Tuesday 23 October 2018

, , ,

Ketua IPI memang harus Pustakawan Utama. Harus!!

Paijo bersama Karyo, seperti biasanya di depan rumah, jagongan tentang berbagai hal. Kali ini mereka grenengan tentang kongres IPI yang baru saja selesai. Konon kabarnya, telah terpilih ketua yang baru. Obrolan itu kemudian berlangsung, mengalir seperti biasanya. Ada segelas kopi di depan mereka. Plus jadah goreng yang masih anget di atas daun jati. Warna kemerahan daun jati akibat panasnya jadah membuat si jadah tampak lebih gurih ketika digigit. 
###

Kongres IPI, milik para pustaka(m)wan, di tahun 2018 telah berakhir. Hiruk pikuk pelaksanaannya juga sudah selesai. Mulai dari seminar, diskusi, grenengan, glenak-glenik. Bahkan mungkin sampai pada cinta lokasi para pegiatnya, lirak-lirik cari jodoh, atau nostalgia masa muda mereka. Seangkatan ketika diklat alih jenjang, ujian sertifikasi, satu kampus, atau dulu pernah menjalin asmara ketika kuliah. Atau mungkin ngobrol tentang jumlah remunerasi yang diterima, dan dibelanjakan untuk apa.


Atau bertukar pengalaman benchmarking, publikasi, atau tampil presentasi di mana saja.


Semua agenda, selesai.


Kongres tersebut merupakan wahana terhormat. Tempat berkumpulnya para pustakawan kualitas pertama, yang sangat dihargai di kancah kepustakawanan Indonesia, telah berhasil memilih ketua yang baru. Ketua untuk periode sekian tahun ke depan.

Kabarnya selama ini, ketua selalu dijabat oleh golonga tua, sekaligus yang kesehariannya di perpustakaan nasional. Melihat hal ini, tentu jika golongan muda berharap ketua IPI bergulir dijabat oleh mereka yang masih muda. Entah, muda itu ukurannya apa. Mungkin usia 50,40, 30 tahun atau di bawahnya. Muda berarti enerjik, mampu mengikuti perkembangan jaman dengan lebih baik, leluasa bergerak, dan tentunya, jejaring kekiniannya kuat. Harapan ini agaknya ada sejak lama.

Namun, ternyata kenyataan berkata lain. Ketua terpilih merupakan pustakawan yang (katanya) tak lagi muda, dan (lagi-lagi) bekerja di Perpustakaan Nasional. Database pustakawan menunjukkan bahwa awalan NIPnya 1954, maka bisa dihitung berapa usianya sekarang. Ketua terpilih berpangkat Pembina Utama Madya (IV/d), dengan jabatan Pustakawan Ahli Utama. Informasi ini menunjukkan bahwa sang ketua ada di usia matang bahkan usia mbegawan. Serta tentunya ada pada posisi jenjang kepustakawan puncak, paripurna, tuntas. Masa abdinya pun tentu sudah lama. Sudah paham, mana yang pahit, manis, asam, dan kecutnya dunia kepustakawanan.


Jenjang tersebut menunjukkan pada para pustakawan muda yang sekarang masih meniti karir, bahwa sang ketua baru adalah orang yang pinilih. Sebagai pemegang predikat Pustakawan Utama, maka sekaligus juga langka. Sulit dicari, dan pilih tanding. Hanya beberapa orang yang sanggup sampai jenjang ini. Seorang dengan predikat ini, telah wareg pahit getirnya kepustakawanan. Mulai dari indil-indil, sampai ondol-ondol. Mulai dari hal remeh, sampai hal penting tingkat tinggi, dan berhubungan dengan para pemangku kekuasaan. Mulai dari shelving buku, sampai menjelaskan isi buku. Pustakawan Utama mampu untuk itu. Jejak jenjang karir kepustakawannya dipersembahkan untuk buku, pustaka. Hidupnya sudah ibarat buku yang berjalan.


Sehingga wajarlah jika terpilih.

###

"Seorang presiden harusnya berumur di bawah 60 tahun", demikian seorang pakar berkata. Tapi pendapat ini hanya untuk presiden, buka untuk ketua IPI. Artinya ketua IPI berusia lebih dari 60 tahun itu boleh, wajar dan sebuah kehormatan. Ini adalah bentuk bakti dan penghormatan para muda pada yang lebih sepuh. Memberikan ruang bagi golongan tua yang terpilih untuk tetap bisa berkarya bagi bangsa dan negaranya, bahkan di masa penghujung pengabdiannya.  Lebih-lebih, ketika tak ada pustakawan muda yang  mau tampil. Maka, demikianlah adatnya. Golongan tua dan dari perpusnas selalu mengambil risiko, menempati tempat yang golongan muda tak mau menempati.


Tentang tak adanya golongan muda yang mau tampil, ini wajar. Ketua IPI itu berat. Memikirkan kepentingan pustakawan se Indonesia, baik plat merah, kuning, hijau, maupun yang tak punya plat sekalipun. Semua harus difikirkan dan dicari jalan keluar masalahnya. Siapa yang memikirkan? ya ketua IPI. 

Pernah membayangkan ketua IPI bukan pustakawan utama dan bukan dari perpusnas?


Tak terbayangkan. Saya tak sanggup membayangkan sulit dan beratnya. Maka tampilnya golongan tua dan dari perpusnas ini, memang benar-benar berkah. Tua dan perpusnas, merupakah gabungan dua status sakti yang tak akan tertandingi. Penolong bagi berlangsungnya roda organisasi sakral pustakawan ini.


"Kalau ketuanya macam saya, yang di perpustakaan kecil, kalau mau tugas luar menjalankan tugas kedinasan ketua IPI, mosok harus ijin atasan. Lah kalau tidak diijinkan? lak ya lucu, tha?", sambung Paijo.


"Lah iya, Jo. Apalagi kamu masih ingusan. Teori dan praktikmu belum sejauh para pustakawan utama.", Karyo menjawab grenengane Paijo.
"Itulah, Jo. Dengan dijabat orang perpusnas, maka geraknya jadi lincah. Mau ke sini ke sana, mudah. Dan dengan jabatan pustakawan utama, klop. Ilmunya sempurna", lanjut Karyo.
###

Namun, dengan menyingkir dan memberikan ruang, jangan dikira para muda ini tidak punya semangat. Jangan salah. Anda keliru. Justru dengan memberi ruang pada yang tua, itu sebuah bukti bahwa yang muda ini semangatnya sangat membara. Membara sepanas api kawah candradimuka, atau sekeras besi baja bahan membuat pedang naga puspa kresna. Semangat para muda ini adalah semangat memberi, bukan meminta. Bahkan diberikan saat sebelum diminta. Sebuah sikap tawadhu' yang luar biasa. Mereka, para muda ini menunjukkan ilmu ikhlas. Mengikhlaskan jabatan ketua IPI dipegang (kembali) oleh golongan tua. Sementara para muda, kembali pada habitatnya: berkecimpung berbagai organisasi kepustakawan baru, atau membentuk simpul-simpul kepustakawanan yang baru. Sungguh, ini merupakah akhlak terpuji, yang harus disyukuri telah ada semenjak muda.

Bukankah dulu, ketika jaman perjuangan juga demikian. Golongan muda memberikan ruang pada golongan tua untuk menduduki posisi puncak. Ini adalah contoh yang harus selalu diikuti. Termasuk pada hajat pemilihan ketua IPI.


###


Akhirnya, saya ucapkan selamat menjalankan ibadah sebagai Ketua IPI, Pak. Di usia yang ke 64, semoga bapak selalu diberikan kesehatan, menahkodai IPI, melaut, menjangkar, menebar jaring, menangkap ikan, dan menghadapi terjangan ombak. Kebersediaan bapak merupakan anugerah untuk kepustakawanan Indonesia.


Jangan lupa, jika ada karang menghadang, panggil para cucu yang muda untuk maju. Mereka, punya banyak senjata. Mereka paham dunia kekinian dalam kepustakawanan. Dari literasi sampai liberalisasi, dari angkringan sampai makerspace. Biarkan yang muda merasakan pahit dan beratnya menerjang karang, sebagaimana bapak dulu rasakan. Kemudian menggenapi masa keanggotaanya genap 10 tahun, dan menabung untuk beli rumah di wilayah Jabodetabek. Supaya nanti, saat yang muda itu tua, ya...di usia 64 seperti halnya bapak saat ini, mereka siap, dan punya nyali untuk menjadi ketua IPI.


Ya,  jika masih ada pustakawan utama, maka ketua IPI itu untuk mereka, bukan untuk yang lain. Yang lain harus sopan mempersilakan. Apalagi yang baru saja jadi pustakawan, meskipun doktor, dari luar negeri sekalipun. Kecuali jika, dan hanya jika, tidak ada lagi pustakawan utama yang mau dan rela mengemban beratnya ketua IPI. Maka, barulah para muda itu dianggap sopan untuk maju mengambilnya.


Ketua IPI haruslah seorang pustakawan utama. Ini wajib, tidak boleh tidak. Jika toh sekaligus tua dan dari perpustakaan nasional, itu kebetulan saja. Ingat, hanya kebetulan saja.
O, maaf. Bukan tua, lebih tepatnya sepuh. Sepuh itu matang, tua itu usia.

###



"O, jadi begitu ya. Aku berharap, Kang. Semoga sepuh, bukan tua. Semua orang yang sepuh, atau disepuhkan, dialah yang layak memimpih. Kasepuhan-nya akan mampu membawa sawab atau daya, energi kepemimpinan pada arah yang lebih baik. Tapi kemudian, sebagai pustakawan saya harus ngapain, Kang?"
"Loh, ya sudah jelas tho. Kerja. Kamu mau dipotong gaji?", jawab Karyo sekenanya.
Paijo mbesengut, ketika Karyo menjawab sekenanya. Tapi tidak mengapa, Paijo melanjutkan lagi kesendiriannya. Menjadi pustakawan memang ada risikonya. Termasuk risiko dianggap bahwa pekerjaannya tidak berisiko.
"Ora popo", gumamnya, sambil nyeruput kopi Bali yang tempo hari dibelinya. "Bueh, pahit".
"Kopi itu aslinya pahit, Jo. Kalau manis, itu gula. Kamu minum kopi atau minum air gula?", Karyo komentar sambil setengah ngakak.
Paijo melirik Karyo, kembali dengan muka mbesengut. Namun kemudian tersenyum. Entah apa arti senyumnya. 
Karyo, meninggalkan emperan rumah Paijo, pulang. Dari kejauhan dia teriak, "Jo, kamu itu jadi anggota IPI ndak?". Paijo, yang masih jelas mendengar pertanyaan Karyo menjawab, "Tidak, Kang. Tapi jangan ngomong-ngomong, ya".

[[ selesai ]]



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi