Monday 25 September 2017

Sudah terang: tidak ada ilmu perpustakaan

Paijo: “enake ngobrol apa, Yo?”
Karyo: “jarene ada nomenklatur baru di pendidikan tinggi, tentang nama departemen dan gelar bagi yang lulus ngangsu ilmu, Jo?


Purwo.co - Keduanya sibuk mengobrolkan tentang nomenklatur yang dimaksud. Tentunya, ngalor ngidul mereka ngobrol ala wong ndeso yang tak punya beban, kecuali beban pekerjaan sehari-hari, yang itupun kadang dilewati dengan senang gembira, lebih pada rekreasi dari pada bekerja. Obrolan itu terasa lengkap, karena ada nasi putih hangat, sambel bawang, tak lupa daun pepaya mentah yang sudah dibersihkan. Persiapan cabe untuk tambahan nyambel, dan juga minuman. Obrolan berlangsung di atas lincak bambu samping rumah.

Obrolan mereka, merupakan obrolan ringan, yang kadang agak nggaya ikut menganalisis keadaan. Padahal, ya dimungkinkan banyak bolong-bolongnya, berbeda dengan kaum cerdik cendikia yang analisisnya setinggi langit dan sedalam sumur minyak. Seperti biasanya, obrolan mereka terkait dunia perpustakaan, dan nyerempet dunia informasi.


Nomenklatur (tentang nomenklatur, lihat di sini) yang baru tentang  nama-nama rumpun ilmu dan program studi telah beredar. Nomenklatur tersebut ada dalam keputusan Menteri Riset, Teknologi,  dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, nomor 257/M/KPT/2017. Keterangan nama program studi perpustkaan ada di lampiran pertama halaman 28. Nah, apa gerangan yang baru di bidang perpustakaan? Itulah pokok obrolan Paijo dan Karyo hari itu.





Ternyata, “perpustakaan” masuk pada bagian sains informasi, yang program studinya disebut “Perpustakaan dan Sains Informasi”. Nama ini juga disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “Library and Information Science”. Penyebutan ini urutannya didahului dalam Bahasa Indonesia, kemudian di sampingnya dalam bahasa Inggris. Artinya, nama “gawan bayinya” itu Perpustakaan dan Sains Informasi, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi “Library and Information Science”.



Bingung mana yang diterjemahkan, mana hasil terjemahannya?
Perpustakaan dan Sains Informasi, cukup asing bagi Paijo dan Karyo. Mereka mencoba membuka kamus atau dokumen terpercaya tentang bahasa Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, yang di dalamnya memuat ketentuan menuliskan kalimat, menjadi salah satu yang mereka buka.


Hal yang agak asing, terkait Perpustakaan dan Sains Informasi adalah kata “dan” yang memisahkan bagian pertama dan kedua. "Rasane kok aneh, ya?". Perpustakaan dan Sains Informasi, apakah ini justru penerjemahan dari Library and Information Science?. Kayake, dalam bahasa Inggris, science (jika tanpa embel-embel) ditulis di belakang mengikuti ilmu yang disebut. Government Science, misalnya. Jadi kalau Library and Information Science, ya mestinya ilmu perpustakaan dan informasi. Perpustakaan dan Informasi dikenai ilmu, keduanya itu dianggap sebagai ilmu. Berbagai pertanyaan dan hipotesa hinggap di kepala Paijo dan Karyo.



Paijo: kui kayak MD, DM, menerangkan diterangkan, Yo?
Karyo: mungkin, Jo.
Dalam PUEBI ditemukan beberapa contoh penggunaan “dan”. Misalnya “Menteri Pendidikan dan Kebudayaan”. Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan dua kata yang dikenai “menteri”. Artinya si menteri membidangi pendidikan dan juga kebudayaan.  Ada lagi “Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jelas di sini, bahwa hanya kata presiden yang kedua yang dikenai kata wakil. Presiden yang pertama tidak dikenai kata wakil.

Coba dibalik menjadi Pendidikan dan Menteri Kebudayaan.



Paijo: Lah, malah dadi aneh kui. Menteri opo kui?
“Kunci inggris, kunci tolak, dan kunci ring”. Inggris, tolak, dan ring merupakan jenis kunci. Pada PUEBI semuanya diawali dengan kunci. Sementara itu,  “Dia mengoleksi batik Cirebon, batik Pekalongan, batik Solo, batik Yogyakarta, dan batik Madura”, nama jenis batik tetap diawali dengan kata “batik”. Kemudian kalimat “Singkatan nama diri dan gelar”, berarti nama diri dan juga nama gelar. Mungkin karena hanya dua kata yang dipisah, maka “nama” cukup ditulis satu kali. Coba diubah “Singkatan diri dan nama gelar”. Beda ndak artinya?

Contoh lain, selain dari PUEBI, misalnya: kesehatan gigi dan mulut. Gigi dan mulut, dikenai kata kesehatan. Berbeda dengan gigi dan kesehatan mulut, yang artinya gigi sebagai kata benda, dan kesehatan mulut.


Nah, sekarang lihat “Perpustakaan dan Sains Informasi”. Apa yang bisa dianalisis? Pertama kata perpustakaan, kemudian yang kedua sains informasi. Perpustakaan seolah menjadi kata tersendiri dan tidak dikenai “sains”. Sains hanya disematkan pada informasi, sains informasi. Tidak untuk perpustakaan. Rasanya tak ada unsur sains perpustakaan pada nama program studi tersebut.


Loh, kan sains sudah ditulis pada rumpunnya, Sains Informasi yang menaungi “perpustakaan”. Kalau alasan ini digunakan, kok yo yang informasi masih pakai “sains”?


Perpustakaan dan sains informasi, jika dipecah maka terdapat unsur perpustakaan serta sains informasi. Perpustakaan sebagai kata benda yang berarti bangunan perpustakaan serta isinya, serta sains informasi sebagai sebuah sains tentang (yang mempelajari) informasi.


Hal ini akan beda rasa jika bandingkan dengan Sains Informasi dan Perpustakaan, atau Sains Perpustakaan dan Informasi. Informasi dan Perpustakaan menjadi satu kesatuan yang dikenai sains.



Paijo: “nasi tiwul dan goreng, tiwul dan nasi goreng, es teh dan dawet, dawet dan es teh, anak Karyo dan Sipon, Karyo dan anak Sipon”.
Karyo: “hus, jangan bawa-bawa nama saya, Jo.”
Paijo: “loh, saya ini mempraktikkan penjelasanmu je, Yo.”
Karyo: “dada dan buah jambu, buah dada dan jambu”
Paijo: “hus!, aurat”
###
Lalu, apa artinya?
Sekarang jelaslah sudah, bahwa tak ada lagi ilmu perpustakaan. Ini sudah ditunjukkan sendiri oleh nomenklatur yang dikeluarkan pemerintah. 


Karyo: "hmm. Pantesan sekarang para winasis lebih condong ke ilmu informasi, dan mendeklarasikan diri sebagai ilmuwan informasi, ketimbang pustakawan.
###
Antara sains dan ilmu
Munculnya kata “sains” dalam nomenklatur terkait perpustakaan serta informasi, cukup menarik. 


Siapa gerangan yang mengusulkan?
Ilmu, nek ra kleru turunan dari علم (sumber di sini) yang berasal dari bahasa Arab. Ilm dan ilmu, telah dikenal sejak lama baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Ilm, ilmu, berilmu, digunakan dalam proses komunikasi sehari-hari. Kita kenal istilah-istilah atau ungkapan sebagai berikut: orang berilmu, ngudi ngelmu, menuntut ilmu, berilmu tinggi, ilmu kanuragan, ilmu kasekten, dan lainnya. Ilm dan ilmu memiliki arti luas.

Sains, agaknya merupakan serapan dari “science”. “The intellectual and practical activity encompassing the systematic study of the structure and behavior of the physical and natural world through observation and experiment: the world of science and technology.“, merupakan salah satu penjelasan tentang makna science, yang bersumber dari kamus yang menempel alat buatannya Mbah Job. Agaknya, science terkait dengan physical dan natural world.


Science, agaknya datang belakangan. Science serta sains, tidak memiliki sejarah panjang dalam penggunaannya di masyarakat kita. Tidak dikenal istilah “orang bersains”, misalnya. Makna sains tidak seluas ilmu. Sains hanya bagian kecil saja dari ilmu.



###

Lalu apa sebab ilmu digantikan sains?
Biar modern? Biar keren? Biar kekinian? Untuk menggeser istilah serapan lainnya?

Sambil mengeluarkan sebatang rokok dan hendak menyulutnya, Paijo berkata, “Rasah digagas, Yo. Penting nyambut gawe. Kita ini, mau mikir kayak gitu serius, ra ana gunane. Kalau besok kita tidak masuk kerja di perpustakaan, iso dipotong gajine. Obrolan kayak gini, bagi kita kan hanya ngisi waktu luang, Kang. Mau informasi, mau perpustakaan, mau ilmu, mau sains, yang penting sawahe digarap."


Karyo yang melihat Paijo, langsung mendekat dan merebut sebatang rokok yang hendak disulut Paijo. 



Karyo: “Udud jangan di sembarang tempat. Orang kalau ndak belajar ilmu informasi, ya ndak tahu bahaya merokok. Tapi omonganmu bener juga, Jo. Cocok. Rasah dipikir, nggo hiburan saja, ojo ngeceh-ceh pikir”.
Paijo
: "iya, mending mikir kapan sawah warisan itu mau ditanami"

Setelah Karyo menjauh, diam-diam Paijo membuka bungkus rokoknya lagi. Sialnya, sebatang rokok yang direbut Karyo adalah yang terakhir. “Wah, bakalan kecut”, Paijo menggerutu.


Sambisari, tanggal 5 Suro, tahun 1951
Jam empat lima puluh delapan pagi

Saturday 16 September 2017

, ,

Kompetensi pustakawan merupakan bentuk pengganti dari keterbatasan anggaran perpustakaan

candi sambisari, Jogja
Purwo.co - Selama ini, kabarnya masih ada perpustakaan yang hidup dengan anggaran yang tidak memadai. Akhirnya ada keterbatasan pengelolaan, koleksi terbatas, fasilitas terbatas, pengembangan juga terbatas.


Paijo: perpus mana, To? - 
Parto: ah, mestine ya ana, Jo
.

Ini wajar. Karena memang anggaran memiliki posisi penting dalam menjalankan roda organisasi perpustakaan serta pengembangannya. Namun, apakah tidak ada jalan lainnya?

Perpustakaan merupakan lembaga atau unit yang bergerak untuk membantu organisasi induknya. Misal perpustakaan sekolah untuk mendukung sekolah, perpustakaan perguruan tinggi untuk mendukung perguruan tinggi, perpustakaan daerah untuk mendukung visi misi daerah dalam rangka melayani masyarakatnya. Secara umum demikian, jika dalam pelaksanaannya muncul kreatifitas ke kanan atau kiri, itu bentuk fleksibilitas profesi saja.

Nah, jika sebuah perpustakaan kekurangan anggaran, misal karena anggaran dipotong, dikurangi, apa yang harus dilakukan pustakawan?


Jangan galau, dipikir karo seneng wae. 

Efek kurangnya anggaran, dipotongnya anggaran dan semacamnya, tidak dibebankan pada pustakawan. Bukan!. Jadi pustakawan tidak perlu GR dan baper. Efeknya akan dirasakan oleh si pemimpin organisasi induk. Yakinlah. Kalau perpustakaannya kurang bagus, pustakawan wajib mengusulkan perbaikan dan penambahan anggaran. Kalau anggaran ditolak, efeknya ada di pemimpin organisasinya, bukan pustakawan dan pemimpin perpustakaannya.


“Siapa sih bupatinya?”, “siapa sih walikotanya?”, “siapa sih kepala sekolahnya?”.
Jadi, ndak usah dipikir terlalu dalam. Sik penting bergembira dan utamakan kesehatan.

Kalau perpustakaan sekolah anggarannya minim, ya ndak apa. Karena memang mungkin sebatas angka itu institusi mampu memberi anggaran. Atau ada prioritas lain yang oleh pemimpin dianggap lebih penting. Tidak apa, memang pemimpin berhak memberi prioritas anggaran sesuai dengan visi dan misi yang dia canangkan.

Jalankan saja perpustakaan sesuai  dengan anggaran yang diberikan. Fokuskan anggaran tersebut pada hal yang anda anggap paling penting dalam pengelolaan perpustakaan anda. Koleksi, fasilitas, atau apapun. Kalau tetap kurang  bagaimana?


Jalankan dengan filosofi hidup. Sitik akeh, sik penting disyukuri. Insyaalllah berkah, kekurangane Gusti Allah sik nyukupi.
.

Lalu, bagaimana selanjutnya?

Mainkan kompetensi atau skill anda untuk menjalankan roda organisasi perpustakaan. Inilah pentingnya kompetensi, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Pustakawan sekolah yang mahir Corel Draw atau aplikasi desain grafis lainnya, bisa digunakan untuk membuat kegiatan pelatihan desain grafis bagi pemustaka/siswanya. Pustakawan yang mahir Bahasa Indonesia (tata bahasa, dan lainnya), dia bisa memainkan keahliannya tersebut untuk membimbing mahasiswa menulis. Pemustaka yang mahir menggambar kaligrafi, sket gambar, atau semacamnya, bisa membuat kegiatan terkait, bersama pemustaka.

Paijo: Ngajari nggambar? Itu tugas pustakawan kah?
Parto: rasah digagas, sik penting nyambut gawe. Memang selama ini kan pustakawan itu pekerjaannya “mengais” (jawa: golek-golek) pekerjaan.


saoto bathok Sambisari
Contoh di atas hanya beberapa saja, ada banyak kompetensi yang bisa digali untuk digunakan pustakawan menggerakkan perpustakaannya. Tentunya level perpustakaan yang dikelola akan berpengaruh. Kompetensi pustakawan merupakan bentuk lain dari terbatasnya anggaran perpustakaan.

Luasnya kompetensi pustakawan, selain kompetensi inti pustakawan, menjadi sangat penting dalam pengelolaan perpustakaannya. Di sini, pustakawan perlu melihat berbagai perkembangan ilmu selain perpustakaan, dan mencoba menguasai dan menerapkannya untuk melayani pemustaka. Bukan hanya hardskill, namun juga softskill.


Paijo: loh, koleksi kan penting, Kar? Sekarang jurnal harganya melangit. Larang, mahal, dan susah ditawar. 
Karyo: yo ra popo. Kalau mahal, ya ndak usah dibeli kalau duitnya ndak cukup. Rasah dipikir ribet, utamakan kesehatanmu, Jo. Gampang, tho? 

Untuk memenuhi kemampuan/kompetensi tersebut, pustakawan dapat belajar mandiri, di sinilah konsep belajar sepanjang hayat menemukan ruangnya. Jika ada kesempatan belajar (sekolah) lagi, usahakan kuliah pada program studi selain ilmu perpustakaan. Jangan linear. Dengan demikian, pustakawan akan lebih kaya.



Sambisari, tanggal enam belas, bulan sembilan
tahun dua ribu tujuh belas.
enam, empat belas pagi




Friday 15 September 2017

Sinta: indikator produktifitas ilmuwan Indonesia

Purwo.co - SINTA (Science and Technology Index) yang beralamat di sinta.ristekdikti.go.id, setelah versi pertama, beberapa waktu lalu dirilis versi kedua. SINTA, sebagaimana ditulis di webnya, merupakan sistem informasi penelitian, yang menyajikan informasi sitasi dari berbagai ilmuwan dengan berbagai keahliannya.

Web sinta sudah responsif, sehingga nyaman dibuka di gadget.

Sinta menampilkan berbagai informasi, yang dihimpun dari Google Scholar dan Scopus.  Terdapat tiga informasi utama dalam SINTA, yaitu penulis, afiliasi (organisasi), dan jurnal.
Laman profile Prof. Panut Mulyono (Rektor UGM)


Informasi terkait penulis, menampilkan informasi ranking penulis yang terdapat di SINTA berdasar skor SINTA. Saat tulisan ini dibuat, ranking pertama adalah Suharyo Sumowidagdo, dari LIPI dengan SINTA score 278. Cukup jauh, menyusul pada peringkat kedua Suryadi Ismadji dari Universitas Katolik Widya Mandala dengan skor 86. Tentunya, peringkat ini tetap akan dinamis, sembari data masuk dalam SINTA.

Pada masing-masing profil penulis, terdapat informasi h-index di Scopus dan Google Scholar, jumlah artikel, book chapter dan conference papers yang pernah ditulis, jumlah dokumen di Scopus dan Google Scholar lengkap dengan sitasinya dan pertumbuhannya tahun demi tahun, serta lima dokumen tertinggi sitasinya. Selain itu, SINTA juga menampilkan area keahlian dari si pemilik profil.

Fitur menarik, Sinta menampilkan jejaring penulis dalam visual yang nyaman dilihat. Si pemilik profil dapat melihat siapa saja yang berjejaring dan bagaimana polanya.
Jejaring Prof. Panut Mulyono

Sayangnya, belum ada informasi kontak pada profil penulis.

Informasi berikutnya terkait afiliasi atau organisasi. Saat tulisan ini dibuat, UGM menempati posisi teratas dengan skor 18,763 disusul IPB dengan skor 14,544. Jika dilihat detail afiliasi, akan diperoleh informasi jumlah penulis yang terverifikasi SINTA dari institusi tersebut, grafik pertumbuhan jumlah dokumen terindeks Scopus dan Google Scholar berdasar tahun serta jumlah sitasinya. Serta jumlah artikel jurnal, book chapter dan conference papers dari institusi tersebut.
Lima Institusi score tertinggi 


Informasi terakhir terkait jurnal. Jurnal yang terdeteksi di SINTA dikategorikan dalam skor S1 sampai S6. Informasi jurnal yang ditampilkan SINTA memuat skor, h-index dan jumlah di sitasinya, keterangan diindeks oleh Scopus (jika telah terindeks Scopus), grafik statistik sitasi  berdasar tahun, alamat web, email, dan nomor telepon, informasi editor jurnal, serta artikel yang diurutkan berdasar jumlah disitirnya berdasar data di Google Scholar.
6 jurnal score tertinggi


Saat tulisan ini dibuat, peringkat pertama jurnal diraih oleh Telkomnika yang memperoleh skor S1, dengan h-index 22, dan sitasi 3.348.

Angka yang ada di SINTA, baik terkait penulis, afiliasi dan juga jurnal tentunya memiliki makna, serta aturan penghitungan tertentu. Angka yang muncul, dapat menjadi tolok ukur produktifitas, dan posisi jurnal, afiliasi dan penulis di tengah masyarakat ilmiah. Indikator ini, tentunya menjadi indikator mandiri bangsa Indonesia, yang menggabungkan angka yang muncul di Google Scholar dan Scopus.


Namun, jangan sampai hanya berhenti pada angka-angka tersebut. Kemanfaatan ilmu para ilmuwan, juga harus melampaui angka-angka di SINTA. Artinya juga harus menciptakan angka-angka di tengah masyarakat luas, bangsa Indonesia yang selalu menantikan karya dan kontribusi para ilmuwan untuk kemaslahatan ummat manusia.