Friday 1 February 2019

, ,

Pustakawan: makhluk dongkrak-an dan malapraktik pendidikan pustakawan

**[1]**

“Pustakawan: makhluk apa itu?”

Pertanyaan yang tidak umum.  “Sejatinya, makhluk seperti apakah pustakawan itu?,” gumam  Paijo.

Setelah renungan panjang, diuyak-uyak alias dikejar-kejar, akhirnya dia ingat, dulu pernah nulis di blognya dengan judul “pustakawan itu bukan siapa-siapa”.

Ya. Bukan siapa-siapa! Paijo memang yakin begitu. Pustakawan itu manusia biasa. Dia bukan manusia super yang bisa ini itu. Berarti, kesimpulannya pustakawan itu makhluk yang bukan siapa-siapa. Dudu sopo-sopo!.

Tulisan itu, fikirnya, sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan “pustakawan makhluk apa itu?”. 

Namun, Paijo ingin mengejar, “bukan siapa-siapa itu karena apa?”.

Paijo ingin menelisik, sebab musabab pustakawan itu bukan siapa-siapa.

Menelisik “sebab” dengan waktu yang terbatas tidaklah mungkin. Kecuali lewat perenungan, kontemplasi agar turun wahyu, kemudian: cling, ketemu jawabannya. Tapi Paijo juga sadar. Dia manusia biasa yang berlumur dosa. Kesalahan dan dosanya sangat mungkin menjadi penghambat turunnya ilham. Ada tabir pemisah pada ilham dan wahyu yang sulit ditembus. 

**[2]**

Di grup pustakawan blogger yang Paijo ikuti, pernah terlontar pertanyaan atas dasar sebuah pengalaman.

Kang Yogi, seorang manajer aset digital terkemuka di Indonesia, kaget tak terkira. Ketika itu dia sedang memilah dan memilih para pelamar. Salah satu yang dilihat, tentunya selain foto pelamar yang bening-bening, juga IPK. Dia kaget saat melihat IPK adik angkatannya yang menjulang tinggi, setinggi tugu monas. Tugu yang kabarnya juga disebut MONumen Akal Sehat. Padahal, dulu di jamannya, IPK mau setinggai tiang bendera saja susahnya minta ampun. Sulit. 

Ada beberapa prediksi dari Kang Yogi, apa sebab IPK si pelamar itu bisa menjulang tinggi. Mungkin si mahasiswa makanannya bergizi, daya hafalnya luar biasa, kemudian yang terakhir nilai menjulang tinggi itu karena dongkrakan.

Dongkrak?

Dongkrak, menurut kamus suci Bahasa Indonesia, berarti alat untuk mengumpil atau menaikkan. Hasil dongkrak-an, berarti hasil dinaikkan, hasil umpilan, angkatan, yang sebelumnya di bawah menjadi naik ke atas. Mumbul.  

Komentar muncul, masih dalam grup itu, yang mengatakan bahwa dongkrakan itu diperlukan agar akreditasi kampus tetap oke, dan tentunya tuntutan pasar. Mungkin ada belas kasihan dari dosen pada alumni kalau IPK kecil, karena bisa menyebabkan tidak lolos masuk syarat mendaftar ASN. Efek berikutnya  akan dahsyat. Si sekolah perpustakaan akan dijauhi calon mahasiswa. Jelas ini berbahaya. Para dosen tidak mau ini terjadi. Itu pasti!

Namun, apakah prediksi ini benar?

“Harus diinvestigasi,” Paijo mengepalkan tangan.

**[3]**

Nah, sore ini, Paijo buka facebook. Biasa, buka akun satu dan lainnya, buka wall kemudian baca status banyak orang. Tanpa sengaja dia nemu status seorang dosen. Tentunya dosen ilmu perpustakaan, bukan dosen ilmu lainnya. Dia tak berani membahas yang lain.

Status di laman FB itu masih ada hubungannya dengan dongkrak mendongkrak. Begitu lugunya si dosen membuka rahasia dapurnya pada status sebuah facebook. 

Entah keluguan itu muncul karena memang lugu, atau, ya mungkin sedang menikmati posisinya sebagai dosen, yang memiliki "kuasa" atas mahasiswanya. Atau bisa juga karena saking mumetnya menjalankan perannya sebagai dosen (ilmu) perpustakaan.

“nilai-nilai itu sudah hasil dongkrak sana dan sini”, demikian tulis dosen itu di laman FBnya. 

“Ini jelas bukan status lugu,” gumam Paijo mengoreksi anggapan awalnya. Karena dia yakin, dosen itu sebagai ilmuwan yang boleh salah, tapi tidak boleh bohong dan harus jujur. “Lebih tepatnya ini status jujur,” koreksi Paijo dalam hati. Status itu sudah melewati tes kevalidan, kajian ilmiah, review, dan akhirnya keluar. Kabarnya ada juga yang nilainya D atau E.

Paijo mikir, kalau D dan E itu juga sudah hasil dongkrakan, lalu aslinya berapa? 

Sebenarnya Paijo masih heran, kenapa selevel dosen membuat status seperti itu? 

Ah, entahlah. 

Status itu merupakan bukti kejujuran, yang didukung oleh keluguan dan apa adanya. Status itu, yang berwujud kumpulan huruf, menjadi kata, menjadi kalimat, kemudian melahirkan tafsir, adalah tanda.  Ini bahasa semiotik. Tanda itu dikirim/terkirim oleh si dosen kepada publik, tentang apa yang terjadi dalam dapurnya.  Jika itu disengaja, maka memang ada pesan yang sengaja dikirim oleh si dosen. Jika itu tidak sengaja alias alamiah, atau tanpa sadar, maka memang demikianlah adanya.


Status itu cukuplah membuktikan, atau bukti awal prediksi Kang Yogi. Selain itu, juga cukup sebagai bukti awal, kenapa pustakawan itu “bukan siapa-siapa”. Atau, juga bukti awal, silang sengkarut kepustakawanan di Indonesia.

Paijo berkesimpulan, dongkrak-mendongkrak itu benar adanya.

"Ah, diperlukan lebih banyak dosen (ilmu) perpustakaan, yang berani membuka dapurnya di muka umum. Agar dunia kepustakawan lebih terang benderang duduk masalahnya," gumam Paijo.

**[4]**

Sendirian, Paijo masih melanjutkan lamunannya. Masih tentang dongkrak mendongkrak. 

Paijo mikir. “Jangan-jangan nilaiku dulu juga dongkrakan, katrolan”. Oh tidak…

Seorang kawannya yang bekerja di bidang penjaminan mutu pendidikan pernah berkata. Waktu itu di sebuah kafe samping rumahnya mereka ngobrol. Intinya: malapraktiknya pendidik itu efeknya sangat panjang, lama. Bahkan efek itu bisa menimbulkan efek ikutan lainnya. Bahaya, dan berpengaruh pada perjalanan bangsa dan negara.

Apakah proses pendongkrakan ini, merupakan malapraktik dalam pendidikan pustakawan?

Jika iya, maka jelas sudah. Silang sekarut kepustakawanan Indonesia memang bermula dari pendidikan pustakawannya. Bermula dari, ah... sudahlah.

Entahlah.
---------------

[[ titik - selesai ]]

Tulisan ini sebelumnya diposting di sini


Sambisari, 
Selasa Wage pagi hari, 22 Jumadilawal, 
Wuku Pahang, 1952 tahun be.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi