Wednesday 31 October 2018

, , ,

Gitu aja kok repot, Jo....

Banjir. Bikin repot, tapi membawa rejeki.
"Gitu aja kok repot". Mendadak seloroh yang pernah dipopulerkan Gus Dur itu muncul lagi. 
------

Suatu siang, seorang dosen ilmu perpustakaan berkomentar pada curhatan Paijo. Paijo curhat tentang beban berat pustakawan sekolah yang pernah dihadapi Kimpul. Pak Dosen berkata, "lulusan ilmu perpustakaan jangan mau kerja di perpus yang gajinya kecil". Tidak berhenti di situ,  Pak Dosen melanjutkan: "masih ada lembaga lain yang bisa beri gaji besar. Lulusan (ilmu) perpustakaan tak harus kerja di perpustakaan". 

Sekali lagi, demikianlah dulu alasan Kimpul hingga akhirnya keluar dari pekerjaannya sebagai pustakawan sekolah. Gajinya kecil, hingga membuat Kimpul ragu ketika dihadapkan pada biaya nikah dan setelah nikah. Persoalan gaji merupakan persoalan klasik di perpustakaan sekolah.

Saran Pak Dosen di atas logis, solutif, informatif. Maklum, beliau dosen yang ilmunya setinggi langit dan sedalam sumur minyak. Berbeda dengan pustakawan. Dari ajarannyalah pustakawan menjadi ada. Jika ada yang mengaku pustakawan, namun tidak lahir dari ajarannya, maka perlu dipertanyakan kepustakawanannya. Demikian katanya.

Namun, keluar dari perpustakaan sekolah, sebagaimana disarankan Pak Dosen tadi, ada konsekuensinya. Sekolah yang benar-benar minim anggaran akan benar-benar ditinggalkan oleh para alumni ilmu perpustakaan, semacam Kimpul, Yem, juga Paijo atau Karyo. "Gajinya kecil, ngapain kerja di situ", demikian kurlebnya. Ketika ditinggalkan, maka harapannya kemudian ada pada guru atau staf non guru lainnya. Hal ini pun akan meninggalkan permasalahan. "Harusnya dikelola oleh alumni ilmu perpustakaan. Harusnya ada lowongan pustakawan. Inpassing lagi, lagi-lagi inpassing", demikian teriak-teriak yang akan didengar kemudian.

"Gitu aja kok repot", kata yang mulia dosen ilmu perpustakaan itu menutup komentarnya.

###

Ya, memang, kami, para pustakawan sekolah repot. Harus kami akui sejak awal. Atau, jika tidak boleh kami atas namakan pustakawan, sebut saja sebagian pustakawan sekolah. Kami repot, kok. Ketika kerja di perpustakaan sekolah, di antara kami hanya lulusan SMA. Namun karena kecintaan kami pada perpustakaan sekolah, kami juga rela nyapu, ngepel, nyulakki sawang di langit-langit. Tidak hanya itu, Pak. Sabtu  dan Minggu, yang biasanya kami gunakan untuk kumpul dengan keluarga, kami korbankan.  Kami kuliah lagi, meski hanya 2 hari sepekan. Repot memang. Namun kami ingin ketemu dengan bapak/ibu tentor yang pintar-pintar. Kami ingin ketularan pintarnya mereka. Maka kami kuliah. Sekali lagi, kuliah kami ini memang repot, tapi tetap kami lakukan.

Apa yang terjadi? Setelah lulus tidak serta merta mengubah nasib kami. Kami memang repot. Sebagian kami ini masih honorer, mau sekolah tinggi, sarjana ilmu perpustakaan, atau "dan informasi", pangkat mana yang mau menerima kami?. Kami memang repot, Pak. Apalagi kalau kami keluar dari perpustakaan sekolah itu. Lontang-lantung lagi.

Sebenarnya kami ingin bertahan, Pak. Karena kami berfikir tentang anak-anak di sekolah itu. Ya, tak banyak yang bisa kami lakukan untuk masa depan mereka. Hanya sebatas melayani mereka di perpustakaan. Namun, mereka sudah jadi bagian dari hidup kami. Kami ini sering ketemu dengan orang tuanya. Maklum, di kampung, sudah seperti saudara. Ketika kami ketemu dengan orang tuanya, mereka mengatakan, "nitip Thole ya, Bu". Berat, repot, Pak. Kata-kata, pengharapan simboknya Thole itu sampai ke ulu hati kami, Pak.  Nyesek. Mereka berharap dengan sekolah, Thole bisa memperbaiki hidupnya. Perpustakaan itu juga bagian dari sekolahnya Thole, Pak. Juga dengan  buku-buku itu, yang setiap hari kami sentuh dan sodorkan pada anak-anak. Tapi kami juga harus realistis. Hidup perlu biaya. Kalau kami tak punya usaha sampingan, maka keluar adalah jalan satu-satunya.

Repot, Pak. Terkadang dari kami masih sering  ketemu Ibunya Thole, yang satu grup arisan. Kadang merasa malu. "Kok keluar, Bu. Lalu siapa yang membimbing Thole?". Seolah-olah, kami tak mampu memberikan harapan pada Thole.

Tapi semua itu kami singkirkan. Sebabnya satu, karena suntikan semangat dari bapak.  Ya, melalui komentar "gitu aja kok repot", yang pernah bapak sampaikan. Sungguh kalimat pendek itu menjadi pemompa semangat kami.

Apalagi ada teman kami yang sudah duluan pindah profesi lain atau institusi lain seperti saran Bapak. Struktural kalau ada yang menerima, yang jelas-jelas jenjangnya.

Sebenarnya kami masih ingin bertahan, Pak. Namun, sekali lagi setelah bapak sampaikan "gitu saja kok repot", semangat kami jadi melecu, membara dan berkobar-kobar. Pernyataan bapak menambah semangat kami, semangat untuk resign. Kami jadi tidak lagi berat meninggalkan perpustakaan yang tak memberi kami gaji yang layak. Kami tak lagi berat dengan anak-anak itu, buku-buku itu. Kami akan pikirkan diri kami sendiri. Mencari pekerjaan yang lebih banyak gajinya.  Karena Bapak seorang dosen, maka kalimat itu menjadi dasar hukum keputusan kami, legal secara akademis.

Doakan kami kuat, pintar, terampil, dan bisa sehebat Bapak. Ah, jangan sehebat Bapak, nanti ndak dikira nyaingi Pak Dosen. Biarlah kami, kualitasnya tetap di bawah Bapak saja. Namun harapan kami semoga bisa ayem tentrem. Mendapatkan pangupo jiwo yang jadi lumantar rejeki. Meski mungkin tetap harus repot.

Hidup memang repot, Pak. Tidak bisa tidak repot. Hidup dan repot itu sudah saling mengisi. Hidup tanpa repot, kurang menarik.

"Pak Dosen, biarlah kerepotan itu untuk kami saja. Kerepotan itu berat, engkau tak akan kuat".

Tolong bekali adik-adik kami dengan kemampuan yang linuwih,  agar tidak serepot kami. Agar mereka bisa masuk lembaga yang bisa menggaji dengan layak. Satu lagi pesan kami, jika memang di perpustakaan sekolah itu kami tidak bisa mendapat gaji layak, atau tak bisa disebut pustakawan, tolong hapus saja jenis perpustakaan sekolah, Pak. Atau jangan jadikan lowongan perpustakaan sekolah sebagai bahan proposal pendirikan atau promosi jurusan ilmu perpustakaan.

Jangan menambah orang yang repot, Pak.

####

Suatu waktu, Paijo sampaikan pengalamannya ini pada Karyo.

"Lulusan ilmu perpustakaan kok jangan bekerja di perpustakaan. Aneh ndak, Kang?", kata Paijo.

Kalimat ini bagi Paijo sebenarnya agak masih agak aneh. Lulusan ilmu perpustakaan - jangan kerja - perpustakaan - gajinya kecil. Empat kata kunci, dengan dua kata "perpustakaan" yang rasa-rasanya  bertolak belakang. 

"Yo tidak, tho. Itu kan yang ngomong dosen ilmu perpustakaan. Pasti benar, valid, dan bernilai tinggi". Sahut Karyo.

"Bernilai tinggi bagaimana, Kang?"

"Pernyataan bernilai tinggi dan sudah membuktikan sendiri, bahwa ilmu perpustakaan itu tidak percaya diri. Bukan ilmu", Karyo menjawab.

"Gandrik...". Paijo kaget. 


[[ selesai ]]

Tuesday 30 October 2018

, , , , ,

Pre librarian - librarian - post librarian

Menjadi pustakawan itu berkah. Demikian seharusnya memaknai. Meskipun memang benar, ada yang kemudian berpindah atau keluar dari profesi tersebut. Semua punya sejarah, alasan, dan dasar yang pada dasarnya harus dihormati. 

Paijo, pustakawan dari pelosok kampung itu masih mencari pemaknaan dirinya terhadap profesinya. Dia ingin menempatkan pustakawan secara tepat pada dirinya. Penempatan yang pas, ora komplang. Manjing. Tidak menyakralkan, namun juga tidak meremehkan. Pemaknaan ini penting, agar selanjutnya dia bisa merdeka berjalan di jalan yang tepat, dan diyakini. Serta tentunya tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai isu dan dinamika dari luar. 

Dia tidak memungkiri, bahwa sesamanya ada yang telah selesai dengan pemaknaan pada profesi ini. Dia anggap begitu beruntungnya mereka. Namun, kadang dia juga berprasangka lain. Mungkin juga mereka tidak begitu memikirkan apa yang sedang difikirkan Paijo. Entahlah.

Paijo yakin bahwa semua pustakawan berhak memaknai perjalanan berpustakawannya. Bahkan pemaknaan itu boleh berbeda dengan orang lainnya. Tidak harus sama. Tidak ada yang mewajibkan harus sama. Tidak ada dosa jika berbeda. Paijo ingat ketika masih sekolah, diskusi bersama teman-temannya tentang tafsir pada ayat suci. Ayat suci yang turun dari Tuhan, ketika sampai pada mufasir akan menghasilkan tafsir yang berbeda. Jika semua orang yang tidak masuk pada level mufasir ikut menafsirkan, pasti akan lebih beragam. Tafsir pada hal yang sakral pun bisa berbeda, apalagi hanya pada sebuah profesi ciptaan manusia. Demikian yakin Paijo.

Imaji Paijo pun meliar. Ketika di perpustakaan, sambil bekerja, sambil melamun, mencoba menggali makna pekerjaannya.  Berharap menemukan titik-titik pemberhentian dan berjumpa dengan  makna kepustakawanannya. Untuk mengejar makna ini, buku para begawan juga pernah dibaca, meski tidak semuanya selesai. Apa sebab? Entah. Dia sendiri juga bingung. 

###

Paijo melanjutkan perenungan perjalanan kepustakawannya. Kali ini sendirian, tidak ditemani Karyo, yang sedang pergi entah kemana. Juga tanpa sego thiwul kesukaannya. Dia ingin sendiri, kontemplasi. Agar fokus, kontemplasi Paijo dibatasi dahulu sesuai apa yang dia alami: pustakawan formal yang lahir dari pendidikan (ilmu) perpustakaan. 

Dalam perjalanan kontemplasi itu, Paijo memilah 3 fase keberpustakawanan yang dia lalui: pre librarian, librarian, dan post librarian. Paijo mencoba menelisik dirinya pada tiga fase ini.

Pre librarian merupakan waktu ketika masih berjuang agar nantinya dapat disebut pustakawan. Berbagai hal dilakukan dalam fase ini. Salah satunya dengan menempuh pendidikan. Pada masa ini idealisme dibangun. Berbagai artikel dan buku dilahap. Berbagai keterampilan diasah. Diskusi didatangi, serta cerdik cendikia didaulat untuk duduk (kadang juga berdiri) berbicara. Tujuannya satu: agar ketika sudah menjadi pustakawan, diperoleh predikat ideal.

Namun, pada masa ini Paijo juga merasa pernah jatuh. Linglung. Dirinya merasa aneh dengan pendidikan perpustakaan yang dia tempuh. ”Iki sekolah opo?”.  Kegamangan ini tidak hanya dialami  Paijo. Namun juga beberapa  temannya. Dibuktikan dengan kenyataan beberapa temannya berguguran, berpindah jurusan sebelum lulus. Bahkan, saat ini pun dia masih menemui mahasiswa yang sekolah perpustakaan merasa gamang. Sialnya, mahasiswa ini pernah bertanya, atau ngudo roso tentang kegamangan ini pada Paijo. Tak banyak yang bisa disampaikan Paijo, “lakukan yang terbaik pada apa yang ada di depanmu saat ini. Kamu boleh tidak suka dengan jurusan yang kamu ambil, tapi jangan remehkan (ilmu) ini”.

Kegamangan itu memang wajar. Seorang yang sudah masuk jurusan favorit macam kedokteran juga bisa gamang. Mungkin ndak sesuai minat, masuk karena ikut-ikutan, disuruh orang lain, atau sebab lainnya. Tapi begitulah, masa pre librarian memang kompleks. 

Pada masa ini, Paijo mencoba mengingat, meski ada yang gamang, ada pula yang berfikir idealis penuh percaya diri. Kompilasi bacaan tentang perpustakaan, yang ditulis dari berbagai sumber, mengantarkan mereka untuk presentasi pada pertemuan ilmiah. Atau paling tidak tulisannya menghiasi berbagai media massa.  Proses belajarnya harus dibenturkan pada berbagai bentuk pemikiran lainnya. Di pertemuan ilmiah tersebut, pandangan pro kontra akan mematangkan pemikirannya. Pada media massa, orang akan dapat membaca siapa dan bagaimana arah pemikirannya.  Ini hal yang positif pada masa pre librarian.

Berikutnya yaitu masa librarian, ketika sudah menjadi pustakawan. Inilah masa seseorang yang sudah menempuh pre librarian, kemudian  disebut sebagai pustakawan. Formal. Sesuai undang-undang,  atau sesuai ketentuan dan kebutuhan di institusi induknya.  Atau mungkin penyebutan itu berasal dari masyarakat sebagai sebuah penghargaan pada peran yang dilakukannya. Pada masa inilah idealisme bertemu dengan realita. 

Akan ada kompromi, penyesuaian, pertentangan, dan mungkin penguatan. Kompromi dilakukan ketika menemukan kenyataan yang ternyata tidak serta-merta sesuai dengan jabaran teks yang pernah dibaca sebelumnya, ataupun dengan teks dan interpretasi mutakhir yang juga terus diikuti. Akhirnya ada yang harus ditahan, dikalahkan, diprioritaskan dan lainnya. Hal itu dapat ditelisik dari pilihan bentuk kerja-kerja pustakawan.  Inilah masa-masa sulit. 

Pada masa ini pustakawan mulai menghadapi konsekuensi yang bukan hanya konsekuensi sebagai pustakawan. Namun juga konsekuensi sebagai manusia. Pustakawan harus mampu membaca dirinya sebagai manusia, bukan sekedar sebagai pustakawan semata. Sebagai pustakawan, diajarkan hal yang ideal: lowongan pustakawan yang menjadi haknya, bisa bekerja, sesuai pendidikan, digaji ideal. Tapi konsekuensi sebagai manusia lebih luas. Manusia itu harus mau diuji, berjalan di jalan yang berliku, penuh perjuangan, dan lainnya. Gajinya sedikit, diberi pekerjaan berlebih, dan lainnya. Ndak enak. Nah, pada masa itulah dia harus memutuskan: lanjut, atau cabut. 

Paijo ingat pernah pula dicurhati orang yang ada di level pustakawan. Pelik masalahnya. Bingung pula Paijo dalam menanggapi. Ketika itu, kawan Paijo diminta untuk pindah ke bagian lain. Dia dihadapkan pada pilihan idealisme, atau mengikuti perintah atasan. Paijo memberikan saran yang menurutnya paling barokah: ikuti perintah atasan, selama itu bukan perintah keburukan. Saran ini disampaikan, karena Paijo melihat di unit tersebut kurang orang, dan pada saat yang sama, bagian lain sangat membutuhkan. Kawan tersebutlah satu-satunya pilihan pimpinan. Bagaimana dengan perpustakaan yang ditinggalkan? Dengan pengondisian, dapat berjalan hingga sekarang. Mungkin saran tersebut tidak akan disampaikan, jika ternyata di unit masih ada banyak pilihan orang.

Orang yang (entah) kebetulan atau ditakdirkan jadi pustakawan, harus memandang dirinya sebagai manusia, dan siap dengan segala konsekuensinya sebagai manusia.

Paijo ingat, pada sebuah buku disampaikan bahwa hidup itu ujian, baru kemudian ada pelajaran dari ujian itu. Demikian pula ketika pustakawan masih kuliah, porsi belajarnya baru 20%. Yang 80% main-main. Sementara ketika jadi pustakawan, 100% kesehariannya adalah belajar, praktik, dan ujian. Dia dihadapkan para kenyataan dan ujian. Barulah dari dua hal ini dicari nilai pelajarannya, begitu seterusnya. Itupun jika mampu mencerna ujian yang dihadapi. Jika tidak, maka yang muncul hanya keluhan, umpatan, dan semacamnya. 

Sekolah itu pelajaran dulu, baru ujian. Sementara kehidupan alam, ujian dulu baru diberi pelajaran. (sumbernya lupa)

Perjalanan kepustakawanan tidak hanya selesai di sini. Keberpustakawan tidak hanya selesai ketika seseorang menjadi atau mendapat predikat pustakawan dengan berbagai tantangannya. Namun secara substansi, masih bisa naik pada level post-librarian. Beyond librarian.

Post librarian, merupakan masa ketika seorang pustakawan sudah melewati masa “librarian”. Ini posisi terakhir, pungkasan. Pergulatan, kompromi, pertentangan, sudah dilewatinya. Meskipun secara nyata saat itu dia masih menyandang predikat pustakawan, masih melakukan kerja-kerja seorang pustakawan, namun pemaknaannya bisa dinaikkan pada level post-librarian.

Seseorang yang sudah post, berarti sudah selesai dengan berbagai dinamika yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Manjing ajur-ajer. Penempatan arti “pustakawan” pada dirinya sendiri sudah selesai. Konflik, kekecewaan, dan semacamnya yang muncul sewaktu-waktu sudah dapat dia kendalikan di internal dirinya sendiri. Bahkan ketika konflik, kekecewaan, dan semacamnya itu hadir pada ruang dan waktu yang berbeda. Sudah selesai. Dia fokus pada inti profesinya sebagai pustakawan dalam berhubungan dengan orang lain. Inti! bukan atribut. 

Menempati posisi post, berarti sudah mapan. Bukan mapan secara finansial, namun mapan secara pemikiran dan pemaknaan. Dia sudah tidak lagi terikat pada dikotomi “saya pustakawan” dan “engkau pemustaka”.  Pada taraf inilah, ketentuan pustakawan formal yang terikat undang-undang atau peraturan, sudah tidak berlaku bagi dirinya. Semua manusia itu pustakawan, dan semua manusia sekaligus juga pemustaka. 

Inilah masa ketika pustakawan tidak lagi terikat pada batasan: siapa yang berhak menjadi pustakawan, dan siapa itu pemustaka. Baginya, semuanya sudah melebur. 

Paijo mengambil nafas panjang. Tatapannya dialihkan ke jalan di depan rumahnya. Jalan yang cukup ramai lalu lalang orang ke tegalan. Kiri kanan jalanan itu tumbuh pohon jati yang rindang. Angin semilir melewati batang pohon, terus dan terus berhembus. Akhirnya sampailah hembusan itu di emperan tempat Paijo duduk. Wajahnya diterpa angin. Wusss. Sejuk. Dia bergumam, “lalu, aku ada pada posisi mana?”. Paijo bertanya pada dirinya sendiri.


Prestasi terbesar pustakawan
Prestasi. Satu kata, namun menjadi tuah sakti untuk banyak orang, berbagai profesi, bahkan berbagai kepentingan. Bermacam kalimat penambah samangat dibuat menggunakan kata “prestasi”: gapailan prestasimu, kejar prestasi, belajar untuk meraih prestasi. Prestasi, secara alami akan dikejar. Bentuknya bisa bermacam, terpaut pada kepentingan si pengejar prestasi itu.

Ada yang menganggap pencapaian pendidikan tertinggi, atau mampu membeli mobil (mewah) sebagai sebuah prestasi. Atau, bagi sebuah partai politik: mempertahankan kekuasaan merupakan prestasi puncak, yang mengikuti prestasi lainnya: merebut kekuasaan.

Demikian pula pustakawan. Ada prestasi yang tertanam pada masing-masing mereka, sebagai angan untuk diwujudkan. Bisa berupa prestasi individu maupun kelompok. Menjadi pustakawan terbaik pada berbagai jenjang, jamak menjadi prestasi yang sering dimunculkan. Baik di level institusi, kabupaten, propinsi, atau nasional. Ya, syukur regional atau internasional. Memperoleh akreditasi ISO, salah satu contoh prestasi institusi yang sungguh merangsang. Menyertainya pula berbagai bentuk prestasi lainnya: mendapat bonus, mendapat beasiswa, presentasi di konferensi, artikel masuk jurnal. Atau mungkin berfoto dengan tokoh penting kepustakawanan idolah dengan berbagai pose aduhai dan gokil, kemudian mengunggahnya ke media sosialnya. Berharap tuah dan berkah melalui tombol like and share. Itu sah dianggap sebuah prestasi yang luar biasa.

Ada juga prestasi harian: mampu menemukan informasi yang dibutuhkan orang lain. Tepat, cepat, dan akurat. Prestasi harian ini mampu meningkatkan hormon kebahagiaan pustakawan di setiap hari. Tentunya prestasi harian ada berbagai macam bentuknya. Semakin sering prestasi ini dicapai, akan berpengaruh pada tingkat kebahagiaan pustakawan. Dia akan merasa dianggap ada dan dibutuhkan. Pihak yang membutuhkan pun merasa terpuaskan. 

###

Namun, apa sesungguhnya prestasi terbesar pustakawan?

Sebelum membahas prestasi terbesar pustakawan, ada baiknya kita telaah cara pandang pada profesi pustakawan oleh si pustakawan itu sendiri. Fokus pandangan pustakawan yang mengagungkan pernyataan  “pustakawan itu penting”, harus digeser kepada  “hal penting apa yang bisa dilakukan pustakawan”. Jika demikian, maka fokus pustakawan akan ada pada perannya, bukan dirinya. Cara pandang ini penting, karena akan mengantarkan pustakawan pada pemaknaan profesi yang luas dan tidak terkungkung pada batasan-batasan tradisional. Meskipun demikian, tetap terkait ruh dasar kepustakawanan.

Prestasi besar pustakawan akan terwujud ketika dikotomi pustakawan-pemustaka sudah tidak ada, sudah hilang. Masa ketika seorang pustakawan akan menganggap orang lain juga merupakan pustakawan. Hal ini bisa dijelaskan dengan filosofi jawa “nguwongke uwong”, menjadi “nguwongke pemustaka”. Pemustaka tidak lagi  dianggap sebagai pemustaka saja. Di sisi lain, si pustakawan juga  menganggap dirinya sendiri seorang pemustaka, yang memerlukan sebagian kerja kepustakawannya, untuk dirinya sendiri.  

Ketika substansi ber-pustakawan telah menempel pada diri setiap pemustaka, maka pada masa inilah, prestasi terbesar seorang pustakawan terwujud. Semua telah pustakawan.

Proses menghilangkan perbedaan pustakawan dan pemustaka ini disebut sebagai proses memustakawankan pemustaka. Hal inilah yang merupakan “hal penting yang bisa dilakukan pustakawan”. Thetek bengek pekerjaan rutin yang selama ini dilakukan pustakawan, merupakan  turunan dari hal dasar ini. Proses inilah inti utama kerja pustakawan. Menjadikan pemustaka mampu secara mandiri menemukan informasi yang diperlukan, memfilter kualitasnya, dan menggunakan untuk dirinya sendiri, serta disebarkan kepada orang lain. Atau pemustaka menjadi mampu menemukan komunitasnya sendiri, untuk berkumpul dan bertukar pengetahuan. 

Proses di atas, sangat mungkin berakibat pemustaka akan menjadi lebih “pustakawan” daripada si pustakawan. Ini tidak mengapa, justru bernilai positif. Ibarat seorang guru, pustakawan akan merasa bangga jika muridnya telah mampu mengalahkan dirinya. Demikian sabda Begawan Parasurama. 

Pada saat inilah, tidak akan ada lagi kekhawatiran hilangnya profesi pustakawan, karena semua orang telah pustakawan. Peran pustakawan menempel pada diri masing-masing manusia (pemustaka), pada semua profesi. Keberpustakawanan merupakan kerja semua orang, bukan monopoli pustakawan formal semata. 

Pustakawan hanyalah perantara, lantaran yang hanya opsional agar semua manusia bisa mencapai tingkat berpustakawan untuk dirinya masing-masing. 


###

Mendung bergulung tipis. Menurunkan air yang juga tipis-tipis, alias gerimis. Mata Paijo berbinar, senyumnya merekah. Dia merasa  memperolah pencerahan. “Kang, ini ada telo godog”, suara lembut istrinya terdengar dari dalam rumah. Keluar sambil nyangking nampan berisi piring berisi ketela mateng yang masih anget, dua cangkir berisi gula batu. Serta teko bercat hijau berisi air teh tubruk, yang tentunya saja masih panas. 

Lelaki setengah tua berjalan di bawah gerimis, membawa kail, lewat jalan di depan rumah Paijo. “Mau kemana, Kang?”, sapa Paijo. “Mancing, Kang. Gerimis begini, air agak keruh, ikan mudah untuk dipancing”, jawab Kromo dengan yakin.

Paijo bergumam, "Kang Kromo telah menjadi pustakawan, minimal untuk dirinya sendiri"



Monday 29 October 2018

,

Pustakawan sekolah: dua beban beratnya

Sore itu, Kamis, pekan terakhir di bulan Oktober, Paijo leyeh-leyeh di bawah pohok talok depan rumah. Pohon talok itu sangat bersejarah. Kala kecil, Paijo sering memanjat memburu buahnya. Di sampingnya berdiri pacul dan sebilah sabit. Namun, dua gaman itu tidak digunakan. Paijo justru tetap duduk di bawah pohon. Melamun. Dalam lamunannya, Paijo teringat Kimpul, teman lamanya. Paijo pun tahu, dari kabar yang beredar, bahwa Kimpul mengundurkan diri dari profesi pustakawan. Diapun tahu alasannya. (cerita tentang Kimpul ada di http://www.purwo.co/2018/10/ciloknya-pustakawan.html)

###

Kenyataan yang dihadapi Kimpul, membawa Paijo pada lamunan panjang di sore itu. Betapa beban berat yang harus dipikul Kimpul, dan kemudian memaksannya mengambil keputusan yang kurang populis: mundur. Namun Paijo juga mafhum bahwa menghalalkan Paijem serta menghidupinya perlu uang, pendapatan, atau pangupo jiwo. Memang tidak harus banyak, tapi cukup. Itung-itungan lah tentang pangupo jiwo itulah yang membawa Kimpul harus mundur.

Awalnya Paijo kecewa, namun akhirnya Paijo justru salut pada keputusan Kimpul. Keputusan mundur itu membuktikan Kimpul punya sikap. Dia tidak fanatik pada pekerjaan, dan juga tidak fanatik bahwa sekolah perpustakaan itu harus jadi pustakawan. Atau minimal Kimpul berfikir bahwa alumni ilmu perpustakaan itu tidak harus ngantor, entah di negeri atau swasta. Sekolah itu untuk membentuk watak, pola pikir, dan semacamnya termasuk menempa diri agar tahan banting. Bersekolah harusnya tidaklah menyempitkan lahan pekerjaan, tapi justru sebaliknya. Sekolah itu memperluas kemungkinan pekerjaan.

Jika seseorang sekolah ilmu perpustakaan kok hasil akhirnya selalu harus “pustakawan”, itu berarti kurang memahami arti sekolah itu sendiri. Jelas itu menyempitkan ilmu perpustakaan. Sekolah ilmu perpustakaan juga bisa jadi bakul bakso, atau bakul cilok seperti Kimpul. Itu baru benar. Sekolah itu memperluas, bukan mempersempit. 

###

Kejadian Kimpul membawa Paijo merenung, terkait kondisi yang dialami pustakawan, khususnya pustakawan sekolah. Setidaknya ada dua beban berat yang pernah dipikul Kimpul ketika kerja di perpustakaan sekolah. Paijo ingat pernyataan Kang Tomo, “350 ewu” atau 350.000. Angka itu merupakan angka gaji pustakawan di sebuah sekolah dasar. Ada juga, Yu Painuk yang menginformasikan bahwa di daerahnya seorang pegawai tidak tetap perpustakaan mendapat gaji hampir sejuta, tapi itu karena dia sudah mengabdi puluhan tahun. Di tempat yang sama, pegawai baru kategori tak tetap mendapat 600 ribu sebulan. Keduanya memperoleh bayaran itu dengan pekerjaan tambahan: kebersihan. 

Pekerjaan tambahan sebagai tenaga kebersihan memang sudah umum. Memang hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Tambahan pekerjaan itu sebagai wujud budi baik pimpinan, agar ada alasan untuk menambah insentif pegawai. Atau si pustakawan bisa memaknainya sebagai  wujud tempaan alam, ujian, laku prihatin. Namun di sisi lain, ya tetap itu tidak pada tempatnya.

Kang Bendol dan temannya, keduanya pustakawan sekolah, mengamini ini. Ketika menanggapi tentang usulan dicantumkannya angka-angka gaji pustakawan sekolah pada promosi ilmu perpustakaan, dia komentar: “Biar gak kaget kalau harus pegang sapu dan pel”, katanya.  “Ngenes, Lur”. Gumam Paijo mengingat angka dan pekerjaan tambahan yang disebut Kang Tomo, Kang Bendol dan kawannya. Paijo ingat, pernah ngundang tukang bangunan yang kemudian nawar, nganyang minta 100.000 sehari. Itupun dengan sekali makan siang, dan uang rokok. Jika dibandingkan, kerja tukang bangunan sepekan, bisa sama dengan pegawai tidak tetap selama sebulan.

Itulah beban pertama yang harus dipikul pustakawan sekolah, “krisis ekonomi” kata Kang Tomo. Ya, memang tidak semuanya. Di perpustakaan negeri, dan jika si pustakawan sudah berstatus PNS, tentunya beda keadaannya. Di situ gajinya sudah standard. Atau di sekolah swasta terkenal, larang, pasti gajinya lebih besar. 

Kemungkinan masih ada yang bergaji lebih kecil dari yang diketahui Paijo. Gaji yang hanya seper sekian dari tunjangan sertifikasi guru. Ironisnya, konon kabarnya guru yang sertifikasinya sekian kali lipat gaji pustakawan itu, dapat sertifikasi karena diberi “jam” di perpustakaan.

###

Pekerjaan tambahan, mulai dari kebersihan sampai membantu administrasi merupakan efek dari risiko beban kedua. Beban ini tidak kalah berat, bahkan lebih berat. Beban menanggung anggapan bahwa beban pekerjaannya dianggap tidak berisiko. Bingung, tho?. Jangan bingung. Risiko jenis ini jamak dialami oleh si pustakawan.  Padahal pustakawan sekolah itu menjaga aset negara juga. Banyaknya buku paket, yang jika sudah tak terpakai pun tetap harus disimpan, sampai gudang penuh tak muat lagi. Setidaknya ini curhatan Yu Giyem, pustakawan juga.

Mungkin anggapan inilah yang menjadi salah satu alasan gaji pustakawan sekolah ada yang cuma seiprit. Ya, tentu saja juga karena alasan tidak adanya anggaran yang cukup. Seperti sekolah Kimpul dulu, sebuah sekolah swasta yang tak begitu populer di kampung pinggiran.

Setiap pekerjaan itu berisiko, apapun risikonya. Tentunya termasuk pustakawan sekolah. Ekspektasi pimpinan sekolah pada perpustakaanlah yang turut menentukan ringan tidaknya risiko yang diemban pustakawan. 

###

Kondisi ini sangat menyakitkan, ketika  selamanya dijadikan bahan promosi. Masih kurangnya sekolah yang memiliki pustakawan dijadikan bahan promosi sekolah ilmu perpustakaan untuk menggaet lulusan sekolah atas untuk mendaftar jadi mahasiswa. Harusnya sekolah ilmu perpustakaan itu fair. Ketika mencantumkan angka jumlah sekolah yang tidak memiliki pustakawan, harus sekaligus mencantumkan berapa gaji pustakawan sekolah. Bahkan sekalian dengan apa saja pekerjaan tambahannya. Ngepel, nyapu, dan lainnya.

Banyak yang komentar setuju dengan pencantuman gaji pustakawan sekolah pada promosi sekolah perpustakaan. Bukan hanya pustakawan sekolah, namun juga Pak Ruri, salah satu dosen ilmu perpustakaan. Bagi pustakawan, ini wajar. Harapannya agar para calon adik mereka tahu betul yang terjadi di lapangan sebelum memutuskan pilihan. Namun, bagi Pak Dosen, kesetujuan ini luar biasa. 

"Semoga saja ditindak lanjuti. Kurang pas jika gaji besar dijadikan promosi, tetapi kalau gaji kecil tidak dicantumkan. Perguruan tinggi, khususnya prodi ilmu perpustakaan harus memulai kejujuran dan memberikan informasi yang utuh ini", demikian harapan Paijo.

###

Apakah ada yang sudah ideal?. Demikian lanjutan lamunan Paijo. Jika melihat beberapa informasi, ada pustakawan sekolah yang sudah mapan. Bahkan senang dan menikmati profesinya. Perannya juga bagus, gajinya juga baik, cukup. Kalau melihat ini, berarti ada yang sudah ideal. Meskipun, kata wong jawa  tetap harus “wang sinawang”.

Lamunan Paijo ini mengantarkan pada kesimpulan yang menguatkan kesimpulannya sebelumnya, “memang wajar apa yang dilakukan Kimpul”. Keluar dari profesi pustakawan itu wajar, manusiawi, jentelmen, dan justru bagus dalam kasus tertentu. Namun, hati-hati, karena juga bisa dianggap pengecut atau pecundang, bahkan pengkhianatan pada profesi.

Kisah Kimpul, bukan yang pertama didengar Paijo. Sebelumnya ada informasi yang diterimanya tentang pustakawan yang kemudian mengundurkan diri. Alasannya bermacam. Lingkungan kerja, tak cocok dengan pimpinan, juga terkait gaji. Terakhir Kang Dodo, yang memilih mundur setelah belasan tahun jadi pustakawan, pindah jabatan. Ada juga Kang Seno yang berwiraswasta, atau Lek Takin yang jadi juragan lele.

###

Beberapa hari kemudian, di tegalan, Paijo istirahat dari ngorek'i tanah. Dia hentikan pekerjaannya itu ketika Karyo datang menghampirinya. Seperti biasa, dua konco kenthel itu jagongan.

“Kang, pas nglamun kemarin malah keterusan sampai sore. Tadinya mau ngorek’i tanah pekarangan, malah ndak jadi. Akhirnya saya diomeli wong wedhok”, Paijo laporan pada sahabat karibnya, Karyo. 

Cen, kowe kui ra nonton wektu, kok. Padahal itu pas Kamis sore, tho. Kudune ya ndang adus, reresik awak,  persiapan ngaji di masjid. Malah nglamun!”. 

Paijo, melanjutkan ceritanya. Dia sampaikan lamunannya dari A sampai Z  pada Karyo.

“………………….”

Loh, piye maksudmu Jo? Kok bisa bagus, wajar, jentelmen, manusiawi, tapi di sisi lain juga bisa berbeda 180 derajat: pengecut, pecundang, bahkan pengkhianatan profesi”. Sekonyong-konyong Karyo bertanya atas penjelasan Paijo.

“Lah, sampeyan penasaran, tho?”. Paijo cengengesan melihat wajah Karyo.

“Kang. Sebenarnya saya ini juga wedi komentar. Pustakawan, khususnya di sekolah itu bebannya berat. Ya seperti yang saya critakan tadi. Maka, keputusan mereka adalah yang terbaik untuk mereka. Mereka perlu menentukan sikap, untuk masa sepannya. Saya juga merasa, bahwa bukan tidak mungkin saya akan mengalaminya sendiri. Dihadapkan pada kondisi yang, meski tidak persis, tapi minimal mirip. Namun kang, satu hal yang saya tidak harapkan, jangan sampai keputusan saya nanti, masuk kategori mengkhianati profesi”. Paijo meneruskan penjelasannya.

Paijo tidak menjelaskan, tentang kapan mengundurkan diri dari pustakawan itu dianggap manusiawi, wajar, dan kapan dianggap pengkhianatan profesi.

Karyo semakin penasaran.

[[ bersambung ]]

Wednesday 24 October 2018

, ,

ZBib: mengelola beberapa referensi mudah sekali

Kalau kita punya referensi banyak, biasanya dikelola menggunakan software manajemen referensi. Semacam Zotero atau Mendeley. Namun, untuk kepentingan kecil, kita bisa gunakan software online macam ZoteroBIB.

Alamatnya ada di https://zbib.org. 


Pencarian referensi berdasar URL
Pada tampilan di atas, kita bisa mencari metadata daftar pustaka berdasar DOI, URL, PMID, Arciv, atau title. ZBib akan mencarikan data lengkapnya, dan menampilkan style daftar pustakanya.


Pencarian referensi berdasar judul


Daftar referensi yang ditemukan

Di atas contoh daftar referensi yang sudah ditemukan, dan disusun berdasar style yang dipilih. Style ini bisa diganti sesuai style yang tersedia. Ada 9000 lebih style yang tersedia. Daftar referensi yang sudah tersusun, bisa disalin ke aplikasi pengolah kata yang kita gunakan. Atau bisa juga secara online dikirimkan pada orang lain untuk diedit atau digunakan.

salin daftar pustaka
Untuk menyalin daftar pustaka yang tersusun, klik copy to clipboard, dan tempel di aplikasi pengolah kata yang digunakan.
membuat URL untuk dikirim pada orang lain

Kita juga bisa membuat URL untuk dikirim pada orang lain. URL ini memuat informasi daftar pustaka yang kita buat. Orang yang memperoleh URL tersebut bisa mengedit dan menggunakannya.




Tuesday 23 October 2018

, , ,

Ketua IPI memang harus Pustakawan Utama. Harus!!

Paijo bersama Karyo, seperti biasanya di depan rumah, jagongan tentang berbagai hal. Kali ini mereka grenengan tentang kongres IPI yang baru saja selesai. Konon kabarnya, telah terpilih ketua yang baru. Obrolan itu kemudian berlangsung, mengalir seperti biasanya. Ada segelas kopi di depan mereka. Plus jadah goreng yang masih anget di atas daun jati. Warna kemerahan daun jati akibat panasnya jadah membuat si jadah tampak lebih gurih ketika digigit. 
###

Kongres IPI, milik para pustaka(m)wan, di tahun 2018 telah berakhir. Hiruk pikuk pelaksanaannya juga sudah selesai. Mulai dari seminar, diskusi, grenengan, glenak-glenik. Bahkan mungkin sampai pada cinta lokasi para pegiatnya, lirak-lirik cari jodoh, atau nostalgia masa muda mereka. Seangkatan ketika diklat alih jenjang, ujian sertifikasi, satu kampus, atau dulu pernah menjalin asmara ketika kuliah. Atau mungkin ngobrol tentang jumlah remunerasi yang diterima, dan dibelanjakan untuk apa.


Atau bertukar pengalaman benchmarking, publikasi, atau tampil presentasi di mana saja.


Semua agenda, selesai.


Kongres tersebut merupakan wahana terhormat. Tempat berkumpulnya para pustakawan kualitas pertama, yang sangat dihargai di kancah kepustakawanan Indonesia, telah berhasil memilih ketua yang baru. Ketua untuk periode sekian tahun ke depan.

Kabarnya selama ini, ketua selalu dijabat oleh golonga tua, sekaligus yang kesehariannya di perpustakaan nasional. Melihat hal ini, tentu jika golongan muda berharap ketua IPI bergulir dijabat oleh mereka yang masih muda. Entah, muda itu ukurannya apa. Mungkin usia 50,40, 30 tahun atau di bawahnya. Muda berarti enerjik, mampu mengikuti perkembangan jaman dengan lebih baik, leluasa bergerak, dan tentunya, jejaring kekiniannya kuat. Harapan ini agaknya ada sejak lama.

Namun, ternyata kenyataan berkata lain. Ketua terpilih merupakan pustakawan yang (katanya) tak lagi muda, dan (lagi-lagi) bekerja di Perpustakaan Nasional. Database pustakawan menunjukkan bahwa awalan NIPnya 1954, maka bisa dihitung berapa usianya sekarang. Ketua terpilih berpangkat Pembina Utama Madya (IV/d), dengan jabatan Pustakawan Ahli Utama. Informasi ini menunjukkan bahwa sang ketua ada di usia matang bahkan usia mbegawan. Serta tentunya ada pada posisi jenjang kepustakawan puncak, paripurna, tuntas. Masa abdinya pun tentu sudah lama. Sudah paham, mana yang pahit, manis, asam, dan kecutnya dunia kepustakawanan.


Jenjang tersebut menunjukkan pada para pustakawan muda yang sekarang masih meniti karir, bahwa sang ketua baru adalah orang yang pinilih. Sebagai pemegang predikat Pustakawan Utama, maka sekaligus juga langka. Sulit dicari, dan pilih tanding. Hanya beberapa orang yang sanggup sampai jenjang ini. Seorang dengan predikat ini, telah wareg pahit getirnya kepustakawanan. Mulai dari indil-indil, sampai ondol-ondol. Mulai dari hal remeh, sampai hal penting tingkat tinggi, dan berhubungan dengan para pemangku kekuasaan. Mulai dari shelving buku, sampai menjelaskan isi buku. Pustakawan Utama mampu untuk itu. Jejak jenjang karir kepustakawannya dipersembahkan untuk buku, pustaka. Hidupnya sudah ibarat buku yang berjalan.


Sehingga wajarlah jika terpilih.

###

"Seorang presiden harusnya berumur di bawah 60 tahun", demikian seorang pakar berkata. Tapi pendapat ini hanya untuk presiden, buka untuk ketua IPI. Artinya ketua IPI berusia lebih dari 60 tahun itu boleh, wajar dan sebuah kehormatan. Ini adalah bentuk bakti dan penghormatan para muda pada yang lebih sepuh. Memberikan ruang bagi golongan tua yang terpilih untuk tetap bisa berkarya bagi bangsa dan negaranya, bahkan di masa penghujung pengabdiannya.  Lebih-lebih, ketika tak ada pustakawan muda yang  mau tampil. Maka, demikianlah adatnya. Golongan tua dan dari perpusnas selalu mengambil risiko, menempati tempat yang golongan muda tak mau menempati.


Tentang tak adanya golongan muda yang mau tampil, ini wajar. Ketua IPI itu berat. Memikirkan kepentingan pustakawan se Indonesia, baik plat merah, kuning, hijau, maupun yang tak punya plat sekalipun. Semua harus difikirkan dan dicari jalan keluar masalahnya. Siapa yang memikirkan? ya ketua IPI. 

Pernah membayangkan ketua IPI bukan pustakawan utama dan bukan dari perpusnas?


Tak terbayangkan. Saya tak sanggup membayangkan sulit dan beratnya. Maka tampilnya golongan tua dan dari perpusnas ini, memang benar-benar berkah. Tua dan perpusnas, merupakah gabungan dua status sakti yang tak akan tertandingi. Penolong bagi berlangsungnya roda organisasi sakral pustakawan ini.


"Kalau ketuanya macam saya, yang di perpustakaan kecil, kalau mau tugas luar menjalankan tugas kedinasan ketua IPI, mosok harus ijin atasan. Lah kalau tidak diijinkan? lak ya lucu, tha?", sambung Paijo.


"Lah iya, Jo. Apalagi kamu masih ingusan. Teori dan praktikmu belum sejauh para pustakawan utama.", Karyo menjawab grenengane Paijo.
"Itulah, Jo. Dengan dijabat orang perpusnas, maka geraknya jadi lincah. Mau ke sini ke sana, mudah. Dan dengan jabatan pustakawan utama, klop. Ilmunya sempurna", lanjut Karyo.
###

Namun, dengan menyingkir dan memberikan ruang, jangan dikira para muda ini tidak punya semangat. Jangan salah. Anda keliru. Justru dengan memberi ruang pada yang tua, itu sebuah bukti bahwa yang muda ini semangatnya sangat membara. Membara sepanas api kawah candradimuka, atau sekeras besi baja bahan membuat pedang naga puspa kresna. Semangat para muda ini adalah semangat memberi, bukan meminta. Bahkan diberikan saat sebelum diminta. Sebuah sikap tawadhu' yang luar biasa. Mereka, para muda ini menunjukkan ilmu ikhlas. Mengikhlaskan jabatan ketua IPI dipegang (kembali) oleh golongan tua. Sementara para muda, kembali pada habitatnya: berkecimpung berbagai organisasi kepustakawan baru, atau membentuk simpul-simpul kepustakawanan yang baru. Sungguh, ini merupakah akhlak terpuji, yang harus disyukuri telah ada semenjak muda.

Bukankah dulu, ketika jaman perjuangan juga demikian. Golongan muda memberikan ruang pada golongan tua untuk menduduki posisi puncak. Ini adalah contoh yang harus selalu diikuti. Termasuk pada hajat pemilihan ketua IPI.


###


Akhirnya, saya ucapkan selamat menjalankan ibadah sebagai Ketua IPI, Pak. Di usia yang ke 64, semoga bapak selalu diberikan kesehatan, menahkodai IPI, melaut, menjangkar, menebar jaring, menangkap ikan, dan menghadapi terjangan ombak. Kebersediaan bapak merupakan anugerah untuk kepustakawanan Indonesia.


Jangan lupa, jika ada karang menghadang, panggil para cucu yang muda untuk maju. Mereka, punya banyak senjata. Mereka paham dunia kekinian dalam kepustakawanan. Dari literasi sampai liberalisasi, dari angkringan sampai makerspace. Biarkan yang muda merasakan pahit dan beratnya menerjang karang, sebagaimana bapak dulu rasakan. Kemudian menggenapi masa keanggotaanya genap 10 tahun, dan menabung untuk beli rumah di wilayah Jabodetabek. Supaya nanti, saat yang muda itu tua, ya...di usia 64 seperti halnya bapak saat ini, mereka siap, dan punya nyali untuk menjadi ketua IPI.


Ya,  jika masih ada pustakawan utama, maka ketua IPI itu untuk mereka, bukan untuk yang lain. Yang lain harus sopan mempersilakan. Apalagi yang baru saja jadi pustakawan, meskipun doktor, dari luar negeri sekalipun. Kecuali jika, dan hanya jika, tidak ada lagi pustakawan utama yang mau dan rela mengemban beratnya ketua IPI. Maka, barulah para muda itu dianggap sopan untuk maju mengambilnya.


Ketua IPI haruslah seorang pustakawan utama. Ini wajib, tidak boleh tidak. Jika toh sekaligus tua dan dari perpustakaan nasional, itu kebetulan saja. Ingat, hanya kebetulan saja.
O, maaf. Bukan tua, lebih tepatnya sepuh. Sepuh itu matang, tua itu usia.

###



"O, jadi begitu ya. Aku berharap, Kang. Semoga sepuh, bukan tua. Semua orang yang sepuh, atau disepuhkan, dialah yang layak memimpih. Kasepuhan-nya akan mampu membawa sawab atau daya, energi kepemimpinan pada arah yang lebih baik. Tapi kemudian, sebagai pustakawan saya harus ngapain, Kang?"
"Loh, ya sudah jelas tho. Kerja. Kamu mau dipotong gaji?", jawab Karyo sekenanya.
Paijo mbesengut, ketika Karyo menjawab sekenanya. Tapi tidak mengapa, Paijo melanjutkan lagi kesendiriannya. Menjadi pustakawan memang ada risikonya. Termasuk risiko dianggap bahwa pekerjaannya tidak berisiko.
"Ora popo", gumamnya, sambil nyeruput kopi Bali yang tempo hari dibelinya. "Bueh, pahit".
"Kopi itu aslinya pahit, Jo. Kalau manis, itu gula. Kamu minum kopi atau minum air gula?", Karyo komentar sambil setengah ngakak.
Paijo melirik Karyo, kembali dengan muka mbesengut. Namun kemudian tersenyum. Entah apa arti senyumnya. 
Karyo, meninggalkan emperan rumah Paijo, pulang. Dari kejauhan dia teriak, "Jo, kamu itu jadi anggota IPI ndak?". Paijo, yang masih jelas mendengar pertanyaan Karyo menjawab, "Tidak, Kang. Tapi jangan ngomong-ngomong, ya".

[[ selesai ]]



Monday 15 October 2018

,

Perpustakaan dan pustakawan ideal? tengoklah Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga

Posisi dosen IP UIN Suka di antara ilmuwan lainnya
Mencari yang terbaik, banyak dilakukan dalam berbagai kategori. Mungkin ini sudah menjadi fitrah, wajar dalam kehidupan di dunia. Mencari atau menjadi. Mencari, setelah ditemukan kemudian disebarkan agar ditiru. Atau ingin menjadi yang terbaik, tentunya dengan berbagai motif. Tidak terkecuali di dunia kepustakawanan: pustakawan terbaik atau perpustakaan terbaik.

Tidak hanya dengan istilah terbaik, ada pula yang menggunakan kata teladan, terfavorit. Atau mungkin dengan kata ideal. Tentunya semua punya parameternya masing-masing.

###

Menjadi pustakawan atau perpustakaan terbaik, berprestasi, atau terfavorit menjadi sebuah kebanggaan. Apalagi melalui berbagai proses penyaringan yang ketat, dengan jumlah kontestan yang berlipat-lipat. Yang terjaring, dia akan naik ke atas, yang tidak terjaring akan ada di bawah, menonton dan diharapkan menduplikasi yang terbaik, agar besok bisa menjadi terbaik pula.

Siapa yang paling besar kans-nya menjadi yang terbaik?
Perpustakaan terbaik memiliki banyak aspek yang dinilai terbaik dibanding yang lainnya. Mulai dari koleksinya yang bagus, lengkap, sesuai kebutuhan; kemudian tempat atau ruang yang mencukupi untuk menampung koleksi dan pemustaka. Tidak ketinggalan juga memiliki pustakawan-pustakawan terbaik untuk mengelola koleksi yang dimiliki.

Untuk memiliki hal-hal terbaik di atas perlu usaha. Semua perpustakaan memiliki kesempatan menjadi terbaik. Namun, institusi pemilik sumberdaya manusia yang mampu “mengusahakan” terpenuhinya aspek tersebutlah yang memiliki peluang terbesar memiliki perpustakaan dan pustakawan terbaik. 

Lalu, institusi apakah itu?

###

Tentu saja, institusi yang menyelenggarakan pendidikan (ilmu) perpustakaan. Lebih lengkap lagi, jika pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi tersebut mulai dari diploma, sarjana, pasca, dan doktoral. Lebih lengkap lagi, juga menyelenggarakan diklat kepustakawanan. Institusi ini komplit, karena memiliki ilmuwan yang memiliki kemampuan dalam mengaji dan mengkaji kepustakawanan ideal. Perpustakaan yang tersedia di institusi tersebut bisa menjadi ruang uji coba konsep. Mereka juga memiliki mahasiswa, yang siap dikerahkan untuk melakukan hasil kajiannya.

Banyak universitas yang menyelenggarakan pendidikan (ilmu) perpustakaan. Namun ada yang mencuri perhatian saya: UIN Sunan Kalijaga (Suka). UIN Suka menyelenggarakan prodi dari D3, S1,S2, sampai program doktor dalam bidang perpustakaan. Kabar terakhir prodi D3 hanya menghabiskan mahasiswa yang sudah ada saja. Saya kira ini luar biasa. Di kemudian hari, mereka bisa konsentrasi pada keilmuwan dan tentunya ini berita menggembirakan. Mahasiswa doktornya pun sudah banyak. Efek keberadaan prodi ilmu perpustakaan ini, tentunya akan berimbas pada perpustakaan UIN Suka.

Para calon penyandang title paripurna ini tentunya memiliki ide-ide, kajian yang luar biasa untuk pengembangan perpustakaan. Ide tersebut tersebar di berbagai media, mulai dari media massa, jurnal, prosiding dan lainnya. Tentunya pula, perpustakaan yang pertama menikmati kerja intelektual para calon doktor ini adalah perpustakaan UIN Suka sendiri. Oleh karena itu, kans perpustakaan ini untuk menjadi perpustakaan terbaik sangatlah tinggi, besar, melebihi perpustakaan lainnya. UIN Suka berpotensi menjadi mercusuar pengembangan kepustakawanan Indonesia.

Demikian pula untuk pustakawannya. Menilai perpustakaan sebenarnya juga sekaligus menilai pustakawannya. Namun jika si pustakawan ini kita letakkan sendirian, pustakawan UIN Suka tetap memiliki kans terbesar untuk menjadi terbaik. Saya lihat banyak pustakawan di UIN Suka yang lulusan UIN Suka sendiri, artinya mereka tidak hanya belajar ilmu perpustakaan semata. Mereka juga belajar ilmunya UIN dengan title sarjana agama, atau sarjana pendidikan Islam. Modal inilah yang semestinya membedakan dengan pustakawan pada umumnya. Bagi yang belum belajar ilmunya UIN, keseharian berinteraksi dengan para ilmuwan agama, menjadikan pustakawan UIN menjadi literate pada ilmu agama.

Di sisi lain, kajian akademis dari prodi ilmu perpustakaan di UIN Suka dapat dimanfaatkan oleh pustakawan untuk mencapai taraf pustakawan yang ideal. Bahkan, tentu saja UIN Suka bisa merumuskan tolok ukur (pustakawan dan perpustakaan) ideal berdasar kajian akademis yang dilakukannya.


Jika ada berita pustakawan terbaik, lihatlah perpustakaanya. Jika ada berita perpustakaan terbaik, lihatlah kerja pustakawan yang mengelolanya.

###

Kajian, penelitian kepustakawanan yang memiliki impact tinggi sangat berpeluang muncul dari UIN Suka. Mereka memiliki segalanya. Dosen yang bekelas dengan title doktor. Kerjasama yang luas, serta keahlian yang beragam. Dengan dibackup oleh mahasiswa diploma sampai S3, kajian para dosen akan mampu menapak tanah, menjadi motor pengembangan perpustakaan.

Yang menikmati, akhirnya bukan hanya untuk perpustakaan UIN Suka sendiri, namun juga perpustakaan lainnya. Saya berharap banyak dari UIN Suka. Pustakawan UIN Suka lah yang memiliki kans terbesar menjadi terbaik, demikian pula pustakawannya. Bukan hanya kans, namun hukumnya sudah wajib. Mereka punya segalanya. Modal mereka ada. Perpustakaan ini punya peluang besar, meneruskan tradisi kepustakawanan klasik yang begitu agung dan terhormat.


Jika hendak tahu perpustakaan ideal, tengoklah perpustakaan UIN Suka. Jika hendak melihat pustakawan ideal, tengoklah pustakawan di UIN Suka.

Jika ada perpustakaan dan pustakawan yang tak punya "modal" selengkap UIN Suka namun mampu mencuri perhatian, maka itu luar biasa.

[selesai]

Sunday 14 October 2018

[[ pekerjaan abadi pustakawan ]]

Pada suatu pagi kami bersama seorang dosen baru. Umurnya kurang lebih 32 tahun, hampir lulus doktor dari sebuah universitas di Jepang. 

Pagi itu, ke perpustakaan terkait keingintahuannya tentang sumber informasi jurnal, dan pelatihan software manajemen referensi yang kami tawarkan. Di Jepang, tentunya beliau sudah banyak tahu tentang berbagai database untuk referensi. Namun, mestinya ada mekanisme beda di UGM. Mulai dari alamat url, apa saja yang dilanggan, dan lainnya, yang beliau perlu tahu. Serta sebelumnya beliau menggunakan EndNote, beliau ingin belajar Mendeley.

Setelah sesi pengenalan, saya bertanya balik, "Saya ingin tahu dunia perpustakaan di Jepang sesuai pengalaman Bapak", kurang lebih demikianlah.

Beliau menggaris bawahi bahwa di kampusnya mahasiswa begitu mandiri. Mereka mencari sendiri apa yang dibutuhkan. Hal ini sudah berlangsung dalam kehidupan sehari-hari,  sejak di jalanan, di bus, di kereta.  Di lab mahasiswa mendapatkan banyak hal. "Pendidikan di sana berbasis lab" demikian katanya. Kakak angkatan akan memandu penghuni lab yang baru untuk berbagai hal. Ya, termasuk cara mencari informasi, mengelola dengan software manajemen referensi dll. 

"Beberapa pustakawan hanya melayani jika diminta. Perpustakaan tidak dijaga atau diganti dengan robot pun tidak mengapa", demikian sambungnya.

Saya coba klopkan cerita di atas dengan cerita salah seorang mahasiswa FT yang dual degree di Jepang. Dia pernah berkata, "lebih humanis di Indonesia (FT UGM), Mas". Di perpustakaan perguruan tinggi Jepang yang dia kunjungi, semua mekanis. Meminta bantuan lewat mesin, atau menulis pada form yang disediakan. Nyaris tak ada hubungan interaksi dengan pustakawan. 

Bapak dosen tadi pun mengamini. Hubungan antara pustakawan dan pemustaka di Indonesia menjadi ciri tersendiri yang justru menjadi nilai lebih. 

### 

Seseorang yang menyebut dirinya ilmuwan (ilmu) perpustakaan mengatakan bahwa dengan keadaan seperti di Jepang itu, maka pekerjaan pustakawan berganti mejadi meneliti. Meneliti perilaku informasi, arus informasi, efek informasi, analisis bibliometrik, dan lainnya. Namun saya fikir, berapa yang meneliti? Jika ada 30 pustakawan, dan perpustakaan menjadi sangat mekanis seperti itu, apakah semuanya akan bedhol desa menjadi peneliti? tentunya tidak semudah membalik tangan,  sulit saat ini jika diberlakukan di Indonesia.

Saya berfikir, jika kita mau mengejar teknologi, tak akan mampu. Teknologi itu hanya lipstik saja untuk perpustakaan. Bukan teknologi yang harus di kejar. Negara berkembang, apalagi perpustakaannya selalu akan tertinggal (secara umum) terkait penerapan teknologi di perpustakaan. Melihat negara maju yang sedemikian canggih, hanya akan mengundang sikap kemecer saja. Ngoweh, kata orang desa.

Yang membuat miris saat ini, perkembangan perpustakaan, penilaian perpustakaan dikaitkan (setidaknya terlihat dikaitkan) dengan tersedianya berbagai fasilitas yang memakan banyak biaya. Fasilitas itu terlihat dari mewahnya tampilan perpustakaan. Mulai dari sofa, tata ruang yang kekinian, jaringan internet cepat, kopi, teh, dan semacamnya. Perpustakaan yang menang lomba, yang diangkat tidak jauh dari hal tersebut di atas. Maka anggaran menjadi koenci kemenangan

Semestinya ada konsep tunggal dalam ber-kepustakawanan, yang semuanya bisa dilakukan oleh semua perpustakaan dan pustakawan. Konsep inilah yang menaungi kegiatan kepustakawanan. Konsep netral. Tidak dibatasi oleh dikotomi negara maju dan berkembang, atau si pustakawan bergelar sarjana tidak sarjana ilmu perpustakaan. Bahkan tidak dibatasi oleh anggaran, kecuali untuk koleksi perpustakaan. 

Konsep tunggal tersebut adalah kualitas interaksi segitiga "koleksi-pustakwan-pemustaka". Dari sisi pustakawan, maka proses interaksi antara pemustaka-pustakawan dan  pustakawan-buku adalah koenci, yang dapat dipoles, agar lebih berkualitas.  Inilah pekerjaan abadi orang yang masih setia dengan profesi pustakawan. Pekerjaan atau aktifitas lainnya merupan turunan dari dua hal di atas. Aktifitas turunan itulah yang dapat menjadi penciri bobot kerja masing-masing pustakawan, dan dijadikan pertimbangan dalam menilai seberapa maju aktifitas kepustakawanan sebuah perpustakaan. 

Membeli sofa itu hanya bagian kecil dari proses hubungan dengan pemustaka. Pekerjaan abadi perpusakaan, bukan menyediakan sofa. Jangan tergiur pada sofa di sebuah perpustakaan.

### 

Kembali pada kasus perpustakaan di Jepang seperti tertulis pada bagian awal tulisan ini. Keadaan tersebut ada, terjadi. Bukan tidak mungkin, ketika semuanya diserahkan pada teknologi, maka demikianlah bentuk perpustakaan masa depan. Semua dilaksanakan mandiri oleh pemustaka, mahasiswa, siswa, dan siapapun yang menggunakan perpustakaan.

Perpustakaan merupakan institusi mati, pasif. Teknologilah yang membuatnya hidup, mekanis, dan tanpa ruh. Jika semua diambil teknologi, dan kita berikan semuanya, maka memang tidak mungkin pustakawan akan hilang.

Foto:
Dr Muhammad Isa Waley, Curator of Persian and Turkish Collections of the British Library, is a specialist in Islamic manuscripts.