Friday 21 September 2007

Perpustakaan: pandangan dan kiprah Al Attas

Dalam tulisan ini, dengan segala keterbatasannya, saya ingin menyampaikan pandangan dan kiprah singkat orang-orang yang dianggap "besar", baik pada jamannya maupun "besar" saat jamannya telah lewat,  terkait perkembangan perpustakaan. Kebesarannya dianggap memberikan warna dalam setiap detak perubahan peradaban.

SMNA (Syed Muhammad Naquib Al-Attas)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya ditulis Al Attas) merupakan pemikir jenius sekaligus ideator pada ISTAC (Institute of Islamic Thaught and Civilization), Malaysia. "Al-Attas merupakan seorang pemikir jenius yang dimiliki dunia Islam," begitu yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, tentang kiprah Al-Attas.

Al-Attas lahir di Bogor 5 september 1931. Jika ditelisik, maka silsilahnya akan sampai kepada leluhurnya di Hadramaut, dan jika ditelisik lagi maka akan sampai pada Imam Husein, cucu nabi Muhammad SAW. Beliau pernah mendapatkan pendidikan di Johor, kemudian di Sukabumi, yang akhirnya puncak akademiknya di peroleh di SOAS (School of Orientalisme and African Studies) Inggris. Beliau juga merupakan kolega dari pemikir Islam Fazlur Rahman.

Masa mudanya banyak dihabiskan dengan membaca manuskrip sejarah, agama, sastra dan buku klasik barat yang tersedia di perpustakaan keluarganya.

Pandangan Al-Attas tentang perpustakaan merupakan pandangan integral atas pandangannya mengenai pendidikan Islam. Pandangan kiprah Al-Attas ini penulis ambilkan dari bab 4, sub bab ke-5 berjudul perpustakaan, dari buku sebagaimana pustaka yang tertulis di akhir tulisan. Bab 5 ini berjudul Ide dan Realitas Universitas Islam, terdiri dari universitas sebagai mikrokosmos, Islam dan timbulnya Universitas Barat, Kebebasan Akademik dan pengembangan Ilmu, Pendidikan tinggi: bukan merupakan hak, dan terakhir sub bab Perpustakaan.

Perpustakaan, menurut beliau memegang peranan penting dalam konsepsi tentang universitas Islam. Perpustakaan merupakan tempat ilmu pengetahuan dan hikmah dari berbagai budaya, agama dan tradisi keilmuan, maka selayaknya perpustakaan diberi perhatian/prioritas utama.

Perpustakan kadang bukan hanya sebagai bagian dari institusi pendidikan, namun justru perpustakaan merupakan salah satu bentuk pendidikan tinggi.

Dalam sejarah islam, menurut Al-Attas banyak perpustakaan yang merupakan tempat berbagai kegiatan keilmuan dilaksanakan. Paling populer, sebut saja Baith Al hikmah pada 900-an M di Bahgdad yang di dalamnya berbagai aktivitas keilmuan dilaksanakan. Pengembangan perpustakaan merupakan wujud dari penggambaran insan kamil atau manusia universal oleh sebuah universitas Islam. Insan kamil, merupakan manusia yang mampu menunjukkan sifat-sifat ketuhanan dalam semua perilakunya tanpa harus keilangan identitasnya sebagai makhluk.

Pengembangan perpustakaan dan institusi pengajaran lainnya pada masa Islam pramodern merupakan kenyataan unik pada masanya. Kenyataan ini didasarkan pada penghargaan kepada ilmu pengetahuan oleh Quran, yang merupakan kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Di ISTAC, Al-Attas menginstitusikan pengembangan perpustakaan yang bagus sebagai salah satu tujuan dan sasaran. Perpustakaan ISTAC, yang merupakan bagaian dari bangunan ISTAC, merupakan hasil desain Al-Attas sendiri. Konsep pembangunannya didasarkan pada ekspresi kehadiran Islam yang hikmah, berani, sabar, adil dan harmoni.

Al-Attas menyadari pentingnya berbagai rujukan untuk proses pendidikan. Untuk memperoleh koleksi, Al-Attas menghubungi berbagai penerbit, selain itu dalam berbagai lawatannya ke luar negeri Al-Attas selalu mengatur jadwal sedemikian rupa sehingga berkesempatan untuk menemui para tokoh dan profesional yang dapat membantu usahanya berburu koleksi. Al-Attas, boleh dikatakan sebagai pecinta perpustakaan (lepas dari perdebatan siapa yang layak menyandang PUSTAKAWAN).

Sebagai contoh kiprahya, setelah kepulangannya dari luar negeri pada 1960-an, beliau banyak membantu berbagai universitas di Malaysia untuk mengembangkan perpustakaannya. Membantu mendapatkan rujukan-rujukan terutama dalam bidang stusi Islam, filsafat dan kebudayaan barat, dan kebudayaan melayu. Hubungan dengan para orientalis pun di manfaatkan untuk mendapatkan koleksi-koleksi perpustakaan. Sebagai misal, dengan perpustakaan Joseph Schact, dari sana didapatkan 5000 an jilid koleksi tentang sejarah hukum Islam.

Perpustakaan besar, bukan hanya ditandai dengan kuantitas koleksi mereka, namun juga kualitas koleksi, dengan tersedianya koleksi buku-buku besar dalam satu tempat. Ide ini terutama dituangkan dalam pengembangan ISTAC, mulai Mei 1991. Setelah Fazlur Rahman meninggal, yang merupakan komentator filsafat Ibn Sina dan Islamolog, maka beliau segera mengutus Wan Mohd Noor Wan Daud untuk menemui keluarga almarhum untuk bisa melengkapi koleksi perpustkaaan ISTAC dengan koleksi-koleksi almarhum Fazlur Rahman.

Perburuan manuskrip-manuskrip baik berkaitan dengan islam, budaya dan arus pemikiran-pemikiran dilakukan di banyak tempat. Turki, Mineapolis, Manchester, dan tempat lain di belahan bumi yang berbeda. Hingga pda 1998 ISTAC telah memiliki 110.000 jilid buku rujukan penting termasuk 3000 judul (dalam 29000 jilid) jurnal dalam berbagai bahasa.

Selain manuskript, Al-Attas juga mengumpulkan koleksi berwujud mikrofilm, yang didapatkannya dari perpustakan SOAS London. Momen besar di ISTAC salah satunya adalah persetujuan dengan Bosnia, yang mempercayakan ISTAC untuk menyalin ke dalam mikrofilm semua manuskrip yang ada pada perpustakaan Gazi Huzrev Beg Sarajevo.

Al-Attas menekankan, bahwa kepala perpustakan ISTAC nantinya adalah orang yang dilatih secara profesional, namun sekaligus sebagai seorang ilmuwan.

Penekanan Al-Attas ini didasarkan pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu ilmuwan dari berbagai bidang dan kemampuan dipekerjakan sebagai staf perpustakaan. Ini didasarkan pada kenyataan pada budaya Islam, bahwa banyak ilmuwan terpelajar yang mengelola berbagai pusat informasi atau perpustakaan pada jamannya. Ibn Muskawaih, sebagai salah satu contoh, merupakan seorang sejarawan sekaligus pustakawan di perpustakaan pribadi Ibn Al Amid. Meskipun demikian diakui di dunia barat juga mempunyai konsep pemikiran yang sama. Sebut saja Boyer, dalam key speech-nya pada Symposium Nasional Mengenai Perpustakaan Dan Pencarian Keunggulan Akademik di Universitas Columbia 1998, beliau menekankan

"kita memerlukan pustakawan terpelajar, profesional dan mengerti dan tertarik pada jenjang pendidikan strata satu. Orang yang ikut berkiprah pada materi pendidikan dan dapat mengubungkan antara ruang kuliah dan kehidupan kampus".
................................................................................

Sumber:
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan praktik pendidikn Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan

(Buku diatas merupakan terjemahan oleh Hamid Fahmi Zarkasi, dari judul asli: The Educational Philosophy Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, penulis: Wan Mohd Nor Wan Daud yang diterbitkan ISTAC tahun 1998.