Friday 28 December 2018

,

Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?

Saya punya kawan. Lulusan sekolah perkebunan, yang  dulu belajar tanam-tanaman. Tinggalnya di kawasan, tepat di dekat daerah yang jadi pusat persatean. Tak  heran, hobinya pun sesatean. Tidak sembarangan,  sate kambing yang dia pesan. Entah berapa porsi sekali pesan. Saya tak tahu, hobi ini murni dari dirinya sendiri, atau pesanan.

Kabar terakhir, hobi ini sudah berkurang. "Wis jarang banget, ngelingi awake...", katanya.

Syukurlah...

***
Kami  tidak sengaja kenalan. Ya, memang  tidak disengaja, wong tidak ada janjian. Waktu itu pasca terjadi gempa besar yang tanpa dugaan. Bisa teman-teman tebak kisaran tahunnya, kan?. Di sebuah ruangan 8x10 meter, dia jadi peserta, sementara saya ikut jadi narasumber pendampingan perpustakaan.

Dia salah satu peserta yang sampai sekarang menjadi kawan. Entah, kenapa cuma dia yang nyantol. Padahal dia itu lelaki, sudah beristri pula. Tapi percayalah, kami sebatas kawan. Tidak lebih.

Kawan saya ini mengelola perpustakaan sekolah, yang kemudian terdampak gempa. Terbayang keadaannya berantakan. Beruntung ada bantuan untuk pembangunan, kemudian perpustakaan dikembangkan. Akhirnya perpustakaan itu bisa nembus kompetisi tingkat nasional. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Keren, kan? Padahal pengelolanya, ya kawan saya ini, bukan alumni ilmu perpustakaan. Bagaimana ceritanya? 
Masih mau kuliah ilmu perpustakan?
Kawan saya memang pejuang tangguh. Semenjak  pendampingan itu, dia semakin rajin mengelola perpustakaannya. Kami komunikasi via email atau sms-an. Inovasi dia lakukan. "Anak masuk perpus selain baca buku, saya suruh nyatet apa yg dibaca", katanya meyakinkan. Dia pasang otomasi untuk perpustakaan, tampilannya disesuaikan dengan anak SD pengunjung perpustakaan. "Biar anak-anak senang", demikian dia mengatakan. Kawan saya memang suka coding, dan berkali-kali ngisi pelatihan pustakawan. Padahal, dia bukan alumni ilmu perpustakaan. Ilmu codingnya juga bukan ilmu sekolahan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakan?".
Ketika kerja di SD,  statusnya honorer.  Gajinya minim, sehingga harus usaha sambilan kiri kanan.  Ingat: minim. Ini sih sebenarnya sudah rahasia para honorer perpustakaan (sekolah), apalagi swasta "perjuangan". Sampai kemudian nasibnya berubah karena lolos PNS hasil seleksi pungkasan. Gajinya pun ada peningkatan, hidupnya juga ada perbaikan. Ssst, sekarang kabarnya PNS dimoratoriumkan. Jadi tidak bisa berharap banyak untuk jadi PNS, sebagaian tujuan status pekerjaan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?"
Kawan saya pernah kepincut kuliah UT ilmu perpustakaan. Sudah ndaftar, tapi tak dilanjutkan. Kabarnya karena tak ada dana, pemasukan pas-pasan. "Ra duwe ragad", katanya, mohon dimaklumkan. Honor tak cukup untuk membayar biaya pendidikan. Akhirnya dia otodidak dalam belajar pengelolaan perpustakaan.  Bisa kok. Tanya kiri kanan, dan baca buku di perpustakaan. Jangan lupakan juga nonton panduan sambil yutuban.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?" _
Tapi,  saya akui, dia memang sungguh bersungguh-sungguh dalam belajar, khususnya IT dengan kemandirian, seperti saya sampaikan di depan. Mulai dari oprek joomla, oprek SLiMS (software perpustakaan), sampai belajar coding pemrograman. Menggunakan framework, atau coding dari 0 (nol) sebagai awalan.  "Modalnya cuma http://stackoverflow.com", katanya memastikan.  Intinya dia belajar coding, bersungguh-sungguh, serta memanjatkan doa pada Tuhan. Ingat! dia tidak jadi kuliah ilmu perpustakaan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?"
***
Jadi pustakawan itu tak perlu kuliah ilmu perpustakaan. Wong pada dasarnya semua manusia itu pustakawan. Ini juga sudah ditekankan oleh pemilik kebijakan. Siapapun bisa. Intinya mau belajar, penuh kesungguhan. Pendidikan tidak hanya di sekolah atau kuliahan. Formal, informal, non formal mestinya juga ada pengakuan. Kawan saya itu sudah membuktikan.

***
Namun, akhirnya....

Kawan saya sekarang tak lagi kerja di perpustakaan. Kemampuannya cocok di tempat lain yang lebih membutuhkan. Keterampilan otodidaknya sangat bermanfaat. Otodidak. Ingat ya, otodidak. Baru setelah PNS dia disekolahkan coding, kursus atau pendidikan/latihan.

###

Kawan...

Harap diingat: sulit mencari yang seperti itu. Gigih, dan tak kenal lelah dalam perjuangan. Tidak bisa dirampatkan. Tentu saja, faktor nasib dan takdir juga ikut berperan. Kita tidak tahu, takdir apa yang akan diberikan. Jalani saja, jika ilmu perpustakaan sudah jadi pilihan, terpaksa atau penuh kesadaran. 
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?

Pendidikan, tak hanya terkait pekerjaan. Tapi lebih ke adab dan kemanusiaan. Serta perintah Tuhan. Percayalah pada Tuhan, rejeki tak akan ada pertukaran, tinggal diusahakan. 


Jangan ragu. Kalau ragu, lebih baik mundur saja.

Friday 21 December 2018

Strategi mencintai tempat kerja (perpustakaan)

Deg-deg-ser. Itulah kemungkinan pertama yang dirasakan ketika masuk tempat kerja baru tanpa tahu kondisi sebelumnya. Pertanyaan betah atau tidak, nyaman atau tidak, dibully atau disayang, kemungkinan besar masuk dalam pikiran.

Ketika kuliah diploma, beberapa teman berkesempatan menjadi tenaga partime di perpustakaan. Saya gagal. Tentunya bagi teman-teman partime, mendapatkan pengalaman menarik dan berharga, karena ketika masuk kerja sudah bisa membaca kondisi. Apalagi jika bekerja di tempat partime yang sama. Sama saja dengan libur trus masuk kuliah lagi. Kepenak, meski juga ada kekurangannya. Kurang berwarna.

###

Setelah lulus, saya pernah magang di Perpustakaan Fisipol UGM, 3 bulan lamanya. Blank. Mirip sama suasana nembak gebetan kemudian ditolak. Buyar.  Bingung pekerjaannya apa ya? Mau ngapain?

Beruntung saya punya kenalan yang sudah kerja di perpustakaan tersebut. Cukup membantu.

***

Kemudian, saya memasuki tempat kerja sesungguhnya, pertama kali di Perpustakaan Teknik Geologi UGM. Seperti yang saya sampaikan di atas, awal masuk berbagai pertanyaan juga mampir di pikiran saya. Kalau pas masuk terus dikerjain, bagaimana yak? Atau jika saya bikin kesalahan, waduh bisa kacau.

Saya mulai kerja di Teknik Geologi. Perpustakaannya penuh buku tentang minyak bumi, batu, fosil dan semacamnya. Beda dengan perpustakaan Fisipol, yang (meski saya tak suka baca, waktu itu :) ), masih bisalah saya paksakan membaca buku-bukunya. Mahasiswanya juga berimbang antara i dan a. Lah di Geologi, kebanyakan a, jarang i-nya. Tentu ini masalah tersendiri, dan cukup mengganggu. #halah

Harus ada cara supaya saya senang di perpustakaan ini.

Hingga, saya diberi anak kunci untuk membuka ruang tesis lapangan dan menata koleksi di dalamnya. Di ruang ini tersimpan tesis lapangan dari awal berdirinya teknik Geologi sampai sekarang. Isi tesis lapangan itu pemetaan daerah sekian km x sekian km.  Pembahasan tentang bentang alam, dan lainnya. Terdapat peta geologi dan jenis peta lainnya. Intinya ruang tersebut bisa disebut miniatur keadaan alam Indonesia.

Tesis lapangan ini membahas daerah di Indonesia dari ujung barat sampai timur. Lengkap.

Waktu berjalan. Saya nemukajian tentang pertambangan, perusahaan tambang, politik sumberdaya alam. Kenal website jatam (https://www.jatam.org/), dan semacamnya. Pada titik inilah saya mulai tertarik dengan geologi, tidak hanya tentang ilmunya, namun justru selipan tema sosial/politik terkait geologi. Membangkitkan adrenalin. Tema-tema ini yang terkadang saya obrolkan ringan dengan mahasiswa.

Dari obrolan itu saya mulai dekat dan bisa membangun komunikasi dengan mahasiswa. Kesempatan tersebut cukup membantu pula dalam mengenal ilmu geologi itu sendiri. Kemudian saya tahu ada beberapa alumni yang pernah ada di pemerintahan, mahasiswa yang ternyata anak pergerakan + tulisannya. Informasi ini cukup membantu saya menyenangi perpustakaan geologi.

***

Tahun 2012, saya pindah ke Fakultas Teknik. Perpustakaannya, tentu saja, memiliki koleksi lintas departemen. Hubungan dengan mahasiswa juga tidak sedekat di departemen. Ini masalah.

Setahun pertama, ada penyesuaian yang cukup berat. Melebihi beratnya Dilan menahan rindu pada Milea. Hingga pernah ingin mundur saja. Berat. Asli. "Milea, saya mundur saja, ya. Aku ikhlaskan dirimu untuk Kang Adi".

Tapi ternyata tidak. Dilan tetap berjuang untuk mendapatkan Milea. #halah.

Akhirnya saya menemukan beberapa titik yang mencerahkan. Apa itu ilmu teknik? siapa saja tokoh ilmu teknik? apa yang bisa saya dapat dari ilmu teknik? kenapa ini lebih baik dari pada saya kerja di ilmu sosial? dan lainnya.

Sukarno itu orang teknik. Dia juga proklamator, politisi, bahkan juga nyantri di rumahnya Pak Tjokro. Ini menarik. FT memiliki nuansa ilmiah, riset, yang kental. Tidak berarti saya beranggapan fakultas lain tidak sebaik FT. Tidak, tidak begitu. Namun apa yang ada di hadapan saya, seperti itulah adanya. Di FT, 8 departemen memiliki keahlian riil yang beragam. Saya bebas belajar pada siapa saja. Ini menarik. Perpustakaan FT ini semi otonom, letaknya yang terpisah, kerumahtanggaannya yang 90% mandiri, berpotensi menjadikan pustakawannya merdeka. Merdeka dalam arti positif tentunya.

Pertanyaannya, bagaimana saya memanfaatkan fasilitas di atas? Inilah yang menjadi tantangannya.

***

Memasuki tempat kerja yang baru, bagi saya, perlu mencari titik-titik menarik yang bisa menantang. Hal menantang dan menarik ini, akan membuat kita betah bekerja. Atau paling tidak membawa aura positif bagi proses kita mencari rejeki. Beda orang, beda strategi, beda pula pointnya. Ada yang bagi orang lain menarik, namun bagi yang lainnya kurang, atau bahkan dihindari.

Hal menarik itu bisa tentang koleksinya, manajemennya, efek dari ilmu yang ada di perpustakaan. Atau mungkin pemustakanya. Atau lainnya. Anda, saya, kita semua merdeka mendefinisikannya.


Thursday 20 December 2018

, ,

“Pustakawan cuma dikasih sisa, dong!?"

Angkringan kang Kuat Gelanggang
Seorang cerdik cendikia bidang perpustakaan dan informasi mengatakan bahwa pustakawan itu perlu sekolah hingga bergelar doktor. Perlu, penting, agar kajian kepustakawanan lebih oke, tokcer, dan joss. Mungkin memang demikian alasannya. Beberapa hitungan pustakawan  kemudian kuliah sampai jenjang doktor. Di luar negeri, atau di dalam negeri. Mbayar sendiri, atau beasiswa.

###

Seperti adat saben, Paijo dan Karyo, dua sahabat karib beda usia jagongan nguda rasa. Tukar kawruh, saling berbagi. 

“Kalau sudah kuliah, lalu lulus, kemudian ngopo, Kang?”. Paijo membuka obrolan dengan Karyo. Obrolan itu terjadi di jalan depan rumah. Tempat biasanya orang lalu-lalang dari kebon. Ngebrok. “Mbok di sini saja jagongannya, Kang Karyo!”, istri Paijo setengah teriak menawari tempat obrolan di teras rumah. Tampak sambil membawa nampan berisi teko dan cangkir, serta sebuah piring. “Di sini saja, Yu. Silir. Sambil nunggu Kang Gimin dari kebon”, jawab Karyo. Mbok Paijo pun menghampiri suaminya dan sahabat karib suaminya itu.

Sejurus kemudian di depan Paijo dan Karyo tersuguh teh tubruk nasgitel  model campuran, racikan istrinya Paijo. Teh model ini dibuat dari beberapa merek teh. Konon kabarnya, lebih nikmat, sepet, tur gerrr. Di samping teko wadah teh, ada piring putih bermotif kembang. Pinggiran piring porselen itu sudah cuwil beberapa bagian. Tandanya piring itu sudah berumur. Lungsuran dari simbah-simbah-simbah dahulu. Namun, piring itu masih bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Dia masih bisa jadi wadah yang sempurna. Bahkan terkesan antik dan berkelas. Kemampuan mbok Paijo merawat perabot memang luar biasa.

Di atas piring tampak camilan ungkrung goreng, serta sebuah sendok dari daun pisang yang dilipat. Sendok itu dipakai untuk njumput ungkrung, diletakkan di telapan tangan, lalu dicamili satu persatu. “Ini ungkrung buruan tadi pagi sampai siang, Kang. Lumayan, dapat 6 ons”, terang Paijo. Ungkrung memang sedang naik daun. Bisa ratusan ribu sekilo. Melebihi harga daging ayam, lele, bawal, dan semacamnya.

Ungkrunge ndang dimakan, Jo. Jangan dinggorke saja”, basa-basi Karyo tidak langsung menjawab pertanyaan Paijo. Dia malah ambil ungkrung goreng lalu njumputi satu satu ke mulutnya. Mrus-mrus.  Tangan kanannya meraih gagang cangkir, lalu nyeruput teh nasgitel. “Ger…”, Karyo bergumam setelah kerongkongannya basah oleh teh manis racikan mbok Paijo.

“Jo. Pertanyaannya tidak langsung ‘kemudian ngapain setelah lulus?’!, Karyo mulai berkomentar.
“Lalu, apa, Kang?”.

Proses menjadi doktor bidang perpustakaan, tidak serta merta, tidak mak bedunduk. Ada kepentingan-kepentingan, atau gegayuhan hingga seorang pustakawan mau mendaftar program doktor. Kemudian, doktor itu idealnya kerja riset. Kalau sudah doktor maka tidak boleh lepas dari yang namanya riset. Dia punya tanggungjawab pengembangan. Kecuali menyatakan selesai. Karyo melanjutkan penjelasannya.

“Sik, maksudmu apa, Kang?. Mumet saya”.

“Yang harus ditanyakan pada pustakawan yang sudah bergelar doktor itu, pertama kali adalah “apakah mereka masih mau jadi pustakawan? atau jika sebelumnya belum pustakawan, apakah mereka mau mendaftar jadi pustakawan?’. Itu dulu yang harus ditanyakan”.

Pertanyaan dan pernyataan itu bagi Karyo agaknya dirasa penting, sehingga dijadikan awalan menjawab pertanyaan Paijo. Untuk memastikan dahulu, apakah konsistensi si pustakawan ketika sudah jadi doktor masih sama. Atau ndleyo, mengkeret, munter, balik arah, kemudian mengatakan,  “baju pustakawan sudah tidak muat untuk saya yang sudah doktor”.

“Kenyataan alias kasunyatan. Menjadi pustakawan dengan title akademik tertinggi: doktor, itu berat. Dia harus mau dan mampu memberi contoh sesama pustakawan. Dalam hal apapun. Dia harus bisa dicontoh dalam kesehariannya sebagai pustakawan”. Karyo melanjutkan penjelasannya.

“Bukahkah semuanya harus memberi contoh, Kang?. Tidak hanya doktor, yang sarjana, atau diploma sekalipun harus. Bahkan pustakawan hasil diklat”, Paijo setengah membantah.

“Benar, Jo. Pada dasarnya semuanya. Namun jika ada yang menyandang titel tetinggi, maka bebannya lebih banyak. Dia akan jadi sasaran pandangan pertama oleh orang di luar pustakawan. Citra pustakawan akan bergantung lebih padanya”, Karyo menambahkan.

“Kalau sampai setelah jadi doktor kok pindah profesi, atau tidak ambil profesi pustakawan, maka kamu itu Jo, kamu itu”, tangan Karyo sambil menunjuk muka Paijo.  “Harus ikhlas! Ikhlas jika memang pustakawan itu kelas kedua dalam pilihan profesi. Cuma dapat residu, sisanya saja”. Karyo nerocos melanjutkan penjelasannya.

"Itu belum apa-apa, Jo. Jika setelah jadi dosen, mereka mengatakan "pustakawan harus ini itu", kamu harus siap lahir bathin", Karyo menambahi lagi.

"Tapi, jika setelah jadi doktor tetap konsisten jadi pustakawan, maka kamu harus mengangkatnya menjadi manusia setengah dewa",  Karyo menutup kuliahnya pada Paijo.

Paijo diam. Batinnya bergemuruh. Dia ingat bagaimana dosen ilmu perpustakaan begiti entengnya mengatakan "Pustakawan itu hari begini dan begitu". Tanpa beban. Mereka tak tahu bagaimana kondisi sosial politik perpustakaan yang di hadapi. Sak enak'e dhewe, mentang-mentang dosen njuk kemlinthi. Paijo mbathin.

Wajahnya lesu. “Aku berarti cuma residu, sisa-sisa, Kang?”.

Karyo tidak menjawab. Tangannya justru meraih teko wadah air teh, kemudian menuangnya ke cangkir yang hampir habis isinya. Kemudian dia jumput lagi ungkrung goreng di piring, lalu satu persatu di masukkan ke mulut.

Suasana hening….

###

Hening itu berlangsung beberapa saat. Karyo tetap diam. Menunggu reaksi Paijo. Paijo justru melamun. Mata Paijo menerawang, tampaknya sedang mengingat sesuatu. Sepintas kemudian dia mulai bicara.

“Kang, saya pernah dengar. Seorang cerdik cendikia mengatakan bahwa dia mengambili pustakawan terbaik di kampusnya, untuk diproyeksikan menjadi dosen ilmu perpustakaan”, Paijo berbagi informasi.

“Nah, itu Jo. Kamu dengar sendiri. Yang terbaik diambil, dinaikkan “derajat”nya. Di selamatkan dari goncangan profesi pustakawan. Dijadikan dosen (ilmu) perpustakaan. Logikanya, kalau yang pinter diambil jadi dosen, lalu pustakawan tinggal sisanya. Padahal pustakawan perlu orang pintar yang bisa memberi contoh jadi pustakawan yang baik dan benar. Menjadi praktisi itu lebih berat dari akademisi (ilmu) perpustakaan. Kalau yang lebih berat saja dikasih sisa, lalu?”, Karyo ngegongi Paijo.

Embuh, Kang!”. Paijo menyerah.

“Kang Paijo, wis meh magrib. Sapine dimasukkan kandang. Ndang siram. Nanti ada kondangan di tempatnya Lek Gimin, tho”, teriak Mbok Paijo sebagai wujud perhatian dan tresno pada suaminya.

Wis, tak bali dulu, Jo. Nanti ketemu di tempatnya Kang Gimin. Satu hal yang tetap harus kamu ingat: jika setelah jadi doktor tetap konsisten jadi pustakawan, maka kamu harus mengangkatnya menjadi manusia setengah dewa", Karyo tahu diri dan pulang.

Kang Gimin, tetangga mereka, malam ini ada kondangan nyewu (seribu hari) kematian keluarganya. Kondangan terakhir, setelahnya tak ada lagi tersisa. Namun doa-doa tetaplah dipanjatkan, sepanjang masa. 


Sambisari,
Kamis Wage, 11 Bakdomulud 1952 Be
04.54 pagi