Thursday 23 November 2017

Di manakah sebaiknya beskem dosen (ilmu) perpustakaan?

Hujan dan kelapa muda
Purwo.co -- Departemen (ilmu) perpustakaan menempati posisi unik. Hanya beberapa saja yang menyamai uniknya departemen ini.

Dia unik, karena yang dikaji ada di lingkungannya sendiri. Pada perguruan tinggi yang memiliki departemen ini, pasti juga memiliki perpustakaan pada berbagai tingkatan. Perpustakaan yang ada, dapat sekaligus menjadi laboratorium bagi mahasiswa yang belajar pada departemen (ilmu) perpustakaan. Mahasiswanya bisa langsung praktik, menerapkan pengetahuan yang diperoleh ketika kuliah.

Paijo: “wah, jadi kudunya perpustakaan yang ada di perguruan tinggi tersebut pasti maju ya, Kang?”
Karyo: “ya pasti, Bro. Wong yang mengelola juga para winasis bidang perpustakaan, je”.
###
Nah, bagaimana dengan dosennya?
Fakultas yang memiliki laboratorium, menempatkan beskem dosen pada lab yang paling dekat dengan minat dosen yang bersangkutan. Dengan demikian, dosen bisa dekat dengan alat yang ada di lab, dekat dengan laboran yang mengelola lab, dan tentunya dekat dengan mahasiswa yang sedang nge-lab untuk menyelesaikan penelitiannya.

Kondisi di atas, menjadikan lab sebagai pusat kegiatan ilmiah antara mahasiswa-laboran-dosen dengan perannya masing-masing. Jika mahasiswa perlu alat, maka laboran akan dengan sigap membantu dan mendampingi praktikum. Jika mahasiwa dan laboran kesulitan, maka dosen akan dengan datang mudah membantu, karen memang jaraknya dekat. Dosen, menjadi tidak tercerabut dari apa yang diajarkannya. Tiga pihak tersebut bisa saling membantu.

Bagaimana dengan dosen (ilmu) perpustakaan?
Pada awal tulisan telah saya tulis, bahwa perguruan tinggi yang memiliki departemen (ilmu) perpustakaan, pasti juga memiliki perpustakaan. Nah, sesuai dengan fakta bahwa sudah umum jika dosen memiliki beskem di lab, maka tidak ada pilihan lain pula bagi dosen (ilmu) perpustakaan.

Paijo: “pilihan opo, Kang?”
Karyo: “ya pilihan nge-pos di perpustakaan, Jo”

Jika dia benar-benar memiliki ruh kepustakawanan, maka dia semestinya nge-pos di perpustakaan. Karena ruh itu akan menggiringnya untuk ke perpustakaan. Dengan begitu dia akan dekat dengan mahasiswa, dan juga dekat dengan pustakawan, sosok yang setiap hari proses “produksinya” dia lakukan. Dosen bisa ngetes ilmu yang dimilikinya dengan nge-pos di perpustakaan. Benarkah dia juga mampu melayani pemustaka dalam berbagai karakternya? Menjawab pertanyaan mahasiswa yang membutuhkan informasi atau semacamnya? Dan ikut menjadi bagian dari pemecah masalah yang muncul pada pengelolaan sehari-hari perpustakaan.

Paijo: "loh, apakah jika tidak nge-pos di perpustkaan, berarti tidak memiliki ruh kepustakawanan?"
Karyo: "ya, ndak gitu juga tho, Jo. Hanya salah satu kemungkinan penciri saja"

Dosen (ilmu) perpustakaan yang nge-pos di perpustakaan, bisa melayani kebutuhan mahasiswa level atas. Mahasiswa S3 misalnya, yang kemungkinan kebutuhannya adalah kebutuhan tingkat tinggi. Ya, maklum saja, wong mahasiswa S3. Tentunya terkait berbagai hal yang akan lebih mantap jika yang melayani adalah dosen (ilmu) perpustakaan. Atau, melayani pemustaka dari kategori dosen.

Paijo: “loh, pustakawan berarti ndak mampu, Kang?”
Karyo: “yo, mampu juga, asal belajar, Jo”.

Dia juga bisa tahu lebih banyak tentang kebutuhan mahasiswa, kesulitannya, serta memonitor kemampuan pustakawan yang sudah lahir dari proses produksi yang dia lakukan. Kalau ada kerusakan (ibarat mobil), maka dia bisa langsung memperbaikinya.

Kolaborasi pustakawan-dosen lebih mudah dilakukan. Kesehariannya mereka bertemu, sehingga sekat-sekat status di perguruan tinggi bisa dirobohkan. Semua sama, yang beda cuma gajinya.

Kegiatan konsultasi, dan bimbingan yang diperlukan mahasiswanya, juga dilakukan di perpustakaan. Maka, lengkaplah. Perpustakaan benar-benar pusat, dia dihidupkan bukan saja oleh pustakawan, namun juga secara rutin oleh dosen-dosen (ilmu perpustakaan) nya.

Dosen (ilmu) perpustakaan yang mau mengambil posisi ini, benar-benar dosen yang patut diteladani.

Sebaliknya, ketika dia masih mengasingkan diri di ruang-ruang yang jauh dari perpustakaan, maka sesungguhnya dia secara sadar membuat jarak dengan mahasiswa dan pustakawan, sosok yang diproduksinya sendiri. Dia meletakkan perpustakaan sebagai “yang lain”, terpisah, tidak menubuh.

Paijo: “jadi nge-pos di perpustakaan itu, bukan sekedar nge-pos, Kang?”
Karyo: “ya ndak tho, Jo. Kalau bisa ya ada ruang kecil buat mereka, dan ndak sekedar duduk dan ngetik di perpustakaan. Tapi juga bersama melakukan layanan pada pemustaka. Lah, seneng tho. Akur tur guyub”

Karyo, hanya sedekar menyampaikan perenungannya saja, dengan harapan apa yang direnungkan itu memberi manfaat. Karyo menyadari, ada pro-kontra pada pendapatnya. Karyo menghormati itu semua.



Sambisari
Kemis Pahing, 4 Mulud 1951 Je
05.29  enjeng

#pustakawanbloggerindonesia

Wednesday 22 November 2017

,

Inilah konsep utama perpustakaan yang telah lama hilang

Jalan menuju hutan di Ngliparkidul, GK, Yogya.
Purwo.co -- Pustakawan atau mahasiswa (ilmu) perpustakaan jaman now, sudah tidak asing lagi dengan berbagai istilah yang membius intelektualitasnya dalam mengkaji perpustakaan.

Learning common, makerspace, co-working space, dan semacamnya. Yang terkadang merdu dan indah didengar, tapi cukup terjal jalan untuk mewujudkannya. Bahkan, mungkin bagi yang mengajarkannya pun, belum tentu bisa melakukannya.

Paijo: “we, lha”
Karyo
: "iki cuma ngudo roso, Jo. Oleh setuju, oleh ora setuju.
 

Konsep tersebut di atas, sesungguhnya, dalam konteks kepustakawanan di Indonesia, merupakan konsep import. Konsep yang diangkut dari makalah atau tulisan para pemikir bidang perpustakaan di luar Indonesia. Tak ada konsep aseli/original ilmuwan Indonesia yang muncul atau dimunculkan sebagai konsep pengelolaan perpustakaan.

Copy-paste, sudah dilakukan sejak dalam konsep.

Konsep tersebut tidak begitu saja muncul di negaranya atau konteks sosial masyarakatnya. Pasti ada latar belakangnya.

Misalnya alasan semakin berkurangnya orang yang datang ke perpustakaan, dan lebih senang ke mall. Maka suasana mall “dibawa” ke perpustakaan. Biar nyaman di perpus, maka ruangan didesain modern, nggaya dan kekinian.

Baca juga Perpustakaan terlengkap adalah jagat raya, dengan setiap manusia adalah pustakawannya

Dengan membawa suasana mall ke perpustakaan, diharapkan akan lebih banyak yang datang ke perpustakaan. Untuk lebih menarik lagi, maka makerspace yang ada di luar perpustakaan, diduplikasi, di bawa ke perpustakaan kemudian dilabeli sebagai generasi terbaru pengembangan perpustakaan. Lalu disiarkan di seminar-seminar.

Peserta pun terbius.
Pokoknya demikian, seterusnya. Jane yo rodo njelehi.

Siapakah yang “dikorbankan” dengan label-label atau konsep import tersebut?

Jawabnya satu: Pustakawan.

Dia dibombardir konsep, seolah dipaksa mengikuti jika tidak ingin ketinggalan dengan perpustakaan lain. Gambar atau foto perpustakaan yang telah menerapkan, dipamerkan sebagai pelengkap slide yang menghipnotis. “Wow, kerenn”, begitu kira-kira komentar pustakawan yang melihat. Padahal, belum tentu perpustakaannya, pada detik itu, membutuhkan.

Pustakawan mana yang ndak ingin perpustakaannya keren?. Semua mesti pengen
.

Pada berbagai konsep kepustakawanan, ilmuwan perpustakaan hanya sebatas mengkaji-mengajarkan-mempublikasikan. Pustakawan juga mengkaji, namun juga harus melaksanakan. Ada juga yang ikut mengajarkan, serta menerbitkan (hasil kajiannya).

Paijo: “loh, jadi pada dasarnya lebih berat pustakawan, kang?”
Karyo: “lho, iya. Jelas dong. Makanya  pada ingin jadi dosen (ilmu) perpustakaan. Lah, jadi praktisi itu berat je, Jo”.

###

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya konsep tersebut merupakan konsep kulit, bukan substansi. Dengan konsep itu, maka untuk mencapai perpustakaan yang bagus, alat modern, hanya bisa dicapai dengan dana. Perpustakaan yang kaya, pasti bisa mencapainya. Lah yang pas-pasan?

Konsep perpustakaan, seharusnya netral. 


Paijo: “loh, kan semuanya kudu pakai dana, Kang. Jangan ngelantur sampeyan. Jer basuki mowo beyo”.
Karyo: “ya, tapi ya jangan banyak-banyak lah. Mosok perpustakaan dianggap bagus karena memiliki mesin RFID, atau punya ruang-ruang seperti mall. Lak lucu, tha?”

Ya, konsep pengembangan perpustakaan, harusnya netral. Dia hanya bersyarat terkait kompetensi pustakawannya, sebagai penggeraknya. Konsep learning common, co-working, makerspace tidak akan banyak meningkatkan citra pustakawan, karena konsep itu sesungguhnya masih bermain di tataran kulit, dan tergantung dana. Konsep tersebut posisinya ada di luar diri pustakawan, dia tidak melekat penuh pada diri pustakawan. Bahkan menegasikan pustakawan. Konsep tersebut cenderung akan melahirkan kesan “wah” terkait fisik perpustakaan. Pustakawan akan kena efek positif, jika dia bertindak kreatif mendayagunakan dirinya, mengoptimalkan fasilitas tersebut.

Konsep tersebut cenderung meningkatkan citra perpustakaan, bukan citra pustakawan.  

Coba lihat studi banding yang dilakukan pustakawan. Itu studi banding berkunjung ke perpustakaan. Ingat! ke perpustakaan (fisik). Jika ingin studi banding substansi, seharusnya ke pustakawannya. Dan itu tidak harus datang fisik. Bisa melalui email, whatsapp, telegram dan lainnya.

Studi banding pustakawan itu lebih substantif dibanding studi banding perpustakaan.


Paijo: "studi banding dengan datang fisik itu jane piye, Kang?"
Karyo: "itu piknik, Jo"

Lalu apa konsep (layanan) perpustakaan yang sesungguhnya?

Pada masanya, perpustakaan pernah menjadi pusat. Proses pendidikan dan berbagai kegiatan ilmiah dilakukan di perpustakaan serta melibatkan pustakawan secara aktif, namun  sekarang sebaliknya.

Pada masa-masa terbaik perpustakaan tersebut, perpustakaan melakukan penerjemahan. Ini yang perlu digaris bawahi: PENERJEMAHAN. Penerjemahan karya ke dalam bahasa setempat. Selain itu juga proses penyalinan karya. Sebenarnya lebih pas, bukan konsep yang "sesungguhnya". Namun, konsep yang telah lama hilang, sebagaimana judul postingan ini.

Dengan kegiatan penerjemahan ini, pustakawan (yang juga seorang ilmuwan) akan tahu banyak hal tentang ilmu pengetahuan. Pengetahuannya akan benar-benar dihargai. Peran penerjemahan ini, setidaknya dituliskan pada buku Pak Dhe Ziaudin Sardar (1993), dan Kang Agus Rifai (2013).

Penerjemahan dan penyalinan, menjadi ruh yang membuat aura perpustakaan dan pustakawan menjadi sangat berwibawa.

Lalu ke mana layanan penerjemahan itu sekarang? Layanan atau aktivitas tersebut terputus ratusan tahun. Pendidikan yang mencetak pustakawan, sudah tidak lagi menjadikan penerjemahan sebagai bagian dari layanan perpustakaan. Penerjemahan diambil dana dibawa ke luar perpustakaan, kemudian menjadi area bisnis. Dia tidak lagi ada di dalam perpustakaan.

Paijo: “wa, lah berat je, Kang”
Karyo: “memang, Jo. Peran atau layanan penerjemahan itu berat. Tapi itu benar-benar masuk di substansi”.

Membuat ruang, menerapkan alat canggih itu perlu, tapi tidak akan sampai pada tataran “penting”. Karena dia kebutuhannya tergantung pada kondisi sosial dan budaya pemustakanya. Yang penting adalah meningkatkan peran pustakawannya. Karena sesungguhnya perpustakaan adalah pustakawan itu sendiri.

#pustakawanbloggerindonesia
Sambisari,
Rebo Legi, 3 Mulud 1951 Je
04.43  enjeng

Monday 20 November 2017

, ,

Pustakawan dan (ilmuwan) perpustakaan perlu mencontoh akun facebook ini

Purwo.co -- Facebook, jamak dikenal sebagai media sosial. Digunakan sebagai wakil diri, penjelmaan diri pada dunia virtual, dan melakukan beberapa hal selayaknya dilakukan pada dunia nyata. Bukan hanya penjelmaan orang, namun kadang Facebook juga dijadikan penjelmaan institusi, kegemaran, atau komunitas. Fiturnya memang memungkinkan hal tersebut.

Nah, apa yang disebarkan oleh wakil-wakil di dunia virtual tersebut? Ini yang saat ini jadi persoalan dengan maraknya berita hoax, hoek, palsu, dan semacamnya. Berita itu disebarkan dengan tujuan tertentu, yang tujuan itu dirasa bisa lebih cepat diperoleh di dunia virtual dibanding nyata. 

Namun, apakah semuanya demikian? Tentu saja tidak. Setidaknya, saya melihat ada beberapa akun yang konsisten, atau sebagian besar postingnya adalah hal positif dan bermanfaat. Berikut dua diantaranya.

Feriawan Agung Nugroho
salah satu posting Feriawan
Kang Feri, atau Mas Feri, begitu biasanya dia dipanggil. Saya mengenalnya pada tahun 2001, ketika saya mulai kuliah di UGM. Kang Feri senior saya yang aktif di Jamaah Shalahuddin UGM, sedangkan waktu itu saya anggota baru. Akun Facebooknya dapat diakses di https://www.facebook.com/feriawan?fref=ts.

Posting Kang Feri, yang konsisten bercerita tentang berbagai hal terkait pekerjaannya sebagai pekerja sosial yang melayani simbah-simbah lanjut usia di sebuah panti sosial di wilayah Sleman, sangat menarik disimak. Terkadang cerita tentang kisah cinta simbah-simbah, mopoki, menjemput simbah yang hendak menjadi klien-nya di panti sosial dengan segala dinamikanya. Cerita tentang kematian klien, atau tak pedulinya keluarga klien ketika orang tuanya meninggal. 

Postingan yang konsisten, dengan tulisan renyah dan gurih dibaca, menjadikan pandangan orang pada pekerja sosial, pekerjaannya, serta dinamika di balai sosial berubah. (note: sejak kuliah, bahkah sebelum kuliah, Kang Feri memang pandai menulis. Cerpen/novelnya pernah diposting dengan ID “teroris cinta” pada jaman Friendster masih berjaya. cek di sini https://feriawan.wordpress.com/novel-ktcdh-yg-tertunda/).

Komentar, atau respon sedih, gembira, menangis dan lainnya mengikuti postingan Kang Feri. Tidak jarang, disertai doa, agar selalu diberikan kesehatan dalam menjalani profesinya. Agaknya, kesan “iri” juga sangat mungkin muncul. Iri pada pekerjaan Kang Feri, yang begitu dinikmati, dan dekat dengan berbagai kesempatan berbuat kebaikan.



Baca juga Menanti doktor (ilmuwan) perpustakaan yang rela nge-blog ala Dongeng Geologi 


Ismail Fahmi
Posting Ismail Fahmi
Ismail Fahmi, atau Mas Is, demikian beliau biasa dipanggil, merupakan seorang pegiat teknologi. Dulu dikenal sebagai penggerak IDLN, KMRG ITB, dan penggagas GDL atau Ganesha Digital Library. Selepas lulus Doktor dari Belanda, beliau kembali ke Indonesia dengan berbagai kegiatannya. Akun Facebooknya dapat diakses di https://www.facebook.com/ismailfahmibdg.


Postingannya di akun Facebook yang  menyita perhatian adalah postingan tentang analisis cuitan di media sosial Twitter terkait isu terkini. Isu politik, ekonomi, dan yang sedang trending lainnya. Postingan beliau tidak sekedar posting, namun dilengkapi gambar yang memperlihatkan peta isu, sekaligus analisisnya. Lengkap. Inilah kekuatan dan karakter postingnya. 

Analisis tersebutlah yang menarik. Dari analisisnya, kita bisa mendapatkan informasi “konfrontasi” di dunia virtual, dan bagaimana kita menyikapinya. Tidak jarang, beliau juga berbagi slide hasil presentasinya tentang suatu topik.

### 

Demikianlah, kekuatan postingan Kang Feri dan Pak Ismail yang konsisten, dibungkus dengan bahasa yang tepat yang mampu memberi efek positif bagi pembacanya.

Akun Facebook memang menjadi tanggungjawab masing-masing pemilik. Mau diisi apa, mau posting apa, dan mau digunakan sampai kapan. Namun, ketika postingan di Facebook bisa bermanfaat bagi sesama, tentunya akan lebih baik. 

Bagi pustakawan, posting terkait kepustakawanan (seperti halnya Kang Feri yang konsisten bercerita tentang pekerjaannya), tentunya akan memiliki energi positif bagi profesi pustakawan. Baik energi untuk menjaga citra, memperbaiki citra, atau otokritik pada dunia kepustakawanan. Atau posting analisis/hasil pengamatan/penelitian sebagaimana yang dilakukan Pak Ismail, tentunya akan menambah daya gedor pada publik tentang kepustakawanan. 

Sebaliknya, posting tentang jalan-jalan ketika ikut konferensi oleh pustakawan ada kemungkinan (ini cuma kemungkikan, lho), justru akan menjadikan penilaian negatif dari orang lain. Posting jalan-jalan, boleh saja. Tapi jangan sampai lupa, untuk mengimbangi dengan postingan bermutu yang diperoleh selama konferensi atau pengalaman menjadi pustakawan.


Paijo: "lah piye ya. Kadung sampai tempat baru, gratis. Ya sisan"
Karyo
: "iyo, tapi ingat. Ada ribuan mata di luar sana, yang melihat tingkah polah kamu, Jo. Kalau cuma konperan-konperen lalu uplod foto. Njuk po ra isin. Ben dianggep pinter ngono, po?"
Paijo: "Iya ya, jangan sampai jadi terpuruk"
 

Dua contoh akun facebook di atas, dapatlah dicontoh, dijadikan tuladha dalam penggunaan media sosial yang sehat, bermutu dan berkualitas. Postingan foto, atau kesehariaan sebagaimana pada umumnya, pastinya ada. Namun, posting positif yang konsisten dan berkualitas (setidaknya sampai saya menulis ini) pada akun mereka menjadikan nilai tersendiri pada proses bermedia-sosial. 

Siapakah pustakawan dan ilmuwan perpustakaan yang telah konsistem memposting hal positif tentang kepustakawanan?  Atau isinya sama saja, antara ilmuwan dan pustakawan: didominasi jalan-jalan + makanan.  


Silakan lihat   daftar teman anda di Fesbuk.

Media sosial, seharusnya menjadikan kekuatan bagi pustakawan untuk “membuat” informasi sendiri, menyampaikan pendapat, pemikiran. Dengan membuat informasi sendiri, pustakawan telah naik tingkat, dari sebelumnya hanya mengelola yang sudah ada. Media sosial, bisa dijadikan sebagai wadahnya. Jangan takut dikritik. 


Para (ilmuwan) perpustakaan, yang biasa berkhutbah tentang manfaat medsos, harus memberi contoh yang baik.  

### 

Paijo: “wo, katanya seminar, kok Fesbuknya berisi jalan-jalan”
Karyo: “ya, semoga tidak demikian, Jo. Ana hasile, ana efek bagi institusi, ra gur dipakai untuk moncerke diri pribadi saja”.

Karyo, sosok pustakawan yang memiliki prinsip: 1) layani pemustaka 2) berfikir merdeka. Pemustaka harus diutamakan, terutama ketika jam kerja. Sementara berfikir merdeka dimaknainya sebagai sikap pustakawan yang tidak terikat pada pemikiran orang lain.


Karyo lebih memilih bercengkerama dengan mahasiswa di perpustakaan. Kemudian posting di akun facebooknya apa yang dilakukannya bersama mahasiswa tersebut. Ngobrol ngalor ngidul, pulang, lalu istirahat. Demikian, lebih dirasa menentramkan baginya. Meski, konsekuensinya tak ada foto-foto keliling dunia.  
Ketentraman bathin, “urip ayem”, bagi Karyo lebih berharga untuk digapai.
Sambisari, 20 November 2017
5.05 pagi 

Perpustakaan Mahidol University, Thailand

Purwo.co -- Masih ada hubungannya dengan postingan ini http://www.purwo.co/2017/08/menjadi-mayoritas-ketika-minoritas.html, namun kali ini saya coba mengingat lagi tentang perpustakaan Mahidol Univ. Sudah 3 bulan, sebelum banyak yang terlupa.

Kami (saya dan Pak Haryanta) mengunjungi Perpustakaan Universitas Mahidol dua kali. Keduanya saat pulang atau setelah berakhirnya acara workshop hari pertama dan kedua. Pada hari kedua pagi, kami sempat jalan-jalan di dalam kampus, dan lewat depan perpustakaan. 

Perpustakaan ini terdiri dari 3 lantai (nek ra kleru). Pada bagian depan terdapt huruf yang menjadi identitas perpustakaan. Ada tiga huruf, MKLC atau Mahidol Knowledge and Learning Center. MKLC itu sendiri memiliki arti Minded, Utilization, Learning, Knowledge dan Customer.  Entah, kenapa tidak diberi nama library. Masih di bagian luar, terdapat lobang yang muat satu buah buku. Agaknya ini semacam bookdrop, untuk mengembalikan buku tanpa harus ketemu petugas. Lubang bookdrop ini ada di depan sisi kiri gedung. 

Masuk ke perpustakaan, sebagaimana perpustakaan pada umumnya ada sensor untuk penghitung pengunjung. Namun, sebelum itu, ada ruangkan kecil yang bisa digunakan untuk istirahat sebelum atau setelah masuk perpustakaan. Ada beberapa kursi dan meja di bagian ini. Lengkap dengan beberapa bacaan, dan berbagai leaflet. Ada pula kotak sumbangan buku. Agaknya perpustakaan menerima sumbangan buku dari mahasiswa, baik untuk disumbangkan atau untuk digunakan di perpustakaan.

Lantai pertama, sebatas yang kami lihat, merupakan lantai yang paling mewah di antara lantai yang ada. Terutama di sebelah kiri, terdapat ruang komputer, ruang diskusi tertutup lengkap dengan layar dan desain ruang yang nyaman, ruang multimedia mini, serta ruang terbuka yang bisa digunakan bersama-sama. 

Desain ruang ini dominan biru, dengan pengkabelan yang rapi. Ada stiker “green” di beberapa komputer. Agaknya ada makna stiker tersebut terkait ruangan ini. 


Pada bagian tengah, atau tepat di depan pintu masuk terdapat foto raja dan ratu Thailand 
serta berbagai buku baru. Di sebelah kanannya, ada meja pustakawan yang bertuliskan “Research Consultant”. Agaknya meja ini dipakai oleh pustakawan yang bertugas menjadi asisten penelitian. Tugas atau layanannya tertulis jelas pada sebuah papan pengumuman kecil di meja tersebut. 

Saya lupa nama pustakawan di meja “research assistant” tersebut. Namun, beliaulah yang kemudian mengantar kami keliling perpustakaan. 

Di lantai satu, selain ada layanan peminjaman/pengembalian oleh petugas, juga disediakan anjungan mandiri. Pada sisi kanan lantai satu, terdapat ruangan yang berisi koleksi khusus tentang raja, dan koleksi cetak lainnya. Khusus koleksi tentang raja, dipisahkan pada ruang tersendiri. 

Koleksi tugas akhir dan buku ada di lantai 2 dan tiga. Agaknya koleksi buku dipisahkan prodi atau bidang ilmunya pada lantai yang berbeda. Pemisahan ini memudahkan mahasiswa yang membutuhkan untuk menuju lantai yang tepat. 

Sebatas pengamatan kami, tidak ada yang cukup istimewa pada lantai 2 dan 3. Sebagaimana ruang perpustakaan pada umumnya, cukup luas, tersedia banyak kursi, pengamanan buku dengan RFID. Oia, ruang arsip ada di dalam perpustakaan ini. Agaknya arsip menjadi bagian dari perpustakaan. 

Meskipun muslim merupakan minoritas, namun di perpustakaan juga disediakan ruang khusus untuk sholat. Ruangan ini bersih, tersedia banyak kitab (sepertinya Quran), serta air minum gratis bagi mahasiswa. 


###  


Selain PMU, kami juga mengunjungi perpustakaan pada tempat kami menginap. Kami
menginap pada kantor internasional, yang digunakan pula sebagai kampus program internasional. Perpustakaan ini sepertinya baru, terdiri dari dua lantai yang menyatu dengan gadung utama.


Perabot, interior tampat modern. Terdapat ruang diskusi, belajar mandiri, lab komputer. Untuk lebih lengkap, silakan lihat foto yang ada pada posting ini. 


###

Karena terbatasnya waktu, kami tak sempat berdiskusi tentang kegiatan atau layanan yang ada di perpustakaan ini secara lebih detail. Namun, sebagai sebuah perpustakaan dari universitas yang terpandang di Thailand, harus diakui bahwa fasilitasnya cukup bagus. 


Paijo: "lalu apa yang dapat ditiru?"
Karyo: "banyak, Jo. Kita bisa berguru pada siapa saja"

Sambisari, 20 November 2017
4.44 pagi 





Friday 17 November 2017

“Yang membutuhkan anda jadi pustakawan itu bukan anda, tapi institusi ini”


"Google" jaman old
Purwo.co -- Sampai lulus SMK, tak terfikir pada diri saya untuk menjadi pustakawan. Sampai akhirnya Wakil Kepala SMK saya dulu menyampaikan peluang profesi ini. Bahkan, setelah bekerja di perpustakaan hampir 10 tahun, atau 3 tahunan sejak menjadi karyawan tetap, saya tidak mengajukan diri sebagai pustakawan resmi.

###

Pada tulisan sebelumnya, saya menuliskan bahwa ada yang menyampaikan, “biar mas Purwoko jadi pustakawan sebelum saya pensiun, dan saya ikut memrosesnya". Kalimat ini berpengaruh bagi saya untuk mendaftar menjadi pustakawan. Namun, setelah saya ingat-ingat lagi, ada pesan lainnya yang menjadikan saya berubah, dari sebelumnya yang tidak tertarik.

Ya, sebelumnya saya tidak merasa tertarik. “Yang penting, saya bekerja di perpustakaan, dan berusaha menjalankan fungsi atau peran pustakawan dengan sebaik-baiknya”, demikian yakin saya. Namun, seiring waktu berjalan, kalimat yang saya jadikan judul posting ini muncul.

“Yang membutuhkan anda jadi pustakawan, itu bukan anda tapi institusi ini”

Kalimat tersebut disampaikan salah seorang pimpinan di tempat kerja saya. Cukup telak, dan membekas. Kalimat tersebutlah yang  akhirnya membuka pemahaman saya tentang pentingnya status resmi pustakawan. Jika saya memang bekerja di perpustakaan, alumni pendidikan (ilmu) perpustakaan, maka saya harus total. Tidak boleh setengah-setengah.

Kalau setengah-setengah, tidak jelas, sepertinya saya condong pada posisi pecundang. Apalagi, saya mengajukan kerja dengan ijazah dan syarat terkait perpustakaan pada lowongan pustakawan, bekerja di perpustakaan, serta  dengan kondisi institusi sekarang membutuhkan pustakawan. Kalau saya mengingkari atau tidak mengajukan diri menjadi pustakawan, agaknya saya justru mengingkari apa yang sudah diberikan saya sejak awal.

Paijo: “hmm, apik, Yo”.
Karyo: “mugo barokah, Jo. Aamiin”.

Mungkin masih ada, yang kerja di perpustakaan, memenuhi syarat menjadi pustakawan, serta institusinya membutuhkan lebih banyak karyawan berstatus pustakawan, namun belum mengajukan diri menjadi pustakawan. Alasannya pun bisa bermacam.

Bisa memiliki alasan seperti alasan yang pernah saya yakini. Atau alasan lainnya, yang hanya diketahui dirinya sendiri. Setiap kita memang punya pilihan masing-masing. Namun jika semua syarat terpenuhi sebagaimana yang saya cetak tebal di atas (melamar kerja pada lowongan pustakawan, bekerja sebagai pustakawan, dan saat ini institusi membutuhkan pustakawan) maka ajukanlah menjadi fungsional pustakawan. Semoga itu lebih barakah, bagi pribadi dan bagi institusi.

Apalagi yang dicari, jika bukan barakah?

Dihadapi dengan gembira. Utamakan kesehatan dan keseimbangan hidup. 
#pustakawanblogger
Sambisari, 17 November 2017
Malam Sabtu, 20.47

Wednesday 15 November 2017

,

Menerbitkan artikel: memilih prestise atau kemudahan akses?

Karyo: "kok melamun, Jo?"
Paijo: "jian, saya itu sudah meneliti, menulis hasilnya, saya kirim ke jurnal, proses, terbit. Lah kok setelah terbit, saya sendiri sebagai penulis ndak bisa mendapatkan hasil tulisan saya. Lah aneh, tho?"

Karyo
: "sabar, Jo. Kui jenenge bisnis"

Purwo.co -- Tidak dipungkiri, bahwa menulis artikel untuk jurnal, saat ini menjadi salah satu ukuran kepakaran seseorang, khususnya di dunia akademik. Dosen, mahasiswa, pustakawan, dan siapapun. Angka yang muncul dan menginformasikan berapa kali dikutip, akan meningkatkan citra dirinya. Ada lagi angka yang disebut h-index, g-index dan lainnya.

Ingat, lho. Hanya salah satu.

Jeguran neng kali
Artikel, tentunya bermula dari sebuah penelitian, apapun jenisnya. Ditulis, dikirim ke jurnal, melewati berbagai proses dan kemudian terbit. Tentunya jika tidak ditolak.

Jurnal bisa dibedakan menjadi beberapa macam. Ada yang lokal, dengan reviewer terbatas dari institusi tertentu; nasional dengan reviewer dari satu negara tertentu; atau internasional yang memiliki reviewer dari berbagai negara, dan penulisnya juga dari berbagai negara. Begitu kira-kira.

Artikel dalam jurnal ada yang dapat diakses bebas oleh orang lain, ada yang harus berbayar. Ada pula jurnal yang memiliki angka-angka yang membedakan kelasnya dengan jurnal lainnya. Ada angka quartile, h-indeks, dan lainnya.

Jurnal, ada yang dijual dan ternyata banyak pula yang membeli. Kemampuan institusi untuk membeli akan membedakan status institusi tersebut di antara institusi lainnya. Ada pula jurnal yang gratis, dan tetap banyak dicari, ada juga yang digratiskan tapi kurang diminati. Jurnal yang dijual, sekaligus diakui memiliki kualitas yang bagus, akan merasa jumawa dengan jurnalnya.

“Harus beli terus. Kalau ada jeda, kemudian mau beli lagi maka harga naik”. Semacam orang jual properti di tivi-tivi itu. Jurnal yang demikian, biasanya merupakan jurnal internasional yang telah memiliki posisi tawar. Banyak artikel pakar diterbitkannya. Orang yang terlibat di dalamnya, tentu akan merasa naik tingkat intelektualnya beberapa derajad. Baik sebagai reviewer atau sebagai penulis. Semakin banyak yang membutuhkan, semakin banyak pakar yang memasukkan tulisannya, maka akan semakin kuat posisi tawar jurnal tersebut.

Sebagai pustakawan, saya kadang merasa sedih ketika penulis artikel meminta bantuan mencarikan artikelnya sendiri yang sudah terbit di jurnal, dan dia sendiri tidak bisa mengaksesnya karena oleh jurnal dibuat berbayar. Ini memang sangat dimungkinkan. Bahkan penulis sendiri tidak bisa mengunduh artikelnya yang sudah terbit.

Paijo: “Edian kui”.

Rekan-rekan yang berbahagia. Jurnal atau database jurnal yang populer, seolah ingin menguasai semua lini proses ilmiah. Ya, namanya bisnis, tentunya wajar. Mulai dari menerbitkan artikel, menilai artikel, penilaian jurnal, membuat metrik untuk proses ilmiah, manajemen referensi, dan lainnya. Intinya dari mencari informasi, mengunduh, mengelola, menulis, menerbitkan, menilai hasil terbitan dan wadah terbitan (jurnal).

Dan, itu dijual.

Ini jadi dilema. Di satu sisi, ilmuwan bernafsu ingin menerbitkan artikelnya di jurnal yang bagus (dengan berbagai angka yang disematkan pada jurnal tersebut), tapi di sisi lain, tulisan yang dia tulis juga harus mudah diakses orang lain, sehingga proses ilmiah yang terjadi setelahnya menjadi lancar.

Menerbitkan artikel di jurnal luar negeri + akses berbayar, sama dengan memberikan gratis penelitian kita pada orang kaya (mampu membeli artikel), serta justru membatasi akses diri sendiri + bangsa. Apa sebab?

Coba bayangkan. Peneliti yang meneliti menggunakan uang negara, setelah selesai penelitian, ditulis dan diterbitkan di jurnal yang penerbitnya di LUAR NEGERI. Ini keanehan pertama. Yang membiayai negara/rakyat sendiri, atau dia bisa dapat bantuan karena dia warga Indonesia, tapi hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal LUAR NEGERI.

Paijo: "itu kalau yang membiayai negara. Nek golek dewe, Kang?"
Karyo: "karepmu, Jo"
Karyo: "kalau masih bebas diakses, ya ndak papa, Jo".
 

Efek dari keanehan pertama tersebut, akan sangat terasa jika jurnal tersebut ternyata berbayar. Kalau masih bebas diakses, ndak masalah. Lah, kolega sendiri, atau warga negara Indonesia, yang satu tumpah darah dengannya, mau unduh kudu bayar. Hopo ora nggumuni?

Maka, saya ulangi lagi kalimat di atas: menerbitkan artikel di jurnal yang terbit di luar negeri, dan bukan open access = memberikan hasil penelitian kita pada orang kaya, serta membatasi akses bagi saudara atau tetangga kita sendiri.

Antara prestis dan kemudahan akses
Mencari cethul ketika banjir
Ilmuwan yang mendahulukan penyebaran ilmu dibanding prestisius, mestinya akan mendahulukan jurnal yang memudahkan proses aksesnya, dibanding kepopuleran jurnal. Sebagai ilmuwan, harusnya mendahulukan manfaat dari pada prestis. Pemilihan jurnal, bukan hanya didasarkan pada angka-angka statistik yang melekat (lebih tepatnya dilekatkan) pada jurnal. Namun, setelah pertimbangan tersebut, harus periksa lagi dengan pertimbangan “mudah tidaknya dokumen tersebut diakses orang lain”.

Bagaimana caranya? Ya diterbitkan di jurnal yang tepat dan ideal. Jurnal ideal untuk publikasi adalah jurnal bergenre open access, serta dikelola sendiri.

Mengapa open access?, karena menjamin semua orang dari semua tingkatan ekonomi bisa mengunduhnya secara gratis. Tanpa harus membayar, dan direpotkan dengan proses bayar-membayar model kartu kredit dan semacamnya. Jika mudah diakses, maka manfaat ilmu untuk ilmu dan untuk ummat manusia akan terasa.  Dikelola sendiri, maksudnya jika ranahnya institusi, maka jurnal tersebut dikelola institusi itu sendiri. Ya, tentunya jika ada orang lain dari institusi lain yang ingin menerbitkan, ya boleh saja.

Paijo: “kalau dikelola sendiri, nanti pilih kasih, Kang?”
Karyo: “kalau itu terkait profesionalisme, Jo. Ketentuan sebaran reviewer kudu dipenuhi. Kudu profesional. Hora njuk, diakeb dewe!”

"Lah, kalau tak punya?" Ya terbitkan di jurnal open access lainnya, di manapun. Karena open access akan menjamin kemudahan akses hasil penelitian tersebut.

Kebahagiaan hakiki seorang penulis, adalah ketika tulisannya banyak dibaca orang (kemudian dikutip).


Artikel lebih tinggi derajadnya dibanding jurnal
Kualitas artikel lebih tinggi derajadnya dibanding kualitas jurnal. Saya kira pernyataan ini harus diakui. Bagi para penulis, ini harus diyakini, karena terkait harga diri mereka sebagai ilmuwan. Dengan keyakinan ini, maka selayaknya, penulis memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dari pada jurnal.

Kita masih ingat kasus-kasus jurnal abal-abal. Jika ada artikel yang terbit di jurnal yang teridentifikasi abal-abal, maka artikel tersebut bisa digugurkan jika digunakan sebagai syarat administrasi dengan tujuan tertentu. Atau kasus sebaliknya, artikel abal-abal yang terbit di sebuah jurnal yang bukan abal-abal. Bagaimana kasus ini dilihat dari kaidah “artikel lebih tinggi derajadnya dibanding jurnal?”.

Untuk kasus pertama, meski (sengaja atau tidak sengaja) terbit di jurnal abal-abal, maka artikel akan tetap menjadi sebuah artikel. Dia akan dibaca, dan diakui kebenaran analisisnya, jika memang analisisnya benar. Derajad artikel tetap akan ada di atas jurnal.

Untuk kasus kedua, sudah jelas bahwa artikel tersebut abal-abal. Misal artikel yang diatasnamakan penyanyi dangdut Indonesia, yang pernah terbit tahun 2012. “Artikel” tersebut tidak bisa disebut artikel, sehingga tidak dikenai pernyataan di atas.

"Loh, kan itu sudah dianggap artikel?"

Okelah, ketika artikel tersebut terbit, dan terbukti abal-abal, sekarang artikel tersebut (artikel yang nama penulisnya penyanyi dangdut) sudah tidak lagi ada di jurnal, sudah dihapus. Jurnal akan rusak jika memuat artikel abal-abal. Hal ini, secara langsung membuktikan bahwa nilai artikel lebih tinggi dari jurnal.  Tapi artikel bagus, tidak akan rusak substansinya ketika diterbitkan oleh jurnal abal-abal. Artikel akan mempengaruhi kualitas jurnal. Artikel tetap lebih tinggi derajadnya dibanding jurnal.

Loh, menerbitkan artikel di jurnal butuh waktu je. Berbulan-bulan, bahkan sampai hampir setahun.

Paijo: “Nah, itulah, perlu terobosan, Kang. Trus, prestise atau kemudahan akses?
Karyo
: "kalau bisa ya dua-duanya, Jo"


Sambisari,
Rebo Wage, 25 Mulud 1951 Dal
5.33 esuk



Sunday 12 November 2017

,

Neliti.com dan disrupsi di dunia pengelolaan jurnal

Paijo: "Waduh, tautan artikel jurnalku langsung ke web Neliti"
Karyo: "Maksude piye, Jo?"

Purwo.co -- Neliti yang saya maksud adalah portal Neliti.com. Tentunya, tulisan ini hanya sebatas kecil/sedikit pengetahuan saya.

Pada webnya, Neliti didefinisikan sebagai mesin pencari penelitian yang membantu lembaga penelitian dan universitas di Indonesia untuk menemukan kembali hasil penelitian, data primer dan fakta. Sebagai mesin pencari, Neliti mengindeks berbagai sumber dan disatukan pencariannya melalui portal Neliti.com. Sehingga orang yang membutuhkan, tidak harus membuka masing-masing alamat satu/satu. Cukuplah membuka Neliti.com

Neliti beralamat di blog D, lantai 4 Perpusnas RI.  (
https://www.neliti.com/id/about)

Dalam proses mengindeks, Neliti memanfaatkan protokol OAI-PMH yang terpasang pada masing-masing jurnal, repository atau sumber lainnya. Protokol ini terpasang secara default pada berbagai aplikasi berbasis web populer yang banyak digunakan untuk mengelola jurnal atau repository. Nah, karena sudah tersedia, maka siapapun dengan kreatifitasnya dapat mengambil metadata tersebut. Hal ini sudah jamak dilakukan.

Misalnya pengambilan data menggunakan Z.3950 ke worldcat atau ke Library of Congress menggunakan aplikasi SLiMS atau aplikasi lainnya. Pustakawan sebuah perpustakaan universitas di pulau Sumatera, ada yang mengumpulkan metadata berbagai jurnal open access ke satu pintu menggunakan OHS (Open Harvester). Ini sah-sah saja, sebagai sebuah upaya mengelola informasi, dan meningkatkan visibilitas tulisan, serta memberikan layanan yang bagus untuk pemustaka mereka.

Jika sebuah jurnal/repository tidak mau diambil datanya, ya matikan protokolnya, atau batasi.
####

Nah, masalah muncul dari sini. Pada alamat https://www.neliti.com/id/news/gs-indexing, Neliti memposting berita permohonan maaf karena permasalahan indeks dari GoogleScholar yang mengarahkan sumber ke Neliti, bukan ke sumber aslinya (alamat URL jurnal atau repository).

Saya coba cari dengan kata kunci site:neliti.com pada Google Scholar, hasilnya seperti gambar di atas. Tentunya, dikaitkan dengan trafik sebuah alamat web jurnal, ini merugikan jurnal. Orang yang seharusnya membuka web jurnal, justru membuka Neliti. Jumlah trafik yang seharusnya dibukukan oleh jurnal, justru dicapai oleh Neliti. Apalagi jika trafik tersebut berkaitan dengan angka-angka sakti untuk akreditasi, pasti akan dianggap merugikan pengelola(an) jurnal. Angka tersebut turut berpengaruh pada proses naik kelasnya sebuah jurnal.

Siapa lagi yang dirugikan? Penulis? 

Ooo, tunggu dulu. Bagi peneliti, atau penulis, bisa jadi itu ndak begitu berpengaruh. Yang penting tulisan dia banyak diketahui orang. Semakin banyak sumber yang menyediakan tulisannya, semakin besar kemungkinan penulis bergembira, karena dengan begitu semakin tinggi kemungkinan orang mengutip tulisannya. Toh, dalam artikel yang diunduh, dan di web Neliti juga tercantum metadata dokumen tersebut, sehingga bagi penulis yang paham, dia tidak akan keliru kutip.

Paijo: “Kegembiraan hakiki seorang penulis artikel, adalah ketika artikelnya  dibaca dan dikutip orang lain”.
Karyo:” Sarujuk, Jo”.

#####

Paijo: “trus piye kang?”
Karyo: “pokoke, rumusnya kemudahan akses lebih utama dari prestise”.

Disrupsi
Pernah mendengar disrupsi? Ya, apa yang dilakukan oleh Neliti, agaknya merupakan sebuah kreatifitas, namun di sisi lain bisa dianggap sebagai gangguan. Ini disrupsi di dunia pengelolaan jurnal. Kreatifitas yang dilakukan Neliti menguntungkan penulis, karena visibilitas tulisannya semakin luas. Bagi pencari informasi, juga menguntungkan, karena menjadi mudah melakukan pencarian dan hanya perlu membuka satu portal saja.

Disrupsi, kata orang pintar, “menyerang” kaki-kaki. “Kaki” dari jurnal salah satunya adalah pengguna jurnal, dan juga penulis. Neliti memanjakan dua pihak ini. Nah, ibarat pengusaha taksi konvensional, atau ojek konvensional yang berteriak minta diperhatikan karena adanya kehadiran kompetitor mereka yang versi online;  maka dalam kasus Neliti, pengelola jurnallah yang kemungkinan akan berteriak karena kehadiran Neliti.

“Oei, ini trafik ke jurnal saya turun gara-gara Neliti”.
“Oei, akreditasi jurnal saya bisa terancam dong oleh Neliti, karena trafik masuk ke mereka”.

Regulasi yang terlambat

"Apakah perlu melarang internet, agar PT POS tetap hidup?". Ungkapan ini (tidak sama persis), saya baca di buku Disruption-nya Rhenald Khasali. 

Konon kabarnya, terkait disrupsi, salah satu hal yang menjadi permasalahan adalah terlambatnya regulasi, yang tidak mengikuti perkembangan jaman. Nah, dalam kasus trafik jurnal di atas, agaknya juga terkait regulasi tentang  pemanfaatan trafik tersebut. Regulasi akreditasi jurnal. Kalau demikian, kenapa tidak regulasinya yang diubah? Trafik jurnal untuk akreditasi juga diperhitungkan dari trafik pengindeks. Ya, tentunya ada pro-kontra. Okelah. Namun, kita perlu lebih bijak menyikapi.

OAI-PMH (yang terbuka) + NELITI = visibilitas penelitian.

Oie, itu kan orang asing. Data kita bisa dimiliki mereka, dong. 
Adakah yang analisisnya sampai disitu? Yang masuk di Neliti merupakan artikel jurnal yang sistemnya menyediakan OAI-PMH. Nah, rata-rata mereka menggunakan OJS. Hehe, akan lucu jika ada yang menaikkan analisisnya dengan, “OJS ini proyek pengambilan data jurnal, dengan iming-iming software gratis”.

Jika mau mengambil, kenapa harus dibuat portal publik? Bukankah cukup diam, ambil datanya, selesai. Agaknya analisis di atas, kurang tepat.

Solusi
Ski-hap (penulisannya tidak sama persis), merupakan mesin yang dianggap mengganggu pengelola jurnal, terutama jurnal besar. Kepentingan bisnis mereka terganggu. Ski-hap mendasarkan kegiatannya pada “ilmu untuk semua”. Atas jasanya, banyak penulis yang mudah mendapatkan artikel penulis lain, sehingga banyak penulis yang bertambah penyitir artikelnya.

Neliti, tentunya tidak sama persis dengan Ski-hap. Namun ada efek yang sama, yaitu terbantunya penulis artikel dan penulis yang membutuhkan artikel untuk kegiatan ilmiah mereka. Pustakawan cukup, “silakan buka Neliti.com, kita cari artikel yang dibutuhkan di url itu”.

Permintaan maaf yang disampaikan Neliti, merupakan sebuah itikad baik pengelolanya. Apalagi disampaikan bahwa tujuan Neliti yang sebenarnya adalah meningkatkan traffik web jurnal, dan membantu menyebarkan karya ilmiah di Indonesia.

Solusi dari keadaan ini, semestinya ya sinergi. Jurnal sebagai wadah resmi penerbitan artikel, lengkap dengan volume, nomor, halamannya. Sedang Neliti merupakan alat untuk memperluas cakupan sebaran artikel jurnal tersebut di dunia online. Hasilnya adalah semakin luasnya kemanfaatan artikel jurnal bagi kemaslahatan ummat manusia. Bukankah hasil itu merupakan goal dari proses ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan? Termasuk proses yang dilakukan dalam dunia jurnal.

Paijo: "semakin luas jangkauan penyebaran artikel, semakin tinggi kemungkinan h-indeks penulis naik".
Karyo: "agaknya demikian, Jo. Penulis yang senang"

Kalau mau win-win solution, Neliti cukup mengindeks metadatanya saja, jika orang membutuhkan pdf, maka diarahkan ke URL jurnal aslinya. Saat ini, sepertinya Neliti juga mengambil metadata termasuk file .pdf dari artikel. Misalnya seperti metadata "Determinan Efisiensi Teknis Usahatani Padi di Lahan Sawah Irigasi" yang file .pdf tersedia di https://media.neliti.com/media/publications/99279-ID-determinan-efisiensi-teknis-usahatani-pa.pdf.  Tentunya, solusi ini perlu saling komunikasi.

Alamat Neliti, yang ada di lingkup Perpusnas RI (seperti yang tercantum pada web neliti), menurut saya adalah bentuk cerdas Perpusnas untuk menggandeng, atau membuat sinergi. Hal-hal seperti ini, yang semestinya terus dilakukan.

Neliti.com itu bukan gangguan, tapi ikut memberdayakan.


Sambisari, 12 November 2017
7.24 pagi

Thursday 9 November 2017

Presentasi tentang SLiMS Di Universiti Brunei Darussalam tahun 2012

Purwo.co - Tahun 2012, bersama teman-teman FPPTI DIY, saya berkesempatan presentasi tentang SLiMS di UBD (University Brunei Darussalam).  Tulisan berjudul "SLiMS community: building the networks through an open source software" kami tulis berdua, Heri Abiburachman Hakim dan saya.

Tulisan tersebut mengupas kegiatan komunitas SLiMS, produknya, dan perannya di tengah komunitas kepustakawanan dunia.

Berikut slide dalam Prezi, dan sekilas video saat presentasi.

Paijo: "Lumayan, Yo. Iso nggo kenangan"
Karyo: "Iyo, jo. Jaman semono. Saiki wis tak sumingkir wae".
 

Slide di Prezi.com


Video di bawah ini diambil oleh Bu Rahayuningsih, dari Universitas Sanata Dharma. 

Tuesday 7 November 2017

, ,

Ilmu informasi! Opo kui?


Ngobong uwuh
Purwo.co - Di tengah perjuangan pustakawan dengan (ilmu) perpustakaan yang dipelajarinya –ya, meski juga ada pustakawan yang tidak perlu belajar (ilmu) perpustakaan di bangku kuliah-, pustakawan "diganggu" dengan ilmu informasi, atau lebih nggaya dengan sains informasi.

Sebenarnya, apa itu ilmu informasi? Eit. Sebelum dilanjut baca, tulisan ini hanya tulisan sembarangan, lho. Iseng saja, cari bahan untuk ngisi blog.

Paijo: "Kok iseng, tho?"
Karyo: "Jarene dunia ini hanya senda gurau, Jo. Apalagi cuma praktisi, bukan ilmuwan. Yo, iseng wae lah"

Kata Mbah Borco, ilmu informasi merupakan “..relating to origination, collection, organization, storage, retrieval, interpretation, transmision and utilization of information”. Ini cuma potongan saja dari keterangan Mbah Borco, tahun 1968. Pokoknya, menurut si Mbah, kaitannya dengan interpretasi, penyimpanan, pengelolaan, pemindahan, penggunaan informasi. Sepertinya ini pengertian yang cukup sederhana, namun turunannya akan sangat banyak.

###

Nah, sekarang menurut Om William tahun 1987. Ilmu informasi itu menggunakan teori, prinsip, teknik, teknologi dari berbagai disiplin ilmu untuk solusi masalah informasi. Nah, Om Willian menambahi disiplin ilmu yang tergabung pada ilmu informasi yaitu: ilmu komputer, kognitif, psikologi, logika, matematika, teori informasi, elektronik, komunikasi, linguistik, ekonomi, ilmu klasifikasi (klasifikasi opo iki, ya?), ilmu sistem, ilmu perpustakaan, dan ilmu manajemen.

Om William ini agaknya rodo nggaya. Lah bagaimana tidak nggaya, lah mau memborong berbagai ilmu digabung, jadi lotek. O, kleru, dudu lotek, tapi jadi satu dalam ilmu informasi. Lalu sedalam apa nanti ilmu yang dikuasai ilmuwan alumni ilmu informasi?. Ketika dia bisa menguasai manajemen, tapi juga psikologi, logika, juga matematika, lalu komputer dan juga elektronik, itukan sudah level ilmu dewa. Ilmu yang penguasanya pasti orang yang linuwih dibanding lainnya.

Atau, mungkin hanya kulitnya saja, atau dipilihi, diayak yang penting-penting saja terkait ilmu informasi. Misal, matematika, ndak perlu sampai tahu sin-cos-tan, tapi cukup bisa menghitung berapa kali sebuah artikel dikutip orang lain. Ya, akar kuadrat atau teori peluang juga perlu dikuasai, agar bisa memprediksi gerak acak sebuah informasi dengan lebih tepat.

Kalau ilmuwan ilmu informasi mampu memprediksi informasi yang akan muncul kemudian, apalagi pada masa-masa kampanye pilihan lurah, kan bisa dijual itu analisisnya. Hasilnya bisa untuk madhyang sekeluarga.

###

Berikutnya, Mas Saracevic. Agaknya si Om ini baru saja membuat definisi ilmu informasi, yaitu tahun 2009, sudah milenium ke tiga. Mas  Cevic menuliskan,  “information science is the science and practice dealing with the effective collection, storage, retrieval and use of information”. Penak tenan pengertian ini, mirip sama Mbah Borco.

Pada tulisan lainnya, Mas Saracevic menyampaikan bahwa ilmu informasi punya tiga karakteristik. Pertama interdisipliner, kedua tidak dapat dielakkan bahwa ilmu informasi berhubungan dengan teknologi informasi. Ketiga, bersama bidang lainnya, ilmu informasi turut berperan dalam evolusi masyarakat informasi. Ilmu informasi punya dimensi kuat pada aspek sosial dan kemanusiaan, dari pada teknologi.


###

Kurikulum ilmu perpustakaan dan ilmu informasi. Sumber sini
Ketika orang bicara perpustakaan, maka yang akan diingat atau terbayang adalah buku.  (Ilmu) perpustakaan, yang paling tua adalah mengelola buku (dalam berbagai bentuknya). Namun seiring perkembangan jaman, pembatasan “buku” sebagai yang dikelola di perpustakaan oleh pustakawan menjadi tidak lagi relevan. Kenapa? Karena yang dikelola pustakawan bukan hanya buku, tapi yang lebih luas lagi, “informasi”.

Trus, apa ilmu informasi ada sambung rapetnya dengan ilmu perpustakaan? Jelas ada. Karena secara lebih luas yang dikelola itu informasi, maka dimunculkanlah ilmu informasi. Nah, karena jaman now ini adalah jaman teknologi, maka pengelolaan informasi juga harus ada sentuhan teknologi. Yang dikelola pun juga informasi dalam arti luas. Coba saja lihat tiga pengertian di atas.

Ilmu perpustakaan sudah tidak lagi relevan, mulai terganggu, dan dari sisi pengelola program studi, daya jualnya sudah menurun. Dia harus diolah, dibumbui biar sedap, meski hasilnya akan beda nama, dikembangkan, kemudian lahirlah ilmu informasi. Kemajuan jaman, canggihnya teknologi, kenyataan mudahnya buku diperoleh di internet baik legal atau ilegal, menjadi “gangguan” bagi perkembangan (ilmu) perpustakaan. Pengembangan ilmu informasi merupakan bentuk strategi atau rumah baru, untuk bernaung  dari gangguan tersebut, atau bernaung ketika ilmu perpustakaan lambat laun menunjukkan kejenuhan.

###

Lalu apa pekerjaan santri lulusan ilmu informasi, jika dia kerja di perpustakaan? Sori lho, ya. Saya tulis perpustakaan atau “di” perpustakaan, karena Karyo dan Paijo, penghuni blog ini serta bolo dupaknya merupakan orang yang mengabdikan diri di perpustakaan, setelah mengenyam atau mencerap ilmu dari para ilmuwan yang tidak kenal lelah mengajar mereka. Mereka-mereka itu perlu tahu, apa pekerjaan orang yang akan menemani mereka bekerja di perpustakaan. Sehingga saya sodorkan pertanyaan di atas. Mereka ndak berani tanya sendiri.

Paijo: “Yo, njuk apa pekerjaan sehari-hari rekan-rekan alumni padepokan ilmu informasi?”
Karyo: “Jo, aku ya durung weruh. Nak ada alumni padepokan ilmu informasi, kabari aku. Kita bisa bareng-bareng tanyakan ada mereka. Ya idheb-idheb ngangsu kawruh.

Pertanyaan itu muncul, bukan karena takut saingan, tapi agar bisa menyesuaikan diri. Begitu kira-kira keinginan Karyo dan Paijo.

###

Njuk, apa sikap pustakawan?
Bagi  pustakawan yang memang telah jadi pustakawan dan bukan alumni ilmu informasi murni, maka bekerja sebaik-baiknya merupakan pilihan terbaik. Sembari mempelajari hal baru, sebagai bentuk kewajiban pustakawan untuk belajar sepanjang hayat.

Baca juga: Mandiri dan belajar seumur hidup: ruh pengembangan diri pustakawan

Jaman sekarang, ngejar ilmu bisa dilakukan mandiri, apalagi pustakawan. Banyak sarana yang bisa digunakan, bahkah dengan tak ada departemen ilmu informasi di sekitar kita. Lihat saja silabus ilmu informasi, pelajari secara mandiri, apa yang belum pernah dipelajari ketika kuliah ilmu perpustakaan. Coba lihat gambar di atas. Nah bandingkan saja, lalu pelajari dengan baik.

Paijo: "Lalu irisan yang belum dipelajari?"
Karyo: "kursus, Jo" 

Siapa tahu, nanti ada yang buka kursus. Seperti hobi institusi yang baru saja  punya gedung baru itu. Kan proyek baru. “Diklat menjadi ilmuwan informasi”, begitu judulnya. Apik tho?

Kalau saat ini tetap ngotot ingin tahu peran ilmu informasi di perpustakaan, lihatlah alumni ilmu informasi yang bekerja di perpustakaan, cek apa yang dilakukannya setiap hari.

Bacaan:
Saracevic, T. (1999). Information science. Journal of the American Society for Information Science, 50(12), 1051–1063. https://doi.org/10.1002/(SICI)1097-4571(1999)50:12<1051::AID-ASI2>3.0.CO;2-Z
https://www.asist.org/about/information-science/ 



Sambisari, 7 November 2017
5.39 pagi

Monday 6 November 2017

,

Sejak kematian monitor (TV) itu…

Purwo.co -- Tanggal 27 Oktober 2017, istri saya mengirimkan pesan melalui whatsapp. “Monitor tv-ne gak mau nyala, yah”. 

ketika masih lumayan normal
Itulah hari terakhir --sejak beberapa kali monitor dan tuner TV itu bermasalah-- tv itu bisa menyala. Sebenarnya bukan TV beneran. Tepatnya monitor komputer, yang difungsikan jadi tv, bahkan bergantian juga sebagai monitor komputer ketika masih punya CPU. Sejak menikah, kami menonton tv menggunakan monitor tersebut, dengan dilengkapi tv tuner. Kami punya 3 tv tuner.  Pertama tv tuner nggenteni dari Pak Ngudi, teman kerja di Teknik Geologi, yang beliau beli di pasar barang bekas Jogja. TV tuner pertama ini jadi percobaan.  Kemudian, karena rusak, saya membeli baru dari beberapa toko elektronik di Jogja. 

Monitor tersebut, bukan TV. Karena bukan TV, kerap saya gunakan sebagai alasan menjawab orang yang menawarkan TV kabel pada saya. “Saya mau pasang pakai apa, Mbak? Wong saya ndak punya TV”, begitu biasanya saya jawab. 

Monitor tersebut, bertahan sejak 2008 sampai 27 Oktober 2017. Dengan ditandai WA dari istri saya tersebut di atas, habislah masa bhaktinya. Sebelumnya, kabel monitor pernah meleleh, saya belikan kabel baru, beres. Namun kerusakan kali ini, bukan pada kabel yang dicolok ke listrik, namun ujung kabel yang ada di monitor plus tiga besi yang terhubung ke colokan. Meleleh. 

Selain itu, layar sudah tidak full, tidak penuh. Hanya sebagian saja yang berfungsi, sebagian yang lain hitam. Kalau menonton pertandingan bola, kami tidak dapat melihat skor dengan jelas. Ya, karena garis hitam yang ada di monitor tepat pada angka skor, bahkan juga menutup nama klub yang bertanding. Kalau nonton OK-Jek –tontonan favorit kami--, kami kadang kehilangan ekspresi Odet yang lucu, Sely yang judes. Bahkan rambut Mbak Prima yang berwarna-warni itu terkadang hanya kelihatan sebagian. Oia, namun juga ada baiknya, lho. Karena ekspresi penindasan dari Mbak Mawar pada Odet, terkadang tertutup oleh garis hitam pada monitor. Ah, syukurlah, akhirnya kami terhindar dari perasaan mangkel. 

Pertandingan U19 Indonesia vs Korsel kemarin pun, kami tidak bisa nonton. Ketika ada yang posting MotoGP di grup WA, kami tak lagi bisa menonton. Bahkan, acara Maiyahan di TV lokal Jogja itupun tinggal cerita. Satu lagi, kami kehilangan ekspresi nggaya Ari Kriting yang kerap menjawab pertanyaan Cak Lontong di acara WIB secara tepat. 

Sejak 27 Oktober, sudah seminggu lebih kami hidup tanpa TV. Rasanya ada yang hilang, namun ada yang menyenangkan. Waktu sore hari, dihabiskan dengan membaca buku (cie….), ngobrol, atau ngetik tulisan untuk blog #halah.

Selain itu, kami mengandalkan radio. MBS FM, Videk, dan beberapa radio lainnya, akrab kami putar. Campur sari asli Pak Dhe Manthos, Mas Didi Kempot, Yu Nyahni, atau lek Lasmini jadi andalan. Nama terakhir ini saya panggil Lek, karena kabarnya memang masih ada urutan saudara dengan saya. Selain itu, juga lagu kenangan, atau pengajian lokal Jogja. Tak lupa, kadang wayang kulit semalam suntuk diputar untuk mengisi suasana. 

“Hoooooooooengngngngng”, sluluk Pak Dalang itu serasa nyamleng neng ati. Oia, suara lantang anak-anak di radio Videk, yang melantunkan geguritan atau mocopatan itu sungguh sangat mengagumkan. 

###  

Siaran tivi sekarang, agaknya memang berbeda dari tv jaman kecil dulu. Kudu pinter milih saluran yang layak tonton. Ya, sekarang banyak siaran yang berkualitas di tv kabel, tapi ya ana rupo ana rego

Memilih saluran  atau siaran tivi, seperti memilih jalan hidup, memilih ideologi, memilih jalan fikiran, atau memilih masa depan. 

Saya, kami, tidak tahu sampai kapan bisa bertahan tanpa televisi. Apakah dalam jangka waktu yang lama, atau tak kuasa untuk ngitung-itung tabungan lalu beli tivi baru.

Yang pasti, sejak matinya layar TV itu, satu harapan kami: beban biaya listrik bisa turun. 

Paijo: "mesakke temen kowe, Kang".

Sambisari, 6 November 2017
3.37 dini hari