Thursday 20 February 2020

Bookless Library: beberapa point kelemahan konsepnya

https://pixabay.com/id/photos/sastra-buku-halaman-bersih-3033196/
Sebenarnya Paijo menyatakan bahwa pembahasan bookless (library) telah selesai. Kesimpulannya jelas. Jelas tidak jelas. Banyak kelemahan.

Namun ternyata muncul lagi. Di sebuah grup WA.

Ada yang membawa penjelasan - yang dianggap -  baru tentang bookless library.

Bookless library itu ada bangunannya. Tetap ada kegiatan layaknya di perpuatakaan. Tidak ada buku cetak. Tapi ada koleksi yang bisa dipinjam menggunakan e-reader. Sehingga pemustaka haruslah datang ke tempat ini. Ke tempat yang diklaim sebagai bookless library.

Ada beberapa kelemahan dari konsep ini. Tanpa panjang lebar, saya tulis 1 bagi 1.

1. Bookless – tanpa buku. Setidaknya arti ini saya ambil dari google translate, dan Merriam Webster Dictionary. Namun jika bookless itu digabung dengan bookless library menjadi “bookless library” di Wiki tertulisnya “do not nave any printed book”. Yang tidak ada itu buku tercetak. Demikian juga penjelasan di tempat lain. Klop seperti klaim di grup WA tadi. 

Ini berarti tetap ada bukunya, namun dalam bentuk yang berbeda dari buku konvensional (cetak kertas).
Dengan kenyataan ini, maka kata bookless itu sebenarnya mengecoh. Artinya tidak sesuai dengan arti asalnya. Jelas ini bias, bahkan cenderung menyesatkan. Mengarahkan pembaca (maksudnya yang membaca istilah bookless library) pada cara pandang tertentu, yang tidak sesuai kenyataannya. Padahal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dalam dunia ilmiah, menyesatkan itu tidak boleh.

2. Ereader, alat untuk membaca buku di bookless library. Alat ini hanya bisa digunakan dengan datang ke perpustakaan. Hal ini sangat menggelikan. E-reader ini, dengan penjelasan seperti itu, pada dasarnya adalah sama dengan koleksi buku cetak di Perpustakaan.

Coba bayangan buku cetak kertas, yang hanya bisa dibaca kalau memiliki, atau meminjam ke perpustakaan. Jumlahnya terbatas. Sama dengan ereader, kan? Yang jumlahnya terbatas, dan harus datang ke perpustakaan. Substansinya sama. Hanya beda di kertas dan di layar saja.

"O, tidak begitu," mungkin ada yang menyangkal. "Ereader bisa dipasang di gadget pemustaka", begitu alasannya?

Kalau alasan itu dipakai, maka benar, WC itu juga bookless library. Pos ronda apalagi. Bahkan saat ini, kita semua sedang ada di bookless library.

3. Inkonsistensi. Hal ini muncul karena mengharuskan pemustaka datang ke perpustakaan. Padahal perkembangan perpustakaan yang ada sekarang ini mengarah pada perpustakaan yang bisa diakses di mana-mana. Jelas ini kemunduran.

Bookless library tidak layak disebut pengembangan. Lebih tepatnya pemunduran.

4. Bookless library itu konsep penuh teknologi. Ini konsep elitis. TITIK.

Bookless library itu selemah-lemahnya konsep perpustakaan. Bookless library itu jelas tidak jelas, sampai terbukti jelas.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi