Friday 25 January 2019

Akhirnya, inilah pekerjaan pustakawan bergelar doktor

Musim hujan sudah berlangsung beberapa waktu. Tanah sudah becek, tetumbuhan juga sudah menghijau. Lek Noyo, Kang Dhadap sudah lebih sering ke sawah dan ladang, niliki tanaman padi dan jagungnya. 

Ketika pagi menyapa,  Kang Noyo dan Mbok Noyo ke ladang, berdua saja. Anaknya sudah lama di kota. Tentunya merantau, memperbaiki nasib agar tidak jadi petani seperti orang tuanya. Entah, apakah petani itu kurang menjanjikan?

Petani, jika dirunut, kata Pak Ustadz, memiliki banyak keistimewaan. Jika petani itu menanam padi, maka akan dibeli orang, jadi beras, dimasak, jadi nasi, dimakan. Sekian banyak orang yang makan, sekian banyak orang yang berdoa sebelum dan sesudah makan. Sekian banyak doa-doa kebaikan atas rejeki nasi dari padi yang ditanam petani. Sekian banyak doa pahala untuk petani, ya untuk Kang Noyo dan Mbok Noyo itu salah duanya.

Paijo, pustakawan ndeso itu, meski kerja di kota, sangat ingin kembali ke desa. Desa itu ayem, katanya suatu ketika. 

**** 

Beberapa waktu lalu, Paijo ngersulo pada Kang Karyo. Paijo pernah ditanyai kawannya yang bukan pustakawan. “Pustakawan bergelar doktor itu pekerjaannya apa?”. Begitu kurang lebihnya.  Paijo tak bisa menjawab. Dia mlipir dan mengalihkan pembicaraan. Apalagi, kalau bukan agar tidak ditanyai lebih lanjut. Dia tak punya jawaban atas pertanyaan itu. 

Ditanya dan tidak bisa menjawab, adalah sebuah siksaan abstrak yang menghujam sampai ulu hati.

Malam itu, dia merenung. Di depan rumah, di lataran, duduk sambil ngeteh tubruk plus pacitan. Beruntung, malam itu tidak hujan. Agaknya air hujan sudah habis tumpah siang sampai sore. Langit bersih, bulan bersinar. Cocok untuk jagongan malam. Pacitan malam itu ekstrim. Ungkrung jedung goreng. Hora sebahene.

Jedung itu nama ulet yang hidup nempel di daun pohon mahoni. Tidak sembarangan orang mau memakannya. Hanya orang yang berasal dari kampung Paijo saja yang mau. Sepertinya orang sekampung sudah memperoleh sifat kandel, tahan pada makanan ekstrim berwujud binatang uler. Awal mula doyan uler ini juga tidak diketahui. Entah. Mungkin dulu, karena larang pangan di jaman begaber, orang harus mencari terobosan pengganti lauk dan bahan makanan lain selain beras dan lauk pada umumnya. Kemudian orang memperhatikan perilaku burung yang tetap hidup, bagaimana cara makannya. Ternyata si burung makan uler jedung dan tetap hidup. Berarti uler jedung itu enak dan tidak beracun, aman di makan. 

****

Dia mulai mengingat perjalanan hidupnya hari itu.

Siang tadi, di kantornya, Paijo dapat kabar dari kawannya. Katanya ada satu orang yang keluar dari profesi pustakawan. Alasnnya bukan gaji, yang biasanya jadi alasan klasik dan melegenda. Alasannya karena karir, dan ketidakcocokan dengan pimpinan.

Berat. Si pustakawan akhirnya keluar. Padahal, katanya, si pustakawan lulusan es dua, master. Pasti memang berat, hingga selevel master saja tak mampu bertahan dan harus keluar.

“Wah, kalau master tidak bisa, berarti kudu level doktor ilmu perpustakaan yang mengelola”, katanya menimpali.

"Nah, berarti sudah ketemu jawabnya, Jo.", tanya Seno.

Paijo melanjutkan renungannya. Agaknya, omongan Seno benar juga. Ini adalah jawaban dari pertanyaan kawannya tempo hari, “apa pekerjaan pustakawan bergelar doktor?”, 

Pustakawan bergelar doktor itu mengerjakan pekerjaan pustakawan yang sudah tidak mampu ditangani pustakawan selevel master ke bawah. Atau perpustakaan yang paling kompleks masalahnya.

Jelaslah sudah sekarang.  Masalah yang ada di perpustakaan itu ya macam-macam. Mulai dari masalah gaji, hubungan dengan atasan, jenjang karir dan lainnya. Titik.

“Berarti perpustakaan sekolah, yang njlimet masalahnya itu, kudune juga diserahkan pada pustakawan bergelar doktor, atau doktor ilmu perpustakaan. Dengan ilmunya yang setinggi langit dan sedalam sumur minyak, pasti masalah beres,” yakin Paijo.

Bagaimana tidak, kalau doktor ilmu perpustakaan itu jadi pustakawan di perpustakaan sekolah, siapa yang berani melawan?. Dia hanya akan imbang jika kepala sekolahnya atau guru di sekolah itu juga doktor.  


*****

Tergopoh-gopoh, Karyo mbela-mbelani dolan ke rumah Paijo. Berjalan kaki, tanpa alas. Nyeker. Hal ini biasa di kampung. Nyeker itu sehat. Urat syaraf di telapak kaki akan tersentuh, aliran darah akan lancar. Mikirpun akan cemerlang. Itulah sebabnya wong ndeso itu kebanyakan mikir kepenak.

Agaknya Karyo tahu kalau Paijo masih menyimpan ungkrung jedung. Malam-malam, tentunya seger disambi ngopi. Diapun ikut gabung Paijo. Tak perlu dikode, Paijo langsung menyambut kawan karib beda usia itu.

“Kang, sekarang aku tahu apa pekerjaannya pustakawan bergelar doktor!”, Paijo ngudo roso lamunannya.

“Hmm,” Karyo bergumam sambil makan ungkrung.

“Pekerjaan pustakawan bergelar doktor itu yang menjadi pustakawan di perpustakaan sekolah!”

Karyo kaget. Batuk tak bisa ditahan. Tepatnya keselek. Kaget dengan omongan Paijo.

Gandrik, kamu itu kalau bicara ndak pakai sopan, Jo. Mosok doktor kok jadi pustakawan sekolah!”. Karyo tidak setuju.

Paijo tersenyum. Ekspresi dan tanggapan Karyo sudah ditebaknya. Paijo tahu, Karyo bakal terkejut. 

"Intinya, pustakawan bergelar doktor itu mengerjakan atau mengelola perpustakaan yang tidak bisa dikelola oleh level di bawahnya. Atau sulit dan kompleks masalahnya. Rumit,   melebihi rumitnya hubungan pacaran anak jaman sekarang", tegas Paijo.


“Perpustakaan sekolah itu kan masalahnya banyak, Kang. Gaji pustakawannya kecil. Diminta nyambi di TU buat nambah honor. Diminta ini itu, bahkan membersihkan, ngepel perpustakaanya. Anggaran tidak menentu, letaknya dipojokan. Dan selanjutnya-dan selanjutnya”.

“Kalau perpustakaan dengan masalah kompleks seperti itu kok cuma dikelola pustakawan lulusan D1, atau D2, kan ya ndak bisa. Mereka akan disepelekan.", tegas Paijo.

"Perpustakaan dengan masalah kompleks, harusnya ya dikelola oleh orang yang paling pintar: doktor ilmu perpustakaan. Perpustakaan sekolah itu masalahnya kompleks, jadi kudunya dikelola doktor ilmu perpustakaan. Kalau dikelola Doktor, itu orang tata usaha ndak akan berani macam-macam," Paijo meyakinkan.


Itulah kesimpulan Paijo. Meskipun masih general, umum, Paijo senang bukan kepalang. Sebenarnya masih ada yang mengganjal di benaknya: pekerjaan keseharian pustakawan doktor. Ini tetap belum ketemu.


****

Karyo diam, menyeruput kopi. Setelah itupun tetap diam. Dia mikir, dan setengah membenarkan omongan Paijo. Memang semestinya, yang paling tinggi pendidikannya, menjadi pengelola perpustakaan yang paling rumit masalahnya. 

Karyo ingat dosennya Kimpul, Dr. Tumini. Karyo membayangkan Dr. Tumini jadi pustakawan SD.


Selesai



Monday 14 January 2019

Pustakawan Perguruan Tinggi, belajarlah dari pustakawan-pustakawan keren ini

gambar lisensi free dari Pixabay
Di sebuah grup wa yang egaliter, maha asyik dan tronjal-tronjol terlontar diskusi tentang pustakawan ideal. Kemudian berlanjut kepada pertanyaan: siapa yang bisa kita (pustakawan) contoh untuk menjadi pustakawan yang keren?.

Bu Labibah, dosen IPI di UIN Kanjeng Sunan Kalijaga Yogyakarta, salah satu warga grup wa maha keren tersebut kemudian memberi nama-nama pustakawan keren sebagai rekomendasi. Tentunya sesuai pendapat beliau. 

Tentunya nama pada rekomendasi itu tidak begitu saja muncul dari benak beliau. Sudah melalui filter maha ketat, yang kemudian menyisakan yang mentes dan benar-benar berkualitas. Seorang dosen selevel Bu Labibah yang sudah malang melintang di dunia kepustakawanan dalam dan luar negeri, alat filternya pun pasti keren. Luasnya pergaulan dan jejaringnya, menjadi garansi bahwa pilihannya pastilah keren.

Atas ijin beliau, nama-nama tersebut saya tuliskan di sini, agar semakin bermanfaat untuk banyak orang. Maaf, hanya singkat. Namun, dengan pengetahuan kepustakawanan teman-teman, info singkat ini bisa jadi titik awal untuk melacak kekerenan mereka.


Karyo: Itu pertimbangan atau filternya apa, Jo?
Paijo: Embuh, Kang. Pokoke aku percoyo disik, sampai kemudian ada yang membuatku tidak percaya.

Karyo: Pancen kowe kui. Padunya melek nggo bahan nulis blog.
*****

Pertama ada nama Wahyani.  Beliau pustakawan di UIN Sunan Kalijaga. Bu Labibah mengatakan bahwa Wahyani pernah belajar selama 8 hari di Jerman. "Wahyani setelah dari German, value kereferensiannya muncul. Sekarang dia lebih proaktif dan punya program,".

Nama berikutnya adalah Clara, atau Kalarensi Naibaho, pustakawan UI Jakarta. Terkait Clara, Bu Labibah sampai mengutarakan pernyataan "Saya pernah bilang ke orang-orang kalau saya punya kuasa dan diberi keleluasaan memilih pustakawan keren atau duta pustakawan maka ada nama Luckty (pustakawan sekolah) dan Clara sebagai pustakawan terkeren".

Pandangan ini diamini oleh Yogi, yang juga penghuni grup wa. Yogi mengatakan "Setuju, Clara Naibaho dan Luckty, tipikal pustakawan interaktif dengan gaya storyline. Itu yang mendobrak batas sekat bahwa perpustakaan itu tembok. Membaca kegiatan day to day sebagai pustakawan seolah mengajak pembaca menyelami..nih loh...kalian bisa merasakan sebagai pustakawan toh...hi hi hi 👍👍 top pokoke".

Bahkan Luckty, yang disebut bersamaan dengan Clara juga menyampaikan testimoninya, "Bu Clara memang idola. Tipikal pustakawan zaman now".

Berikutnya, Nina, atau Purwani Istiana pustakawan di UGM. "Mereka (Clara dan Nina), mereka (lulusan) dalam negeri tetapi reference nya jalan betul. Ruh nya kebawa", demikian Bu Labibah menekankan. Bu Nina merupakan pustakawan yang tahun 2017 hampir menyatukan dua predikat pustakawan berprestasi nasional. Beliau berhasil memperoleh predikat terbaik versi Perpustakaan Nasional, dan terbaik 2 versi DIKTI dalam tahun yang sama. Sesuatu yang jarang, bahkan mungkin baru sekali terjadi.


Nama berikutnya Faizudin Herliansyah, atau kerap disebut Pak Faiz. Sekantor dengannya, juga disebut Ari Zuntriana. Pak Faiz menyelesaikan S2 di Australia, sedangkan Ari di Inggris. Jika melihat dua asal ijazah ini, kita bisa terka betapa kerennya keduanya. Tidak salah Bu Labibah merekomendasikan keduanya bagi pustakawan (khususnya PT) untuk belajar.

"Kalau perlu pergi ke Malang, (silakan) seharian membersamai Faiz dan Ari di UIN malang", demikian Bu Labibah menyarankan.

Safira UGM, Bu Labibah sebut berikutnya. Maksudnya adalah Safirotu Khoir, atau sering dipanggil Mbak Fera yang ngantor di Perpustakaan UGM. Mbak Fera merupakan satu diantara sedikit pustakawan atau orang yang bekerja di perpustakaan yang bergelar S3. Bahkan S2 juga bidang perpustakaan/informasi. Dengan S1 bidang bahasa Inggris menjadikan lengkap kemampuannya. Tak heran jika Bu Labibah menyebut Mbak Fera sebagai salah satu orang pustakawan yang layak ditiru.

Nama terakhir, kembali dari UIN, tepatnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Amrulloh Hasbana. Pak Amrull, merupakan kepala perpustakaan UIN SH, juga menjadi pembicara pada berbagai seminar atau pelatihan pustakawan.


*****
Diskusi di grup wa, salah satunya mengarah pada pentingnya "nyantrik" pada pustakawan yang dianggap bisa ditiru. Bukan sekedar studi banding, namun benar-benar ngintil seharian, melihat apa pekerjaan yang sehari-hari mereka lakukan. 

Paijo: loh, kalau mereka makan, kita ikut makan, kalau mereka ke kamar mandi?
Karyo: kalau mereka makan, ya kamu beli sendiri di kantin, Jo. Kalau mereka ke kamar mandi, kamu juga ikut ke kamar mandi. Tapi beda kamar. Jangan sama. Iso kena pasal kowe.

Paijo mempertimbangkan benar apa yang disampaikan Bu Labibah. Dia ingin, di sisa hidup dan sisa pengabdiannya menjadi pustakawan bisa, paling tidak, belajar dan berusaha meniru pustakawan terbaik negeri ini.



Senen
06.04 pagi sebelum mandi
7 Jumadilawal 1952 Bhe/14 Januari 2019