Monday 19 March 2018

, , , ,

Meneguk inspirasi, menuai berkah motivasi

Yokta berjalan berkeliling. Matanya menyapu tiap ruangan, bahkan sampai sudut-sudutnya. Sesekali dia berhenti untuk memotret, bertanya, atau mendengarkan penjelasan. Sorot mata dan gestur tubuhnya mengisyaratkan kekaguman. Yokta jauh-jauh datang dari Bali ke Perpustakaan Unsyiah. Tentu dia tidak sendiri, namun serombongan bersama teman-temannya. Banyak hal yang dia dapatkan. Pada penerapan teknologi di perpustakaan, dia amat terkesan. Tentu saja, mesin EDC (Electronic Data Capture ) turut menambah decak kagumnya.  Diapun berjanji, akan mengikuti apa yang sudah dilakukan Unsyiah. [1]
###
Lain waktu, seorang profesor dari Thailand datang. Namanya Prof.  Surin Maisrikrod. Dia bekerja di Walailak University, Thailand Selatan. Ekspresi senyum dan gestur tubuhnya tak beda dengan Yokta. Surin juga kagum dengan perpustakaan Unsyiah. Pada jumlah kunjungan dan jumlah peminjaman yang selalu meningkat. Serta pada teknologi yang diterapkan. Banyak catatan yang dia buat. Catatan itu akan dia bawa untuk didiskusikan dengan pengelola perpustakaan di kampusnya. [2]
***   
Purwo.co -- Itu bukan cerita rekaan. Namun cerita senyatanya, yang Saya bungkus dengan gaya bertutur, biar terasa hidup. Sumbernya pun tak hanya satu. Jika kurang yakin, coba tengok sumber terkait. Masih ada yang lain, tidak hanya 2 di atas. Ada juga tamu dari Malaysia, [3] atau berbagai institusi lainnya.

shelving crew Perpus UNSYIAH dengan seragam khasnya.
sumber: klik
Tulisan ini, merupakan lanjutan episode pertama. Setahun lalu, saya paparkan "isi" Perpustakaan Unsyiah yang membuat saya kagum. Mulai dari pintu gerbang, pintu masuk, ruang pentas, ruang lesehan, sampai cafe pustaka. [4]

Perpustakaan Unsyiah sedang berada pada ritme perkembangan yang pesat. Rodanya berputar cepat, secepat laju kendaraan MotoGP, atau Formula 1. Cepat dan selalu ingin melibas. Puncaknya dimulai pada 2015. Demikian disampaikan Pak Taufiq, sang Kepala Perpustakaan. Bukan hanya pada satu sisi, namun dari banyak sisi. Lengkap. Berbagai perkembangan inilah yang menjadi sedekah perpustakaan untuk memotivasi dan mendorong inovasi pustakawan lainnya.

Ada dua sudut pandang untuk menakar Perpustakaan Unsyiah: sisi pustakawan dan sisi pemustaka. Dari keduanya, dapat dipanen berbagai inspirasi dan motivasi. Dari sisi pandang saya sebagai pustakawan, ada beberapa hal yang elok dijadikan catatan. Hal tersebut, yang menjadi pemicu, atau pelecut semangat. Atau cambuk yang memaksa mempergegas langkah. Tulisan ini mengulas berbagai hal yang inspiratif dari sisi kerja pustakawan atau pengelolanya.

Berikut beberapa point istimewa yang saya maksud di atas. Beberapa data saya sertakan, untuk memperkuat pemetaan yang saya lakukan.

Kreativitas
Tahun 2014 saya mulai serius mengenal Perpustakaan Unsyiah. Pada acara SLiMS Commeet, sebuah konferensi pegiat software untuk perpustakaan - SLiMS -, di Semarang. Pak Taufiq, Sang Kepala Perpustakaan mempresentasikan penerapan SLiMS di Unsyiah. Tentu saja, paparan itu diawali berbagai kondisi sebelum berbagai perubahan dimulai. Sehingga terlihat terang perbedaan dan perkembangannya. Kuasa dan kompetensi benar-benar bekerja.

Pada pertemuan itu, tertampak jelas semangat yang ada pada diri Pak Taufiq.

Pada tahun-tahun tersebut, RFID (teknologi untuk menyimpan dan mengambil data jarak jauh) sedang menjadi bahan berbumbu lezat bagi pembicaraan para pustakawan. RFID menjadi acuan kelas sosial sebuah perpustakaan: kelas bawah, tengah, atau puncak. Perpustakaan berlomba menjadi yang pertama menerapkannya. Bahkan, ada yang beberapa tahun sebelumnya sudah konferensi pers: hendak menerapkan RFID, meskipun berhenti. Ada yang mengundang museum pencatat rekor guna meneguhkan bahwa dia yang pertama menerapkan RFID. Namun, ada juga yang tidak begitu mempedulikan. Sikap pustakawan pada RFID memang beragam dan sangat menarik.

Unsyiah, yang ada di ujung Sumatera itu, begerak dalam senyap. Ibarat perang, dia melakukan perang gerilya. Untuk memulai, maka semua elemen didekati, dipahamkan, diajak urun kemampuan. Mereka diajak berbagi, dan bersemangat. Mahasiswa tingkat akhir, yang memerlukan bahan untuk riset salah satunya. Senyap. Namun ketika momentum itu datang, Pustaka Unsyiah menunjukkan dirinya. Kolaborasi dengan mahasiswa terwujud. Hasilnya, perpustakaan mampu membuat middle ware (penghubung software SLiMS dan alat RFID) secara mandiri. [5]

Produk mandiri ini membebaskan Unsyiah dari ketergantungan. Bermanfaat bagi perpustakaan, juga mahasiswa. Tentu saja menekan berbagai komponen biaya. Semuanya senang.

*** 
Pertemuan tahun 2014 itu, terulang lagi di 2015 di Malang, dan 2016 di Jogja. Di Malang, Pak Taufiq dan tim kembali menularkan inovasinya. Sama seperti Yokta dan Surin, peserta melongo, heran, bangga, namun juga iri, melihat perkembangan perpustakaan Unsyiah. Luckty dari Lampung, misalnya, yang tanpa tedeng aling-aling menulis testimoni di akun medsosnya. Kemudian juga Ana, pustakawan Mojosari yang sampai berkhayal dan tak bisa tidur setelah mendengar paparan tentang perpustakaan Unsyiah. "Ngebayangin bagaimana indah dan nyamannya perpus Unsyiah", demikian tulisnya.

http://library.unsyiah.ac.id/program-perpustakaan-unsyiah-jadi-inspirasi/

Di Jogja, kami bertemu pada acara pungkasan FPPTI DIY 2013-2016. Saat itu, Pak Taufiq mengatakan, "Kami semua yang bekerja di perpustakaan itu pustakawan". Kalimat yang mengagetkan saya. Karena muncul di saat pustakawan jumawa ingin membuat garis pembatas yang jelas: siapa pustakawan, siapa bukan pustakawan. "Dengan menganggap kami sebagai pustakawan, maka akan meningkatkan percaya diri kami dalam mengelola perpustakaan", demikian alasan beliau. Seolah ingin menegaskan pula, bahwa sesungguhnya setiap manusia adalah pustakawan bagi dirinya sendiri.

Para tahap ini, Perpustakaan Unsyiah memberi contoh bagaimana kreatif mencipta hal baru, atau mencari jalan baru. Sekaligus melawan kejumudan berfikir dalam pengembangan perpustakaan. Diikuti dengan semangat belajar dan berbagi, kepada siapapun dan dimanapun. 

Kolaborasi
Apa yang saya tulis di atas, sebenarnya juga bagian dari kolaborasi. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ada inspirasi terkait kolaborasi yang pantas kita renungkan.

Sosialisasi perpustakaan, atau jamak disebut dengan kegiatan literasi informasi, sudah umum dilakukan, untuk mahasiswa baru atau siapa saja yang membutuhkan. Namun duta baca, masih terbilang sedikit. Bahkan belum ada, sampai kemudian Perpustakaan Unsyiah memulainya. Yang digarap Pustaka Unsyiah bukan hanya duta baca secara seremonial. Bukan. Namun duta baca yang benar-benar dilibatkan pada berbagai kegiatan perpustakaan.

Duta baca digembleng militer.
Sumber: klik
Duta baca ini digarap serius. Tidak sekedar penilaian berkas di meja. Namun, mereka juga dikirim, digembleng di padepokan militer. Dibekali berbagai keterampilan dan pengetahuan. Hasilnya akan tercipta duta baca yang bermental kuat, serta prestisius bagi siapa saja yang menyandangnya.  Dia jadi brand, ikon, contoh, model, fokus, yang diharapkan menjadi magnet. Menarik mahasiswa untuk mengikutinya.

Melibatkan mahasiswa dalam kegiatan perpustakaan juga sudah jamak dilakukan. Saya merasa, di perpustakaan saya pun demikian. Kami berkolaborasi dengan mahasiswa. Mengajak mereka untuk menjadi pemateri kegiatan bagi mahasiswa lain. Namun, memastikan keberlangsungannya tetap terjaga, menjadi tantangan tersendiri.

Agaknya, atas dasar itulah akhirnya Perpustakaan Unsyiah melahirkan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Literasi Informasi. Setahu saya, ini yang pertama di Indonesia. Dengan UKM ini, regenerasi, fokus kegiatan, dan sasaran aktivitas akan lebih terjaga.

ULF, atau Unsyiah Library Fiesta juga menjadi bukti kolaborasi berikutnya. Ini kegiatan akbar, yang gaungnya merambat sampai ke Jawa. Ini kegiatan luar biasa. Melibatkan banyak pihak, mulai dari dosen, mahasiswa, pustakawan, dan bahkan bantuan militer untuk penggemblengan disiplin. Militer!, institusi yang beberapa tahun lalu memiliki hubungan kurang harmonis dengan sipil di Aceh. Perpustakaan mampu merangkulnya. Ini bukti nyata kolaborasi di perpustakaan, yang lebih hidup daripada sekadar kajian di kertas-kertas ilmiah atau slide presentasi.

Open Education Resources, atau populer disebut OER merupakan produk baru hasil kolaborasi di Perpustakaan Unsyiah bersama UKM Literasi Informasi. OER ini, turut meneguhkan ikatan kolaborasi pengembangan perpustakaan Unsyiah.

Berbagai kolaborasi di atas berefek dahsyat. Tingkat kemasyhuran perpustakaan di mata mahasiswa menjadi naik berlipat ganda. Mahasiswa menjadi peduli, dan kreatif terkait perpustakaan. Kerelaan mereka membuat berbagai video pendek bertema perpustakaan, menjadi buktinya. Berbagai video tersebut dapat anda lihat di https://www.youtube.com/channel/UCNyNFy2KGE6JlgqkxN8suDg.



Perpustakaan Unsyiah memberi contoh, bagaimana bentuk kolaborasi yang berkualitas

Profesionalisme 
Saya mulai bagian ini dengan singkat membahas pencitraan. “Kita perlu pencitraan yang sahih”, demikian kata Kang Hasan dalam bukunya “Melawan Miskin Pikiran”. [6] Pencitraan itu perlu dan penting. Namun pencitraan yang benar. Yang nyata, dan bukan rekayasa.

Agaknya, hal ini juga dipahami sungguh oleh pengelola perpustakaan Unsyiah.  Pencitraan atas profesionalisme yang benar-benar dilakukan. Profesionalisme tetap didahulukan. Pencitraan menjadi penopang agar profesionalisme dapat menyebar. Hasilnya pun luar biasa.

Kerja-kerja di Perpustakaan Unsyiah, bagi saya sangat profesional. Pustakawan didorong untuk selalu mencerap dan memamah pengetahuan baru, dari berbagai sumber. Tujuannya satu: agar semakin profesional. Dari sisi tampilan pun oke dan menarik. Tenaga paruh waktu dari mahasiswa juga diberi atribut khusus sebagai identitas. Mereka harus terlihat beda, dan percaya diri dibanding mahasiswa lainnya.

Perpustakaan juga memiliki tim yang berisi pustakawan dan mahasiswa, yang bertugas menulis dan menerbitkannya dalam sebuah buletin: Librisiana. Buletin ini dikelola dengan serius, memiliki struktur dan profesional. Librisiana tidak sendirian. Dia juga ditopang oleh akun media sosial. Instagram, misalnya.

Instagram (IG) Pustaka Unsyiah termasuk aktif. Postingan berkualitas dan promotif rutin menghiasi. Akun ini memposting kegiatan, atau koleksi perpustakaan Unsyiah. IG Perpustakaan Unsyiah tercatat memiliki 7.425 pengikut. Jauh lebih banyak dari IG perpustakaan yang ada di Jawa. Bahkan yang berkategori perpustakaan besar sekalipun.

Yang membuat saya geleng kepala terheran-heran, akun IG Dekan FT UGM pun, menjadi follower IG Perpustakaan Unsyiah. Ini di luar dugaan, sangat-sangat istimewa.

Instagram Perpustakaan Unsyiah

Profesionalisme yang berkesinambungan, akan melahirkan citra positif.

Tidak lupa pada akarnya
Sebagai sebuah perpustakaan perguruan tinggi, Perpustakaan Unsyiah tidak lupa pada akarnya. Masyarakat luas, yang menjadi tempat perguruan tinggi itu berada. Masyarakat yang menanti sentuhan perguruan tinggi untuk dapat memberi pencerahan.

Proses mengakarnya perpustakaan Unsyiah, dilakukan pada beberapa kelompok atau kerumunan. Pustaka Unsyiah hadir di lembaga pemasyarakatan anak, SLB (Sekolah Luar Biasa), serta kerumunan orang di Car Free Day. Bersama mahasiswa dan tentunya Sang Duta Baca, Pustaka Unsyiah memberi pencerahan terkait literasi, belajar sepanjang hayat dan program lainnya.

Car free day (sumber gambar: klik)

Kreativitas + Kolaborasi + Profesionalisme  = lompatan capaian


Epilog
Lahir tahun 1970, kurang lebih 48 tahun usia Perpustakaan Unsyiah. Usia ideal bagi seorang pemimpin. Masih enerjik, haus ilmu, dan gemar berbagi.  Kepala perpustakaan yang begitu profesional turut menambah nilai. Status ilmuwan sang Kepala Perpustakaan menjadi penyempurna. Selaras dengan ungkapan Al Attas, bahwa kepala perpustakaan itu hendaknya seorang ilmuwan, yang juga dididik secara profesional. [7]

Kemunculan perpustakaan Unsyiah pada peta perkembangan perpustakaan di Indonesia sangat menarik. Dia  memorak-porandakan peta Jawa centris, menjadi lebih adil dan merata. Membuka mata, bahwa kompetensi itu di atas segalanya. Dia bukan sekedar perpustakaan. Lebih lengkap. Perpustakaan ini mampu mendobrak kejumudan pengembangan perpustakaan. Mampu menurunkan ide langitan para pemikir, turun ke tanah. Dalam bentuk layanan yang tepat, menarik. Seksi! bagi para pemustakanya.

Letaknya boleh di ujung pulau Sumatra. Jauh dari ibukota negara. Daerahnya pernah dilanda tsunami,hingga seolah tak ada sisa. Juga sekian lama dalam kondisi mencekam karena tarik ulur kekuasaan. Namun, semangat warisan para teuku tetap mengalir di darah mereka. Perpustakaan Unsyiah telah berproses bukan sekedar untuk menjadi baik, namun melakukan berbagai lompatan besar. Sangat layak menjadi tujuan, bagi pustakawan yang kehausan dan hendak meneguk air inspirasi, lalu menuai berkah motivasi.

Beberapa bukti di atas, menjadi bukti bahwa perpustakaan Unsyiah sudah ada para tahap leader, bukan lagi follower. Namun demikian, Perpustakaan Unsyiah tidak boleh silau. Dia tetap harus rendah hati, belajar dari siapapun dan membagi pada siapapun.

Satu hal yang perlu dicatat: regenerasi harus diperhatikan. Agar semua penggeraknya bisa menjadi ideolog secara bergiliran.

Sambisari, 
Selasa, 20 Maret 2018

[1]. http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Librisyana-Ed.-6-Preview-File.pdf.

[2]. http://www.unsyiah.ac.id/berita/profesor-thailand-terkesan-dengan-perpustakaan-unsyiah,

[3]. http://www.unsyiah.ac.id/berita/siswa-malaysia-kunjungi-perpustakaan-unsyiah,

[4]. http://www.purwo.co/2017/03/perpustakaan-unsyiah-model-ideal.html

[5]. http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=18173

[6]. Melawan Miskin Pikiran : Memenangkan Pertarungan Hidup Ala Kang Hasan. Oleh Hasanudin Abdurakhman. Nuansa Cendikia: 2016

[7]. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Ditulis oleh Wan Mohd Nor Wan Daud. Mizan: 2003


Share:

2 comments:

  1. Perpustakaan Unsyiah memang perpustakaan yang keren banget deh pokoknya. Nice sharing kak. Salam kenal ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, Mbak.
      Tulisan Mbak Faridah luar biasa. (y)

      Delete

Terimakasih, komentar akan kami moderasi