Saturday 5 December 2020

Pak Carik: bot telegramnya para Pustakawan

Paijo, staf baru di perpustakaan desa X. Lulusan De tiga sebuah universitas ternama di Jogja. Lulusnya tercepat, IPKnya tinggi. Nyaris tak ada nilai B dalam transkripnya. A semua. Teman-teman nya hampir pingsan melihatnya. Seolah tak percaya.
**
Hari pertama masuk kerja, dia kenalan dengan staf seniornya. Setengah tua, gemuk, wajahnya bulat, murah senyum, di kepalanya selalu bertengger blankon, bajunya selalu surjan. Tidak baru, mungkin surjan lungsuran bapaknya. Atau bapaknya bapaknya. Atau simbahnya simbahnya. Meski lungsuran, namun tampak rapi, juga wangi.
Dia mengenalkan diri sebagai Pak Carik. Nama jabatan tukang catat di kantor desa itu, dipakainya. Entah apa awal mulanya. Juga entah siapa nama aslinya.
Paijo kenalan, kemudian memulai pekerjaan. Meski lulusan De tiga terbaik, hari awal kerja itu dia anggap dirinya training. Mulai dari mengklasifikasi, input data, dan lainnya. Sambil kerja, sesekali ngobrol ngalor ngidul. Dengan Pak Carik. Tentang apapun.
Terkadang Paijo bingung ketika menentukan klas. Maklum, kenyataan beda dengan kuliahan. Banyak buku baru dan juga lama yang belum pernah ditemuinya. Apalagi diklasifikasi. Dia bingung.
Saat kebingungan itu, Pak Carik langsung menjawab tanpa ditanya. "Etika Cinta"... 177.7", Pak Carik menyahut. Disambung dengan berbagai jawaban kode klas lainnya.
Paijo Kaget. Itu belum apa-apa. Ketika Paijo bertanya tentang arti kata, Pak Carik juga langsung menyahut. Cepat. Gak pake lama. Jawaban Pak Carik pun persis seperti di kamus, atau dari wiki, juga tajuk subyek.
Elok.
Hingga kemudian, suatu hari yang cerah, di akhir bulan alias tanggal tua, dalam ruang perpustakaan desa X yang cahaya lampunya temaram, Pak Carik mendekati Paijo.
Pak Carik mengatakan, "Jo, kamu bisa tanya apa saja padaku. Nah, supaya seragam, konsisten dan konsekuen, maka begini caramu bertanya:
1. Carik wiki kata_kunci -> jika kamu ingin cari info dari wikipedia
2. Carik kamus kata_kunci -> jika kamu ingin cari info arti kata/istilah
3. Carik tajuk kata_kunci -> jika kamu ingin cari info tentang tajuk subyek, termasuk kode DDC-nya.
4. Carik clas kata_kunci -> jika kamu ingin cari info kode klasifikasi dari kata kunci/subyek tertentu.
"Gampang, tho?"
Paijo mengangguk. Bibirnya bergerak. Meski tanggal tua, akhirnya dia bisa tersenyum. "Pak Carik cen pinter".
Diam diam Paijo bertanya, "Carik kuliah perpus".
"Halo, Jo.. memang perlu kuliah perpus?", jawab Pak Carik.
Paijo mlongo.
[Rampung]
----
Kalian yang ingin tahu dan mencoba bertanya pada Pak Carik lebih lanjut, silakan masuk di: https://t.me/joinchat/CvIAZz2ZQX5sGGpMW3AUlg, atau pasang bot-nya dengan username @demo_SLiMSbot di telegram

Note: Pak Carik merupakan bot di telegram, yang dibuat untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang arti kata, tajuk subyek, kode DDC, dan istilah yang dimuat di wikipedia. Yang baru dirilis, informasi dari repository (masih terbatas)
Bot Pak Carik ini dibuat oleh mas Heru Subekti, salah satu developer SLiMS, bukan lulusan perpus. :)
,

[[ koalisi partai di pilkada Gunungkidul ]]


Iseng mencoba membuat visualisasi tentang koalisi partai di pilkada GK. Khusus pilkada langsung sejak 2005-saat ini, yang berarti ada 4 kali pilkada. Tiga kali diantaranya sudah terlaksana. Dari 4 pilkada ini terdapat 29 peserta/partai yang ikut kontes, dengan berbagi jejaring koalisi. Satu diantaranya independent.

Dari 3 kali pilkada langsung yang sudah berlalu, pilkada pertama dimenangkan calon dari PAN, pilkada kedua dari PAN. Dua kali kemenangan PAN itu (kalau tidak salah) diusung sendirian. Sementara pilkada ketiga, masih dimenangkan calon dari PAN, yang koalisi dengan Golkar, Hanura, Nasdem, (dan PPP menurut berita). Sayang saya belum mencari data persen kemenangannya, yang bisa sebagai perbandingan. Apakah ada perbedaan signifikan antara diusung sendiri dan diusung dengan koalisi.


Pilkada ke empat, tahun 2020 ini peta koalisinya agak berubah. PDIP percaya diri dengan maju sendiri lagi. Sementara PAN tetap berkoalisi seperti periode sebelumnya. Namun koalisinya beda dengan koalisi ketika memenangkan pilkada langsung ketiga. Calon yang diusung PAN pada pilkada tahun ini, beda dengan yang dimenangkannya diperiode lalu. Padahal biasanya PAN dalam kesuksesan sebelumnya selalu melibatkan calon yang sebelumnya diusung, baik bupatinya (sebagai pencalonan periode berikutnya, maupun wakilnya). Wakil bupati pilkada lalu, di tahun 2020 ini justru dicalonkan partai lain. PAN percara diri dengan calon baru.

 -----

Ada 4 partai yang rutin ikut pilkada di GK sejak pertama pilkada langsung digelar. Golkar, PAN, PDIP, dan PKB. Dari 4 ini, Golkar paling banyak berkoalisinya. Disusul PAN, PKB, dan PDIP.

Jika dilihat yang tampak di lapangan, dari 4 partai di atas, ada yang sudah berkali-kali berhasil mengusung calonnya menjadi bupati (PAN, dan Golkar Ketika koalisi di pilkada ke-tiga). Sementara yang lain masih harus berjuang agar pecah telor dan gol calonnya.

-------

Pada visualisasi ada yang menarik. PDIP terhubung hanya ke PKB. Ini berarti dalam pilkada, PDIP baru koalisi dengan PKB saja. Menurut data, ini terjadi terjadi di 2010. Selain itu PDIP sendirian. Ini fenomena menarik. Karena selama 3x Pilkada langsung di GK, PDIP belum pernah berhasil mendudukkan calonnya sebagai bupati dan wakil bupati. Padahal suara PDIP termasuk besar di GK.

Tentu, periode 2020 ini akan menjadi pembuktian PDIP, apakah akan berhasil, atau harus berjuang lagi di periode mendatang.

Unik juga bagi Gerindra. Meski baru 3 kali mengikuti, link strengnya sudah 13. Lebih banyak dari Demokrat yang meski juga 3x ikut pilkada, namun baru punya 10 jejaring koalisi selama pilkada GK. 

Apakah ada ada hal baru di tahun 2020?

Akankah partai yang belum pernah menang di pilkada akan berhasil di tahun ini? atau justru partai yang selama ini berhasil mendudukkan calonnya sebagai pasangan bupati dan wabup, tetap akan mempertahankan posisinya?

Yang pasti, dari yang saya lihat, partai tidak begitu berperan di pilkada GK. Kemenangan/suara yang diraih pada pemilu legislative, tidak jadi kunci kemenangan koalisi. Ini keren. Segala hal yang berkaitan dengan tokoh/calon bupati dan wakil bupati (dan mungkin visi misi tokoh) yang diusunglah yang menjadi kunci kemenangan. 

---------------------------------------------

Selamat mencoblos.

Catatan: Data yang saya kumpulkan sangat dimungkinkan ada kekeliruan. Visualisasi ini sebagai bahan latihan visualisasi data menggunakan VV. Saya tetap netral. 📷

Sumber data: 
1. https://news.detik.com/berita/d-348465/kpud-gunung-kidul-tetap-sahkan-calon-bupati-bermasalah (peserta 2005) 
2. https://kab-gunungkidul.kpu.go.id/berita-detail-6-hasil-rekapitulasi-penghitungan-suara-pasangan-calon-kepala-daerah-dan-wakil-kepala-daerah-kabupaten-gunungkidul-tahun-2010-.html (peserta 2010) 
3. https://nasional.tempo.co/read/694642/empat-pasang-calon-bertarung-di-pilkada-gunungkidul (peserta 2016)
4. https://kab-gunungkidul.kpu.go.id/files/arsip/2015/08/79_sk-penetapan-paslon.pdf (2015)
5. https://kab-gunungkidul.kpu.go.id/berita-detail-366-keputusan-kpu-kabupaten-gunungkidul-tentang-penetapan-pasangan-calon-peserta-pemilihan-bupati-dan-wakil-bupati-tahun-2020.html (2020) 

Data yang ditemukan kemudian dimasukkan ke Zotero dalam bentuk nama calon, tahun pilkada serta nama partai pendukungnya. Setelah lengkap, kemudian dieksport ke ris, lalu dimasukkan ke VV

Sunday 25 October 2020

, ,

Tantangan untuk ISIPII


M
usim sudah berganti. Kemarau berangsur hilang. Hujan mulai turun. Banjir juga mulai terjadi. Tak terkecuali di kampung Paijo. Ya. Tapi tidak di perumahan. Yang kena banjir ya sungainya. Hehe. 

Sore itu, selepas hujan lebat pergi, Paijo merenung. Lama dia tidak merenung. Pada masa pandemi ini, sebenarnya dia banyak di rumah. Kerja. Online. Daring istilah bakunya. Namun, justru kerja online dari rumah ini membuatnya kurang produktif dalam merenung untuk kemudian menuliskannya.

Sore itu dia berusaha sekuat pikiran, untuk merenung. Beberapa diskusi, atau tepatnya lontaran diskusinya, mendapat tanggapan. Dan itu membuatnya merenung. Menerka arah dan argumen yang muncul dari rekan-rekannya.

****

Sekelebat dia ingat, masih tentang perpustakaan, pustakawan, dan kepustakawanan. Konon kabarnya, di negara lain yang dianggap maju perpustakaannya, pustakawan itu pendidikannya unik.

Kalau pendidikan tinggi dasarnya tentang perpustakaan, maka jenjang berikutnya pustakawan tidak mengambil lagi studi perpustakaan. Namun mengambil pendidikan lain. Atau sebaliknya. Pendidikan tinggi dasarnya tentang ilmu lain, kemudian pustakawan akan ambil masternya tentang perpustakaan.

Hal itulah yang kemudian (salah satunya) dianggap berkontribusi pada skill dan pengetahuan pustakawan.

Namun, di Indonesia tidak demikian. Banyak pustakawan yang tidak bosan sekolah tentang perpustakaan, atau kini diperluas dengan informasi. Diplomanya perpustakaan, sarjana perpustakaan, masternya juga demikian. Tidak bosan. Ya, seperti Paijo sendiri. Haha. 

"Hanya doktor yang tidak", batinnya. Ya. Jelas. Di Indonesia belum ada program doktor ilmu perpustakaan. Ada, sih. Tapi program nebeng. 

Paijo berfikir. Kudunya tidak demikian. Ya, minimal jika ingin sama seperti negara tetangga, lah. Kan selama ini begitu kebiasaan membandingkannya. Pustakawan tidak boleh sekolah terus di bidang perpustakaan. Ini harus dikampanyekan. Kudu variasi. Biar enak, menantang, dan tidak bosan.

Lalu siapa yang harus mengampanyekannya?

"Tidak ada yang lain. Ya para lulusannya", bathin Paijo. Juga organisasi lulusannya. Organisasi yang mewadahi para sarjana ilmu perpustakaan. "ISIPII," ucap Paijo setengah teriak.

"Untuk pengembangan kepustakawanan Indonesia, kami serukan pada para sarjana IPI untuk merdeka ambil S2 di bidang apapun"

Wani ra?

Tapi apa ISIPII berani? Paijo tidak yakin.

Renungan itu menyisakan tantangan.

Selesai

Friday 16 October 2020

Mau melakukan parafrasa? pakai aplikasi ini

https://quillbot.com/

Beralamat di quillbot.com. Terdiri dari 2 jenis: free dan premium.

Untuk fersi free, setiap proses maksimal 400 karakter, serta hanya bisa dengan mode standard dan fluency. 

Untuk versi premium akan aktif pula mode creative, suggestive, dan concision. Tersedia juga pengaturan sinomim.


https://spinbot.com/

Beralamat di spinbot.com. Terdiri dari 2 jenis: free dan no more ads.

Versi free, dalam satu kali proses dibatasi 10.000 karakter, dengan tambahan opsi pengecualian kata yang ditulis kapital.

Sementara untuk versi berbayar dengan penggunaan tidak terbatas di setiap bulannya. Spinbot juga terhubung dengan paraphrasing-tool.com.


Silakan coba juga:
https://typoonline.com/
https://www.ejaan.id/



Saturday 5 September 2020

Heboh panggilan profesor

Jika yang dipanggil itu memang seorang profesor, maka sudah semestinya demikian. Jika yang dipanggil itu bukan profesor, sangat mungkin yang dipanggil itu juga menikmati. Sambil membayangkan jadi profesor beneran.


Bagi yang punya kemungkinan jadi profesor, dan secara karir sangat mungkin mencapai maka itu sebentuk doa. Bagi orang yang bekerja di perguruan tinggi sebagai pengajar, atau di lembaga riset yang memiliki jenjang sampai profesor. Juga bagi anak-anak, yang itu sebentuk doa dan cita-cita. Maka semoga ijabah.


Namun, bagi yang tidak mungkin memperolehnya, tidak memiliki syarat atau lingkungannya tidak memungkinkan, maka itu jadi membentuk angan-angan mustahil. Ngenteni tuwuhing jamur ing mangsa ketiga. Bahkan bisa jadi justru panggilan itu menjerumuskannya pada angan yang mustahil kesampaian. Khawatirnya kita justru ngumbulke pada impian yang tidak mungkin terwujud.


Maka, hati hati menyebut profesor pada seseorang.


Kecuali itu panggilan sayang. Iya, panggilan sayang. Sepertinya yang sedang viral sekarang.

"Bukan begitu, Prof.?"

Nyetir mobil


Tu de poin
. Saya ndak bisa nyetir mobil. Ya. Serius. Pada usia saya yang 30 sekian.

Sebab pertama, memang saya tak punya mobil. Sehingga bukan kebiasaan atau tidak terbiasa. Sebab kedua: saya tidak belajar. Tidak ada keinginan kuat untuk belajar nyetir mobil. Keinginan lemah sih ada.


Misalnya, pernah suatu ketika diajak belajar oleh kakak saya. Kakak ipar saya ini jago nyetir. Di tempatnya bekerja sering jadi jujugan ketika pimpinan hendak ke luar kota. Saya belajar nyetir padanya. Muter muter di lapangan. Hanya itu. Dua kali kalau tidak keliru. Dan tetap belum bisa.


Saat itulah saya tahu rahasia nyetir mobil. Saya baru tahu bahwa perpindahan gigi mobil itu sama atau mirip untuk semua jenis mobil. Ah. Polos banget saya ini. Dulu saya mikir, "kok orang gampang banget nyetir mobil A lalu pindah mobil B?".


Selain itu, ternyata as ban depan lah yang jadi patokan ketika belok. Tentu juga dengan rasa. Perasaan. Termasuk perasaan terhadap moncong mobil bagian depan.


Mestinya menyetir menjadi kebutuhan di jaman sekarang. Tidak harus punya mobil. Dalam keadaan darurat, pakai mobil orang atau pinjaman, juga bisa. Namun, bisa juga tidak. Toh sudah ada layanan mobil online. Ya. Tergantung kebutuhan.


Meski sebenarnya pengen juga bisa nyetor. Eh, nyetir. Namun, Saya masih menikmati ketidakbisaan dalam menyetir.


Salah satunya menjadi alasan untuk tidak begitu aktif dalam organisasi. Organisasi daerah atau nasional. Pengurus setidaknya harus bisa nyetir. Syukur punya mobil.


Kan memalukan, kalau ada tamu, lalu saya jemput pakai motor. Atau ngojek. Jadi, kalau saya ndak mau gabung dalam organisasi daerah atau nasional, salah satunya menjaga muruah organisasi.

Jangan sampai nama baik organisasi rusak, gara-gara pengurusnya ada yang ndak bisa nyetir. ðŸ˜€


___
sambisari, 9/8/20.
17.27

Note: ini tulisan sore, menulis untuk apa saja untuk menjaga dan latihan menulis.

,

Menulis

Malam tadi, tepatnya petang kemarin, ada obrolan di pustakawan blogger. Melalui Zoom, online. Pesertanya tembus 70-an. Pada saat ditutup masih ada 63 bertahan. Bagi saya ini banyak. Sangat banyak.

---

Tema-nya tentang kisah para blogger. Ada beberapa pemantik. Sebagai blogger, saya pun ikut.

Sebagai bahan cerita, saya mengingat lagi awal mula ngeblog. Sulit ternyata. Hanya mengandalkan jejak postingan pertama, bulan Maret 2007. 13 tahun lalu. Tentang alasan saya ngeblog? entah. Saya lupa.

Ada beberapa jenis tulisan saya di blog. Pertama salin tempel. Jujur saya pernah melakukan ini. Tentu dengan menyebut sumber. Biasanya untuk tulisan yang saya anggap menarik. Salin tempel ini terjadi pada awal ngeblog.

Kemudian tentang pekerjaan. Biasanya terkait panduan atau catatan yang saya anggap penting untuk saya, dalam melayani mahasiswa. Dari pada catatan tercecer, maka saya tulis di blog. Supaya mudah ketika membutuhkannya lagi.

Pada periode beberapa tahun terakhir, tulisan lebih banyak diwarnai oleh perenungan. Perenungan ini, sebagian besar saya kemas dengan karakter Paijo dan Karyo.

Perenungan, dan kemudian saya lanjutkan dengan berfikir kritis, saya lakukan dengan mendekati fenomena/trend kepustakawanan dari sisi yang berbeda. Dengan demikian, saya mendapatkan pandangan yang kadang bertolak belakang. Pandangan ini kemudian saya benturkan dengan teori yang dianggap mapan. Ketika saya memperoleh argumen, maka kemudian saya tulis.

Tulisan saya posting. Kadang ada yang baca. Bahkan rame komentarnya. Para doktor ikut nimbrung. Kadang tidak. Tidak mengapa.

Ada juga yang japri saya. Mengatakan sepakat atau sepaham. Namun sungkan mau menuliskan. Ah. Ternyata saya tidak sendiri.

Dari sinilah, kemudian saya memperoleh alasan, betapa rapuhnya beberapa (baca: tidak semua) perkembangan konsep dalam bidang perpustakaan.

Saya tidak menampik, bahwa ada yang tidak sepakat, atau menganggap perenungan saya itu mubadzir. Bahkan mungkin lucu. Saya, pada beberapa hal, dianggap mengulang perenungan para pemikir perpustakaan generasi sebelumnya. Saya sendiri tidak tahu pemikir mana yang sama pikirannya dengan saya. Tidak mengapa. Saya nikmati proses dalam diri saya ini.

*

Tujuan saya menulis tidak agar terkenal. Saya ikut belajar h-indeks, g-indeks, dan beberapa angka lainnya. Meski saya bekerja di perpustakaan yang kultur ilmiahnya kental, bahkan saya menjadi bagian yang mendukungnya, namun agaknya dalam hal angka impact ini saya belum/tidak ketularan. Saya menulis, setidaknya sampai saat ini, tidak agar h-indeks atau kutipan naik atau alasan serupa lainnya.

Saya menulis, ya buat menulis. Menuangkan pikiran, belajar merangkai kalimat, paragraf.

Mungkin karena alasan inilah, saya jarang bisa nembus konferensi atau pertemuan ilmiah kepustakawanan. Bahkan, terakhir saya nulis di jurnal, sudah 4 tahun lalu. Rentang waktunya jauh dengan tulisan sebelumnya.

*

Meski sekarang populer vlog, podcast, dan lainnya, namun menulis tetap punya tempatnya sendiri. Tulisan, bagi saya memiliki derajat yang lebih tinggi.

Tetaplah menulis, kawan!


Jumungah Pon 16 Sura Jimakir AJ 1954

Wednesday 8 July 2020

Dua kekeliruan penerjemahan Indonesian Library Association

Paijo: "Apa beda library dan librarian, Kang?"
Karyo: "Ya jelas beda. Library kui perpustakaan. Librarian itu pustakawan."

Tanggal 7 Juli lalu banyak bertebaran di media sosial poster ucapan selamat hari pustakawan. Desainnya seragam. Hesteknya juga seragam. Sepertinya ada strategi yang sedang dijalankan. Yang beda hanya fotonya. Baik pose, maupun wajahnya. Juga captionnya. Beda.

IPI, diklaim usianya sudah 47 tahun. Tua? belum juga. Tapi ada di usia produktif. Ibarat manusia, ini puber kedua. Sedang on-on-nya. Semangat-semangatnya. Seharusnya. 

Sekarang lihatlah posternya. Itu di atas. Itu hanya potongannya. Tidak saya sertakan versi penuhnya. Saya ndak berani. Ada foto selfinya.

Nah. Jika diperhatikan, ada yang bikin dahi berkerut.

IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA, kemudian di bawahnya tertulis "Indonesian Library Association". Ini membuat saya bertanya-tanya. Pustakawan kok jadi Library. Penerjemahan gaya baru?

Akhirnya seorang kawan menjelaskan. Bahwa di luar negeri juga demikian.  American Library Association (ALA), misalnya.  

Demikian pula International Federation of Library Associations (IFLA), pakai kata library, bukan librarian. 


Keanggotaan
Namun, agaknya kawan saya tadi terlupa. Bahwa IFLA dan ALA itu anggotanya bukan hanya pustakawan. Namun banyak macam. 

ALA misalnya, dalam web http://ala.org/membership/ala-personal-membership , tertulis "ALA membership is open to individuals, organizations, and non-profits, and businesses interested in working together to change the world for the better through libraries and librarians."

IFLA juga. Dalam web https://www.ifla.org/membership/categories tertulis "Our members are associations, institutions, and individuals  in 150 countries throughout the world.  LIS students are also welcome to join"

Jadi cukup wajar, realistis, masuk akal, dan mazook, jika ALA dan IFLA menggunakan Library, bukan librarian.

Bagiamana dengan IPI?

Mari kita masuk ke websitenya: ipi.web.id.  Kita cek siapa saja anggotanya. Di web IPI Informasinya lengkap. Bahkan pada tab Keanggotaan, saya tidak menemukan informasi keanggotaan. Masih kosong. Tautannya masih pakai tanda #. Benar-benar lengkap. 

Karyo: "Lengkap kok tidak menemukan. Maksudmu piye, Jo?"
Paijo: "menengo wae sik, Kang!".

Beruntung, di bagian bawah, saya temukan tautan ke form pendaftaran. Tautan itu mengarahkan saya ke  form Google. Nah. Saya lihat dan dari informasi di dalamnya. Isi formnya cukup bisa untuk menerka siapa anggota IPI.

Ada permintaan foto 3x4, identitas KTP, tempat tanggal lahir, status perkawinan, jenis kelamin dan lainnya. Semuanya wajib diisi. Isian ini jelas menunjukkan manusia. Bukan organisasi, bukan perpustakaan.

Mosok perpustakaan punya status perkawinan atau jenis kelamin?

Bahkan, jenis keanggotaan pada form ini juga jelas jelas menunjukkan kalau anggotanya itu manusia. Bisa jenis keanggotaan Pustakawan Profesional, Tenaga Ahli Perpustakaan, Tenaga Teknis Perpustakaan, Pegiat Perpustakaan/Literasi/Pemerhati Kepustakawanan.

Hal di atas dikuatkan pula dengan Anggaran Dasar pasal 16, yang menyebutkan anggota IPI terdiri dari anggota biasa dan anggota kehormatan. Dan keduanya merupakan manusia, bukan perpustakaan, bukan institusi.

Paijo: "Kang. Saking lengkapnya, sampai tautan susunan pengurus juga..... ndak fungsi. xixi"
Karyo: "Hus. 

Nah, fakta di atas menunjukan secara kasat mata. Ceta wela-wela. Bahwa anggota IPI itu pustakawan saja. Manusia. Beda dengan IFLA atau ALA. Jadi ndak ada alasan pembenaran memilih Library dari pada Librarian sebagai nama versi bahasa Inggrisnya.


Bahasa asli
Kawan saya tadi juga lupa, bahwa kepanjangan IFLA dan ALA itu menggunakan bahasa ibu-nya. Bahasanya di sana. Atau bahasa Internasional. Jadi ndak ada urusan penerjemahan ke bahasa lain. 


****

Paijo: "apa tidak malu dengan negara tetangga ya Kang?
Karyo: "mana itu, Jo?"
Paijo: "Malaysia, Kang!"

Di LinkedIn ini, https://www.linkedin.com/company/ppm55/, tertulis "The formerly known as Malayan Library Group, the Persatuan Pustakawan Malaysia (PPM) or Librarians Association of Malaysia". Mereka gunakan Librarians, bukan Library atau Libraries.

Di webnya: ppm55.org juga demikian. Sayangnya web ini sulit diakses. Namun google merekamnya. Lihat saja gambar di samping. Usianya ternyata lebih tua, dan tertulis Librarians Association of Malaysia. 


***

Penerjemahan Ikatan Pustakawan Indonesia menjadi Indonesian Library Association merupakah kesalahan fatal. 

Karyo: "Hmm, kok aku jadi khawatir ya, Jo"
Paijo: "Khawatir bagaimana, kang?"
Karyo: "Kalau sampai ditertawakan profesi lain, piye?"


Paijo tertawa ngakak. Untung tidak sambil guling-guling. 

Karyo: "Kenapa tertawa, Jo?"

Paijo ngeloyor pergi. Sambil teriak menjawab pertanyaan Karyo, "jangankan orang lain, Kang. Aku saja tertawa. hahahahahah".


Sambisari, 
Rêbo Kliwon 17 Dulkangidah Wawu AJ 1953

######



Catatan: penelusuran di web https://portal.ipi.web.id/ dilakukan 8 dan 9 Juli 2020 pagi. Tautan tab keanggotaan tidak berfungsi. Tautan ke Unduh Susunan Pengurus PP IPI 2018-2022 juga tidak berfungsi.

Monday 8 June 2020

Install manual plug-in ms Word di Mendeley

Pernah mengalami kehilangan mendeley plug-in di tampilan Ms. Word?

Jika pernah, coba anda install manual. Caranya seperti di bawah ini:

Buka Ms. Word, klik FILE. Maka akan muncul tampilan di bawah ini. Pilih Option.


Setelah klik Option, akan muncul tampilan seperti di bawah ini. Klik Add-ins, kemudian pada kolom Manage, pilih Word Add-Ins, lalu klik GO.


Nah, kemudian akan muncul tampilan di bawah ini.


Jika posisi add-ins Mendeley posisinya tidak tercontreng, maka silakan contreng. Kemudian klik OK.

Jika tidak tertampil add-ins Mendeley, maka yang harus dilakukan adalah menambahkannya. Caranya:

  1. klik ADD, lalu cari file Mendeley.xxx.dotm yang letaknya (secara default) ada di folder hasil install Mendeley. Cari sendiri yak. :)
  2. File .dotm yang ada di folder hasil install Mendeley tadi, silakan copi dulu lalu paste di C:/user/nama/AppData/Roaming/Microsoft/Word/Startup/. Setelah itu baru di lakukan proses ADD
Semoga bermanfaat










Monday 23 March 2020

Form to Email: add on untuk google form

"Form to Email" sends the respondent's answers directly to the forms owner, to help him answer fastest after clicking "reply".

Dengan add on ini, kita bisa menerima pemberitahuan jika ada pengisi/responden baru. Kemudian membalasnya langsung melalui email.



Form ini ada di https://gsuite.google.com/marketplace/app/form_to_email/168498712758?pann=cwsdp&hl=en


Saturday 14 March 2020

,

Style: numbering ACM SIG Prosiding

Style ini unik. Namanya ACM SIG Publishing.

Referensi disusun urut angka, namun susunannya berdasar abjad. Hal ini mengakibatkan sumber kutipan dalam teks jadi tidak urut.

Sumber kutipan pertama tidak pasti ditandai dengan angka [1], melainkan sesuai angka yang tersusun urut abjad daftar pustaka.

Atau daftar referensi pertama di daftar pustaka belum tentu itu yang dikutip pertama kali.

Ini contohnya:

Saturday 22 February 2020

, ,

Profil publikasi civitas UGM terbit 2019 terindeks Scopus

Langsung ke pembahasan saja, yak.

Dokumen civitas UGM terbit tahun 2019, dapat dilihat pada grafik dan visualisasi di bawah ini. Namun, perlu dijadikan catatan, untuk grafik diambilkan dari data di Scopus pada 18 Februari 2020. Sementara untuk visualisasi, tidak jauh rentang waktunya, diambil pada 21 Februari 2020. 

Jadi, dalam kurun waktu tahun 2020, masih dimungkinkan dokumen terbitan 2019 civitas UGM yang terindeks Scopus bertambah.     


Terdapat 2190 dokumen yang terindeks Scopus. Dari angkat tersebut, penulis terbanyak yaitu Rohman, A., disusul oleh Nugroho, HA., serta beberapa nama lain pada peringkat 5 teratas. 

UGM tentu menjadi institusi terbanyak yang menyumbang artikel. Setelah UGM terdapat UNS  dan ITB yang menjadi partner para penulis UGM. 

Scopus merekam, bahwa bidang Environmental Science menduduku peringkat paling tinggi dengan 507 dokumen. Berdasar type dokumen, artikel melampaui jenis konferensi. Hal ini dikuatkan dari data berdasar wadah publikasi yang menunjukkan dokumen yang terbit di jurnal lebih banyak dari pada prosiding.

Namun demikian, jenis open access lebih tinggi jumlah dokumennya (1.393 dokumen, atau 61%) dibanding yang lain. Sisi positif dari data ini, berarti sebagian besar dokumen yang diterbitkan oleh civitas UGM dapat diakses masyarakat secara bebas. 

Pada negara jejaring, Jepang menjadi negara paling banyak berjejaring dan menghasilkan publikasi bersama UGM. Menariknya, ada Australia dan Belanda pada 5 teratas. Artinya civitas UGM tidak hanya berjejaring dengan negara di Asia saja.

Lebih jelas tentang jejaring antar negara bisa dilihat di visualisasi.


Grafik di atas menunjukkan jenis publikasi dan jumlah dikutip. Menarik. Karena meskipun jumlah selain open access hanya 837 (30% dari total publikasi 2019), namun justru jumlah dikutipnya mencatatkan angka 451 dokumen atau 60% dari total dikutip (750). Melebihi dokumen openaccess yang meski berjumlah 1.353, namun baru dikutip 299 dokumen.

******

Author keyword minimal 5
Visualisasi di atas menunjukkan jejaring kata kunci yang ditentukan oleh penulis, dengan ketentuan  kata kunci muncul minimal 5 kali pada kumpulan data set publikasi 2019.

Kajian tentang Indonesia paling banyak muncul. Topik tersebut berkaitan dengan berbagai topik lain, yang bisa dilihat pada gambar.  Misalnya dengan remote sensing, climate change, tuberculosis, cancer, malaria, dan lainnya.

Tampaknya, bidang kesehatan mendominasi dalam hal ini.



Jejaring negara penulis, minimal 5 kali muncul
 Pada grafik terlihat bahwa Indonesia merupakan negara paling banyak menyumbang penulis. Tentu saja, karena civitas UGM berasal dari Indonesia. Namun, visualisasi di atas memperlihatkan lebih jelas tentang jejaring antar negara asal penulis tersebut.

Ada beberapa klaster. Nama negara yang memiliki warna yang sama, menunjukkan bahwa negara tersebut kerap berkolaborasi dalam penulisan. Warna-warna tersebut dihubungkan oleh Indonesia, sebagai negara asal penulis UGM.

Dari visualisasi di atas, kita bisa mengetahui kecenderungan negara jejaring (selain Indonesia) ketika kolaborasi menulis dengan penulis UGM. Misalnya Thailand, Vietnam, Singapura, itu cenderung bersama. Kalau Australia berkolaborasi dengan UGM, maka jejaring negara lainnya adalah UK, German, Spanyol. Dan seterusnya.

Tentu, sebaran ini bisa menjadi bahan kebijakan jejaring kepenulisan pada masa yang akan datang.

Nama penulis, minimal punya 5 dokumen, dan saling berjejaring.

Jejaring antar penulis di atas memperlihatkan klaster/kelompok penulis yang saling berjejaring. Fokusnya ada pada nama-nama yang menjadi pusat pada setiap klaster. Ditunjukkan oleh besarnya lingkaran.

Dari visualisasi di atas, selain kelompok penulis, kita bisa melihat jejaring antar fakultas/program studi.

Sayangnya, saya tidak mengenal semua nama dosen di UGM. Sehingga belum bisa membaca visualisasi di atas lebih dalam. Namun, mudahnya begini: jika ada dua nama dari fakultas yang berbeda tapi saling terhubung, maka mereka berkolaborasi.

Maaf, analisia belum mendalam.

(Selesai)

Thursday 20 February 2020

Bookless Library: beberapa point kelemahan konsepnya

https://pixabay.com/id/photos/sastra-buku-halaman-bersih-3033196/
Sebenarnya Paijo menyatakan bahwa pembahasan bookless (library) telah selesai. Kesimpulannya jelas. Jelas tidak jelas. Banyak kelemahan.

Namun ternyata muncul lagi. Di sebuah grup WA.

Ada yang membawa penjelasan - yang dianggap -  baru tentang bookless library.

Bookless library itu ada bangunannya. Tetap ada kegiatan layaknya di perpuatakaan. Tidak ada buku cetak. Tapi ada koleksi yang bisa dipinjam menggunakan e-reader. Sehingga pemustaka haruslah datang ke tempat ini. Ke tempat yang diklaim sebagai bookless library.

Ada beberapa kelemahan dari konsep ini. Tanpa panjang lebar, saya tulis 1 bagi 1.

1. Bookless – tanpa buku. Setidaknya arti ini saya ambil dari google translate, dan Merriam Webster Dictionary. Namun jika bookless itu digabung dengan bookless library menjadi “bookless library” di Wiki tertulisnya “do not nave any printed book”. Yang tidak ada itu buku tercetak. Demikian juga penjelasan di tempat lain. Klop seperti klaim di grup WA tadi. 

Ini berarti tetap ada bukunya, namun dalam bentuk yang berbeda dari buku konvensional (cetak kertas).
Dengan kenyataan ini, maka kata bookless itu sebenarnya mengecoh. Artinya tidak sesuai dengan arti asalnya. Jelas ini bias, bahkan cenderung menyesatkan. Mengarahkan pembaca (maksudnya yang membaca istilah bookless library) pada cara pandang tertentu, yang tidak sesuai kenyataannya. Padahal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dalam dunia ilmiah, menyesatkan itu tidak boleh.

2. Ereader, alat untuk membaca buku di bookless library. Alat ini hanya bisa digunakan dengan datang ke perpustakaan. Hal ini sangat menggelikan. E-reader ini, dengan penjelasan seperti itu, pada dasarnya adalah sama dengan koleksi buku cetak di Perpustakaan.

Coba bayangan buku cetak kertas, yang hanya bisa dibaca kalau memiliki, atau meminjam ke perpustakaan. Jumlahnya terbatas. Sama dengan ereader, kan? Yang jumlahnya terbatas, dan harus datang ke perpustakaan. Substansinya sama. Hanya beda di kertas dan di layar saja.

"O, tidak begitu," mungkin ada yang menyangkal. "Ereader bisa dipasang di gadget pemustaka", begitu alasannya?

Kalau alasan itu dipakai, maka benar, WC itu juga bookless library. Pos ronda apalagi. Bahkan saat ini, kita semua sedang ada di bookless library.

3. Inkonsistensi. Hal ini muncul karena mengharuskan pemustaka datang ke perpustakaan. Padahal perkembangan perpustakaan yang ada sekarang ini mengarah pada perpustakaan yang bisa diakses di mana-mana. Jelas ini kemunduran.

Bookless library tidak layak disebut pengembangan. Lebih tepatnya pemunduran.

4. Bookless library itu konsep penuh teknologi. Ini konsep elitis. TITIK.

Bookless library itu selemah-lemahnya konsep perpustakaan. Bookless library itu jelas tidak jelas, sampai terbukti jelas.

Saturday 18 January 2020

,

Membandingkan Kopernio dan Lean Library + Unpaywall

Sebelum membandingkan, Saya lakukan install add on Kopernio dan Lean Lib di chrome.
Proses pencarian institusi di Kopernio
Proses di atas menunjukkan salah satu langkah setelah kopernio terpasang di Chrome. Setelah membuat akun, Kopernio menawarkan pemilihan institusi.

Agaknya Kopernio telah memiliki data subscriptions berbagai universitas. Mungkin ini terkait dengan keterangan di laman https://kopernio.com/compare/kopernio-vs-lean-library yang menyebut "No, works with most libraries by default. Libraries can amend as necessary at any time.", terkait dengan library setup. Berbeda dengan Lean Lib yang memerlukan library setup.

Permintaan koneksi ke Library Subscriptions
Lanjutan proses koneksi ke library subscriptions. Ada proses login SSO di sini.

Seting Kopernio
Kopernio memiliki locker free 100 MB. Juga dapat disetel citation yang digunakan, termasuk software manajemen sitasi yang digunakan.

Sementara itu, setelah memasang add on Lean Library, saya hanya diminta mencari library sesuai insitusi.

Pemilihan institusi di Lean Lib
Pada pemasangan unpaywall, tidak ada hal yang istimewa.

Setelah selesai, hasilnya akan muncil icon 3 add on tersebut di kanan atas browser.


****

respon 3 add on (+ unpaywall)
Gambar di atas menunjukkan respon 3 add on. Karena artikel yang dibuka memang masih bebas diunduh (lihat logo PDF, di sampingnya ada kata "download PDF" yang menandakan artikel bisa diunduh langsung), maka respon ketiganya memberi keterangan unduh. Atau pada unpaywall berwarna hijau.

Selanjutnya kita lihat gambar di bawah ini.

respon 3 add on

Ini mulai berbeda. Keterangan di Sciencedirect menunjukkan kata "Get Access", artinya artikel ini tidak bisa diunduh langsung, meskipun sudah dilanggan UGM. Namun Kopernio, Lean, dan unpaywall kompak menunjukkan sinyal positif.

Lean Lib memberi tahu "... this article available for you...". Demikian pula Kopernio, serta Unpaywall mendeteksi adanya versi Open Access dan memberi sinyal warna hijau.

Perbedaan akan terjadi ketika 3 add on tersebut di klik.

Kopernio akan menampilkan Kopernio Locker, yang kita langsung disodori artikelnya full text. Lean Library akan mengarahkan ke Summon. Sementara Unpaywall mengarahkan ke alamat URL utama asal artikel tersebut.

Sebagai catatan, Lean Lib yang mengarah ke Summon dimungkinkan kadang bermasalah. Hal ini disebabkan karena adanya tautan yang keliru di Summon ke url sumber.

Silakan lihat gambar di bawah.

Hasil dari Lean lib

Hasil dari Unpaywall ke Pubmed
Hasil dari Kopernio
Hasil dari Kopernio bisa disimpan dulu di locker, diunduh, dan tersedia fitur eksport referensi dalam bentuk .ris

*****

Bagaimana jika artikel itu berbayar, dilanggan institusi, namun tidak ada versi open accessnya?

Semua positif, kecuali unpaywall

Bagaimana jika UGM tidak melanggannya?

Jika tidak dilanggan UGM

Jika artikel tidak dilanggan, sehingga saya ndak ada akses, maka 3 add on akan menunjukkan sinyal negatif. Termasuk ketika tidak ditemukan versi OA dari artikel tersebut.


***
Ada yang menarik di Lean Lib, ketika akses dilakukan di dalam jaringan kampus. Agaknya Lean telah mendeteksi IP, sehingga muncul komentar seperti pada gambar.
tampilan Lean Lib ketika akses dari dalam kampus


***

Informasi jumlah dikutip di database WoS

Gambar di atas menunjukkan fitur di Kopernio, yang terintegrasi dengan WoS sehingga bisa memberi informasi artikel yang sedang aktif itu telah dikutip berapa kali di database WoS.

Gambar di atas, jika posisi belum login ke Kopernio, maka pencarian akan dilakukan ke database Google Scholar.

****

Kesimpulan

Pencarian menggunakan 3 add on ini dilakukan menggunakan browser, bisa langsung mencari menggubakan Google, atau langsung ke url jurnal berada. Pencarian tidak harus dilakukan menggunakan Summon atau mesin discovery sejenis lainnya. Tentu ini hal menarik, karena bisa mengakomodir kebiasaan pencarian mahasiswa.

Kopernio, merupakan bagian dari WoS. Sementara Lean Lib bagian dari Sage. Ini tentang dagang.

Dari sisi fitur tidak jauh berbeda. Ada perbedaan satu dua itu wajar.

Meskipun demikian, patut di catat bahwa  Kopernio bisa digunakan langsung, dan kita menerima fitur apa adanya. Sementara Lean Lib tidak. Lean harus ada setting dahulu berdasar permintaan. Seting di Lean ini memungkinkan adanya custom atau permintaan fitur. Ini sebuah kelebihan.

Bagaimana dengan Unpaywall?
Menyertakan pemasangan Unpaywall menjadi tambahan jangkauan data. Jika ternyata Lean dan Kopernio tidak mampu mencari versi OA, siapa tahu Unpaywall bisa menemukan.


Sambisari
18 Januari 2020
Pulang ronda, 01.23 pagi

Friday 17 January 2020

Fitur retracted notifications di Zotero

Ini fitur baru di Zotero. Setidaknya, baru beberapa bulan lalu saya tahu. Hehe.

Intinya begini. Jika  artikel yang kita simpan menggunakan Zotero itu ada yang ditarik oleh jurnalnya, maka Zotero akan memberi tanda.

Kerennya, ketika mau dikutip dalam teks, Zotero akan memberi peringatan. 

Nah, dengan demikian, kita bisa terselamatkan dari referensi yang tidak tepat.


Informasi artikel retracted pada tampilan Zotero

peringatan yang muncul ketika mengutip.



,

Menggugat bookless library


Karyo: Apa kui maksudnya, Jo?
****

Sumber: https://pixabay.com
Bookless library. Library yang ndak ada bukunya. "Ah, ndak juga. Ada , kok. Tapi bukan cetak," katanya.

Setidaknya itu dikatakan om Wiki. "Bookless libraries are public, academic and school libraries that do not have any printed books," begitu lengkapnya.

Di sumber lain tertulis, "just rows of computers and plenty of seating offering access to the Philadelphia university's 170 million electronic items." Atau juga pernyataan ini, "Our on-campus library is entirely digital,".

Nah, dari sinilah Paijo mikir. Misalnya sebuah institusi, memiliki perpustakaan. Tidak ada buku cetak, hanya ada koleksi digital. Lalu, ruang perpustakaan di lembaga itu di sebut bookless library?

Mosok sesederhana itu?

Bagaimana dengan ruang lain di lembaga tersebut? Halaman, misalnya. Atau dapur, dan WCnya? Bukankah ruang itu juga bagian dari institusi. Dan, yang membeli ebook atau membiayai pengadaan ebook atau pembuatannya bukan si perpustakaan, tapi institusilah yang punya uang.

****

"Oo, jelas tidak. Ruang lain tidak bisa disebut bookless library. Kenapa? karena ndak ada pustakawan  dan kegiatan belajar di sana. Yang ada pustakawannya ya di dalam ruang yang didedikasikan sebagai perpustakaan. Ruang itulah yang disebut bookless library". Mungkin demikian alasannya.

Loh. Kan pustakawan juga bisa jalan-jalan. Ke halaman, ke kantin yang ada dalam institusi itu. Di tempat itu, pustakawan juga bisa jadi pustakawan. Iya, kan? Belajar bisa di mana saja.

Nah, jika demikian, maka sesungguhnya semua tempat di Indonesia ini adalah bookless library. Kenapa? kan Perpustakaan Nasional dan Dikti melalui uang rakyat melanggan koleksi digital yang bisa diakses dari mana saja.

****

Paijo: "Sebentar kang. Tak tinggal dilit, mau ke bookless library. 

Tampak Paijo buru-buru meninggalkan Karyo sambi membawa gawai berlayar lebar dan sesekali memegang perutnya. Tidak menuju ruang yang umum disebut bookless library, melainkan ke WC. Karyo heran.

Karyo: "Loh, katanya ke bookless library. Kok malah ke WC, Jo?"
Paijo: "Loh, WC ini kan bagian dari Indonesia yang sudah melanggan ebook. Jadi WC ini juga bookless library. Bisa sambil makerspace-an di dalamnya.
Karyo: "Loh, di WC kan ndak ada pustakawannya, Jo"
Paijo: "Ada. Gampang. Nanti WA-nan pakai HP".
Karyo: &*&^^$%^^$^^$
---------------------

Posting pertama di 2020
Sambisari,
Jemuah Pahing 21 Jumadilawal Wawu 1953
05.50 pagi