Wednesday 22 November 2017

Inilah konsep utama perpustakaan yang telah lama hilang

Jalan menuju hutan di Ngliparkidul, GK, Yogya.
Purwo.co -- Pustakawan atau mahasiswa (ilmu) perpustakaan jaman now, sudah tidak asing lagi dengan berbagai istilah yang membius intelektualitasnya dalam mengkaji perpustakaan.

Learning common, makerspace, co-working space, dan semacamnya. Yang terkadang merdu dan indah didengar, tapi cukup terjal jalan untuk mewujudkannya. Bahkan, mungkin bagi yang mengajarkannya pun, belum tentu bisa melakukannya.

Paijo: “we, lha”
Karyo
: "iki cuma ngudo roso, Jo. Oleh setuju, oleh ora setuju.
 

Konsep tersebut di atas, sesungguhnya, dalam konteks kepustakawanan di Indonesia, merupakan konsep import. Konsep yang diangkut dari makalah atau tulisan para pemikir bidang perpustakaan di luar Indonesia. Tak ada konsep aseli/original ilmuwan Indonesia yang muncul atau dimunculkan sebagai konsep pengelolaan perpustakaan.

Copy-paste, sudah dilakukan sejak dalam konsep.

Konsep tersebut tidak begitu saja muncul di negaranya atau konteks sosial masyarakatnya. Pasti ada latar belakangnya.

Misalnya alasan semakin berkurangnya orang yang datang ke perpustakaan, dan lebih senang ke mall. Maka suasana mall “dibawa” ke perpustakaan. Biar nyaman di perpus, maka ruangan didesain modern, nggaya dan kekinian.

Baca juga Perpustakaan terlengkap adalah jagat raya, dengan setiap manusia adalah pustakawannya

Dengan membawa suasana mall ke perpustakaan, diharapkan akan lebih banyak yang datang ke perpustakaan. Untuk lebih menarik lagi, maka makerspace yang ada di luar perpustakaan, diduplikasi, di bawa ke perpustakaan kemudian dilabeli sebagai generasi terbaru pengembangan perpustakaan. Lalu disiarkan di seminar-seminar.

Peserta pun terbius.
Pokoknya demikian, seterusnya. Jane yo rodo njelehi.

Siapakah yang “dikorbankan” dengan label-label atau konsep import tersebut?

Jawabnya satu: Pustakawan.

Dia dibombardir konsep, seolah dipaksa mengikuti jika tidak ingin ketinggalan dengan perpustakaan lain. Gambar atau foto perpustakaan yang telah menerapkan, dipamerkan sebagai pelengkap slide yang menghipnotis. “Wow, kerenn”, begitu kira-kira komentar pustakawan yang melihat. Padahal, belum tentu perpustakaannya, pada detik itu, membutuhkan.

Pustakawan mana yang ndak ingin perpustakaannya keren?. Semua mesti pengen
.

Pada berbagai konsep kepustakawanan, ilmuwan perpustakaan hanya sebatas mengkaji-mengajarkan-mempublikasikan. Pustakawan juga mengkaji, namun juga harus melaksanakan. Ada juga yang ikut mengajarkan, serta menerbitkan (hasil kajiannya).

Paijo: “loh, jadi pada dasarnya lebih berat pustakawan, kang?”
Karyo: “lho, iya. Jelas dong. Makanya  pada ingin jadi dosen (ilmu) perpustakaan. Lah, jadi praktisi itu berat je, Jo”.

###

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya konsep tersebut merupakan konsep kulit, bukan substansi. Dengan konsep itu, maka untuk mencapai perpustakaan yang bagus, alat modern, hanya bisa dicapai dengan dana. Perpustakaan yang kaya, pasti bisa mencapainya. Lah yang pas-pasan?

Konsep perpustakaan, seharusnya netral. 


Paijo: “loh, kan semuanya kudu pakai dana, Kang. Jangan ngelantur sampeyan. Jer basuki mowo beyo”.
Karyo: “ya, tapi ya jangan banyak-banyak lah. Mosok perpustakaan dianggap bagus karena memiliki mesin RFID, atau punya ruang-ruang seperti mall. Lak lucu, tha?”

Ya, konsep pengembangan perpustakaan, harusnya netral. Dia hanya bersyarat terkait kompetensi pustakawannya, sebagai penggeraknya. Konsep learning common, co-working, makerspace tidak akan banyak meningkatkan citra pustakawan, karena konsep itu sesungguhnya masih bermain di tataran kulit, dan tergantung dana. Konsep tersebut posisinya ada di luar diri pustakawan, dia tidak melekat penuh pada diri pustakawan. Bahkan menegasikan pustakawan. Konsep tersebut cenderung akan melahirkan kesan “wah” terkait fisik perpustakaan. Pustakawan akan kena efek positif, jika dia bertindak kreatif mendayagunakan dirinya, mengoptimalkan fasilitas tersebut.

Konsep tersebut cenderung meningkatkan citra perpustakaan, bukan citra pustakawan.  

Coba lihat studi banding yang dilakukan pustakawan. Itu studi banding berkunjung ke perpustakaan. Ingat! ke perpustakaan (fisik). Jika ingin studi banding substansi, seharusnya ke pustakawannya. Dan itu tidak harus datang fisik. Bisa melalui email, whatsapp, telegram dan lainnya.

Studi banding pustakawan itu lebih substantif dibanding studi banding perpustakaan.


Paijo: "studi banding dengan datang fisik itu jane piye, Kang?"
Karyo: "itu piknik, Jo"

Lalu apa konsep (layanan) perpustakaan yang sesungguhnya?

Pada masanya, perpustakaan pernah menjadi pusat. Proses pendidikan dan berbagai kegiatan ilmiah dilakukan di perpustakaan serta melibatkan pustakawan secara aktif, namun  sekarang sebaliknya.

Pada masa-masa terbaik perpustakaan tersebut, perpustakaan melakukan penerjemahan. Ini yang perlu digaris bawahi: PENERJEMAHAN. Penerjemahan karya ke dalam bahasa setempat. Selain itu juga proses penyalinan karya. Sebenarnya lebih pas, bukan konsep yang "sesungguhnya". Namun, konsep yang telah lama hilang, sebagaimana judul postingan ini.

Dengan kegiatan penerjemahan ini, pustakawan (yang juga seorang ilmuwan) akan tahu banyak hal tentang ilmu pengetahuan. Pengetahuannya akan benar-benar dihargai. Peran penerjemahan ini, setidaknya dituliskan pada buku Pak Dhe Ziaudin Sardar (1993), dan Kang Agus Rifai (2013).

Penerjemahan dan penyalinan, menjadi ruh yang membuat aura perpustakaan dan pustakawan menjadi sangat berwibawa.

Lalu ke mana layanan penerjemahan itu sekarang? Layanan atau aktivitas tersebut terputus ratusan tahun. Pendidikan yang mencetak pustakawan, sudah tidak lagi menjadikan penerjemahan sebagai bagian dari layanan perpustakaan. Penerjemahan diambil dana dibawa ke luar perpustakaan, kemudian menjadi area bisnis. Dia tidak lagi ada di dalam perpustakaan.

Paijo: “wa, lah berat je, Kang”
Karyo: “memang, Jo. Peran atau layanan penerjemahan itu berat. Tapi itu benar-benar masuk di substansi”.

Membuat ruang, menerapkan alat canggih itu perlu, tapi tidak akan sampai pada tataran “penting”. Karena dia kebutuhannya tergantung pada kondisi sosial dan budaya pemustakanya. Yang penting adalah meningkatkan peran pustakawannya. Karena sesungguhnya perpustakaan adalah pustakawan itu sendiri.

#pustakawanbloggerindonesia
Sambisari,
Rebo Legi, 3 Mulud 1951 Je
04.43  enjeng

No comments:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi