Tuesday 13 February 2018

, ,

Rekreasi yang sesungguhnya (3, habis)

Tulisan sebelumnya: http://www.purwo.co/2018/02/agar-tidak-menyesal-ketika-mati-dan.html

Tubing (di) sungai. Aliran air sebagai aliran kehidupan, gelombang air adalah gelombang kehidupan, aliran menurun adalah kehidupan menurun. Ban tempat hidup yang untuk dikendalikan. Tebing kanan kiri dan bebatuan di bawah adalah ancaman. Jadi disaat kita naik butuh keseimbangan untuk mengendalikan dengan situasi dan kondisi aliran air/aliran kehidupan yang deras dan bergelombang juga kadang menurun. Kanan-kiri-bawah mengancam yang bisa membuat kita jatuh, dan disaat kita terjatuh itu bisa kembali naik ke atas atau pupus. Maksudnya dalam kehidupan disaat kita bisa kembali bangkit, naik iman takwa kita, atau kita berhenti menjadi orang yang tidak (ber)takwa lagi. (Kang Sabar, dalam memaknai wisata tubing)


Purwo.co -- Minggu tanggal 11 Februari, hari terakhir dari rentetan kegiatan 3 hari kami. Pagi itu, setelah pengajian Subuh, kami sarapan kemudian bersiap menuju arena tubing yang jaraknya sekitar 3 kilo dari tempat menginap.

Kami berjalan kaki, beriringan sambil ngobrol ngalor ngidul. Ini waktu yang saya harapkan, agar bisa menelisik lebih dalam tentang keindahan lokasi yang kami kunjungi.

Benar dugaan saya, daerah ini sangat indah. Penduduknya yang ramah, turut menambah keindahan. Klakson motor dan senyum warga yang berpapasan dengan kami menjadi buktinya. Perjalanan naik turun bukit yang cukup jauh itu menjadi tidak begitu melelahkan.

Jalan yang kami lalui hanya muat untuk satu kendaraan roda 4. Jika ada yang berpapasan, maka salah satu harus mengalah untuk berhenti dan agak minggir. Tikungan tajam juga kerap kami temui, yang memaksa kendaraan harus ekstra hati-hati. Apalagi yang belum pernah berkunjung, kemungkinan terpesona pada alamnya, bisa berpotensi membuyarkan konsentrasi dan berakibat buruk saat berkendara.

Jalan yang hanya muat satu mobil roda 4 itu semakin menyempit, yang akhirnya benar-benar hanya muat 1 mobil saja, tidak bisa berpapasan, meskipun dengan motor. Bahkan, jika ada mobil lewat, maka pejalan kaki harus berhenti dan minggir ke selokan agar mobil bisa bergerak. Di ujung  jalan, kami temukan sebuah gerbang lokasi tubing. Tidak bisa tidak, kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju lokasi start tubing.

###

Kami menyusuri jalan setapak di atas sebuah sungai. Jalan tersebut sudah dikeraskan pada beberapa bagian menggunakan semen. Tampak usaha agar pengunjung tubing bisa merasa nyaman berjalan ke lokasi. Jalan tersebut terletak di atas sungai, di antara dua bukit yang menjulang tinggi, hijau dengan tanaman sayur yang siap panen.

Sejauh mata memandang, selain tegalan sayuran, juga tampak orang-orang yang merambat naik-turun tegalan yang kemiringannya sekitar 80 derajat itu, untuk membersihkan rumput, memberi pupuk, mengobati, atau memanen sayuran.

Setelah beberapa waktu perjalanan, kami sampai di lokasi start. Setelah briefing tentang aspek keamanan selama tubing, kami antri memakai peralatan pengaman kemudian membawa ban yang sudah diisi angin ke titik start. Bagi yang belum dapat antrian, bisa mengisi waktu dengan berlatih memanah.

###

Kami rela antri untuk merasakan sensasi memanah di ruang terbuka. Terkadang, kami harus menunggu karena di sisi kiri sasarann ada warga yang melintas, pulang dari atau ke tegalan. Ada satu titik sasaran panah, serta dua busur yang tersedia. Jarak sasaran kurang lebih 10 meter. Teriakan girang memecah suasana, ketika salah satu diantara kami mampu membidik sasaran dengan tepat, meski tidak benar-benar menancap di tengah. Setelah semua anak panah habis, maka salah satu dari kami akan mengambil. Sementara yang memegang busur harus sabar menunggu sampai anak panah ditemukan atau dicabut dari titik sasaran.

###

Jalur tubing ditempuh pada jarak yang lumayan jauh. Batu yang ada di sepanjang sungai tampaknya benar-benar masih alami. Satu per satu kami naik di atas ban, kemudian membiarkan arus sungai bebas menyeret kami ke hilir. Benturan dengan batu, atau ketika ketemu teman yang macet, kami pun bisa berbenturan. Bukan hanya benturan, namun ada juga yang terjatuh karena tidak seimbang ketika melewati turunan. Yang tidak sigap, bisa terpisah dari ban, kemudian jatuh ke air. Tak pelak, minum air sungai sangat mungkin terjadi pada kondisi demikian. Gelak tawa pecah di antara kami.

Setelah melewati perjalanan menggunakan ban dalam tersebut, kami sampai di akhir. Tulisan yang seharusnya finish itu tertulis berbeda, agaknya disengaja, "VINISH". Tepat di sebelah batu besar yang gagah berdiri. Di lokasi finish ini ada bagian sungai yang cukup lebar dan dalam. Kami lampiaskan kegembiraan di titik ini, sambil menunggu peserta lain yang belum selesai.

Setelah semua mencapai finish, kami kembali ke titik kumpul tubing.

Di samping lokasi tubing itu terdapat air terjun. Airnya yang bening, seolah melambaikan tangan, agar kami mendekat dan merasakan kesegaran di balik dinginnya. Beberapa yang telah selesai tubing, mencoba mendekat ke air terjun ini, sembari membersihkan badan.

Yang lainnya menikmati telo goreng, dan nasi montok. Nasi montok merupakan nasi khas, yang dikukus dengan bungkus daun pisang. Lauknya semacam botok. Teh panas yang telah dituang menjadi pelengkap, yang jika tidak segera diminum akan cepat dingin dihimpit suhu pegunungan.

###

Kami pun kembali ke penginapan. Sebelum Dzuhur dan makan siang, ada sajian 15 butir duren yang siap disantap. Kami beramai-ramai menikmati duren tersebut, istiharat, kemudian sholat Dzuhur serta makan siang. Menu makan siang terakhir itu berupa soto ayam kampung, lengkap dengan kerupuk dan tempe goreng.

Kami segera berkemas. Selain berkemas, kami juga ikut membersihkan rumah yang kami tempati, sebagai bentuk terimakasih pada si empunya rumah. Ada kejadian menarik pada saat ini. Embah yang punya rumah benar-benar melarang kami membantu membersihkan rumah, hingga kadang ada adegan lucu di antara kami yang harus menghindar karena sapu atau pel yang kami pegang hendak direbut simbah. Ucapan terimakasih kami sampaikan pada Embah Kakung dan Putri pemilik rumah.

Setelah berkemas, kami berkumpul di masjid, mendengarkan pesan terakhir, kemudiah sholar Ashar lalu pulang.


###


Epilog
“Model seperti ini kayae malah menyenangkan. Selain dapat ilmu, juga dapat gembira. Plus bisa melihat pemandangan sebagai bentuk rekreasi”, demikian inti komentar beberapa kawan. Ya, tentunya dengan biaya yang murah pula. Dengan tanpa beban, tidak dikejar-kejar waktu, kita diajak untuk jujur pada diri sendiri untuk melihat sisi lain dari proses hidup yang kita jalani.

Saya tidak ingin menggiring atau merampatkan, bahwa semuanya sepakat dengan pandangan di atas. Namun, bagi saya pribadi, ini merupakan pengalaman berharga. Ada banyak hal menarik, positif yang diperoleh selama kegiatan. Pembiasaan hidup tertib, melalui kebiasaan sholat jamaah, sholat tahajud, ikut pengajian, berkunjung kepada warga, yang dibentuk selama 3 hari, harapannya dapat diteruskan ketika (khususnya) menjalankan pekerjaan di institusi.

Hidup perlu perjuangan, seperti halnya ketika bergembira tubing. Bisa jatuh, bisa naik lagi. Bisa terluka dan lainnya. Tubing itu menurun, waktu yang sudah kita lalui, tak bisa diulang lagi. Seperti yang dimaknai Kang Sabar, kawan saya, sebagaimana tertulis di awal tulisan ini.

Tamat

, ,

Agar tidak menyesal ketika mati, dan minta dihidupkan lagi (2)

Tulisan terkait sebelumnyahttp://www.purwo.co/2018/02/akhirnya-sop-daging-itu-meruntuhkan.html

Purwo.co -- Sore itu, setelah sholat Ashar kami berkumpul, duduk melingkar di dalam masjid. Ketua Takmir masjid, yang tadi menjadi imam masjid memberikan sambutan. Kami dikenalkan pada beberapa orang yang akan membersamai kami selama kegiatan. Kami juga menyepakati usulan kegiatan yang akan kami lakukan.

Selepas magrib di Jumat sore, kami akan dibagi beberapa kelompok untuk berkunjung ke rumah warga sekitar. Selain silaturahmi, kami juga diminta mengajak mereka datang ke masjid untuk sholat Isya’ dan mendengarkan pengajian. Kemudian untuk hari Sabtu, akan dilanjutkan beberapa kajian setelah sholat wajib. Beberapa dari kami dijadwal untuk memberi tausiah atau membaca hadits. Kemudian pada sabtu sore akan dibagi lagi dalam beberapa kelompok, berpencar ke masjid-masjid sekitar sampai setelah Isya. Setiap hari kegiatan selesai pukul 9 malam, kemudian istirahat. Bangun pukul 3 pagi untuk sholat tahajud, dilanjutkan Subuh berjamaah. Pada hari Minggu setelah kajian pagi, kami akan bersenang-senang di sebuah arena tubing (naik ban dalam), yang jaraknya beberapa kilo dari rumah yang kami tempati.

Demikian gambaran kegiatan selama beberapa hari ke depan.

###

Pada kunjungan ke rumah warga di Jumat sore, kami berempat memperoleh titik tujuan yang paling jauh. Berjalan menyusuri jalan menanjak, dan tanpa penerangan untuk mencapai lokasi. Ditemani 2 panitia: satu orang asli sebagai penunjuk arah, satunya pendamping yang akan membersamai selama ngobrol dengan penduduk.

Sebenarnya saya agak ragu. Tidak biasanya saya berkunjung ke rumah orang pada waktu antara Magrib dan Isya’. Biasanya waktu tersebut digunakan untuk istirahat, bercengkerama dengan keluarga. Namun, beda tempat beda kebiasaan. Di tempat ini, justru pada waktu tersebut lazim dilakukan, karena sebelum Magrib mereka harus bersih-bersih diri sepulang dari tegalan. Sementara setelah Isya’ mereka bersiap istirahat, atau menghadiri hajatan kampung.

Kunjugan pertama ke rumah Pak Sur, kemudian Pak Eko, dan terakhir Pak Rian. Ketiga nama ini, bukan nama sebenarnya, melainkan nama dari anak pertama mereka. Pak Sur memiliki anak pertama yang bernama Sur, maka beliau dipanggil Pak Sur. Demikian pula dengan Pak Eko dan Pak Rian. Mereka bertiga menyambut kami dengan suka cita. Pak Eko, yang kabarnya baru sembuh dari sakit, tampak senang ketika kami berkunjung.

“Pripun, Pak? Sampun dangan?”, demikian kami membuka pembicaraan, yang akhirnya mengantarkan pada berbagai topik.

Kunjungan kami berikutnya dilakukan pada hari Sabtu sore. Karena dijadwalkan berkunjung ke dusun sebelah, maka kami, menggunakan dua mobil berangkat pada Sabtu sore, sebelum Magrib. Tujuan kami sebuah masjid yang merupakan bagian dari sebuah pondok pesantren, yang dilengkapi kompleks madrasah aliyah. Sesampainya di masjid, kami berempat meninggalkan masjid, mewakili rombongan bekunjung ke rumah pengasuh pondok.

###

Rumah itu tampak megah. Bagian depan terpasang plakat identitas sebuah yayasan pendidikan berwarna hijau. Kami mengetok pintu, tak lama kemudian si empunya rumah membukakan pintu. Seorang laki-laki, usianya di atas 40 tahun, mengenakan kopiah, berbaju koko dan mengenakan sarung. Jenggot tipis menghiasi wajahnya yang teduh dan penuh senyuman. "Pak Kyai", demikian teman saya menyebutnya. Dengan penuh hormat, kami masuk dan duduk lesehan di ruang tamu yang tampak luas, bersih dan tertata. Beberapa komputer rapi terpasang pada tempatnya. Agaknya ruang tamu itu juga difungsikan sebaca ruang kerja atau kantor kecil.

Setelah basa-basi, kami pun terlibat pembicaraan, ditemani oleh buah duku, teh manis dan roti yang sudah dipotong-potong. Ketika minuman dihidangkan, teman di samping saya begitu sigapnya membantu Pak Kyai menata minuman, khas seorang santri yang begitu menghormati kyainya.

Fiqh rumah tangga menjadi topik pembicaraan sore itu. Topik ini dilatar belakangi oleh salah satu dari kami, yang bekerja di pembinaan pegawai daerah yang sering menghadapi permasalahan rumah tangga pegawai yang masuk ke meja kerjanya. Pak Kyai menjelaskan beberapa hal secara singkat, sekaligus nasihat pada kawan saya tersebut. "Mendamaikan dan membimbing mencari jalan keluar dari masalah rumah tangga, itu profesi terpuji", demikian kurang lebih salah satu komentar Pak Kyai. Sore itu, saya merasakan atmorfir ngaji dadakan dengan cara sowan pada kyai. Pembicaraan yang menarik itu, harus dihentikan oleh suara Adzan magrib. Kami bergegas ke masjid. Berkunjung dan ngaji langsung ke seorang Kyai, nyatanya akan menemukan berbagai hikmah dan ilmu.

###

Shof laki-laki dan perempuan telah terisi. Iqomah pun dikumandangkan. Pak Kyai yang tadi kami temui, sudah ada di antara kami, untuk menjadi imam sholat magrib. Suaranya yang merdu, mengalun mengiringi sholat kami di sore itu.

Selepas Magrib, kami dibagi 3. Dua orang di masjid untuk pengajian, sementara dua kelompok lain melakukan kunjungan ke rumah penduduk sekitar. Saya ikut kelompok yang berkunjung ke penduduk.

Pak Parman, seorang guru SD yang 3 tahun lagi pensiun menyambut kami. Senyumnya yang ramah selalu mengembang selama obrolan di sore itu. Kumis tipis, dan kulitnya yang hampir keriput menambah keramahannya. Di dinding tampak lukisan Bima/Werkudoro yang sedang berperang melawan seekor ular. Lukisan itu lukisan Pak Parman sendiri. “Bakat yang tak tersalurkan, Mas”, demikian ungkapnya. Sebagai seorang guru SD memang harus menguasai banyak hal: matematika, bahasa, IPA, IPS, hingga kesenian, termasuk menggambar.

Lukisan Bima tersebut menjadi titik pangkal pembicaraan kami. Lukisan Bima, lakon wayang Bima Suci yang merupakan lakon pertama yang dimainkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, sampai pada cerita nyantriknya Kanjeng Nabi Musa pada Nabi Khidir. Tentunya beberapa cerita di atas, dikaitkan dengan proses hidup kita saat ini. Belajar, terutama belajar agama tidak mengenal usia, karena kita tidak tahu, kapan kita akan meninggal.

###

Menjelang Isya’ kami pamit, kembali ke masjid. Di masjid tampak Pak Kyai sedang berdiskusi dengan jamaah. Kami bergabung, sampai kemudian adzan Isya berkumandang. Setelah sholat, beberapa menit pengajian, kamu pun pamit. “Adakah pesan untuk kami, Kyai?”, salah seorang dari kami bertanya. Saya tak begitu jelas dengan teks arabnya, namun dalam bahasa Indonesia, Pak Kyai menyampaikan bahwa “keikhlasan dan konsistensi pada kebaikan akan mengantarkan kita pada kesuksesan”.

###

Kami kembali ke penginapan. Di masjid tampak teman-teman sudah berkumpul. Di luar dugaan, kami dikunjungi oleh pengurus fakultas. Satu per satu, mewakili departemen, teman-teman menyampaikan testimoninya terkait kegiatan yang dilakukan, dan apa yang dirasakan selama hampir 3 hari itu.


###

Agar tidak menyesal ketika telah mati
“Agar tidak menyesal ketika telah mati”, merupakan kalimat kunci, atau ringkasan selama kegiatan 3 hari.  Meskipun kita semua belum merasakan mati, namun dengan melihat proses kehidupan manusia sejak sebelum lahir, maka ada pelajaran yang bisa dipetik. Apa yang penting untuk kehidupan bayi yang masih dalam alam kandungan, menjadi tidak penting ketika telah lahir di dunia. Demikian pula, apa yang dianggap penting ketika hidup di dunia, bisa menjadi tidak penting setelah meninggal. Maka menyeimbangkan apa yang saat ini penting, dengan apa yang nanti (setelah meninggal) dianggap penting, menjadi penting untuk diperhatikan.

Dunia yang dialami sejak di alam kandungan, dunia, dan setelah mati memiliki 3 perbedaan: luasnya berbeda, lamanya berbeda, serta kebutuhan pokoknya berbeda. Di alam kandungan kurang lebih hanya 9 bulan 10 hari, dengan luas alam yang paling sempit. Alam dunia setelah lahir lebih luas, juga lebih lama. Ada yang usianya belasan, puluhan atau bahkan ada yang di atas seratusan tahun. Alam setelah mati, akan lebih luas dan lebih lama lagi.

"Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (Qs. Al Mu'minuun : 99-100)

Oleh karena itu, jangan sampai setelah meninggal, merasa kekurangan bekal (yang ketika hidup tidak dianggap penting), sehingga minta dihidupkan lagi ke dunia untuk mencari bekal tersebut. Tentunya itu sudah terlambat. Kita harus mampu membedakan beberapa kategori nikmat, sehingga bisa memilah dan mengusahakannya secara berimbang sebagai bekal kehidupan berikutnya.

Nikmat dunia, merupakan nikmat yang paling rendah derajatnya. Di atasnya ada nikmat sehat. Ketika tidak memiliki kesehatan (sakit), orang berani mengeluarkan sebanyak-banyaknya nikmat dunia (harta), agar kembali sehat. Seorang karyawan yang sakit, akan diberi ijin (dimaklumi) untuk tidak masuk kerja. Ini juga bukti bahwa nikmat sehat itu begitu berharga, dan kedudukannya di atas nikmat keduniaan.

Nikmat tertinggi adalah kenikmatan iman. Orang yang meletakkan nikmat iman di atas nikmat dunia dan kesehatan, dan mau berusaha agar keimanannya selalu meningkat, maka nikmat dunia dan kesehatan akan datang dan menentramkannya.

###

Benang merah di dunia kerja
Menyadari dan mengusahakan amal untuk bekal hidup setelah mati, bukan berarti meninggalkan proses usaha selama  hidup di dunia. Umur itu amanah, maka selama umur itu masih ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Memiliki pekerjaan, sebagai karyawan maupun pekerjaan lain, juga merupakan posisi “mumpung” yang harus dimanfaatkan. Mumpung kerja, maka kita harus memaknai kerja kita dengan pemaknaan luas. Pada proses kerja kita sehari-hari ada bagian yang rewardnya untuk dunia, misalnya: gaji, bonus, pangkat dan semacamnya. Namun kita juga harus memperluasnya agar juga memiliki reward sebagai tabungan di akherat. Reward untuk tabungan akherat ini lebih berat usahanya, karena dia akan berwujud pengorbanan dan keikhlasan: pengorbanan untuk ikhlas, pengorbanan yang ikhlas untuk berbagi ilmu, pengorbanan dan ikhlas untuk tunduk pada aturan yang berlaku, jujur dan lainnya.

Meningkatkan performa kerja berlandaskan keimanan, berarti memiliki kinerja yang tidak dibatasi oleh “ketakutan” pada pimpinan. Namun, karena kepatuhan pada pimpinan dan aturan sebagai bagian dari kewajiban yang diberlakukan pada dirinya sebagai makhluk, dilandasi pada proses menjalankan peran pribadinya sebagai manusia, di tengah dan bersama manusia lainnya.

Bersambung ke tulisan berikutnya: http://www.purwo.co/2018/02/rekreasi-yang-sesungguhnya-3-habis.html
Sambisari, Selasa Wage 13 Februari 2018
06.17 pagi

Monday 12 February 2018

, ,

Akhirnya, sop daging itu meruntuhkan kekhawatiran kami (1)


Purwo.co - Kami harus merasa menjadi orang beruntung. Karena, pada dasarnya memang demikian, bukan hanya kami, namun semua orang dalam posisi beruntung. Kami berduapuluh enam, berangkat mengikuti program dari FT UGM bertajuk outbond spiritual. Dilihat dari daftar acara, kami akan dihadapkan pada sentuhan spiritual terkait pribadi kami: belajar agama, ibadah dan semacamnya.

Kegiatan ini bisa disebut baru. Selama saya bekerja, ya baru kali ini ikut kegiatan semacam ini. Biasanya tamasya, diselingi outbond di lokasi wisata. Namun kali ini berbeda. Setelah melalui perjalanan yang lumayan membuat deg-degan, naik turun bukit,  terkadang kendaraan yang kami tumpangi harus antri ketika menemukan tanjakan tajam atau merambat pelan karena harus melewati turunan tajam,  kami sampai di sebuah perkampungan. Perkampungan di lereng bukit, dengan hamparan lahan pertanian pada kemiringan 80 derajat. Sebagian siap panen, sebagian siap untuk ditanami sayuran.

Rumah-rumah di perkampungan ini saling berdekatan dan sebagian besar beratapkan seng. Hanya beberapa saja yang jaraknya cukup jauh dari rumah lainnya. Sedangkan jarak antar kampung cukup jauh, serta harus ditempuh melalui jalanan yang naik turun. Pemandangan yang hijau, perbukitan yang tampak berdiri gagah menjadi pemandangan begitu memesona. "Pemandangan inilah yang akan melengkapi kegiatan kami selama 3 hari", fikir saya. Air yang mengalir deras, bening dan terasa dingin menjadi pelengkap keindahan. Berharap, kami akan dapat waktu yang cukup untuk menelisik lebih jauh pemandangan indah ini.

Warga hilir mudik dari tegalan, berjalan atau menggunakan kendaraan bermotor. Kaki-kaki kokoh mereka menjadi bukti, bahwa mereka telah menjalani kegiatan itu sejak lama. Menyusuri jalan yang menurun, dengan sepatu boot yang mereka kenakan, menambah kesah kokohnya kaki-kaki mereka. Pupuk, hasil panen, atau rumput makanan ternak tampak mereka bawa. Senyum dan salam, selalu tersungging di wajah ketika kami berpapasan.  Hawa dingin sore itu cukup terasa, meskipun tidak begitu ekstrim. Berharap jaket yang saya bawa, bisa cukup menahan hawa dingin nanti malam.


###

Kami sampai di lokasi pukul 13.30. Beberapa orang dengan  ramah menyambut kami. Ada dua rumah yang disiapkan untuk kami, agaknya rumah penduduk yang dikosongkan sementara. Lokasinya berdampingan, di selatan masjid. Masjid ini sepertinya akan menjadi pusat kegiatan "spiritual" selama di lokasi.


"Yang ahli hisab di bawah, yang tidak hisab di atas ", suara itu cukup jelas terdengar. Sayapun kembali naik menuju rumah bagian atas, padahal sudah sampai di rumah yang ada di sisi bawah. Maklum, saya bukan "ahli hisab". Saya agak paranoid dengan asap rokok. Di kampung saya, kalau pulang ronda dan baju saya bau rokok, maka malam itu saya harus siap tidur sendirian.

Pembagian ini hanya untuk mempermudah saja, agar kepentingan "ahli hisab" dan yang bukan, tetap terakomodir. Kebijakan pembagian untuk menjaga toleransi: yang merokok menghormati perokok, yang tidak merokok juga mempersilakan yang merokok untuk merokok di tempat terpisah.

###


"Monggo istirahat dulu, nanti sholat tahiyatul masjid, kemudian kita makan bersama",  seru seorang panitia yang cukup saya kenal. "Siap, cocok Pak", begitu jawab teman-teman ketika mendengar informasi "makan"  dari panitia.  Seolah telinga dan perut kami sudah janjian untuk transfer informasi, jika ada kabar tentang waktu makan. Nasi gudeg yang kami makan ketika perjalanan, tampaknya tak lagi mampu mengganjal perut kami.

Kami menuju masjid, ambil air wudlu, kemudian sholat tahiyatul masjid, sesuai arahan panitia. Setelah itu kami bersiap makan bersama. Bau khas itu begitu terasa. "Kayake daging, Kang", bisik saya. Benar. Hidangan sop daging sapi, nasi putih, sambel, kecap, dan krupuk terhidang di ruangan masjid. Kamipun duduk berhadap-hadapan dan mulai makan bersama.  Ya, guyonan pun terkadang terlontar selama kami makan. Seorang kawan yang duduk di depan saya agaknya nambah beberapa kali. Sayapun demikian. Teman-teman yang ketika perjalanan sempat istirahat dan mampir di angkringan, agaknya juga sama, makan dengan lahapnya.

"Ini, siapa mau nambah sop?", panitia datang sambil membawa panci berisi sop. Kami pun menyambutnya. Makan sop di mangkuk yang telah habis sop-nya. Benar-benar kenikmatan yang luar biasa.

Selain di luar dugaan, sop daging sapi ini benar-benar kami nantikan. Di luar dugaan, karena kami tak menyangka, kami akan mendapatkan sop daging sebagai menu makan pertama di tempat ini. Sebagian dari kami mengira akan mendapatkan makanan yang seadanya, dan dalam jumlah yang terbatas. Sop daging yang kami santap sore itu, meruntuhkan kekhawatiran kami.

Berikutnya, selama tiga hari kami disuguhi menu yang tetap di luar dugaan. Jumat ketika sampai lokasi kami disiguhi sop daging sapi, malamnya tongseng. Sabtu pagi ada sajian bubur plus roti kemudian disambung sarapan nasi pecel, makan siang sayur lodeh lauk bandeng, tempe dan lempeng. Kemudian makan malam di hari Sabtu itu ditutup dengan nasi kebuli. Pada hari Minggu pagi, sebelum ke arena tubing kami sarapan lauk ikan bawal, sedangkan makan siang soto ayam kampung. Ketika pulang, kami diberi nasi box lauk daging. Oia, ada pesta duren pula di minggu siang sepulang dari tubing.

Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?  (Q.S. Ar-Rahman 55)

"Sekarang silakan istirahat, nanti kumpul ketika Ashar. Kegiatan kita mulai selepas Ashar", demikian seru panitia. Agaknya beliau memang menjadi penghubung antara kami, para peserta, dengan pemateri.

Kami pun istirahat.

####

Adzan pertanda masuk waktu Ashar berkumandang. Suara adzan yang tidak asing bagi kami. Ternyata, salah satu diantara rombongan kami lah yang menjadi muadzin. Suaranya memang sering terdengar di mushola kampus. Kami bergegas mengambil air wudlu, kemudian masuk masjid. Seperti disetel otomatis, melihat jamaah lain sholat dua rakaat, kamipun mengikuti.

Bersambung...

Tulisan terkait berikutnyahttp://www.purwo.co/2018/02/agar-tidak-menyesal-ketika-mati-dan.html