Monday 7 November 2022

Tok! Akhirnya IPPI resmi terbentuk

Tok!. Ketokan palu itu menandai sahnya pemilihan ketua umum IPPI.

*****

Pagi yang cerah. Beberapa sesepuh pustakawan berkumpul. Ada yang sudah pensiun, ada yang menjelang pensiun. Terdapat hal penting yang mereka bicarakan. Hal itu nampak dari mimik wajah dan cara mereka berdiskusi.

Maklum, sebagai pustakawan senior, mereka memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga agar roda kepustakawanan tetap berjalan.

“IPPI harus terbentuk!”, celetuk salah satu di antaranya. Disambung dengan penjelasan singkat, tentang apa itu IPPI.

“Ikatan Pensiunan Pustakawan. Kita perlu organisasi ini, agar kemampuan dan pengalaman para pensiunan dalam mengelola perpustakaan tetap dapat terwadahi”, lanjutnya. Sosok yang sedang menjelaskan ini agaknya paling senior. Yang lain tampak mengangguk, sepakat. 

“Dengan IPPI, selain punya wadah, kita tidak mengganggu organisasi yang sudah ada. Tidak mengganggu organisasi wadahnya yang masih aktif. Ini juga sebagai upaya, agar kita tetap punya kegiatan dan kesibukan pasca pensiun”, lanjutnya.

"Kita bisa bikin acara, ngumpul, nostalgia, dan lainnya. Masa pasca pensiun itu kan berat." lanjutnya lagi.

Ya. Ini bisa dimaklumi. Bukankah banyak organisasi para purna tugas pada berbagai profesi.

"Ya, kan? Ya, kan?" tanyanya.

Yang lain mengangguk. Bersepakat.

“Dengan IPPI, kita bisa memberikan nasihat, wejangan, dan menularkan berbagai kebijaksanaan dalam menjalankan profesi pustakawan. Generasi muda pustakawan harus diajari tata krama. Dan, dari asam garam yang kita cecap selama aktif, sebelum pensiun, kita punya segalanya,” lanjutnya dengan semangat.

"Kita agendakan pembentukannya. Kita undang pula para junior," suara itu sangat bersemangat. 

*** 

Pada awal bulan November, pada tahun yang 2 dijit paling belakang kembar, di sebuah hotel mewah para senior dan junior bidang perpustakaan berkumpul. Tentu saja, berkumpulnya dua pustakawan beda generasi ini atas undangan senior. Tujuannya tentu saja mulia: pembentukan IPPI.

Junior diundang, dengan harapan agar mereka paham sejarah pentingnya IPPI. Toh itu untuk mereka juga, nanti, setelah pensiun.

Setelah penjelasan panjang lebar, pilihan dilakukan. Termasuk memilih ketua umum IPPI yang pertama. Pilihan dilakukan dengan sederhana. Malam-malam, setelah acara jalan-jalan, nostalgia, foto-foto dilakukan. 

Prosesinya juga sederhana. Tidak ada kotak suara, tidak ada verifikasi suara. Pokoknya panggil yang hadir, diminta maju, beri kertas untuk menuliskan pilihannya: Setuju atau Tidak setuju, dan siapa ketua IPPI pertama pilihan mereka.

Meski levelnya nasional, pemilihan dibuat sesederhana mungkin. Mirip pilihan ketua RT. Gembira, ger-geran.

Pemilihan selesai. Suara dihitung. Sebanyak 38 suara menyetujui. Namun ternyata ada 22 lainnya kurang setuju. Dari suara hasil hitungan inipun, tidak ada verifikasi dengan jumlah yang hadir.

Semua sah.

Tok. Akhirnya IPPI terbentuk. Teriakah hore terdengar, mewakili perasaan senang dan bangga terbentuknya IPPI dan juga ketua terpilih.

***

Malam berlalu. Pagi menjelang. Diskusi hangat pasca terbentuknya IPPI tetap berlangsung. Di sudut hotel, di ruang makan, di tepi kolam. Oleh para senior dan juga junior.

“Kawan, ternyata ada 22 yang tidak setuju terbentuknya IPPI,” salah satu tokoh senior membuka percakapan pasca pemilihan.

“Jangan khawatir, 22 suara ini tidak setuju karena belum tahu manfaat IPPI. Kemungkinan 22 suara ini dari generasi muda. Mereka belum berfikir matang, masih grusa-grusu. Bukankah jika ditelaah, IPPI itu nanti juga untuk mereka, saat mereka pensiun, untuk mewadahi pengalaman mereka agar tetap bermanfaat,” jelas pencetus ide IPPI dengan semangat.

Pencetus ini, juga merupakan ketua umum IPPI terpilih.

****

Sementara itu, di sudut lain, masih di kawasan hotel, para junior juga berkumpul.

“Saya tak habis fikir, kenapa kita yang belum pensiun diundang dalam pembentukan organisasi pensiunan. Bukankah itu cukup dilakukan oleh mereka sendiri,” celetuk salah satu diantara mereka.

“Kayak kamu ndak paham saja, kawan. Para senior itu hendak mencari legitimasi dari kita, yang masih aktif, yang belum pensiun,” jelas salah satu, juga di antara mereka.

“Eh. Tapi, aneh juga ya, ternyata ada 22 suara yang tidak sepakat. Apa gerangan alasan tidak sepakatnya pemilik 22 suara ini?”, tanya salah satu, juga di antara mereka.

“O, itu. …. 22 suara itu sebagai bentuk penggambaran bahwa pendapat para senior itu, entah secara personal, maupun lewat IPPI, tidak selamanya dapat diterima begitu saja oleh para junior,” celetuk salah satu dari mereka.

“Lalu apa sikap kita sekarang pada IPPI,” tanya salah satu, juga di antar mereka.

Semua diam. Berfikir, apa sebaiknya sikap yang tepat pada organisasi baru bentukan para senior itu.

“Organisasi pensiunan biarlah diurus para pensiunan. Kita biarkan saja. Toh manfaatnya juga belum tentu ada”, kata salah satu, juga di antara mereka.

[[ tamat ]]


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi