Sunday 7 October 2018

, ,

Teranglah sudah: semua bisa jadi pustakawan

“Revolusioner, anti kemapanan, anti kejumudan. Benar-benar luar biasa dan di luar dugaan”, Paijo bergumam sendirian. Wajahnya semringah, sambil memandangi layar gadget barunya, bermerk China yang sedang kondhiang saat ini. Gadget itu dibeli setelah mendapat acc istrinya beberapa hari yang lalu. Tentunya setelah berdebat sepanjang hari. 

###

Paijo tampak bergembira. Senyumnya lebar, kadang singsut-singsut, bersiul sambil menyusuri jalanan kampung. Tampak benar-benar dalam keadaan bahagia. Sejurus kemudian, sampailah dia di depan rumah Karyo. Tampak Karyo sedang santai bersih-bersih ladang depan rumah, persiapan untuk masa tanam yang segera akan datang. 

“Kang, ana berita bagus”. Tegas, lugas, Paijo setengah teriak pada Karyo. Karyo yang sedang memegang gathul, agak terkejut. Untunglah dia menguasai diri, dan tidak melempar gathul ke sumber suara. Jika itu terjadi, entah kegemparan apa yang akan meledak sore itu. Karyo menghentikan aktivitasnya, kemudian duduk. Paijo mendekat.

“Kang ini lihat, berita bagus. Lowongan kerja di Perpustakaan Nasional. Perpustakaan Nasional!”. Paijo menekankan kata "Perpustakaan Nasional" dengan  nada tinggi. Karyo tidak mengerti. Yang dia tahu, Paijo itu sudah kerja, mapan, mosok mau mendaftar lagi. Usianya juga sudah overdosis, dan tidak masuk kriteria 35 tahun. Jika membuka alamat pendaftaran online, kemungkinan langsung macet dan muncul notifikasi “maaf, anda sudah tua”. 

“Bukan saya yang mau mendaftar. Tapi lihat lowongan ini. Lowongan pustakawan, dengan syarat yang revolusioner dan anti kejumudan. Ini berita bagus. Apalagi di Perpustakaan Nasional, perpustakaan tingkat tertinggi sebagai pembina perpustakaan lainnya”. Celetuk Paijo.

Paijo menunjukkan pengumuman  lowongan melalui gadgetnya. Tertulis, ada 19 lowongan pustakawan ahli, 17 di antaranya bukan dari ilmu perpustakaan. Melainkan bersyarat lulusan sastra jawa, sastra bugis, sastra belanda dan lainnya. Karyo mengangguk, paham yang dimaksudkan Paijo.

“Loh, bukannya itu keliru, Jo?. Kudunya ya alumni ilmu perpustakaan, tho?”, tanya Karyo.

“Justru itu. Ini luar biasa. Perpustakaan Nasional bertindak progresif, revolusioner, reformis, tentunya anti kemapanan, menerobos kejumudan. Perpusnas sudah memberikan contoh yang bagus dalam pengembangan perpustakaan. Tulodho, Kang. Tulodho alias contoh. Ini harus kita dukung. Saya setuju dengan lowongan ini. Ndak cuma 100%, tapi 110% setuju.” Paijo mulai memunculkan pandangannya.

“Kang, coba lihat, Sastra Jawa bisa jadi pustakawan. Wangun tenan. Saya membayangkan, pekerjaannya tidak hanya menata buku, tapi juga ngaji isinya buku sastra jawa yang ada di perpustakaan. Apalagi itu ada lowongan untuk sastra bali, sastra bugis, sastra batak. Mathuk itu. Perpustakaan mestinya,  jika tidak ada halangan, nantinya akan dipenuhi ahli-ahli, ilmuwan”, Paijo menjelaskan dengan girang, senang, layaknya anak balita disodori susu ibunya ketika kehausan.

Memang Paijo saat ini kukuh dengan pandangannya, bahwa jadi pustakawan itu tidak harus dari ilmu perpustakaan. Siapapun bisa masuk jadi pustakawan. Syarat pertama mau, kedua mau, ketiga mau, keempat terus belajar belajar. Dengan modal ilmu lain yang dimiliki, maka si pustakawan bukan hanya menyusun jajaran buku. Dia bisa “membaca” isi buku dan menyebarkannya. Paijo berkaca pada ruh aseli saat lahirnya perpustakaan. Pengelolanya bervariasi, dan memiliki latar keilmuwan bermacam. Sehingga lebih optimal dalam “membaca” isinya, tidak sekadar menata fisiknya. Demikian kurang lebih pandangan Paijo saat ini.

“Kalau buku sastra jawa, berbahasa jawa kuno itu ada di tangan alumni ilmu perpustakaan, paling banter diseken, disampuli, lalu disusun di rak, beri kapur barus biar tidak dimakan ngengat, plus ditiup jika ada debunya. Kadang malah panggil jasa perawatan profesional dari luar.  Iyo ora?. Pernyataan sekaligus pertanyaan Paijo membuat Karyo tergegun. Dia tidak menjawab, justru bertanya balik.

“Lha yang nglasifikasi buku siapa, Jo?”. 
“Nah,  itu tugasnya alumni ilmu perpustakaan, Kang. Yang dianggap paling berbobot ya nglasifikasi itu. Hahaha”. 

“Hus. Sampeyan itu ndak sopan, tidak berempati. Lowongan itu dianggap keliru oleh banyak orang, karena menerima dari luar ilmu perpustakaan. Coba hitung, berapa orang alumni ilmu perpustakaan yang kandas karena lowongan itu. Kamu tahu, selama ini sudah dipatenkan bahwa lowongan pustakawan itu cuma untuk alumni ilmu perpustakaan. Kudunya sampeyan meluruskan, jangan malah berdendang  gembira ria dan membuat opini menyesatkan!!”. Karyo bicara dengan ada ditinggikan. 


Paijo pun ngoceh, bahwa dari buku yang dia baca, manusia sekarang kena wabah psikologis, orang  tidak menerima dengan tenang, bahwa kadang ada hal-hal terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita, merasa kalah dikalahkan, ditindas dan lainnya. [1] Nah, untuk itulah, masih sesuai buku yang Paijo baca, harus dilakukan proses mengalahkan perasaan  tertindas, tertekan, kalah dan lainnya, dalam rangka mencapai kemenangan spiritual, kemanangan sejati. [2] "Pustakawan dan calon pustakawan harus tahu filosofi hidup ini, Kang", tutup Paijo, dilanjutkan rentetan pertanyaan.

“Kang, saya tanya: kenapa kudu alumni ilmu perpustakaan? siapa yang mewajibkan? kalau institusi yang mbayari perlu dari luar ilmu perpustakaan, njuk mau apa? protes?. Saya tanya lagi: boleh ndak dari luar ilmu perpustakaan ndaftar S2 ilmu perpustakaan?”.

Sejenak Karyo diam, kemudian menjawab, lirih: “bisa saja”.  

“Dor!!!”, tangan Paijo diposisikan seperti menembak, diarahkan ke Karyo.  “Nah, itu. Kenyataan bahwa pasca sarjana ilmu perpustakaan, atau apapun namanya, menerima mahasiswa dari lulusan non ilmu perpustakaan, itu sudah bukti cetho welo-welo ketok mata, kelihatan dengan mata, mata kita semuanya, bahwa jadi pustakawan itu tidak harus dari alumni ilmu perpustakaan.”

Fakta yang disampaikan Paijo, membuat Karyo diam. Sejenak suasana hening. Memang benar, Karyo pun punya kenalan yang ambil master bidang perpustakaan. Sementara mereka bukan dari S1 ilmu perpustakaan: ada yang dari bahasa inggris, bahasa indonesia, hubungan internasional,  ada juga dari teknik. Semuanya masuk, diterima, dan tentu saja: lulus.

"Dalam hal lowongan ini, aku bangga dengan perpustakaan nasional, Kang".


Karyo diam, suasana hening. Paijo juga menahan mulutnya. Karyo tahu, Paijo kadang ngomong penuh sindiran, meski kadang juga sebaliknya. Namun dari kalimat terakhir, Karyo yakin bahwa Paijo tenanan, benar-benar setuju dengan langkah Perpustakaan Nasional membuka lowongan untuk non alumni ilmu perpustakaan. 

####

Karyo sedang di halaman rumahnya, meneruskan proses membersihkan ladang tempo hari. Senjatanya pun masih sama: gathul. Sekitar jam 4 sore ketika badan sudah mulai berkeringat, Karyo menghentikan kegiatannya. Dia raih handuk kumal yang disampirkan di genteng emperan. Sebuah ember, ciduk berisi sabun yang tinggal setipis ATM dan juga tinggal sekali pakai, sikat gigi dan odol yang tinggal sak crit, turut dibawanya. Dia hendak ke sungai, mandi sore. Ya, dari pada diomelin istrinya, dan disuruh tidur di kursi kamar tamu, lebih baik dia segera mandi. Apalagi malam itu malam Jumat. Di musim kemarau, sore hari sangat terasa  dingin, namun wajib hukumnya untuk mandi.  

Di atas sungai yang biasa digunakan untuk mandi, terbentang jembatan yang menghubungkan dari barat dan timur. Jembatan itu memiliki pengaman di sisi kiri kanannya. Tampak Paijo sudah nangkring di bibir jembatan. Setelah udur-uduran tempo hari, sore itu pertama kali mereka ketemu. Wajah Paijo menyimpan kalimat. Kalimat yang menunggu waktu paling tepat, untuk disampaikan. Pada siapa lagi kalau bukan ke Karyo?.

“Kang, aku tahu, pandanganku kemarin, tentang lowongan pustakawan dari berbagai jurusan itu berbuntut panjang. Orang jadi tanya padaku: kalau saya kursus kesehatan 3 bulan apa bisa jadi dokter? apa saya bisa ndaftar profesi dokter? apa tukang fotokopi bisa naik jadi pustakawan?, dan lainnya”. Paijo membuka pembicaraan.

Apa yang disampaikan Paijo tersebut memang benar. Biasanya demikianlah tanggapan orang. Paling sering, membandingkan dengan dokter. Karyo pun pernah ditanyai demikian. Karyo sendiri maklum, para alumni ilmu perpustakaan itu sudah kuliah lama, namun ketika lulus, justru lahannya diambil atau bahkan diserahkan pada alumni jurusan lain. Nyesek

Trus kamu jawab piye, Jo?”, Karyo memancing agar Paijo segera mengeluarkan uneg-unegnya. Karyo paham, dengan sedikit pancingan saja, Paijo akan banyak cerita. Bahkan, jika tidak dipotong, cerita pribadi pun bisa mrucut disampaikan. Maka dari itu, dalam rangka ngemong, Karyo kadang memotong penjelasan Paijo.

“Kemarin kan saya sudah bilang, Kang. Bahwa sekolah pasca jurusan ilmu perpustakaan itu bisa dimasuki oleh orang dari berbagai lulusan. Multi entry. Hal itu sudah menunjukkan, bahwa jadi pustakawan itu bisa dari macam-macam bidang studi. Nah, bagaimana dengan dokter?. Paijo mulai menjelaskan.

Paijo menjelaskan bahwa dokter, dan pustakawan itu beda. Yang bisa mengambil pendidikan profesi dokter, ya hanya lulusan pendidikan dokter. Apalagi mengambil spesialis. Dari luar kedokteran, tidak bisa ambil. Apalagi lulusan ilmu perpustakaan. Dari sisi keketatan pendidikan saja sudah kelihatan. Intinya level profesinya beda. 

Ada beberapa level profesi menurut Paijo, ditilik dari siapa yang bisa masuk ke dalamnya. Ada level tinggi, semacam dokter, dan lawyer. Ada yang tingkat di bawahnya, semacam pustakawan, atau wartawan.

###

“Nah, membandingkan pustakawan dengan dokter itu tidak nyambung. Lebih pas dengan wartawan, atau petani!”, kata Paijo. “Besok tak critani lebih lanjut. Sekarang kita mandi dulu. Badanmu wis bau keringat. Jangan kecewakan istrimu malam ini, Kang Karyo.”.

Hus. Omonganmu, Jo”. Karyo buru-buru terjun ke sungai.

[[ bersambung ]]

[1] Sebuah seni untuk bersikap bodo amat, Mark Manson (2018)
[2] Profesi wong cilik, Iman Budhi Santoso (2017)

catatan:
cerita ini diilhami oleh rasa suka cita terkait berita formasi lowongan pustakawan di http://cpns.perpusnas.go.id/alokasi-formasi/
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi