Monday 20 November 2017

Pustakawan dan (ilmuwan) perpustakaan perlu mencontoh akun facebook ini

Purwo.co -- Facebook, jamak dikenal sebagai media sosial. Digunakan sebagai wakil diri, penjelmaan diri pada dunia virtual, dan melakukan beberapa hal selayaknya dilakukan pada dunia nyata. Bukan hanya penjelmaan orang, namun kadang Facebook juga dijadikan penjelmaan institusi, kegemaran, atau komunitas. Fiturnya memang memungkinkan hal tersebut.

Nah, apa yang disebarkan oleh wakil-wakil di dunia virtual tersebut? Ini yang saat ini jadi persoalan dengan maraknya berita hoax, hoek, palsu, dan semacamnya. Berita itu disebarkan dengan tujuan tertentu, yang tujuan itu dirasa bisa lebih cepat diperoleh di dunia virtual dibanding nyata. 

Namun, apakah semuanya demikian? Tentu saja tidak. Setidaknya, saya melihat ada beberapa akun yang konsisten, atau sebagian besar postingnya adalah hal positif dan bermanfaat. Berikut dua diantaranya.

Feriawan Agung Nugroho
salah satu posting Feriawan
Kang Feri, atau Mas Feri, begitu biasanya dia dipanggil. Saya mengenalnya pada tahun 2001, ketika saya mulai kuliah di UGM. Kang Feri senior saya yang aktif di Jamaah Shalahuddin UGM, sedangkan waktu itu saya anggota baru. Akun Facebooknya dapat diakses di https://www.facebook.com/feriawan?fref=ts.

Posting Kang Feri, yang konsisten bercerita tentang berbagai hal terkait pekerjaannya sebagai pekerja sosial yang melayani simbah-simbah lanjut usia di sebuah panti sosial di wilayah Sleman, sangat menarik disimak. Terkadang cerita tentang kisah cinta simbah-simbah, mopoki, menjemput simbah yang hendak menjadi klien-nya di panti sosial dengan segala dinamikanya. Cerita tentang kematian klien, atau tak pedulinya keluarga klien ketika orang tuanya meninggal. 

Postingan yang konsisten, dengan tulisan renyah dan gurih dibaca, menjadikan pandangan orang pada pekerja sosial, pekerjaannya, serta dinamika di balai sosial berubah. (note: sejak kuliah, bahkah sebelum kuliah, Kang Feri memang pandai menulis. Cerpen/novelnya pernah diposting dengan ID “teroris cinta” pada jaman Friendster masih berjaya. cek di sini https://feriawan.wordpress.com/novel-ktcdh-yg-tertunda/).

Komentar, atau respon sedih, gembira, menangis dan lainnya mengikuti postingan Kang Feri. Tidak jarang, disertai doa, agar selalu diberikan kesehatan dalam menjalani profesinya. Agaknya, kesan “iri” juga sangat mungkin muncul. Iri pada pekerjaan Kang Feri, yang begitu dinikmati, dan dekat dengan berbagai kesempatan berbuat kebaikan.



Baca juga Menanti doktor (ilmuwan) perpustakaan yang rela nge-blog ala Dongeng Geologi 


Ismail Fahmi
Posting Ismail Fahmi
Ismail Fahmi, atau Mas Is, demikian beliau biasa dipanggil, merupakan seorang pegiat teknologi. Dulu dikenal sebagai penggerak IDLN, KMRG ITB, dan penggagas GDL atau Ganesha Digital Library. Selepas lulus Doktor dari Belanda, beliau kembali ke Indonesia dengan berbagai kegiatannya. Akun Facebooknya dapat diakses di https://www.facebook.com/ismailfahmibdg.


Postingannya di akun Facebook yang  menyita perhatian adalah postingan tentang analisis cuitan di media sosial Twitter terkait isu terkini. Isu politik, ekonomi, dan yang sedang trending lainnya. Postingan beliau tidak sekedar posting, namun dilengkapi gambar yang memperlihatkan peta isu, sekaligus analisisnya. Lengkap. Inilah kekuatan dan karakter postingnya. 

Analisis tersebutlah yang menarik. Dari analisisnya, kita bisa mendapatkan informasi “konfrontasi” di dunia virtual, dan bagaimana kita menyikapinya. Tidak jarang, beliau juga berbagi slide hasil presentasinya tentang suatu topik.

### 

Demikianlah, kekuatan postingan Kang Feri dan Pak Ismail yang konsisten, dibungkus dengan bahasa yang tepat yang mampu memberi efek positif bagi pembacanya.

Akun Facebook memang menjadi tanggungjawab masing-masing pemilik. Mau diisi apa, mau posting apa, dan mau digunakan sampai kapan. Namun, ketika postingan di Facebook bisa bermanfaat bagi sesama, tentunya akan lebih baik. 

Bagi pustakawan, posting terkait kepustakawanan (seperti halnya Kang Feri yang konsisten bercerita tentang pekerjaannya), tentunya akan memiliki energi positif bagi profesi pustakawan. Baik energi untuk menjaga citra, memperbaiki citra, atau otokritik pada dunia kepustakawanan. Atau posting analisis/hasil pengamatan/penelitian sebagaimana yang dilakukan Pak Ismail, tentunya akan menambah daya gedor pada publik tentang kepustakawanan. 

Sebaliknya, posting tentang jalan-jalan ketika ikut konferensi oleh pustakawan ada kemungkinan (ini cuma kemungkikan, lho), justru akan menjadikan penilaian negatif dari orang lain. Posting jalan-jalan, boleh saja. Tapi jangan sampai lupa, untuk mengimbangi dengan postingan bermutu yang diperoleh selama konferensi atau pengalaman menjadi pustakawan.


Paijo: "lah piye ya. Kadung sampai tempat baru, gratis. Ya sisan"
Karyo
: "iyo, tapi ingat. Ada ribuan mata di luar sana, yang melihat tingkah polah kamu, Jo. Kalau cuma konperan-konperen lalu uplod foto. Njuk po ra isin. Ben dianggep pinter ngono, po?"
Paijo: "Iya ya, jangan sampai jadi terpuruk"
 

Dua contoh akun facebook di atas, dapatlah dicontoh, dijadikan tuladha dalam penggunaan media sosial yang sehat, bermutu dan berkualitas. Postingan foto, atau kesehariaan sebagaimana pada umumnya, pastinya ada. Namun, posting positif yang konsisten dan berkualitas (setidaknya sampai saya menulis ini) pada akun mereka menjadikan nilai tersendiri pada proses bermedia-sosial. 

Siapakah pustakawan dan ilmuwan perpustakaan yang telah konsistem memposting hal positif tentang kepustakawanan?  Atau isinya sama saja, antara ilmuwan dan pustakawan: didominasi jalan-jalan + makanan.  


Silakan lihat   daftar teman anda di Fesbuk.

Media sosial, seharusnya menjadikan kekuatan bagi pustakawan untuk “membuat” informasi sendiri, menyampaikan pendapat, pemikiran. Dengan membuat informasi sendiri, pustakawan telah naik tingkat, dari sebelumnya hanya mengelola yang sudah ada. Media sosial, bisa dijadikan sebagai wadahnya. Jangan takut dikritik. 


Para (ilmuwan) perpustakaan, yang biasa berkhutbah tentang manfaat medsos, harus memberi contoh yang baik.  

### 

Paijo: “wo, katanya seminar, kok Fesbuknya berisi jalan-jalan”
Karyo: “ya, semoga tidak demikian, Jo. Ana hasile, ana efek bagi institusi, ra gur dipakai untuk moncerke diri pribadi saja”.

Karyo, sosok pustakawan yang memiliki prinsip: 1) layani pemustaka 2) berfikir merdeka. Pemustaka harus diutamakan, terutama ketika jam kerja. Sementara berfikir merdeka dimaknainya sebagai sikap pustakawan yang tidak terikat pada pemikiran orang lain.


Karyo lebih memilih bercengkerama dengan mahasiswa di perpustakaan. Kemudian posting di akun facebooknya apa yang dilakukannya bersama mahasiswa tersebut. Ngobrol ngalor ngidul, pulang, lalu istirahat. Demikian, lebih dirasa menentramkan baginya. Meski, konsekuensinya tak ada foto-foto keliling dunia.  
Ketentraman bathin, “urip ayem”, bagi Karyo lebih berharga untuk digapai.
Sambisari, 20 November 2017
5.05 pagi 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi