Tuesday 6 November 2007

,

Perpustakaan Klaster:



Sejarah telah mencatat bahwa perpustakaan merupakan sebuah entitas yang tidak bisa di nafikkan dalam mendukung kemajuan intelektual sebuah komunitas. Setidaknya ini ditunjukkan oleh Harun al-Rasyid yang membangun Khizanah al-Hikmah. Khizanah al-Hikmah ini lebih dari sekedar perpustakaan, namun juga merupakan pusat penelitian. Khizanah al-Hikmah yang kemudian oleh al-Makmun diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah pada tahun 815 M, yang pada masanya telah menyangga berbagai kegiatan ilmiah. Selain perpustakaan dan penelitian, juga semagai tempat kegiatan studi, riset astronomi dan matematika.
Pada masa-masa ini pula, banyak orang sudah tahu, bahwa telah lahir ilmuwan-ilmuwan modern. Ilmuwan dalam bidang theologi dan juga ilmuwan dalam bidang ilmu umum.
Sebagai contoh Ibnu Sina (Avicenna), yang merupakan seorang ahli kedokteran dan juga seorang folosof. Dengan buku terkenalnya, Al-Kanun (di dunia barat dikenal dengan The Canon) namanya dikenal dunia, dan bukunya telah dijadikan rujukan ilmu kedokteran selama berabad-abad.
Ilmuwan pada masa ini merupakan ilmuwan yang menguasai jenis keilmuwan spesifik dan yang pantas dicatat adalah juga menguasai aspek dasar sebuah ilmu. Jika kita perhatikan lebih jauh maka ilmuwan pada masa ini juga merupakan seorang filosof. Selain itu penguasaan ilmu lain yang mendukung ilmu utama yang dikuasai juga sangat menonjol.
Uraian di atas merupakan sedikit contoh perkembangan keilmuan yang ada di dunia timur. Di Yunani kita kenal Aristoteles, yang dianggap sebagai orang yang pertama kali mengumpul, menyimpan dan memanfaatkan budaya masa lalu, sebagai embrio perpustakaan. Selain Aristoteles terdapat Callimachus yang menyusun bibliografi sastra Yunani sebanyak 120 Jilid.

Perpustakaan universitas, yang banyak orang menyebutnya sebagai jantung universitas, merupakan salah satu penyangga kegiatan keilmuan dalam universitas. Peran vital perpustakaan universitas adalah pendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sebagaimana dikenal dengan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Universitas internasional, pada dasarnya adalah universitas yang dikenal oleh dunia internasional. Kenalnya dunia internasional atas sebuah universitas bisa dilihat dari kualitas out put universitas, baik itu lulusan maupun penelitian dari para mahasiswa atau dosen.
Dalam kaitannya dengan jangkauan universitas untuk menjadi universitas bertaraf internasional, maka tidak bisa diingkari bahwa perpustakaanpun wajib membenahi diri didalam merealisasikan capaian ini.
Aspek pelayanan, fasilitas, promosi dan desiminasi informasi merupakan sebuah kegiatan yang sudah selayaknya dilakukan oleh perpustakaan universitas. Pelayanan yang menitikberatkan pada aspek kepuasaan user, fasilitas yang memudahkan user, promosi layanan dan desiminasi informasi penelitian yang dihasilkan, adalah aspek wajib yang dilakukan perpustakaan. Dengan tanpa bermaksud mengesampingkan aspek teknis dan mekanis diatas, maka sesungguhnya konseptualisasi bentuk perpustakaan yang paling sesuai dalam pengembangan ilmu dan mendukung universitas internasional itulah yang harus rumuskan.
Universitas merupakan lembaga pendidikan yang mencakup berbagai bidang keilmuan, baik eksak maupun sosial. Hal ini tentunya akan berlainan dengan institut atau sekolah tinggi, yang hanya mengampu satu subyek ilmu saja. Aspek keuniversalan di universitas inilah yang kemudian harus di pahami, tidak terkecuali oleh perpustakaan.
Keuniversalan ilmu di universitas, berimplikasi pula pada pengembangan dan interaksi antar ilmu yang ada. Sudah selayaknyalah dikotomi-dikotomi dan pembatasan-pembatasan antar ilmu di minimalisir. Hal ini tentunya tidak lain adalah dalam rangka pengembangan ilmu itu sendiri.
Dalam kenyataannya selama ini berbagai disiplin ilmu selalu ada limitasi, ada batasan, sekat atau tembok besar dan tinggi yang sulit untuk ditembus. Hingga akhirnya ketika ada dua orang dengan disiplin ilmu yang berbeda mengkaji suatu masalah, maka akan ada dua penyelesaian dan pandangan yang berbeda pula. Ini merupakan jebakan diferensiasi ilmu yang harus di ketahui bersama.

Bertolak dari hal tersebut maka sesungguhnya bagaimana bentuk perpustakaan, dalam hal ini perpustakaan universitas dalam rangka mendekatkan berbagai disiplin ilmu itu?. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar, bila yang diinginkan adalah output hasil pendidikan yang mumpuni. Mumpuni dalam arti mampu melihat persoalan, kaitannya dengan riset yang komprehensif dengan pendekatan interdisipliner.

Perpustakaan klaster, sebuah usulan
Diakui atau tidak pada masa sekarang ini, perpustakaan perguruan tinggi, pada umumnya masih menutup diri untuk para pemakai dari luar institusinya. Sebut saja perpustakaan fakultas A, akan memberlakukan persyaratan tertentu untuk pemakai dari luar fakultas A. Hingga kadangkala watu yang dihabiskan untuk mengurus administrasi lebih lama dibanding untuk mendapatkan beberapa informasi yang ada di perpustakaan.
Jelas, realita seperti ini sangat tidak mendukung percepatan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena sesungguhnya ketika semakin mudah orang memperoleh suatu informasi, maka semakin cepat pula seseorang dalam mengembangkan suatu ilmu. Selain itu gesekan-gesekan antar ilmu juga akan menambah khasanah keilmuan.
Sebut saja, interaksi antara ekonomi dan fisika ternyata melahirkan ekonofisika. Hal ini bukan kemudian mengaburkan sekat dan kemerdekaan ilmu satu dengan yang lain, namun dengan “perkawinan” antar ilmu ini justru akan ada pandangan-pandangan yang lebih komprehensif dalam penyelesaian sebuah permasalahan. Selain itu bagaimana konsep stratigrafi dalam ilmu geologi ternyata mampu digunakan untuk mendekati konsep-konsep manajemen strategis. Ini merupakan contoh nyata bahwa interaksi ilmu merupakan hal yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Dengan banyaknya fakultas dalam perguruan tinggi, dapat kita anggap bahwa spesialisasi ilmu sudah sedemikian besar. Hal ini belum terhitung dengan jurusan dan program studi dalam fakultas yang bersangkutan, yang mana hampir tiap-tiap fakultas hingga jurusan mempunyai perpustakaan. Sesungguhnya, berbagai fakultas yang ada ini bisa dikelompokkan pada beberapa klaster, dengan mempertimbangkan keterkaitan ilmunya.
Sebut saja klaster Sosial-Humaniora yang terdiri dari Hukum, Sosial Politik, Ekonomi, Ilmu Budaya, Filsafat, Psikologi. Klaster Kesehatan yang terdiri dari Kedokteran Umum, Kedokteran Gigi, Farmasi. Serta klaster Teknik dan Sains yang terdiri dari Teknik dan MIPA. Pengelompokan ini bukanlah pengelompokan final, karena interaksi ilmu bisa saja berjalan tidak terduga sebelumnya.
Dari klaster yang ada, kemudian ditarik garis lurus untuk model perpustakaan. Artinya perpustakaan yang ada bukan perpustakaan fakultas namun perpustakaan klaster. Tiap klaster mempunyai perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat klasternya dengan tetap tidak menutup kemungkinan dari klaster lain untuk dapat menggunakan perpustakaan tersebut. Dengan model ini maka interaksi ilmu akan lebih intensif. Berbagai gesekan-gesekan ilmu yang diakibatkan oleh interaksi ini akan muncul. Justru keadaan ini menjadi pemicu perkembangan ilmu.

++++

Pada level Universitas, akhirnya dengan konsep perpustakaan klaster ini terdapat perpustakaan sesuai dengan jumlah klaster yang disepakati di universitas. Pemakai utama dari perpustakaan ini adalah mahasiswa, dosen, peneliti, tenaga administratif dari anggota klaster, dengan tidak menutup untuk dari klaster lainnya.
Bagaimana dengan perpustakaan universitas? Konsep perpustakaan universitas pada umumnya adalah menampung koleksi-koleksi yang bersifat umum, sehingga diharapkan berbagai kalangan lintas fakultas bisa mengaksesnya. Dengan konsep klaster ini, maka diidealkan perpustakaan universitas meleburkan diri, dan menyerahkan koleksinya pada klaster-klaster yang ada. Peran kepala Perpustakaan, akhirnya adalah sebagai pengelola atas perpustakaan klaster yang ada.

Mendukung interaksi ilmu
Konsep perpustakaan klaster, akan mendekatkan dan mendukung interaksi ilmu. Perpustakaan klaster yang menampung berbagai koleksi dengan berbagai subyek yang saling berhubungan tentunya pada dataran proses akan mengakibatkan gesekan-gesekan antar ilmu.
Sebagai contoh, pada klaster kesehatan, akan terlihat jelas dengan dimungkikannya seorang calon dokter atau pekerja kesehatan memahami pula aspek ke-farmasian. Demikian pula pada klaster teknik-sains. Seorang mahasiswa teknik sipil dapat juga memahami lebi mendalam tentang aspek kegeologian dalam kaitannya dengan teknik sipil. Interaksi ilmu ini pula yang akan mempercepat dan meningkatkan kualitas sebuah penelitian. Dengan intennya ilmu berinteraksi maka akan dimungkinkan adanya penelitian yang berjalan tidak timpang, yang akhirnya meningkatkan kualitas penelitian. Ketidak timpangan disini adalah dengan dimudahkannya akses atas referensi yang ada, baik karena tempat yang dekat maupun semakin banyaknya orang yang menguasai suatu bidang ilmu tertentu dalam ruang yang sama pula.

Efisiensi sumberdaya
Dengan perpustakaan klaster, maka sebagaimana saya tuliskan diatas, Kepala Pepustakaan menduduki peran pengelola atas perpustakaan klaster yang ada. Pengelolaan disini termasuk penyeragaman aturan yang ada pada tiap perpustakaan klaster. Peraturan yang ada diharapkan bisa mendukung interaksi ilmu pada klaster yang ada dan bahkan interaksi ilmu antar klaster. Sumberdaya yang ada pada perpustakaan pusat bisa dialihkan sebagai pustakawan di tiap klaster. Pemindahan pustakawan inilah yang diharapkan akan menjadi subyek spesialis dalam bidang ilmu di klaster tertentu.

Kemudahan pada pengguna
Kecenderungan pengguna perpustakaan, selalu membutuhkan koleksi lain yang juga mendukung kegiatan perkuliahannya. Seorang mahasiswa teknik fisika tentunya juga membutuhkan literatur tentang fisika dan ilmu murni lain. Mahasiswa kedokteran juga membutuhkan koleksi kefarmasian. Mahasiswa ekonomi menbutuhkan buku-buku sosial. Dengan konsep klaster ini maka kemudahan itu akan didapatkan. User dari perpustakaan sebuah klaster akan mudah menemukan koleksi lain yang dibutuhkannya, dimana keadaan ini akan sulit ditemukan ketika perpustakaan masih dalam konsep fakultas.

Mengenal Konsep Oposisi



Oposisi, dalam Webster Encyclopedia of Dictionary disebut sebagai opposite, yang berarti “diametrically different” atau perbedaan yang sama sekali bertentangan. Disebut juga “contrary” yang berarti berlawanan, membantah.
Dalam politik kenegaran oposisi atau disebut juga oposan, mendefinisikan dirinya dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk yang paling populer adalah partai politik. Partai politik yang kalah dalam pemilu biasanya mengambil jarak dengan penguasa, dan mendeklarasikan dirinya sebagai kaum oposan. Tentunya dengan tidak menafikan bahwa ada partai yang merapat ke pemerintah dengan berbagai alasan dan kepentingan.
Bentuk lain dari kaum oposan adalah LSM/NGO, Gerakan-gerakan mahasiswa, serta gerakan gerakan lain yang memproklamirkan dirinya sebagai penyeimbang pemerintahan [baca:pengkritik pemerintahan]. Latar belakang dan alasan kenapa mereka mengambil sikap dengan mendeklarasikan diri sebagai oposisi, tentunya bermacam-macam. Ada alasan keuntungan, bisa juga alasan ideologis.
Satu hal yang perlu ditekankan dalam konsep oposisi ini adalah: konsep oposisi tidak hanya menempatkan diri “melawan” pemerintah. Oposisi, sesuai dengan arti katanya bisa menempatkan diri dimanapun dalam suatu kelompok, organisasi, lembaga, dan dimana saja.

Kenapa oposisi penting?
Oposisi jelas penting. Berjalannya sebuah organisasi, atau secara luas sebut saja berjalannya sebuah system, tentunya tak akan luput dari berbagai kebijakan yang diambil oleh si penguasa. Kebijakan ini bisa baik dan bermanfaat bagi sasaran [baca:rakyat]. Namun disisi lain bisa jadi kebijakan-kebijakan itu justru merugikan. Dalam hal-hal seperti ini perlu adanya oposan yang punya akses seimbang antara kebawah [rakyat] dan keatas [penguasa]. Fungsi perantara inilah yang bisa mengantarkan keluhan-keluhan si tertindas, atas kebijakan-kebijakan penguasa.
Kekuasaan tentunya melahirkan power, dan power yang absolut akan melahirkan keburukan yang absolut. Power tends to corrupt, and absolut power corrupt absolutely [Lord Acton]. Sehingga oposisi itu mutlak diperlukan, titik.

Beberapa konsep oposisi
Konsep oposisi pertama adalah oposisi seremonial. Dilihat dari asal katanya, seremoni berarti resmi, formal. Oposisi jenis ini ditentukan orangnya, kedudukannya dan fungsinya. Melihat sejarah Indonesia pada masa orde baru, DPR sebagai oposisi seremoni, keanggotaannya ditentukan oleh penguasa dan fungsinya juga ditentukan, sebagai pelantun lagu “setuju”. Namun ternyata, hal-hal seperti ini justru menjadikan bom wantu bagi pemerintah. Ketidak puasan muncul, yang akhirnya kerinduan akan perubahan juga memuncak. Hingga memunculkan oposisi non formal yang berbentuk organisasi-organiasi non pemerintahan. Sebut saja MAR [Majelis Amanat Rakyat], PRD [Partai Rakyat Demokratik], yang berjuang ekstra parlementer. Oposisi-oposisi nonformal inilah yang memunculkan sosok-sosok baru yang mampu membukakan mata rakyat akan kebobrokan penguasa.

Oposisi destruktuf-oportunis
Oposisi jenis ini berusaha untuk selalu merusak citra pemerintahan, dari sudut pandang apapun. Kebijakan yang diambil selalu disikapi secara diametral. Kelemahan-kelemahan selalu dicari. Dengan harapan kewibawaan penguasa runtuh dan kudeta bisa dilakukan. Oposisi ini menginginkan kejatuhan penguasa secepat mungkin, sehingga kaum oposan bisa segera mengambil alih.

Oposisi fundamental ideologis.
Perlawanan yang dilakukan oposisi jenis ini tidak hanya pada dataran kebijakan saja. Namun sampai ke tataran ideologis. Tidak jauh berbeda dengan oposisi jenis kedua, jenis ini menginginkan kejatuhan penguasa, untuk segera bisa digantikan. Namun demikian penggantian ini tidak sekedar penggantian penguasa semata, lebih jauh sampai ke ideologis. Artinya menggantikan dasar negara semula dengan dasar yang dianggap lebih baik. Kaum oposisi fundamental ideologis ini tergerak menjadi oposisi karena dorongan faham. Entah itu bersandar pada religi, sosialisme, komunisme, nasionalisme, pluralisme dan lain lain.

Oposisi konstruktif demokratis
Kelompok oposisi ini meletakkan dasar perjuangan mereka pada kepentingan umum. Berbeda dengan oposisi sebelumnya yang hanya memperjuangkan kepentingan kelompok sehingga adanya kelahiran tiga jenis oposisi pertama justru menjadikan kacaunya tatanan yang ada. ketiga oposisi sebelumnya hanya akan menggantikan otoritarianisme lama dengan otorianisme yang baru. Dalam oposisi kontruktif demokratis, oposisi difungsikan semabagi penyeimbang pemerintahan dengan tetap melihat sisi positif yang telah dicapai, dengan tetap memperjuangkan demokratisasi pemerintahan, dan menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan golongan.

Zona nyaman terkadang membutakan mata sehingga tidak mempu melihat berbagai kekurangan. Zona nyaman terkadang melenakan sehingga mematikan nalar oposan kita. Zona nyaman terkadang memabukkan sehingga membunuh angan ideal kita.

Saturday, December 03, 2005
9:47:46 AM
purwoko@mail.ugm.ac.id