Thursday 20 January 2022

Kafe di Perpustakaan dan Potensi Pengkhianatan pada Fungsi Dasar Perpustakaan

Paijo, pustakawan ndlidig dan tidak tercantum aktif di berbagai organisasi kepustakawan,  pernah ditanya, "Apakah ada rencana mengembangkan perpus dengan fasilitas kafe?"

Pertanyaan itu dilontarkan setelah Paijo menjelaskan gambaran perpustakaan yang dikelolanya. Agaknya, si penanya tipe orang yang suka nongkrong, ngakak, sambil ngopi. Tentu saja di kafe. Terlepas dari apa jenis kopi yang diminumnya, tanpa atau dengan gula, dan seringnya sendiri atau bareng konco-konconya. Kemungkinan besar, dia juga orang yang memperhatikan perkembangan fasilitas perpustakaan, salah satunya, ya munculnya kafe itu.

Oia, perlu disampaikan, bahwa penanya ini bukan orang sembarangan. Ora embyeh-embyeh.

Paijo tidak mempermasalahkan, atau membahas pandangan si penanya tentang kafe di perpustakaan. Tentu saja, cara pandang itu hak dia. Oia, dia juga bukan dosen ilmu perpustakaan, sehingga tidak bisa diganggu dan tidak bisa digugat.

Karyo: "Lha kalau dosen ilmu perpus kenapa, Jo?"
Paijo: "Ya jelas saya gugat lah, Kang. Sembarangan."

****

Paijo punya pandangan sendiri terkait cafe di perpustakaan.

Jika yang dimaksud kafe di perpustakaan itu melingkupi sebuah ruangan, ada meja, ada kursi, orang bebas ngobrol, mengerjakan tugas, kemudian di situ ada orang jualan kopi dengan harga mahal, maka Paijo termasuk yang tidak setuju. Apalagi kopinya ditulis coffee, diikuti popcornfrench fries, ice cream. Keminggris. Mungkin agar sesuai dengan harga yang mahal.  Tidak tertarik.

Harga mahal memang relatif. Paijo pun, jane tidak memiliki patokan yang jelas.

Namun begini penjelasan singkat Paijo. Kampus itu isinya orang dari berbagai kalangan, dengan taraf ekonomi yang beragam. Perpustakaan menyediakan koleksi yang dapat diakses oleh pemustaka, tanpa terhalang sekat ekonomi. Kaya, miskin, kalau mereka sudah sah menjadi mahasiswa, maka mereka berhak mengakses koleksi perpustakaan.

Nah, jika kemudian ada kafe dengan harga mahal, maka hal ini sudah menyalahi ruh dasar perpustakaan itu sendiri.

Sebagai orang yang pernah masuk kafe di sebuah perpustakaan, karena penasaran, Paijo melihat kesimpulan di atas tidak berlebihan. Bagaimana tidak? Harga kopinya di atas rata-rata. Jauh. Mungkin memang karena itu kopi istimewa, baunya menguar ke mana-mana, prosesnya juga dengan alat canggih. Tidak cukup dengan seduh lalu sruput. Bayarnya juga ada yang ribet bagi mahasiswa kalangan bawah. Harus dengan e-moni, atau debet. Sungguh terlalu.

Sebagai pustakawan yang ndeso, tentu saja Paijo tidak tega jika melihat mahasiswa di kampusnya memegangi perutnya yang melilit, karena dipaksa melewati area kafe, atau berpapasan dengan  mahasiswa yang memegang secangkir kopi, dan membaui aroma kopi mahal yang tak bisa dibeli, karena tipisnya uang saku.

Paijo lebih senang mengajak mahasiswa berbagi. Katanya agar sesuai dengan ruh perpustakaan. Termasuk tentang kopi. Pada masa sebelum pandemi, ini berhasil. Paijo menyediakan kopi, atau mahasiswa yang suka dan punya kopi urun kopi ke perpustakaan. Disediakan ruangan, gelas, dan air panas. Termasuk gula. Mahasiswa bisa  ngopi sambil jagongan. Tak perlu membayar. Cukup ikut nyuci gelas saja.

Dengan demikian, ruh perpustakaan tetap terjaga. Tidak terkhianati, dan tergadaikan. Tepo selira juga ikut dijaga. Bukan malah membiasakan mahasiswa dengan hidup berlebihan.

Di perpustakaan, seharusnya adanya proses berbagi. Bukan berkali. Apalagi cari untung, atau cari wah, gaya-gayaan di depan yang.... ah sudahlah.

#####

Sambisari,
Kêmis Lêgi 16 Jumadilakir Alip AJ 1955 / 20 Januari 2022 M

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi