Thursday 9 March 2023

Tendik, mari tengok buku Profesi Wong Cilik, agar landing secara soft

Mendaki itu mudah, seperti halnya mengejar cita-cita. Tapi kalau sudah tercapai, sesudah sampai di puncak, perjalanan kembali itulah yang berbahaya” (Pak Jaga, dalam Profesi Wong Cilik, halaman 264).

******

Saya melihat, pada tenaga kependidikan (tendik) di perguruan tinggi, ada keadaan yang berpotensi menimbulkan post power syndrome. Untuk siapa? 

Semuanya! Termasuk saya.

Meskipun demikian, sangat mungkin ada yang telah dapat menekan dan meminalisir potensi ini.

Potensi ini, khususnya berkaitan dengan jabatan struktural (eselon) yang ada di lingkungan tenaga kependidikan. 

Pada tenaga kependidikan, jarang saya temui seorang tenaga kependidikan yang menduduki jabatan struktural (eselon), kemudian berhenti (atau membatasi) pada suatu waktu tertentu, lalu kembali menjadi staf pelaksana biasa, tidak lagi memimpin.

Yang jamak terjadi, dia akan naik jabatan (jika berprestasi).

Namun, jabatan yang lebih tinggi tentu saja terbatas. Maka, kemungkinan kedua, yang umum terjadi adalah menduduki jabatan itu sampai pensiun.  Atau dipihdahtugaskan, dengan tetap pada jabatan atau jenjang jabatan yang sama.

Menurut saya, "kebiasaan" ini jika terus berlangsung berpotensi kurang sehat.

Setidaknya, kurang sehat ini terjadi pada dua kemungkinan.

Pertama, menghambat proses sirkulasi (bukan rotasi, lho) tendik potensial. Kedua, jika muncul perubahan, berpotensi kaget. 

Perubahan, owah gingsiring jaman yang membuat kaget ini, paling tidak ada dua hal. Pertama perubahan teknologi, yang kedua perubahan kebijakan. 

*** 

Kondisi ini, secara umum berbeda dengan dosen. Saat menduduki jabatan stuktural, kemudian selesai, maka kembalilah dosen itu ke jabatan dan pekerjaan aslinya: dosen yang mengajar. Keadaan berjalan normal. 

Setidaknya begitulah yang umum terjadi.

*** 

Di dunia ini, tidak ada yang tetap, kecuali perubahan. Begitu filosof masa lampau memandang keniscayaan perubahan. 

Orang jawa punya rumus owah gingsiring jaman. Jaman yang selalu berubah. Jika ada pada masa kurang baik, maka orang Jawa berharap, “Semoga suatu saat nanti akan nemahi (menemui) rejo rejaning jaman (zaman yang sejahtera)”.

Namun, orang jawa juga siap jika owah gingsiring jaman itu berlaku sebaliknya. Mereka punya rumus manjing ajur ajer, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan tetap memegang prinsip.

Pada kasus potensi post power syndrome di atas, rasanya (khususnya saya) tenaga kependidikan perlu belajar dari ungkapan Alimudin, seorang mantan bong supit, masih dalam buku Profesi Wong Cilik.

Alimudin jauh hari sudah meramalkan, bahwa karena obah osiking jaman (owah gingsiring jaman dalam ungkapan bahasa Banjarnegara), dia harus bergeser dari profesi bong supit, cari usaha lain. “Bisa manjing ajur ajer, agar tidak terkejut dan makan hati…”, ungkapnya.

***

Sehingga...

Menjadi PR besar bagian SDM, untuk menginternalisasikan cara pandang yang tepat atas sebuah pekerjaan dan jabatan. Membuat keadaan “berhenti menjabat”, khususnya jabatan eselon merupakan hal biasa, bukan akhir segalanya. Tengoklah lagi kutipan kata-kata Pak Jaga pada awal tulisan ini.

Prestasi besar bagian SDM bukanlah saat pegawainya sukses menduduki jabatan-jabatan penting. Namun kesuksesan bagian SDM adalah saat pegawai yang menduduki jabatan itu turun, tanpa post power syndrome.

Semua yang naik, harus siap untuk turun. Meski perjalanan turun itu lebih berbahaya, karena harus menahan beban berat tubuh, dia tetap harus turun. Karena pangkat lan jabatan mung sampiran. 

Turun dan mendarat harus dilakukan dengan soft.  Landing dengan soft pun, harus disiapkan jauh-jauh hari. Tidak serta merta menjelang turun.

https://www.instagram.com/p/CavlKMzP0CM/

Apakah setelah landing, seorang mantan pejabat tetap bisa memimpin?

Tentu bisa.

Pemimpin dan pejabat merupakan dua hal yang berbeda. Pemimpin lebih luas dan lebih tinggi tingkatannya dari sekedar pejabat.

Setelah landing, pada keadaan tanpa jabatan formal, mengacu Robin Sharma pada bukunya Leader Who Had No Title, seorang tenaga kependidikan tetap dapat memainkan perannya sebagai leader. Pemimpin tidak harus dengan memiliki jabatan (formal). Semua bisa menjadi pemimpin dalam arti luas, seluas-luasnya. Pemimpin model ini, justru bisa lebih merdeka.


“Kunci utama mencapai kemenangan spiritual adalah mengalahkan perasaan tertindas, tertekan, terkalahkan, dan lain sebagainya.” (Batur, dalam Profesi Wong Cilik, hal. 248).


Sambisari,
9 Maret 2023
05.42 pagi


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi