Saturday 22 February 2020

, ,

Profil publikasi civitas UGM terbit 2019 terindeks Scopus

Langsung ke pembahasan saja, yak.

Dokumen civitas UGM terbit tahun 2019, dapat dilihat pada grafik dan visualisasi di bawah ini. Namun, perlu dijadikan catatan, untuk grafik diambilkan dari data di Scopus pada 18 Februari 2020. Sementara untuk visualisasi, tidak jauh rentang waktunya, diambil pada 21 Februari 2020. 

Jadi, dalam kurun waktu tahun 2020, masih dimungkinkan dokumen terbitan 2019 civitas UGM yang terindeks Scopus bertambah.     


Terdapat 2190 dokumen yang terindeks Scopus. Dari angkat tersebut, penulis terbanyak yaitu Rohman, A., disusul oleh Nugroho, HA., serta beberapa nama lain pada peringkat 5 teratas. 

UGM tentu menjadi institusi terbanyak yang menyumbang artikel. Setelah UGM terdapat UNS  dan ITB yang menjadi partner para penulis UGM. 

Scopus merekam, bahwa bidang Environmental Science menduduku peringkat paling tinggi dengan 507 dokumen. Berdasar type dokumen, artikel melampaui jenis konferensi. Hal ini dikuatkan dari data berdasar wadah publikasi yang menunjukkan dokumen yang terbit di jurnal lebih banyak dari pada prosiding.

Namun demikian, jenis open access lebih tinggi jumlah dokumennya (1.393 dokumen, atau 61%) dibanding yang lain. Sisi positif dari data ini, berarti sebagian besar dokumen yang diterbitkan oleh civitas UGM dapat diakses masyarakat secara bebas. 

Pada negara jejaring, Jepang menjadi negara paling banyak berjejaring dan menghasilkan publikasi bersama UGM. Menariknya, ada Australia dan Belanda pada 5 teratas. Artinya civitas UGM tidak hanya berjejaring dengan negara di Asia saja.

Lebih jelas tentang jejaring antar negara bisa dilihat di visualisasi.


Grafik di atas menunjukkan jenis publikasi dan jumlah dikutip. Menarik. Karena meskipun jumlah selain open access hanya 837 (30% dari total publikasi 2019), namun justru jumlah dikutipnya mencatatkan angka 451 dokumen atau 60% dari total dikutip (750). Melebihi dokumen openaccess yang meski berjumlah 1.353, namun baru dikutip 299 dokumen.

******

Author keyword minimal 5
Visualisasi di atas menunjukkan jejaring kata kunci yang ditentukan oleh penulis, dengan ketentuan  kata kunci muncul minimal 5 kali pada kumpulan data set publikasi 2019.

Kajian tentang Indonesia paling banyak muncul. Topik tersebut berkaitan dengan berbagai topik lain, yang bisa dilihat pada gambar.  Misalnya dengan remote sensing, climate change, tuberculosis, cancer, malaria, dan lainnya.

Tampaknya, bidang kesehatan mendominasi dalam hal ini.



Jejaring negara penulis, minimal 5 kali muncul
 Pada grafik terlihat bahwa Indonesia merupakan negara paling banyak menyumbang penulis. Tentu saja, karena civitas UGM berasal dari Indonesia. Namun, visualisasi di atas memperlihatkan lebih jelas tentang jejaring antar negara asal penulis tersebut.

Ada beberapa klaster. Nama negara yang memiliki warna yang sama, menunjukkan bahwa negara tersebut kerap berkolaborasi dalam penulisan. Warna-warna tersebut dihubungkan oleh Indonesia, sebagai negara asal penulis UGM.

Dari visualisasi di atas, kita bisa mengetahui kecenderungan negara jejaring (selain Indonesia) ketika kolaborasi menulis dengan penulis UGM. Misalnya Thailand, Vietnam, Singapura, itu cenderung bersama. Kalau Australia berkolaborasi dengan UGM, maka jejaring negara lainnya adalah UK, German, Spanyol. Dan seterusnya.

Tentu, sebaran ini bisa menjadi bahan kebijakan jejaring kepenulisan pada masa yang akan datang.

Nama penulis, minimal punya 5 dokumen, dan saling berjejaring.

Jejaring antar penulis di atas memperlihatkan klaster/kelompok penulis yang saling berjejaring. Fokusnya ada pada nama-nama yang menjadi pusat pada setiap klaster. Ditunjukkan oleh besarnya lingkaran.

Dari visualisasi di atas, selain kelompok penulis, kita bisa melihat jejaring antar fakultas/program studi.

Sayangnya, saya tidak mengenal semua nama dosen di UGM. Sehingga belum bisa membaca visualisasi di atas lebih dalam. Namun, mudahnya begini: jika ada dua nama dari fakultas yang berbeda tapi saling terhubung, maka mereka berkolaborasi.

Maaf, analisia belum mendalam.

(Selesai)

Thursday 20 February 2020

Bookless Library: beberapa point kelemahan konsepnya

https://pixabay.com/id/photos/sastra-buku-halaman-bersih-3033196/
Sebenarnya Paijo menyatakan bahwa pembahasan bookless (library) telah selesai. Kesimpulannya jelas. Jelas tidak jelas. Banyak kelemahan.

Namun ternyata muncul lagi. Di sebuah grup WA.

Ada yang membawa penjelasan - yang dianggap -  baru tentang bookless library.

Bookless library itu ada bangunannya. Tetap ada kegiatan layaknya di perpuatakaan. Tidak ada buku cetak. Tapi ada koleksi yang bisa dipinjam menggunakan e-reader. Sehingga pemustaka haruslah datang ke tempat ini. Ke tempat yang diklaim sebagai bookless library.

Ada beberapa kelemahan dari konsep ini. Tanpa panjang lebar, saya tulis 1 bagi 1.

1. Bookless – tanpa buku. Setidaknya arti ini saya ambil dari google translate, dan Merriam Webster Dictionary. Namun jika bookless itu digabung dengan bookless library menjadi “bookless library” di Wiki tertulisnya “do not nave any printed book”. Yang tidak ada itu buku tercetak. Demikian juga penjelasan di tempat lain. Klop seperti klaim di grup WA tadi. 

Ini berarti tetap ada bukunya, namun dalam bentuk yang berbeda dari buku konvensional (cetak kertas).
Dengan kenyataan ini, maka kata bookless itu sebenarnya mengecoh. Artinya tidak sesuai dengan arti asalnya. Jelas ini bias, bahkan cenderung menyesatkan. Mengarahkan pembaca (maksudnya yang membaca istilah bookless library) pada cara pandang tertentu, yang tidak sesuai kenyataannya. Padahal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dalam dunia ilmiah, menyesatkan itu tidak boleh.

2. Ereader, alat untuk membaca buku di bookless library. Alat ini hanya bisa digunakan dengan datang ke perpustakaan. Hal ini sangat menggelikan. E-reader ini, dengan penjelasan seperti itu, pada dasarnya adalah sama dengan koleksi buku cetak di Perpustakaan.

Coba bayangan buku cetak kertas, yang hanya bisa dibaca kalau memiliki, atau meminjam ke perpustakaan. Jumlahnya terbatas. Sama dengan ereader, kan? Yang jumlahnya terbatas, dan harus datang ke perpustakaan. Substansinya sama. Hanya beda di kertas dan di layar saja.

"O, tidak begitu," mungkin ada yang menyangkal. "Ereader bisa dipasang di gadget pemustaka", begitu alasannya?

Kalau alasan itu dipakai, maka benar, WC itu juga bookless library. Pos ronda apalagi. Bahkan saat ini, kita semua sedang ada di bookless library.

3. Inkonsistensi. Hal ini muncul karena mengharuskan pemustaka datang ke perpustakaan. Padahal perkembangan perpustakaan yang ada sekarang ini mengarah pada perpustakaan yang bisa diakses di mana-mana. Jelas ini kemunduran.

Bookless library tidak layak disebut pengembangan. Lebih tepatnya pemunduran.

4. Bookless library itu konsep penuh teknologi. Ini konsep elitis. TITIK.

Bookless library itu selemah-lemahnya konsep perpustakaan. Bookless library itu jelas tidak jelas, sampai terbukti jelas.