Monday 26 March 2018

Mufasir kepustakawanan (beradu tafsir)

Resmi, namun berselimut kontroversi. Pilihan "perpustakaan dan sains informasi" telah mengoyak tafsir para pemikir bidang ini (atau sejak lama telah terkoyak?). Hilangnya kata ilmu, dan munculnya kata sains bukan perkara sepele. Ada yang sepakat, ada yang tidak sepakat. Ada yang mengemukakan alasan sangat filosofis, ada yang mungkin alasannya sangat pragmatis.

Keduanya tidak salah... Bahkan, yang tak peduli tentang filosofis dan pragmatisnya perdebatan itu pun, tidak bersalah. Karena sepiring nasi untuk makan esok hari, lebih layak diperjuangkan. Layak diberi perhatian.

***

Akhirnya, beberapa diantara mereka dipertemukan. Tentunya orang pilihan. Agar bertemu muka. Dibuatlah panggung untuk berkhotbah sesuai mahzab yang mereka anut. Mereka, ibarat mufasir, sedang menafsirkan "ayat-ayat" kepustakawanan. Ummat duduk khidmat mendengarkan. Judul panggung itu "memetakan perkembangan ilmu informasi dan perpustakaan di Indonesia".

Kenduri intelektual ini penting. Yang akan menorehkan sejarah perkembangan ilmu, untuk masa-masa yang akan datang. Ini titik awal masa depan. Yang datang akan mengenang. Ada prestise, ada kebanggaan. Jabat tangan, say hello pada kolega. Menyatu dalam atmosfir intelektual. Ketika pulang, selembar SPPD menjadi tanda keberhasilan. Mungkin lengkap dengan sertifikat. Foto-foto? itu pasti.

Bukti kehadiran berupa foto menjadi hal wajib 'ain. Bukan muakad, apalagi sunah. Foto itu akan bercerita, bagaimana kontribusinya pada kenduri inteltktual tersebut. Ya, meski hanya duduk, manggut-manggut, sambil menyeruput air mineral yang tinggal setengah.

Yang bicara, akan dikenang. Namanya dicatat pada lembaran notulensi: menjadi pemateri, atau si penanya. Atau, sekedar menggaris bawahi yang dianggap penting. Paling tidak sudah ambil kesempatan. Tampil di panggung kenduri ini sangat penting. Ini tentang eksistensi.

Yang tidak datang akan terbalut penyesalan....

Karena ini kenduri besar, banyak yang terpikat hadir. Pustakawan, mahasiswa, dosen, tamu undangan. Mereka rela datang dari segenap penjuru. Selembar ijin pimpinan menjadi jaminan. Menembus macet dan panasnya siang, tetap dilakukan.

Hasrat intelektual menjadi segala-galanya.

Namun kapasitas ruang menjadi penghalang. Banyak yang kecele, karena pintu pendaftaran telah tertutup. Kursi tak berbanding lurus dengan jumlah orang yang dahaga, ingin ikut meneguk ilmu. Langung dari belanganya. Atau, cukup rela, meski hanya mampu menjilati tetesan yang jatuh, dijatuhkan, atau tak sengaja jatuh karena bocor bungkusnya.

Begitulah dahsyatnya kenduri ini. Akhirnya, jalur live streaming disiapkan.

***

Mufasir kepustakawanan itu, tak diragukan kapasitasnya. Mereka tahu sanad, rangkaian sejarah keilmuan yang konon, kabarnya telah berlangsung ratusan atau bahkan ribuan tahun. Metode tafsirnya pun sudah terpercaya. Maklum, mereka menyandang pangkat tertinggi dalam pendidikannya. Paripurna. Syarat mufasir mereka punya. Sekarang, di tengah owah dan gingsirnya kepustakawanan di Indonesia, tafsir mereka sungguh-sungguh dinantikan.

Tentunya tafsir-tafsir yang mencerahkan. Yang tidak mbulet. Tafsir yang memetakan. Tafsir yang penuh makna. Bukan tafsir kosong, bukan pesanan. Tafsir yang kontekstual, bukan tafsir import. Tafsir yang aplikable. Tafsir yang adem. Tafsir yang tidak mahal. Tafsir yang mudah dan murah dalam pengamalannya. Tafsir syumuliah.

Tafsir kepustakawanan yang mengindonesia?, Ya.
Bukan menginggris, bukan mengamerika, bukan mengarab. Bahkan, bukan yang memutu, menyulis, atau mengida. Bukan tafsir yang masturbatif.

Hingga, pada akhirnya dengan tafsir itu pustakawan mudah berijtihad. Ijtihad untuk perpustakaannya. Agar tafsir dapat turun dan membawa berkah. Mereka menurunkan tafsir, agar menjawa, menyunda. Meng-ugm, meng-uin. Menyiswa atau memahasiswa. Jangan lupa, meng-orang, memanusia.

***

Ini tulisan dari tiga begawan, ilmuwan Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi (Ilmu dan Sains ikut ditulis, biar adil), yang beberapa waktu lalu adu intelektual di UIN Sunan Kalijaga.
Dibaca, dicerap, direnungkan, ditimbang-timbang bobot bebetnya.
Namun, jangan lupa. Bagi para pustakawan, Senin besok tetap masuk kerja, ya. Jangan terlambat, jangan telat. Tanggungjawab besar ada di perpustakaan. Bersama buku-buku, bersama mahasiswa. Bersama para siswa. Bergembira bersama mereka.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi