Sunday 29 April 2018

[[ Tidak manusiawi ]]

“Perpustakaan di sini tidak manusiawi, Mas”. Demikian seorang mahasiswa yang sedang studi ganda di universitas negara maju melaporkan pada Karyo. Karyo penasaran. Ada apa gerangan?
“Di sini semuanya mesin, Mas. Interaksi dengan pustakawan minim”. Dia melanjutkan ceritanya. Ketika meminta bantuan mendapatkan master aplikasi legal, hanya melalui lembaran kertas yang sudah disediakan, diisi, dikumpulkan dan diproses.
Benarkah teknologi membuat hubungan dengan pustakawan menjadi tidak manusiawi? Apakah manusiawi itu?
###
Karyo ingat, dia pernah membaca bukunya Pak Iman Budi, “Profesi Wong Cilik”. Salah satunya cerita tentang sosok dukun bayi. Dukun bayi pekerjaannya tidak selesai setelah bayi melahirkan. Namun dia akan selalu datang pada malam-malam berikutnya. Ikut mengasuh, bahkan memberi nama. Tentu saja, sambil ngudang, dia akan melantunkan doa-doa untuk si jabang bayi.
###
Saat ini, marak penggunaan mesin pinjam mandiri di perpustakaan. Seolah, dia jadi identitas maju tidaknya sebuah perpustakaan. Si pemustaka tinggal mencari, mengambil, meminjam sendiri, pulang. Selesai. Padahal, seperti halnya dukun bayi, ada hal yang hilang: hubungan antara pustakawan dan pemustaka.
“Ini ndak (selalu) bener”, gumam Karyo. Pemustaka perlu doa, bahkan wejangan agar proses membaca buku yang dia pinjam menjadi bermakna dan bermanfaat. Apa mesin bisa mendoakan? “Pustakawan juga perlu mendoakan pemustaka pada tiap buku yang dia pinjam”, lanjut Karyo. Pustakatakawan perlu mendoakan untuk dia mendapat keberkahan pula. Ada dua kepentingan interaksi pada proses meminjam buku.
Agaknya, bagi Karyo, proses interaksi antara pustakawan dan pemustaka menjadi sangat penting. Dalam proses peminjaman, bisa dibangun proses saling mendoakan. Mahasiswa perlu doa, pangajab, pangarep-arep, dari banyak orang. Agar dia sukses dalam belajar. Sejak saat itulah, Karyo tidak begitu tertarik dengan mesin-mesin tak bernyawa itu. Atau tepatnya, dia sangat selektif. Milih-milih.


Sambisari, 25 April 2018
5.57 pagi

[[ siapa pustakawan sesungguhnya? ]]

“Maksimal jam 18.00, Pak,” Bayu mengirim pesan. Belum genap sebulan kami saling kenal. Kami pun akrab. Bahkan, kami kerjasama dalam berkegiatan di perpustakaan.

Dia mengundang saya untuk hadir di acara pekanan bedah buku. Judul acaranya "Jelajah pustaka". Mendiskusikan buku, bergantian tiap pekan. Diadakan di perpustakaan masjid. Bayu aktif di perpustakaan masjid.

Sore itu ada undangan pula dari fakultas, pukul 18.30. Sambil menunggu acara di fakultas, saya putuskan memenuhi undangan Bayu. Pukul 16.00, saya berkemas kemudian menuju lokasi.

###

Lokasi perpustakaan tidak jauh dari saya bekerja. Ya, sak plintengan, kata orang jawa. Ah tidak. Kurang lebih dua kali, rong plintengan. Plinteng itu ketapel. Ada juga istilah sak ududan. Udud itu rokok. Karena tidak merokok, saya milih sak plintengan saja. Saya tempuh naik sepeda motor, tidak sampai 4 menit, sampai.


Perpustakaan berukuran 3 x 8 meter itu telah penuh peserta. Wajah mahasiswa usia 20-an tahun memenuhi ruangan. Agaknya saya paling tua. Saya harus tahu diri. Sebelah barat diisi mahasiswi, sebelah timur mahasiswa. Sebuah kain terbentang sebagai batas. Perpustakaan Bait al Hikmah, demikian tertulis di spanduk. Diskusi telah dimulai. Saya ambil posisi duduk.

Ruang perpustakaan itu jauh dari kesan mewah atau modern. Namun deretan buku berlabel itu menunjukkan bahwa perpustakaan ini dikelola. Saya tak yakin mereka menerapkan teori klasifikasi dan label ala ilmu perpustakaan secara ketat. Saya lihat kertas besar bertuliskan keterangan kelompok buku. “Biografi”, “Sejarah”, “Fikih” dan lainnya. Mungkin teori labelling itu tak begitu penting, yang penting buku mudah ditemukan. Setidaknya seperti itu dulu dosen (ilmu) perpustakaan mengajarkan “ruh” klasifikasi.

Buku Lost Islamic History, karya Faras Alkhateeb dibahas sore itu.


Seorang laki-laki, umur kurang dari 40 tahun duduk paling depan. Menghadap peserta. Di hadapannya ada beberapa buku. Agaknya sudah beberapa menit lalu dia memaparkan isi buku Faras tersebut. Saya terlambat.

