiswa yang baru saja saya jumpa di ruang sirkulasi itu. Kali ini dia menuju ke sebuah kerumunan di sebuah sudut perpustakaan. “Café?”. Tak sadar mulut saya mengucapkannya. “Iya, mas. Ini semacam café, ya memang café, sih”, si mahasiswa mulai menjelaskan seputar cafe tersebut, tanpa saya minta. Ternyata, perpustakaan ini memiliki café yang dikelola secara rapi, bersih dan berkelas, melengkapi fasilitas perpustakaan dan turut menghadirkan pengalaman “berpustaka” yang lebih dari sekedar perpustakaan. 

http://detak-unsyiah.com/wp-content/uploads/2016/10/unnamed-5.jpg
Tampak banyak mahasiswa di café ini asyik menikmati sajian yang telah dipesan, berdiskusi tentang berbagai hal, atau sekedar istirahat. Beberapa orang yang sudah berumur, dengan pakaian rapih juga terlihat menikmati sajian cafe ini. Mahasiswa tampak takdzim pada orang tersebut. “Mereka pejabat universitas, Mas. Kadang mereka juga datang ke sini, bertemu mahasiswa dan menikmati sajian di cafe pustaka”, terang si Mahasiswa tanpa saya minta. Mungkin karena dia melihat saya memperhatikan sekeliling dan penuh pertanyaan. Dia pun menjelaskan tentang cafe ini, yang merupakan hasil kerjasama dengan Caffee Cho, dalam hal ini pihak eksternal perpustakaan [3].

Setelah memesan minuman, kami pun menikmatinya. “Mantap.. pantas mahasiswa ini bangga dengan perpustakaannya”. Dengan kebaikan hatinya, si mahasiswa menraktir saya. Dengan senang hati, saya ucapkan terimakasih. “Ah, baik sekali mahasiswa ini, memuliakan tamunya meski belum begitu kenal”, pikir saya. 

Setelah membayar minuman, dia menyampaikan bahwa dia hendak melanjutkan aktivitasnya di kampus, mungkin tak sabar ingin segera membaca buku yang baru saja dipinjam. Sebelum berpisah, dia memberi saya sebuah leaflet dan berkata,”mas ikut acara ini, ya”. Saya mengangguk, dengan keyakinan bahwa acara yang dia maksud, pasti menarik. 

Kami berpisah. Di depan gedung perpustakaan, saya duduk-duduk sambil menikmati suasana. Leaflet masih di tangan saya. Sejenak saya baca judulnya, “FREE Blogger Competition Library Fiesta 2017”. Kegiatan yang diselenggarakan Pustaka Unsyiah, yang pada tahun 2017 ini bertemakan “more than just a library”. Agaknya, mahasiswa tadi adalah blogger, dan memberitahu saya, agar ikut acara yang diselenggarakan perpustakaan. 

“Saya mau ikut lomba ini”, pikir saya. 

Tema lomba blogger ini menarik, pengalaman saya berkeliling perpustakaan Unsyiah, cukup meyakinkan saya, bahwa perpustakaan Unsyiah memang lebih dari sekedar perpustakaan. Mulai dari fasilitas, kegiatan, koleksi, keramahan petugas dan juga mahasiswa partime, kolaborasi kegiatan yang dilakukan, dapat menghadirkan suasana perpustakaan yang melebihi suasana perpustakaan pada umumnya.

#######

Masih sambil duduk-duduk di depan perpustakaan, ditambah suasana menyenangkan di kampus ini, mengatarkan saya merenungi perjalanan yang baru saja saya lakukan.


Ada satu hal lagi, yang saya ketahui dan mengejutkan saya. Kepala Perpustakaan Unsyiah saat ini, yang menjadi ideolog pengembangan perpustakaan hingga lolos akreditasi Perpustakaan Nasional serta sertifikat ISO adalah seorang dosen, dari fakultas teknik, serta bukan orang yang berlatar belakang ilmu perpustakaan [4]. Menurut saya, ini justru menjadi nilai lebih, dan menjadikan Pustaka Unsyiah terus mendekati ideal untuk dijadikan tolok ukur atau tempat studi banding bagi para pustakawan di Indonesia.


Jika ingin belajar mengelola perpustakaan dari praktisi, riil, nyata perkembangan dan prestasinya, maka belajarlah ke Unsyiah”, ungkapan ini ada di benak saya. Di ujung Sumatera, bukan dipimpin oleh orang berpendidikan ilmu perpustakaan, dalam waktu singkat mampu meraih ISO dan akreditasi. Jika nilai sempurna itu 10, Pustaka Unsyiah memulainya dari angka 3, naik 6 point menjadi 9. Saya pikir, ini capaian yang sungguh luar biasa.

“Perpustakaan bukan sekedar tempat meminjam dan mengembalikan buku”, merupakan ungkapan yang selama ini saya yakini. Ungkapan ini sepertinya mewakili kesamaan pandangan saya dengan perpustakaan Unsyiah, yang “more than just a library”. Memang, selayaknya perpustakaan harus lebih dari sekedar “perpustakaan” sebagaimana umumnya dahulu dipandang orang. 

Koleksi perpustakaan, pun bukan sekedar buku tercetak yang dipinjam dan dikembalikan pemustaka, namun, meminjam istilah Prof. Djoko Saryono, bahwa peristiwa dan kegiatan ilmiah juga merupakan pustaka [5]. Saya jadi ingat, seorang pernah mengatakan pada saya, "handphone itu awalnya untuk telepon dan sms, namun saat ini yang dijual dan dipromosikan bukan kemampuan telepon dan SMSnya, namun justru kameranya". Benar juga ya, seharusnya perpustakaan yang "dijual", juga bukan hanya koleksi dan layanan sirkulasinya, namun tawaran pengalaman tentang berbagai hal, kepada pemustaka. Koleksi dan sirkulasi sudah jadi barang wajib.

Lalu, apa yang menjadikan Pustaka Unsyiah ini lebih dari sekedar “perpustakaan”?. Kreativitas. Ya, saya yakin kreativitas lah yang menjadikannya (dan mestinya juga perpustakaan lainnya) menjadi lebih dari sekedar perpustakaan. 

Jejaring dibuat oleh pengelola untuk memberikan nilai lebih. Perpustakaan tidak sekedar digerakkan oleh pustakawan sendiri, namun juga berbagai elemen lainnya. Dengan mahasiswa, dosen, pimpinan dan juga pihak eksternal, sementara pustakawan menjadi pusatnya, yang menggerakkan dan memastikan semua elemen berjalan saling mendukung.  

Dukungan semua elemen tersebut, diarahkan pada ketersediaan fasilitas yang memadai, ruang yang nyaman dan menarik, koleksi yang cukup serta mudah aksesnya, dan tentu saja memastikan kegiatan kreatif selalu berjalan. 

Perjalanan saya membukakan mata, bahwa pengelolaan perpustakaan sudah tidak lagi dibedakan Jawa - luar Jawa. Namun oleh kreatif - tidak kreatif. Tentunya, disamping berbagai nilai lebih Pustaka Unsyiah, ada catatan atau kekurangan yang tetap harus selalu diperbaiki. 
Pengelola harus selalu memastikan bahwa apa yang telah dilakukannya akan terus berjalan, selalu diperbaiki. Ideolog pengembangan harus disebar rata pada semua staf, agar estafet kepemimpinan berjalan dengan baik. Tentunya, dengan semangat bersama, pengembangan selanjutnya dapat dilakukan, untuk mewujudkan perpustakaan ideal bagi para pemustaka.


#ditulis untuk lomba blogger Library Fiesta Perpustakaan Unsyiah 2017


Sambisari, Ngayogyakarta Hadiningrat
Sabtu, tanggal duapuluh lima, bulan ke tiga, tahun dua ribu tujuh belas
Menjelang siang, pukul delapan pagi


----------------------------------------------------------------------------------------------

[1]. Data diambil dari Slide "Indonesia One Search: Latar Belakang, Road Map , dan Progress" yang disampaikan Ismail Fahmi pada Lokakarya Perpustakaan Digital Indonesia. https://www.slideshare.net/IsmailFahmi3/indonesia-onesearch-latar-belakang-road-map-dan-progress.


[2]. Informasi dari diskusi di grup whatsapp FPPTI Indonesia, serta dikuatkan dengan informasi di http://library.unsyiah.ac.id/pemasukan-dari-google-adsense-etd-perpustakaan-unsyiah-di-tahun-pertama/

[3]. Informasi lengkap tentang Caffe dapat di baca di Librisyiana, edisi 5, Januari 2017. Online di http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/Librisyana-Edisi-5-Fixx-1.pdf

[4]. Informasi lengkap dapat dibaca di http://fsd.unsyiah.ac.id/topgan/

[5]. Disampaikan Prof. Djoko Saryono pada acara Seminar Nasional FPPTI DIY, "Mengembangkan Ide Kreatif pengembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi. http://www.fppti-diy.or.id/2016/05/mengembangkan-ide-kreatif-pengembangan.html


Gambar diperoleh dari http://library.unsyiah.ac.id/http://detak-unsyiah.comsebagaimana ditulis pada caption setiap gambar.

Gambar UILIS Mobile dari https://play.google.com/store/apps/details?id=id.ac.unsyiah.library 

-----------------------------------------------

Tulisan ini menjadi pemenang ketiga, pada lomba blog dalam rangka Unsyiah Library Fiesta 2017. Pengumuman di http://library.unsyiah.ac.id/ulf-2017-lomba-blogger/

Friday 24 March 2017

BookedScheduler: aplikasi free untuk peminjaman ruang secara online

Berawal dari perlunya tenaga ekstra untuk menertibkan peminjaman ruang diskusi dan belajar mandiri di perpustakaan yang kami kelola, akhirnya diputuskan untuk diberlakukan sistem secara online.

Rekomendasi software pertama adalah bookedscheduler.com, yang digunakan oleh perpustakaan UNSYIAH Aceh. Kedua adalah  http://mrbs.sourceforge.net/, yang digunakan di KPFT UGM. Setelah dicek fitur dan disesuaikan kebutuhan, maka pilihannya di bookedscheduler.com.

Aplikasi ini free, dan memiliki berbagai fitur, serta cocok untuk kebutuhan perpustakaan kami. Sebagai catatan, di perpustakaan FT kami berlakukan hak berbeda untuk pinjam ruang sesuai jenjang studi dan semesternya. Selain itu ada batasan lama maksimal pinjam. Semua itu dicakup di bookedscheduler.com.


tampilan depan


Selain itu, bookedscheduler.com juga memiliki fitur pengiriman email pada anggota/user sesuai kelompoknya. Hal ini sangat memudahkan jika ingin mengumumkan sesuatu pada user.

pengumuman ke email

Selain dikirim ke email, pengumuman juga bisa dipasang di dashboard aplikasi. Sehingga ketika user login, dapat melihat pengumuman tersebut.

Fitur lainnya dapat dipelajari melalui akun demo di http://demo2.php.brickhost.com/. Fitur dapat dilihat di http://www.bookedscheduler.com/whatsnew.

Semoga bermanfaat


, , , , ,

Hati-hati masuk jurusan ilmu perpustakaan!!! #inpassing

Karto: "kowe nulis opo, Jo. Kok series temen?"
Paijo: "Inpassing, To. Menengo wae, iki tulisan seneng-seneng. Ojo lali bergembira, lan sik penting madhiang"

Jumlah tenaga fungsional umum, menurut slide ke-6 dari presentasi dari Perpusnas RI ada 37,68% atau sekitar 1,68 juta (sumber: http://www.pdii.lipi.go.id/materi-sosialisasi-inpassing-pustakawan-lipi-2017/). Pada keterangan slide ditulis, banyaknya tenaga JFU ini perlu dialihkan jabatan fungsional teknis, tentunya bagi yang memenuhi syarat. Ditambah kenyataan sulitnya mengangkat pustakawan baru, dijadikan alasan inpassing, khususnya ke tenaga pustakawan.

Karena saya tidak ada akses ke data, maka saya tidak dapat mengomentarinya.

Untuk kategori terampil, syarat inpassing  minimal SLTA, paling rendah II/b, punya pengalaman bekeja di perpustakaan minimal 2 tahun, lolos uji kompetensi, dan memiliki minimal nilai BAIK dalam satu tahun terakhir. Untuk kategori keahlian, minimal S1, golongan III/a. Syarat lainnya sama dengan kategori terampil. Inpassing, tentunya dengan berbagai syaratnya, harus diketahui oleh para pustakawan, calon pustakawan, bahkan calon mahasiswa ilmu perpustakaan. 


Isu penting
Ada dua isu terkait inpassing. Pertama kesempatan kerja, yang kedua keluaran inpassing. Eh, ada satu lagi, “harga diri pustakawan”.

Inpassing, karena ini terkait PNS institusi pemerintah maka akan heboh terutama ketika terjadi di institusi pemerintah. Jika terjadinya di lingkungan swasta, intensitas kehebohan akan lebih kecil, bahkan tidak ada. Di swasta, ya suka-suka yang punya, dong. Mau alumni teknik, atau MIPA, karena sesuatu hal ditempatkan di perpustakaan, ya kewenangan pemilik dan pimpinannya.

Lain halnya jika itu terjadi di instansi negara. Heboh, pastinya. Kenapa? Karena mestinya kebijakan negara saling mendukung. Jika ada alumni ilmu perpustakaan dicetak oleh perguruan tinggi, maka mestinya juga diserap di lingkungan kerja yang sesuai. Lah, kalau institusi yang seharusnya menyerap alumni ilmu perpustakaan justru menaikjabatan-kan staf non ilmu perpustakaan, lah namanya ngoyo woro, tho? Alias mengurangi kesempatan kerja para alumni ilmu perpustakaan.

Output dari inpassing, menjadi isu kedua. Intinya: diragukan. “Aku kuliah patang tahun, bijine ya pas-pasan, kok sampeyan yang cukup bekerja di perpus rong tahun, iso dadi pustakawan?”. Begitulah kira-kira. Selorohan selanjutnya, “nek ngono, tak kursus wae, apa magang nang perpus rong tahun, ben dadi pustakawan”. Begitu katanya, itupun kira-kira saya.

Pendapat saya
Isu ketiga tentang harga diri pustakawan. Saya tidak tahu banyak tentang ini. Tentunya, penilaiannya akan beragam. Saya sendiri merasa, jika syarat minimal inpassing telah ditetapkan, berarti untuk jadi pustakawan (dari pandangan para pengambil kebijakan), cukup dengan syarat inpassing tersebut. Lalu apa gunanya kuliah ilmu perpustakaan?

Terkait isu output dari inpassing yang diragukan, menurut saya iya. Tentunya kualitas akan diragukan, namun juga tidak serta merta semua diragukan. Saya punya kawan, yang mengelola perpus karena pengalaman dan mengikuti pelatihan. Hasilnya, bagus menurut standard atau kebutuhan minimal institusi tersebut.

Sejauh mana pengambil kebijakan inpassing mampu menjamin kualitas minimal, dan bagaimana menjaga agar tetap berkualitas?

Isu lapangan kerja. Ini isu sensitif. Lapangan kerja, akan menjadi sensitive jika ada dua orang atau lebih yang merasa berhak atas sebuah pekerjaan. Jika satu pihak merasa berhak, dan satunya tidak berhak, maka akan baik-baik saja. Nah…

Kapan terjadi minimal dua pihak sama-sama merasa berhak, pada kasus inpassing ini?

Orang dengan JFU yang ingin pindah ke pustakawan di satu pihak (pertama). Pihak lainnya adalah alumni ilmu perpustakaan yang sudah lulus maupun belum lulus.

Menurut saya, biarkan saja pihak pertama. Lah mau digimanakan? Fokus saja pada pihak kedua. Pihak kedua diajak berfikir, bahwa hidup ini tidak sekedar pustakawan. Kuliah bukan sekedar untuk kerja, namun untuk mendapatkan “adab”. Masalah kerja, itu tidak harus jadi pustakawan. Banyak cara rejeki itu datang. “ojo kalah karo pitik”. Lembaga pendidikan ilmu perpustakaan juga jangan mengiming-imingi lapangan kerja pustakawan pada berbagai perpustakaan yang begitu luas, hanya karena belum tersedianya staf berlatar belakang ilmu perpustakaan pada sekolah atau berbagai institusi.

Fokus berikutnya, pada calon yang akan menjadi pihak kedua, yaitu alumni SMA/SMK tentang pilihannya pada jurusan ilmu perpustakaan. Sampaikan realita “perebutan” lahan kerja perpustakaan di Indonesia melalui inpassing ini, agar mereka tidak salah pilih, atau jika memilih, dilakukan secara sadar. Bukan karena iming-iming potensi kebutuhan pustakawan yang disodorkan oleh perguruan tinggi, sekedar untuk menggaet para calon pustakawan.


Di mana titik tekan yang harus diperhatikan?
Yang tertulis pada paragraph di atas, hanya sekelumit informasi pada slide tentang inpassing yang disampaikan salah satu pejabat perpusnas. Pustakawan atau calon pustakawan perlu meningkatkan kemampuan melihat sekeliling, siapakah yang berpotensi ikut inpassing, bagaimana  peluangnya, dan apa efeknya bagi pustakawan atau calon pustakawan.

Kemampuan melihat kondisi sekeliling menjadi penting. Siapa tahu, lingkungan sekolah atau instansi di sekeliling anda banyak tenaga fungsional umum yang tertarik menjadi pustakawan. Jika demikian, maka anda pantas gigit jari, jangan terlalu berharap mendapatkan status pustakawan pada instansi tersebut.

Karto: "cara melihat sekeliling, itu gimana, Jo?"Paijo: "ya, di analisis, ditanyakan, ono ora sik ngebet pindah fungsional pustakawan. Ngono, To."

Atau, jika anda siswa MA, maka anda perlu berfikir ulang untuk masuk di jurusan  ilmu perpustakaan. Kecuali, anda tidak terlalu berharap bekerja di perpustakaan (negeri); atau tujuan kuliah anda bukan untuk menjadi pustakawan lembaga negara.

Masalah rejeki, sudah di atur. Tentang kebijakan, pengambil kebijakan akan mempertanggung jawabkannya.


#hati-hati memilih jurusan perpustakaan
#pastikan bergembira
#singpentingmadhiang