Wednesday 22 March 2023

Melihat Publikasi Siti Nur Azizah (UNESA)

Kawan seperguruan, mari kita bersama lihat paper-paper Siti Nur Azizah di Scopus. Dapat saya ambil dengan dasar ID  57441632500.

Saya menemukan 6 paper terindeks Scopus.







Berikut ini daftarnya:

Tiga indikator pelayanan publik yang (menurut saya) menjadi prioritas di perguruan tinggi

Saya pernah ditanya: manakah di antara 9 indikator ini yang menjadi prioritas untuk diterapkan di perguruan tinggi? Saya diminta untuk memilih 3 indikator prioritas.

Sembilan pilihan tersebut yaitu: partisipatif, transparan, responsif, tidak diskriminatif, mudah dan murah, efektif dan efisien, akuntabel, sikap, dan terakhir etika. Penanya mendasarkan pilihan ini pada penelitian yang dilakukan Asih Setiawati (2018) yang terbit pada jurnal Wacana Kinerja, dengan DOI: 10.31845/jwk.v21i2.98.

Saya berfikir, bahwa jika indikator itu didasarkan pada sebuah riset, pasti semuanya penting. Jika diminta menentukan 3 prioritas, maka harus dicermati dengan sebaik-baiknya.

**** 

Setelah berfikir sejenak, saya memilih 3 prioritas ini sebagai jawaban: etika, akuntabel, dan responsif.

Namun, setelah saya jawab, ternyata ada pertanyaan berikutnya: apa alasannya, dan berikan contoh program nyata implementasi prioritas tersebut!. Hedew.

Oke. Begini ceritanya.

Tiga pilihan saya itu, merupakan hasil pemetaan dengan skema “mana menjadi dasar yang mana”. Ya, tentu saja, alasan dan proses saya saat memilih sangat mungkin ada kelemahannya. Namun, saya pastikan bahwa memilih dengan berfikir, bukan ngitung benek. Wk Wk

Etika saya pilih menjadi prioritas pertama, karena etika menjadi dasar dari 8 hal lainnya. Etika juga saling terkait dengan indikator sikap. Di perguruan tinggi, persoalan etika belum, bahkan tidak akan selesai. Jika toh sudah baik, perlu di jaga. Artinya tetap sama: tidak akan selesai. Lihat saja meski perguruan tinggi itu dianggap benteng moral dan etika, kasus-kasus etika tetap saja muncul: mulai dari pelecehan, sampai dengan joki plagiat, juga korupsi dan korupsi. Bahkan pernah menjadi headline berita media besar.

Uisin, tho?

Lalu apa yang bisa dilakukan?

Saya bilang, mulai dari hal kecil, “Gerakan dosen menyapa lebih dulu”. Jadi, jika dosen ketemu mahasiswa, ketemu tenaga kependidikan, mereka harus menyapa lebih dahulu. Bukan sebaliknya. Ini sepele, tapi sangat mungkin berdampak besar di kemudian hari. Mahasiswa, dan tendik akan punya role model dalam bergaul, khususnya di kampus. 

Apalagi, dosen merupakan pusat dari proses akademik. Dosen itu yang utama mengajar, dan seharusnya juga yang mendidik mahasiswa. Dosen merupakan satu-satunya unsur sivitas akademika yang stay di kampus. Berbeda dengan unsur sivitas lain: mahasiswa, yang berganti setiap periode. Maka, dosen akan tetap menjadi sorotan sebagai contoh penerapan etika dan moral. Cara bicaranya, intonasinya, kata-kata yang diucapkannya, tulisannya, gaya hidupnya, pergaulannya, integritasnya, juga "nya-nya" yang lain.

Merah hitamnya mahasiswa, dosenlah yang menjadi acuannya.

Tidak berhenti di Gerakan dosen menyapa. Dosen juga harus diawasi agar tidak tergelincir pada pelanggaran etika lainnya. Caranya? Ada di prioritas ke-3.

Bagimana dengan tendik dan mahasiswa? Pokoke dosen duluan, wis. wkwk

Berikutnya akuntabel. Akuntabel, sesuai pada paper Setiawati (2018), berarti adanya pemahaman pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Indikator ini saya tempatkan pada posisi kedua, karena setelah etika sebagai dasar, maka kerja harus punya wujud nyata untuk dipertanggungjawabkan secara terbuka. 

Jika seorang pelayan publik mampu memaknai akuntabel dan tergerak untuk mempertanggungjawabkan secara publik, maka ada beberapa indikator lain yang akan ikut terimplementasikan, misalnya: efektif dan efisien, mudah dan murah, transparan. Tiga indikator yang saya sebut terakhir, ikut mendukung proses pertanggungjawaban.

Apa program nyatanya?

Dilakukan ekspose terbuka hasil kerja, pada tiap unit. Sehingga setiap bagian (dari unit tersebut) mengetahui apa yang dicapai bagian lain. Hasil-hasil ini juga dipublikasikan terbuka melalui berbagai media, untuk diketahui pihak dari luar unit (atau diketahui unit lain dalam 1 organisasi).

Terakhir responsif. Saya tempatkan ini di prioritas ke-3, karena sikap responsif akan mendukung akuntabel. Responsif sendiri akan men-drive aspek partisipatif, dan aspek tidak diskriminatif.

Apa program nyatanya? Semua unit layanan harus memasang kontak respon cepat, dan kontak aduan. 

Friday 10 March 2023

Tentang pilihan rektor UGM 2022-2027, catatan rangkuman saya

Tanpa ba-bi-bu, ini catatan rangkuman saya.

Pra final MWA
  1. Terdapat 7 pendaftar. Enam dari internal, 1 orang dari eksternal (namun tercatat sebagai alumnus). Kondisi ini mengalami penurunan dibanding pendaftar periode sebelumnya. Misalnya 2007 terdapat 10 pendaftar, 2012 yang lolos jadi bakal calon ada 7, 2017 ada 9 pendaftar.
  2. Pada tahap verifikasi berkas, 1 orang pendaftar dari eksternal gagal lolos
  3. Enam bakal calon yang lolos terdiri dari 2 dekan aktif (KH dan KKMK), 2 dari FT, dan 2 mantan dekan (FH dan FPt).
  4. Melihat bakal calon di atas, maka jago saya: FH, dan FPt. Alasannya:
    • saya menganggap dekan aktif harus menyelesaikan dulu jabatan yang diembannya (apalagi itu diemban dengan meminta), maka 2 dekan aktif saya coret; ibarat orang minta minum susu ya harus dihabiskan dan jangan tergiur coklat panas kemudian sisa air susu dikembalikan. Ini masalah integritas yang paling sederhana;
    • saya menganggap perlu perpindahan kepemimpinan UGM ke luar FT. Maka 2 bakal calon dari FT saya coret. Tersisalah FH dan FPt.
  5. Dari enam bakal carek, ada dua potensi rekor:
    • terpilihnya rektor perempuan pertama hasil pilihan dari awal,
    • potensi hattrick FT UGM (3 rektor berturut-turut).
  6. Para bakal calon rektor, datanya dipampang di seleksirektor.ugm.ac.id. Termasuk CV dan video profilnya. Dari yang saya lihat, ada yang serius membuat video, ada juga yang (mungkin karena tersentil kualitas video lainnya) mengganti video profilnya. Sayangnya, di channel tersebut jejak video itu sudah tidak lengkap. Namun, jangan khawatir, jejak video itu masih ada di sini, tampil saat masing-masing bakal calon memulai presentasi.
  7. Dua statemen bakal carek yang bagi saya menarik: keputusan UGM dipengaruhi pihak luar, dan kebebasan akademik yang menurun



Saat final MWA
  1. Ada 3 calon yang masuk final: Ova Emilia (Dekan FKKMK), Deendarlianto dan Bambang Agus Kironoto (FT).
  2. Karena jago saya tidak masuk final, maka saya otak-atik lagi pilihannya. Saya tidak memilih yang potensial menang. Karena saya bukan/tidak bertaruh. Saya mencoba melihat mana yang layak saya pilih. Akhirnya saya lebih memilih FT. Bagi saya, dekan yang aktif (FKKMK) atau masih menjabat, harus menyelesaikan amanahnya. Bukankah ini tindakan mulia dan berintegritas? wkwkwk
  3. Namun, yang terpilih ternyata Prof. Ova, dekan FKKMK. Calon yang tidak saya jagokan. 
  4. Berbeda dari pilrek tahun sebelumnya (2017) dan seingat saya juga 2012; tahun 2022 ini saya tidak menemukan live streaming. Ini catatan menarik bagi saya. Jika benar, maka ada kemunduran. Tingkat transparansinya menurun.
  5. Dari berita beredar, sepertinya di MWA hanya 1 putaran, dengan perolehan angka: Ova 21, Deen 3, Bambang 1. Kenapa tidak ada final mempertemukan 2 calon? mungkin karena pemenang memperolah kemenangan telak. Kemudian disepakati tidak dilanjutkan. Cukup sudah. Atau, bisa jadi calon peringkat 2 menyatakan menerima, dan menyudahi saja prosesnya. Karena tidak ada live streaming, maka kemungkinan yang saya sampaikan di atas itu hanya tebakan saja.
  6. Angka perolehan di atas, menandakan Prof. Ova menang telak. Khusus analisis "kemanangan telak" ini ada di sini.
  7. Akhirnya UGM memiliki rektor perempuan yang dihasilkan dari proses pilihan sejak awal (bukan menggantikan).
  8. Prof. Ova menjadi rektor ke-3 UGM yang berasal dari FKKMK. Rektor UGM yang pertama dari FKKMK Prof. Sardjito, sekaligus rektor pertama UGM. Rektor UGM berikutnya dari FKKMK Prof. Jacob, atau rektor ke-7 UGM
  9. Prof. Ova merupakan rektor ke-17 UGM. Angka cantik hasil penyandingan dari angka 1 (Prof. Sardjito), dan 7 (Prof. Jacob).
  10. Fakultas Teknik UGM gagal membuat hattrick.

Catatan akhir
  1. Saya bukan orang yang punya hak pilih, lho.
  2. Saya mencoba melihat fenomena, kemudian menganalisisnya dengan pisau analisis saya secara pribadi. Latihan. Ini latihan nulis, dan mempertajam analisis.
  3. Yang membaca, jangan nesu, lho. Ini wujud kebebasan akademik. Saya memang blak-blakan.😅

Thursday 9 March 2023

Tendik, mari tengok buku Profesi Wong Cilik, agar landing secara soft

Mendaki itu mudah, seperti halnya mengejar cita-cita. Tapi kalau sudah tercapai, sesudah sampai di puncak, perjalanan kembali itulah yang berbahaya” (Pak Jaga, dalam Profesi Wong Cilik, halaman 264).

******

Saya melihat, pada tenaga kependidikan (tendik) di perguruan tinggi, ada keadaan yang berpotensi menimbulkan post power syndrome. Untuk siapa? 

Semuanya! Termasuk saya.

Meskipun demikian, sangat mungkin ada yang telah dapat menekan dan meminalisir potensi ini.

Potensi ini, khususnya berkaitan dengan jabatan struktural (eselon) yang ada di lingkungan tenaga kependidikan. 

Pada tenaga kependidikan, jarang saya temui seorang tenaga kependidikan yang menduduki jabatan struktural (eselon), kemudian berhenti (atau membatasi) pada suatu waktu tertentu, lalu kembali menjadi staf pelaksana biasa, tidak lagi memimpin.

Yang jamak terjadi, dia akan naik jabatan (jika berprestasi).

Namun, jabatan yang lebih tinggi tentu saja terbatas. Maka, kemungkinan kedua, yang umum terjadi adalah menduduki jabatan itu sampai pensiun.  Atau dipihdahtugaskan, dengan tetap pada jabatan atau jenjang jabatan yang sama.