Pemantik bukan hanya menyampaikan isi buku, namun dengan piawai juga membandingkan isi buku dengan buku lain sejenis. Pandangan yang luas menjadi kunci. Terkadang memegang buku yang satu, membalik halaman. Meraih buku lainnya, dan menunjukkan halaman tertentu. Pastinya harus banyak baca buku.

Selesai memberi syarah. Masuk ke sesi tanya-jawab. Peserta bergantian angkat tangan tanda hendak berbicara. Mengonfirmasi isi buku, atau bertanya pada pemantik. Berharap pemantik memberi pandangan atau jawaban.


Pensyarah/pemapar/pemberi informasi kandungan buku yang dibahas sore itu, membuat diri saya ciut. Harusnya saya, yang pustakawan yang harus melakukan hal tersebut. Namun, saya tak mampu. 
Namanya Yusuf Maulana. Oleh peserta akrab disapa Ustadz Yusuf. Sore itu, bukan kali pertama dia datang dan menjadi pensyarah buku di Baitul al Hikmah. Melainkan sudah berkali-kali.

Saya menduga, pasti dia banyak membaca. 

***

Saya tidak hendak menggaris bawahi tentang buku di atas. Saya belum membaca, bahkan tidak menguasainya. Namun yang ingin saya tekankan adalah semangat mahasiswa dalam menghidupkan perpustakaan. Padahal mereka bukan pustakawan, atau setidaknya bukan alumni (ilmu) perpustakaan.

Menakjubkan.  Mahasiswa duduk bersila. Haus ilmu, menghadap dan fokus. Mencerap, mengendapkan, dan kalau perlu menanggapi apa yang disampaikan pembedah. Menimang satu buku yang selesai dibaca. Mencari buku pembanding lainnya, untuk menjawab kekosongan pada buku pertama. Kemudian menimbang kualitas keduanya.

Begitu seterusnya. Adzan Magrib menjadi pembatasnya.

"Pekan depan datang lagi, Pak", kata salah satu peserta. Ternyata beberapa peserta sore itu banyak dari FT UGM. Kami bersalaman. Perasaan bangga, harus, campur sedikit malu jadi satu.

"Siap, semoga diberi umur panjang dan kesempatan", jawab saya.


***

Sore itu saya berfikir, dan juga bertanya-tanya. Siapa pustakawan sesungguhnya? Tanpa panjang fikir, saya langsung menyimpulkan. Mahasiswa yang mengelola perpustakaan di atas, juga pustakawan. Apalagi yang duduk dan memaparkan isi buku. Tidak diragukan lagi. Karena sesungguhnya setiap manusia adalah pustakawan bagi dirinya sendiri. 


Jika pertanyaannya dibalik, "Siapa sesungguhnya pustakawan?", apa kira-kira jawabnya?

[[ tidak ada tafsir tunggal dalam (ilmu) perpustakaan ]]

Sekarang, perpustakaan tak lagi dianggap ilmu. Tengok saja nomenklatur dari penguasa tertinggi, yang akhirnya diamini oleh para penyelenggara pendidikannya. Perpustakaan dan Sains Informasi. Demikian namanya. Debat panjang nan melelahkan, adu intelektual, dan semacamnya itu tidak berdaya. Ah, lupa saya: paling tidak sudah menunjukkan siapa ada di posisi mana. Kuasa tetaplah kuasa. Tinggal menunggu waktu saja. Sekarang masih malu-malu. Seiring waktu, semua akan menggunakan nama dari penguasa.

Istirahat dalam damai....ilmu perpustakaan.
###

Konsep pengelolaan perpustakaan itu tidak tunggal. Multi tafsir. Setiap pustakawan boleh berijtihad menurut kondisinya masing-masing. Bisa beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak bisa dirampatkan.
Mulai dari yang paling jamak terlihat: klasifikasi koleksi. Boleh beda! antara satu pustakawan dengan pustakawan lainnya. Tidak ada dosa. Klasifikasi itu bukan kitab suci. Kalau toh ditarik ke benar-salah, maka: jika kode klas itu salah, si pustakawan mendapat 1 pahala. Jika benar, maka dapat 2 pahala. Demikian pula konsep lainnya.

###

Saat ini, ada berbagai konsep dalam pengembangan perpustakaan dan peran pustakawan: ada makerspace, scholarly communication librarian, embedded librarian, research librarian dan sebangsanya. Konsep itu bisa diambil, ditafsirkan, diturunkan pada ranah nyata di masing-masing perpustakaan. Pustakawan boleh berijtihad sendiri. Mengukur kemampuannya, kondisi sosial politik institusinya. Mulai dari membaca, bertanya pada orang lain, atau atas perenungan dirinya sendiri. Sah. Pustakawan lain tidak ada hak untuk menyalahkan. Paling banter memberi saran. 
Studi banding ke perpustakaan lain, baik virtual maupun nyata, diperlukan sebagai perluasan pandangan si pustakawan. Untuk modal menakar, menafsir dan berijtihad. Bukan untuk secara mentah dicontoh. Tidak.
Pustakawan mestinya merdeka. Jangan terkungkung, apalagi oleh kuasa (ilmuwan) perpustakaan. Ilmuwan perpustakaan itu tidak ada. 
Anda boleh tidak setuju dengan tulisan ini... karena memang demikianlah adanya: tidak ada tafsir tunggal dalam (ilmu) perpustakaan.
bersambung…