Saturday, 5 December 2020
[[ koalisi partai di pilkada Gunungkidul ]]
Iseng mencoba membuat visualisasi tentang koalisi partai di pilkada GK. Khusus pilkada langsung sejak 2005-saat ini, yang berarti ada 4 kali pilkada. Tiga kali diantaranya sudah terlaksana. Dari 4 pilkada ini terdapat 29 peserta/partai yang ikut kontes, dengan berbagi jejaring koalisi. Satu diantaranya independent.
Pilkada ke empat, tahun 2020 ini peta koalisinya agak berubah. PDIP percaya diri dengan maju sendiri lagi. Sementara PAN tetap berkoalisi seperti periode sebelumnya. Namun koalisinya beda dengan koalisi ketika memenangkan pilkada langsung ketiga. Calon yang diusung PAN pada pilkada tahun ini, beda dengan yang dimenangkannya diperiode lalu. Padahal biasanya PAN dalam kesuksesan sebelumnya selalu melibatkan calon yang sebelumnya diusung, baik bupatinya (sebagai pencalonan periode berikutnya, maupun wakilnya). Wakil bupati pilkada lalu, di tahun 2020 ini justru dicalonkan partai lain. PAN percara diri dengan calon baru.
Sunday, 25 October 2020
Tantangan untuk ISIPII
Sore itu, selepas hujan lebat pergi, Paijo merenung. Lama dia tidak merenung. Pada masa pandemi ini, sebenarnya dia banyak di rumah. Kerja. Online. Daring istilah bakunya. Namun, justru kerja online dari rumah ini membuatnya kurang produktif dalam merenung untuk kemudian menuliskannya.
Sore itu dia berusaha sekuat pikiran, untuk merenung. Beberapa diskusi, atau tepatnya lontaran diskusinya, mendapat tanggapan. Dan itu membuatnya merenung. Menerka arah dan argumen yang muncul dari rekan-rekannya.
****
Sekelebat dia ingat, masih tentang perpustakaan, pustakawan, dan kepustakawanan. Konon kabarnya, di negara lain yang dianggap maju perpustakaannya, pustakawan itu pendidikannya unik.
Kalau pendidikan tinggi dasarnya tentang perpustakaan, maka jenjang berikutnya pustakawan tidak mengambil lagi studi perpustakaan. Namun mengambil pendidikan lain. Atau sebaliknya. Pendidikan tinggi dasarnya tentang ilmu lain, kemudian pustakawan akan ambil masternya tentang perpustakaan.
Hal itulah yang kemudian (salah satunya) dianggap berkontribusi pada skill dan pengetahuan pustakawan.
Namun, di Indonesia tidak demikian. Banyak pustakawan yang tidak bosan sekolah tentang perpustakaan, atau kini diperluas dengan informasi. Diplomanya perpustakaan, sarjana perpustakaan, masternya juga demikian. Tidak bosan. Ya, seperti Paijo sendiri. Haha.
"Hanya doktor yang tidak", batinnya. Ya. Jelas. Di Indonesia belum ada program doktor ilmu perpustakaan. Ada, sih. Tapi program nebeng.
Paijo berfikir. Kudunya tidak demikian. Ya, minimal jika ingin sama seperti negara tetangga, lah. Kan selama ini begitu kebiasaan membandingkannya. Pustakawan tidak boleh sekolah terus di bidang perpustakaan. Ini harus dikampanyekan. Kudu variasi. Biar enak, menantang, dan tidak bosan.
Lalu siapa yang harus mengampanyekannya?
"Tidak ada yang lain. Ya para lulusannya", bathin Paijo. Juga organisasi lulusannya. Organisasi yang mewadahi para sarjana ilmu perpustakaan. "ISIPII," ucap Paijo setengah teriak.
"Untuk pengembangan kepustakawanan Indonesia, kami serukan pada para sarjana IPI untuk merdeka ambil S2 di bidang apapun"
Wani ra?
Tapi apa ISIPII berani? Paijo tidak yakin.
Renungan itu menyisakan tantangan.
Selesai
Friday, 16 October 2020
Mau melakukan parafrasa? pakai aplikasi ini
Beralamat di quillbot.com. Terdiri dari 2 jenis: free dan premium.
Untuk fersi free, setiap proses maksimal 400 karakter, serta hanya bisa dengan mode standard dan fluency.
Untuk versi premium akan aktif pula mode creative, suggestive, dan concision. Tersedia juga pengaturan sinomim.
Beralamat di spinbot.com. Terdiri dari 2 jenis: free dan no more ads.
Versi free, dalam satu kali proses dibatasi 10.000 karakter, dengan tambahan opsi pengecualian kata yang ditulis kapital.
Sementara untuk versi berbayar dengan penggunaan tidak terbatas di setiap bulannya. Spinbot juga terhubung dengan paraphrasing-tool.com.
Silakan coba juga:
https://typoonline.com/
https://www.ejaan.id/
Saturday, 5 September 2020
Heboh panggilan profesor
Jika yang dipanggil itu memang seorang profesor, maka sudah semestinya demikian. Jika yang dipanggil itu bukan profesor, sangat mungkin yang dipanggil itu juga menikmati. Sambil membayangkan jadi profesor beneran.
Bagi yang punya kemungkinan jadi profesor, dan secara karir sangat mungkin mencapai maka itu sebentuk doa. Bagi orang yang bekerja di perguruan tinggi sebagai pengajar, atau di lembaga riset yang memiliki jenjang sampai profesor. Juga bagi anak-anak, yang itu sebentuk doa dan cita-cita. Maka semoga ijabah.
Namun, bagi yang tidak mungkin memperolehnya, tidak memiliki syarat atau lingkungannya tidak memungkinkan, maka itu jadi membentuk angan-angan mustahil. Ngenteni tuwuhing jamur ing mangsa ketiga. Bahkan bisa jadi justru panggilan itu menjerumuskannya pada angan yang mustahil kesampaian. Khawatirnya kita justru ngumbulke pada impian yang tidak mungkin terwujud.
Maka, hati hati menyebut profesor pada seseorang.
Kecuali itu panggilan sayang. Iya, panggilan sayang. Sepertinya yang sedang viral sekarang.
"Bukan begitu, Prof.?"
Nyetir mobil
Tu de poin. Saya ndak bisa nyetir mobil. Ya. Serius. Pada usia saya yang 30 sekian.
Sebab pertama, memang saya tak punya mobil. Sehingga bukan kebiasaan atau tidak terbiasa. Sebab kedua: saya tidak belajar. Tidak ada keinginan kuat untuk belajar nyetir mobil. Keinginan lemah sih ada.
Misalnya, pernah suatu ketika diajak belajar oleh kakak saya. Kakak ipar saya ini jago nyetir. Di tempatnya bekerja sering jadi jujugan ketika pimpinan hendak ke luar kota. Saya belajar nyetir padanya. Muter muter di lapangan. Hanya itu. Dua kali kalau tidak keliru. Dan tetap belum bisa.
Saat itulah saya tahu rahasia nyetir mobil. Saya baru tahu bahwa perpindahan gigi mobil itu sama atau mirip untuk semua jenis mobil. Ah. Polos banget saya ini. Dulu saya mikir, "kok orang gampang banget nyetir mobil A lalu pindah mobil B?".
Selain itu, ternyata as ban depan lah yang jadi patokan ketika belok. Tentu juga dengan rasa. Perasaan. Termasuk perasaan terhadap moncong mobil bagian depan.
Mestinya menyetir menjadi kebutuhan di jaman sekarang. Tidak harus punya mobil. Dalam keadaan darurat, pakai mobil orang atau pinjaman, juga bisa. Namun, bisa juga tidak. Toh sudah ada layanan mobil online. Ya. Tergantung kebutuhan.
Meski sebenarnya pengen juga bisa nyetor. Eh, nyetir. Namun, Saya masih menikmati ketidakbisaan dalam menyetir.
Salah satunya menjadi alasan untuk tidak begitu aktif dalam organisasi. Organisasi daerah atau nasional. Pengurus setidaknya harus bisa nyetir. Syukur punya mobil.
Kan memalukan, kalau ada tamu, lalu saya jemput pakai motor. Atau ngojek. Jadi, kalau saya ndak mau gabung dalam organisasi daerah atau nasional, salah satunya menjaga muruah organisasi.
Jangan sampai nama baik organisasi rusak, gara-gara pengurusnya ada yang ndak bisa nyetir. 😀
Note: ini tulisan sore, menulis untuk apa saja untuk menjaga dan latihan menulis.
Menulis
Malam tadi, tepatnya petang kemarin, ada obrolan di pustakawan blogger. Melalui Zoom, online. Pesertanya tembus 70-an. Pada saat ditutup masih ada 63 bertahan. Bagi saya ini banyak. Sangat banyak.
---
Tema-nya tentang kisah para blogger. Ada beberapa pemantik. Sebagai blogger, saya pun ikut.
Sebagai bahan cerita, saya mengingat lagi awal mula ngeblog. Sulit ternyata. Hanya mengandalkan jejak postingan pertama, bulan Maret 2007. 13 tahun lalu. Tentang alasan saya ngeblog? entah. Saya lupa.
Ada beberapa jenis tulisan saya di blog. Pertama salin tempel. Jujur saya pernah melakukan ini. Tentu dengan menyebut sumber. Biasanya untuk tulisan yang saya anggap menarik. Salin tempel ini terjadi pada awal ngeblog.
Kemudian tentang pekerjaan. Biasanya terkait panduan atau catatan yang saya anggap penting untuk saya, dalam melayani mahasiswa. Dari pada catatan tercecer, maka saya tulis di blog. Supaya mudah ketika membutuhkannya lagi.
Pada periode beberapa tahun terakhir, tulisan lebih banyak diwarnai oleh perenungan. Perenungan ini, sebagian besar saya kemas dengan karakter Paijo dan Karyo.
Perenungan, dan kemudian saya lanjutkan dengan berfikir kritis, saya lakukan dengan mendekati fenomena/trend kepustakawanan dari sisi yang berbeda. Dengan demikian, saya mendapatkan pandangan yang kadang bertolak belakang. Pandangan ini kemudian saya benturkan dengan teori yang dianggap mapan. Ketika saya memperoleh argumen, maka kemudian saya tulis.
Tulisan saya posting. Kadang ada yang baca. Bahkan rame komentarnya. Para doktor ikut nimbrung. Kadang tidak. Tidak mengapa.
Ada juga yang japri saya. Mengatakan sepakat atau sepaham. Namun sungkan mau menuliskan. Ah. Ternyata saya tidak sendiri.
Dari sinilah, kemudian saya memperoleh alasan, betapa rapuhnya beberapa (baca: tidak semua) perkembangan konsep dalam bidang perpustakaan.
Saya tidak menampik, bahwa ada yang tidak sepakat, atau menganggap perenungan saya itu mubadzir. Bahkan mungkin lucu. Saya, pada beberapa hal, dianggap mengulang perenungan para pemikir perpustakaan generasi sebelumnya. Saya sendiri tidak tahu pemikir mana yang sama pikirannya dengan saya. Tidak mengapa. Saya nikmati proses dalam diri saya ini.
*
Tujuan saya menulis tidak agar terkenal. Saya ikut belajar h-indeks, g-indeks, dan beberapa angka lainnya. Meski saya bekerja di perpustakaan yang kultur ilmiahnya kental, bahkan saya menjadi bagian yang mendukungnya, namun agaknya dalam hal angka impact ini saya belum/tidak ketularan. Saya menulis, setidaknya sampai saat ini, tidak agar h-indeks atau kutipan naik atau alasan serupa lainnya.
Saya menulis, ya buat menulis. Menuangkan pikiran, belajar merangkai kalimat, paragraf.
Mungkin karena alasan inilah, saya jarang bisa nembus konferensi atau pertemuan ilmiah kepustakawanan. Bahkan, terakhir saya nulis di jurnal, sudah 4 tahun lalu. Rentang waktunya jauh dengan tulisan sebelumnya.
*
Meski sekarang populer vlog, podcast, dan lainnya, namun menulis tetap punya tempatnya sendiri. Tulisan, bagi saya memiliki derajat yang lebih tinggi.
Jumungah Pon 16 Sura Jimakir AJ 1954
Wednesday, 8 July 2020
Dua kekeliruan penerjemahan Indonesian Library Association
Paijo: "Apa beda library dan librarian, Kang?"Karyo: "Ya jelas beda. Library kui perpustakaan. Librarian itu pustakawan."
Karyo: "Lengkap kok tidak menemukan. Maksudmu piye, Jo?"Paijo: "menengo wae sik, Kang!".
Mosok perpustakaan punya status perkawinan atau jenis kelamin?
Paijo: "Kang. Saking lengkapnya, sampai tautan susunan pengurus juga..... ndak fungsi. xixi"Karyo: "Hus.
Nah, fakta di atas menunjukan secara kasat mata. Ceta wela-wela. Bahwa anggota IPI itu pustakawan saja. Manusia. Beda dengan IFLA atau ALA. Jadi ndak ada alasan pembenaran memilih Library dari pada Librarian sebagai nama versi bahasa Inggrisnya.
Paijo: "apa tidak malu dengan negara tetangga ya Kang?
Karyo: "mana itu, Jo?"Paijo: "Malaysia, Kang!"
Karyo: "Hmm, kok aku jadi khawatir ya, Jo"Paijo: "Khawatir bagaimana, kang?"Karyo: "Kalau sampai ditertawakan profesi lain, piye?"
Karyo: "Kenapa tertawa, Jo?"
Monday, 8 June 2020
Install manual plug-in ms Word di Mendeley
Jika pernah, coba anda install manual. Caranya seperti di bawah ini:
- klik ADD, lalu cari file Mendeley.xxx.dotm yang letaknya (secara default) ada di folder hasil install Mendeley. Cari sendiri yak. :)
- File .dotm yang ada di folder hasil install Mendeley tadi, silakan copi dulu lalu paste di C:/user/nama/AppData/Roaming/Microsoft/Word/Startup/. Setelah itu baru di lakukan proses ADD
Monday, 23 March 2020
Form to Email: add on untuk google form
"Form to Email" sends the respondent's answers directly to the forms owner, to help him answer fastest after clicking "reply".
Dengan add on ini, kita bisa menerima pemberitahuan jika ada pengisi/responden baru. Kemudian membalasnya langsung melalui email.
Form ini ada di https://gsuite.google.com/marketplace/app/form_to_email/168498712758?pann=cwsdp&hl=en
Saturday, 14 March 2020
Style: numbering ACM SIG Prosiding
Referensi disusun urut angka, namun susunannya berdasar abjad. Hal ini mengakibatkan sumber kutipan dalam teks jadi tidak urut.
Sumber kutipan pertama tidak pasti ditandai dengan angka [1], melainkan sesuai angka yang tersusun urut abjad daftar pustaka.
Saturday, 22 February 2020
Profil publikasi civitas UGM terbit 2019 terindeks Scopus
![]() |
Author keyword minimal 5 |
Kajian tentang Indonesia paling banyak muncul. Topik tersebut berkaitan dengan berbagai topik lain, yang bisa dilihat pada gambar. Misalnya dengan remote sensing, climate change, tuberculosis, cancer, malaria, dan lainnya.
Tampaknya, bidang kesehatan mendominasi dalam hal ini.
![]() |
Jejaring negara penulis, minimal 5 kali muncul |
Ada beberapa klaster. Nama negara yang memiliki warna yang sama, menunjukkan bahwa negara tersebut kerap berkolaborasi dalam penulisan. Warna-warna tersebut dihubungkan oleh Indonesia, sebagai negara asal penulis UGM.
Dari visualisasi di atas, kita bisa mengetahui kecenderungan negara jejaring (selain Indonesia) ketika kolaborasi menulis dengan penulis UGM. Misalnya Thailand, Vietnam, Singapura, itu cenderung bersama. Kalau Australia berkolaborasi dengan UGM, maka jejaring negara lainnya adalah UK, German, Spanyol. Dan seterusnya.
Tentu, sebaran ini bisa menjadi bahan kebijakan jejaring kepenulisan pada masa yang akan datang.
![]() |
Nama penulis, minimal punya 5 dokumen, dan saling berjejaring. |
Thursday, 20 February 2020
Bookless Library: beberapa point kelemahan konsepnya
![]() |
https://pixabay.com/id/photos/sastra-buku-halaman-bersih-3033196/ |
Ada yang membawa penjelasan - yang dianggap - baru tentang bookless library.
Bookless library itu ada bangunannya. Tetap ada kegiatan layaknya di perpuatakaan. Tidak ada buku cetak. Tapi ada koleksi yang bisa dipinjam menggunakan e-reader. Sehingga pemustaka haruslah datang ke tempat ini. Ke tempat yang diklaim sebagai bookless library.
Ada beberapa kelemahan dari konsep ini. Tanpa panjang lebar, saya tulis 1 bagi 1.
1. Bookless – tanpa buku. Setidaknya arti ini saya ambil dari google translate, dan Merriam Webster Dictionary. Namun jika bookless itu digabung dengan bookless library menjadi “bookless library” di Wiki tertulisnya “do not nave any printed book”. Yang tidak ada itu buku tercetak. Demikian juga penjelasan di tempat lain. Klop seperti klaim di grup WA tadi.
Ini berarti tetap ada bukunya, namun dalam bentuk yang berbeda dari buku konvensional (cetak kertas).
Dengan kenyataan ini, maka kata bookless itu sebenarnya mengecoh. Artinya tidak sesuai dengan arti asalnya. Jelas ini bias, bahkan cenderung menyesatkan. Mengarahkan pembaca (maksudnya yang membaca istilah bookless library) pada cara pandang tertentu, yang tidak sesuai kenyataannya. Padahal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dalam dunia ilmiah, menyesatkan itu tidak boleh.
2. Ereader, alat untuk membaca buku di bookless library. Alat ini hanya bisa digunakan dengan datang ke perpustakaan. Hal ini sangat menggelikan. E-reader ini, dengan penjelasan seperti itu, pada dasarnya adalah sama dengan koleksi buku cetak di Perpustakaan.
Coba bayangan buku cetak kertas, yang hanya bisa dibaca kalau memiliki, atau meminjam ke perpustakaan. Jumlahnya terbatas. Sama dengan ereader, kan? Yang jumlahnya terbatas, dan harus datang ke perpustakaan. Substansinya sama. Hanya beda di kertas dan di layar saja.
"O, tidak begitu," mungkin ada yang menyangkal. "Ereader bisa dipasang di gadget pemustaka", begitu alasannya?
Kalau alasan itu dipakai, maka benar, WC itu juga bookless library. Pos ronda apalagi. Bahkan saat ini, kita semua sedang ada di bookless library.
3. Inkonsistensi. Hal ini muncul karena mengharuskan pemustaka datang ke perpustakaan. Padahal perkembangan perpustakaan yang ada sekarang ini mengarah pada perpustakaan yang bisa diakses di mana-mana. Jelas ini kemunduran.
4. Bookless library itu konsep penuh teknologi. Ini konsep elitis. TITIK.
Bookless library itu selemah-lemahnya konsep perpustakaan. Bookless library itu jelas tidak jelas, sampai terbukti jelas.
Saturday, 18 January 2020
Membandingkan Kopernio dan Lean Library + Unpaywall
Proses pencarian institusi di Kopernio |
Agaknya Kopernio telah memiliki data subscriptions berbagai universitas. Mungkin ini terkait dengan keterangan di laman https://kopernio.com/compare/kopernio-vs-lean-library yang menyebut "No, works with most libraries by default. Libraries can amend as necessary at any time.", terkait dengan library setup. Berbeda dengan Lean Lib yang memerlukan library setup.
Permintaan koneksi ke Library Subscriptions |
Seting Kopernio |
Sementara itu, setelah memasang add on Lean Library, saya hanya diminta mencari library sesuai insitusi.
Pemilihan institusi di Lean Lib |
Setelah selesai, hasilnya akan muncil icon 3 add on tersebut di kanan atas browser.
****
respon 3 add on (+ unpaywall) |
Selanjutnya kita lihat gambar di bawah ini.
respon 3 add on |
Ini mulai berbeda. Keterangan di Sciencedirect menunjukkan kata "Get Access", artinya artikel ini tidak bisa diunduh langsung, meskipun sudah dilanggan UGM. Namun Kopernio, Lean, dan unpaywall kompak menunjukkan sinyal positif.
Lean Lib memberi tahu "... this article available for you...". Demikian pula Kopernio, serta Unpaywall mendeteksi adanya versi Open Access dan memberi sinyal warna hijau.
Perbedaan akan terjadi ketika 3 add on tersebut di klik.
Kopernio akan menampilkan Kopernio Locker, yang kita langsung disodori artikelnya full text. Lean Library akan mengarahkan ke Summon. Sementara Unpaywall mengarahkan ke alamat URL utama asal artikel tersebut.
Silakan lihat gambar di bawah.
Hasil dari Lean lib |
Hasil dari Unpaywall ke Pubmed |
Hasil dari Kopernio |
*****
Bagaimana jika artikel itu berbayar, dilanggan institusi, namun tidak ada versi open accessnya?
Semua positif, kecuali unpaywall |
Bagaimana jika UGM tidak melanggannya?
Jika tidak dilanggan UGM |
Jika artikel tidak dilanggan, sehingga saya ndak ada akses, maka 3 add on akan menunjukkan sinyal negatif. Termasuk ketika tidak ditemukan versi OA dari artikel tersebut.
***
Ada yang menarik di Lean Lib, ketika akses dilakukan di dalam jaringan kampus. Agaknya Lean telah mendeteksi IP, sehingga muncul komentar seperti pada gambar.
![]() |
tampilan Lean Lib ketika akses dari dalam kampus |
***
Informasi jumlah dikutip di database WoS |
Gambar di atas, jika posisi belum login ke Kopernio, maka pencarian akan dilakukan ke database Google Scholar.
****
Kesimpulan
Kopernio, merupakan bagian dari WoS. Sementara Lean Lib bagian dari Sage. Ini tentang dagang.
Dari sisi fitur tidak jauh berbeda. Ada perbedaan satu dua itu wajar.
Meskipun demikian, patut di catat bahwa Kopernio bisa digunakan langsung, dan kita menerima fitur apa adanya. Sementara Lean Lib tidak. Lean harus ada setting dahulu berdasar permintaan. Seting di Lean ini memungkinkan adanya custom atau permintaan fitur. Ini sebuah kelebihan.
Bagaimana dengan Unpaywall?
Menyertakan pemasangan Unpaywall menjadi tambahan jangkauan data. Jika ternyata Lean dan Kopernio tidak mampu mencari versi OA, siapa tahu Unpaywall bisa menemukan.
Sambisari
Friday, 17 January 2020
Fitur retracted notifications di Zotero
![]() |
Informasi artikel retracted pada tampilan Zotero |
![]() |
peringatan yang muncul ketika mengutip. |
Menggugat bookless library
Karyo: Apa kui maksudnya, Jo?****
![]() |
Sumber: https://pixabay.com |
Setidaknya itu dikatakan om Wiki. "Bookless libraries are public, academic and school libraries that do not have any printed books," begitu lengkapnya.
Di sumber lain tertulis, "just rows of computers and plenty of seating offering access to the Philadelphia university's 170 million electronic items." Atau juga pernyataan ini, "Our on-campus library is entirely digital,".
Nah, dari sinilah Paijo mikir. Misalnya sebuah institusi, memiliki perpustakaan. Tidak ada buku cetak, hanya ada koleksi digital. Lalu, ruang perpustakaan di lembaga itu di sebut bookless library?
Mosok sesederhana itu?
Bagaimana dengan ruang lain di lembaga tersebut? Halaman, misalnya. Atau dapur, dan WCnya? Bukankah ruang itu juga bagian dari institusi. Dan, yang membeli ebook atau membiayai pengadaan ebook atau pembuatannya bukan si perpustakaan, tapi institusilah yang punya uang.
****
"Oo, jelas tidak. Ruang lain tidak bisa disebut bookless library. Kenapa? karena ndak ada pustakawan dan kegiatan belajar di sana. Yang ada pustakawannya ya di dalam ruang yang didedikasikan sebagai perpustakaan. Ruang itulah yang disebut bookless library". Mungkin demikian alasannya.
Loh. Kan pustakawan juga bisa jalan-jalan. Ke halaman, ke kantin yang ada dalam institusi itu. Di tempat itu, pustakawan juga bisa jadi pustakawan. Iya, kan? Belajar bisa di mana saja.
Nah, jika demikian, maka sesungguhnya semua tempat di Indonesia ini adalah bookless library. Kenapa? kan Perpustakaan Nasional dan Dikti melalui uang rakyat melanggan koleksi digital yang bisa diakses dari mana saja.
****
Paijo: "Sebentar kang. Tak tinggal dilit, mau ke bookless library.
Tampak Paijo buru-buru meninggalkan Karyo sambi membawa gawai berlayar lebar dan sesekali memegang perutnya. Tidak menuju ruang yang umum disebut bookless library, melainkan ke WC. Karyo heran.
Karyo: "Loh, katanya ke bookless library. Kok malah ke WC, Jo?"---------------------
Paijo: "Loh, WC ini kan bagian dari Indonesia yang sudah melanggan ebook. Jadi WC ini juga bookless library. Bisa sambil makerspace-an di dalamnya.
Karyo: "Loh, di WC kan ndak ada pustakawannya, Jo"
Paijo: "Ada. Gampang. Nanti WA-nan pakai HP".
Karyo: &*&^^$%^^$^^$