Menurut saya, "kebiasaan" ini jika terus berlangsung berpotensi kurang sehat.

Setidaknya, kurang sehat ini terjadi pada dua kemungkinan.

Pertama, menghambat proses sirkulasi (bukan rotasi, lho) tendik potensial. Kedua, jika muncul perubahan, berpotensi kaget. 

Perubahan, owah gingsiring jaman yang membuat kaget ini, paling tidak ada dua hal. Pertama perubahan teknologi, yang kedua perubahan kebijakan. 

*** 

Kondisi ini, secara umum berbeda dengan dosen. Saat menduduki jabatan stuktural, kemudian selesai, maka kembalilah dosen itu ke jabatan dan pekerjaan aslinya: dosen yang mengajar. Keadaan berjalan normal. 

Setidaknya begitulah yang umum terjadi.

*** 

Di dunia ini, tidak ada yang tetap, kecuali perubahan. Begitu filosof masa lampau memandang keniscayaan perubahan. 

Orang jawa punya rumus owah gingsiring jaman. Jaman yang selalu berubah. Jika ada pada masa kurang baik, maka orang Jawa berharap, “Semoga suatu saat nanti akan nemahi (menemui) rejo rejaning jaman (zaman yang sejahtera)”.

Namun, orang jawa juga siap jika owah gingsiring jaman itu berlaku sebaliknya. Mereka punya rumus manjing ajur ajer, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan tetap memegang prinsip.

Pada kasus potensi post power syndrome di atas, rasanya (khususnya saya) tenaga kependidikan perlu belajar dari ungkapan Alimudin, seorang mantan bong supit, masih dalam buku Profesi Wong Cilik.

Alimudin jauh hari sudah meramalkan, bahwa karena obah osiking jaman (owah gingsiring jaman dalam ungkapan bahasa Banjarnegara), dia harus bergeser dari profesi bong supit, cari usaha lain. “Bisa manjing ajur ajer, agar tidak terkejut dan makan hati…”, ungkapnya.

***

Sehingga...

Menjadi PR besar bagian SDM, untuk menginternalisasikan cara pandang yang tepat atas sebuah pekerjaan dan jabatan. Membuat keadaan “berhenti menjabat”, khususnya jabatan eselon merupakan hal biasa, bukan akhir segalanya. Tengoklah lagi kutipan kata-kata Pak Jaga pada awal tulisan ini.

Prestasi besar bagian SDM bukanlah saat pegawainya sukses menduduki jabatan-jabatan penting. Namun kesuksesan bagian SDM adalah saat pegawai yang menduduki jabatan itu turun, tanpa post power syndrome.

Semua yang naik, harus siap untuk turun. Meski perjalanan turun itu lebih berbahaya, karena harus menahan beban berat tubuh, dia tetap harus turun. Karena pangkat lan jabatan mung sampiran. 

Turun dan mendarat harus dilakukan dengan soft.  Landing dengan soft pun, harus disiapkan jauh-jauh hari. Tidak serta merta menjelang turun.

https://www.instagram.com/p/CavlKMzP0CM/

Apakah setelah landing, seorang mantan pejabat tetap bisa memimpin?

Tentu bisa.

Pemimpin dan pejabat merupakan dua hal yang berbeda. Pemimpin lebih luas dan lebih tinggi tingkatannya dari sekedar pejabat.

Setelah landing, pada keadaan tanpa jabatan formal, mengacu Robin Sharma pada bukunya Leader Who Had No Title, seorang tenaga kependidikan tetap dapat memainkan perannya sebagai leader. Pemimpin tidak harus dengan memiliki jabatan (formal). Semua bisa menjadi pemimpin dalam arti luas, seluas-luasnya. Pemimpin model ini, justru bisa lebih merdeka.


“Kunci utama mencapai kemenangan spiritual adalah mengalahkan perasaan tertindas, tertekan, terkalahkan, dan lain sebagainya.” (Batur, dalam Profesi Wong Cilik, hal. 248).


Sambisari,
9 Maret 2023
05.42 pagi