Tuesday 13 February 2018

, ,

Agar tidak menyesal ketika mati, dan minta dihidupkan lagi (2)

Tulisan terkait sebelumnyahttp://www.purwo.co/2018/02/akhirnya-sop-daging-itu-meruntuhkan.html

Purwo.co -- Sore itu, setelah sholat Ashar kami berkumpul, duduk melingkar di dalam masjid. Ketua Takmir masjid, yang tadi menjadi imam masjid memberikan sambutan. Kami dikenalkan pada beberapa orang yang akan membersamai kami selama kegiatan. Kami juga menyepakati usulan kegiatan yang akan kami lakukan.

Selepas magrib di Jumat sore, kami akan dibagi beberapa kelompok untuk berkunjung ke rumah warga sekitar. Selain silaturahmi, kami juga diminta mengajak mereka datang ke masjid untuk sholat Isya’ dan mendengarkan pengajian. Kemudian untuk hari Sabtu, akan dilanjutkan beberapa kajian setelah sholat wajib. Beberapa dari kami dijadwal untuk memberi tausiah atau membaca hadits. Kemudian pada sabtu sore akan dibagi lagi dalam beberapa kelompok, berpencar ke masjid-masjid sekitar sampai setelah Isya. Setiap hari kegiatan selesai pukul 9 malam, kemudian istirahat. Bangun pukul 3 pagi untuk sholat tahajud, dilanjutkan Subuh berjamaah. Pada hari Minggu setelah kajian pagi, kami akan bersenang-senang di sebuah arena tubing (naik ban dalam), yang jaraknya beberapa kilo dari rumah yang kami tempati.

Demikian gambaran kegiatan selama beberapa hari ke depan.

###

Pada kunjungan ke rumah warga di Jumat sore, kami berempat memperoleh titik tujuan yang paling jauh. Berjalan menyusuri jalan menanjak, dan tanpa penerangan untuk mencapai lokasi. Ditemani 2 panitia: satu orang asli sebagai penunjuk arah, satunya pendamping yang akan membersamai selama ngobrol dengan penduduk.

Sebenarnya saya agak ragu. Tidak biasanya saya berkunjung ke rumah orang pada waktu antara Magrib dan Isya’. Biasanya waktu tersebut digunakan untuk istirahat, bercengkerama dengan keluarga. Namun, beda tempat beda kebiasaan. Di tempat ini, justru pada waktu tersebut lazim dilakukan, karena sebelum Magrib mereka harus bersih-bersih diri sepulang dari tegalan. Sementara setelah Isya’ mereka bersiap istirahat, atau menghadiri hajatan kampung.

Kunjugan pertama ke rumah Pak Sur, kemudian Pak Eko, dan terakhir Pak Rian. Ketiga nama ini, bukan nama sebenarnya, melainkan nama dari anak pertama mereka. Pak Sur memiliki anak pertama yang bernama Sur, maka beliau dipanggil Pak Sur. Demikian pula dengan Pak Eko dan Pak Rian. Mereka bertiga menyambut kami dengan suka cita. Pak Eko, yang kabarnya baru sembuh dari sakit, tampak senang ketika kami berkunjung.

“Pripun, Pak? Sampun dangan?”, demikian kami membuka pembicaraan, yang akhirnya mengantarkan pada berbagai topik.

Kunjungan kami berikutnya dilakukan pada hari Sabtu sore. Karena dijadwalkan berkunjung ke dusun sebelah, maka kami, menggunakan dua mobil berangkat pada Sabtu sore, sebelum Magrib. Tujuan kami sebuah masjid yang merupakan bagian dari sebuah pondok pesantren, yang dilengkapi kompleks madrasah aliyah. Sesampainya di masjid, kami berempat meninggalkan masjid, mewakili rombongan bekunjung ke rumah pengasuh pondok.

###

Rumah itu tampak megah. Bagian depan terpasang plakat identitas sebuah yayasan pendidikan berwarna hijau. Kami mengetok pintu, tak lama kemudian si empunya rumah membukakan pintu. Seorang laki-laki, usianya di atas 40 tahun, mengenakan kopiah, berbaju koko dan mengenakan sarung. Jenggot tipis menghiasi wajahnya yang teduh dan penuh senyuman. "Pak Kyai", demikian teman saya menyebutnya. Dengan penuh hormat, kami masuk dan duduk lesehan di ruang tamu yang tampak luas, bersih dan tertata. Beberapa komputer rapi terpasang pada tempatnya. Agaknya ruang tamu itu juga difungsikan sebaca ruang kerja atau kantor kecil.

Setelah basa-basi, kami pun terlibat pembicaraan, ditemani oleh buah duku, teh manis dan roti yang sudah dipotong-potong. Ketika minuman dihidangkan, teman di samping saya begitu sigapnya membantu Pak Kyai menata minuman, khas seorang santri yang begitu menghormati kyainya.

Fiqh rumah tangga menjadi topik pembicaraan sore itu. Topik ini dilatar belakangi oleh salah satu dari kami, yang bekerja di pembinaan pegawai daerah yang sering menghadapi permasalahan rumah tangga pegawai yang masuk ke meja kerjanya. Pak Kyai menjelaskan beberapa hal secara singkat, sekaligus nasihat pada kawan saya tersebut. "Mendamaikan dan membimbing mencari jalan keluar dari masalah rumah tangga, itu profesi terpuji", demikian kurang lebih salah satu komentar Pak Kyai. Sore itu, saya merasakan atmorfir ngaji dadakan dengan cara sowan pada kyai. Pembicaraan yang menarik itu, harus dihentikan oleh suara Adzan magrib. Kami bergegas ke masjid. Berkunjung dan ngaji langsung ke seorang Kyai, nyatanya akan menemukan berbagai hikmah dan ilmu.

###

Shof laki-laki dan perempuan telah terisi. Iqomah pun dikumandangkan. Pak Kyai yang tadi kami temui, sudah ada di antara kami, untuk menjadi imam sholat magrib. Suaranya yang merdu, mengalun mengiringi sholat kami di sore itu.

Selepas Magrib, kami dibagi 3. Dua orang di masjid untuk pengajian, sementara dua kelompok lain melakukan kunjungan ke rumah penduduk sekitar. Saya ikut kelompok yang berkunjung ke penduduk.

Pak Parman, seorang guru SD yang 3 tahun lagi pensiun menyambut kami. Senyumnya yang ramah selalu mengembang selama obrolan di sore itu. Kumis tipis, dan kulitnya yang hampir keriput menambah keramahannya. Di dinding tampak lukisan Bima/Werkudoro yang sedang berperang melawan seekor ular. Lukisan itu lukisan Pak Parman sendiri. “Bakat yang tak tersalurkan, Mas”, demikian ungkapnya. Sebagai seorang guru SD memang harus menguasai banyak hal: matematika, bahasa, IPA, IPS, hingga kesenian, termasuk menggambar.

Lukisan Bima tersebut menjadi titik pangkal pembicaraan kami. Lukisan Bima, lakon wayang Bima Suci yang merupakan lakon pertama yang dimainkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, sampai pada cerita nyantriknya Kanjeng Nabi Musa pada Nabi Khidir. Tentunya beberapa cerita di atas, dikaitkan dengan proses hidup kita saat ini. Belajar, terutama belajar agama tidak mengenal usia, karena kita tidak tahu, kapan kita akan meninggal.

###

Menjelang Isya’ kami pamit, kembali ke masjid. Di masjid tampak Pak Kyai sedang berdiskusi dengan jamaah. Kami bergabung, sampai kemudian adzan Isya berkumandang. Setelah sholat, beberapa menit pengajian, kamu pun pamit. “Adakah pesan untuk kami, Kyai?”, salah seorang dari kami bertanya. Saya tak begitu jelas dengan teks arabnya, namun dalam bahasa Indonesia, Pak Kyai menyampaikan bahwa “keikhlasan dan konsistensi pada kebaikan akan mengantarkan kita pada kesuksesan”.

###

Kami kembali ke penginapan. Di masjid tampak teman-teman sudah berkumpul. Di luar dugaan, kami dikunjungi oleh pengurus fakultas. Satu per satu, mewakili departemen, teman-teman menyampaikan testimoninya terkait kegiatan yang dilakukan, dan apa yang dirasakan selama hampir 3 hari itu.


###

Agar tidak menyesal ketika telah mati
“Agar tidak menyesal ketika telah mati”, merupakan kalimat kunci, atau ringkasan selama kegiatan 3 hari.  Meskipun kita semua belum merasakan mati, namun dengan melihat proses kehidupan manusia sejak sebelum lahir, maka ada pelajaran yang bisa dipetik. Apa yang penting untuk kehidupan bayi yang masih dalam alam kandungan, menjadi tidak penting ketika telah lahir di dunia. Demikian pula, apa yang dianggap penting ketika hidup di dunia, bisa menjadi tidak penting setelah meninggal. Maka menyeimbangkan apa yang saat ini penting, dengan apa yang nanti (setelah meninggal) dianggap penting, menjadi penting untuk diperhatikan.

Dunia yang dialami sejak di alam kandungan, dunia, dan setelah mati memiliki 3 perbedaan: luasnya berbeda, lamanya berbeda, serta kebutuhan pokoknya berbeda. Di alam kandungan kurang lebih hanya 9 bulan 10 hari, dengan luas alam yang paling sempit. Alam dunia setelah lahir lebih luas, juga lebih lama. Ada yang usianya belasan, puluhan atau bahkan ada yang di atas seratusan tahun. Alam setelah mati, akan lebih luas dan lebih lama lagi.

"Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (Qs. Al Mu'minuun : 99-100)

Oleh karena itu, jangan sampai setelah meninggal, merasa kekurangan bekal (yang ketika hidup tidak dianggap penting), sehingga minta dihidupkan lagi ke dunia untuk mencari bekal tersebut. Tentunya itu sudah terlambat. Kita harus mampu membedakan beberapa kategori nikmat, sehingga bisa memilah dan mengusahakannya secara berimbang sebagai bekal kehidupan berikutnya.

Nikmat dunia, merupakan nikmat yang paling rendah derajatnya. Di atasnya ada nikmat sehat. Ketika tidak memiliki kesehatan (sakit), orang berani mengeluarkan sebanyak-banyaknya nikmat dunia (harta), agar kembali sehat. Seorang karyawan yang sakit, akan diberi ijin (dimaklumi) untuk tidak masuk kerja. Ini juga bukti bahwa nikmat sehat itu begitu berharga, dan kedudukannya di atas nikmat keduniaan.

Nikmat tertinggi adalah kenikmatan iman. Orang yang meletakkan nikmat iman di atas nikmat dunia dan kesehatan, dan mau berusaha agar keimanannya selalu meningkat, maka nikmat dunia dan kesehatan akan datang dan menentramkannya.

###

Benang merah di dunia kerja
Menyadari dan mengusahakan amal untuk bekal hidup setelah mati, bukan berarti meninggalkan proses usaha selama  hidup di dunia. Umur itu amanah, maka selama umur itu masih ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Memiliki pekerjaan, sebagai karyawan maupun pekerjaan lain, juga merupakan posisi “mumpung” yang harus dimanfaatkan. Mumpung kerja, maka kita harus memaknai kerja kita dengan pemaknaan luas. Pada proses kerja kita sehari-hari ada bagian yang rewardnya untuk dunia, misalnya: gaji, bonus, pangkat dan semacamnya. Namun kita juga harus memperluasnya agar juga memiliki reward sebagai tabungan di akherat. Reward untuk tabungan akherat ini lebih berat usahanya, karena dia akan berwujud pengorbanan dan keikhlasan: pengorbanan untuk ikhlas, pengorbanan yang ikhlas untuk berbagi ilmu, pengorbanan dan ikhlas untuk tunduk pada aturan yang berlaku, jujur dan lainnya.

Meningkatkan performa kerja berlandaskan keimanan, berarti memiliki kinerja yang tidak dibatasi oleh “ketakutan” pada pimpinan. Namun, karena kepatuhan pada pimpinan dan aturan sebagai bagian dari kewajiban yang diberlakukan pada dirinya sebagai makhluk, dilandasi pada proses menjalankan peran pribadinya sebagai manusia, di tengah dan bersama manusia lainnya.

Bersambung ke tulisan berikutnya: http://www.purwo.co/2018/02/rekreasi-yang-sesungguhnya-3-habis.html
Sambisari, Selasa Wage 13 Februari 2018
06.17 pagi
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi