Wednesday 3 January 2018

, ,

Digilib Cafe Fisipol UGM: cafe, co-working space, perpustakaan

Paijo, pustakawan berusia 30-an tahun itu hendak mencoba minum di cafe. Kabarnya, ada cafe baru di seputar tempat dia bekerja. DIGILIB Cafe, "lib"-nya (lib, library) yang menempel pada nama itu membuat naluri kepustakawanan Paijo terusik. Setelah memastikan ada uang di dompet, serta masih ada saldo di e-money, dia ajak temannya menuju cafe yang dimaksud. Niatnya ngopi + studi banding.
### 

Caffe Latte, yang juga dipesan Jokowi
Purwo.co -- Awal tahun ini, atas nama Ketua Forum Pustakawan UGM saya pernah diminta datang ke Fisipol untuk mendengarkan presentasi terkait pengembangan perpustakaan FISIPOL UGM. Menarik. Semua digital. 

Beberapa waktu kemudian, ketika saya bersepeda dari FT ke Perpustakaan Pusat, lewat sebelah barat FISIPOL saya melihat ada plakat nama DIGILIB-CAFE pada gedung FISIPOL yang hendak dijadikan perpustakaan. "Lah, sekarang ada cafenya?", saya setengah kaget. Beberapa hari kemudian, ketika acara puncak Dies UGM, setelah memberikan kuliah umum di Ghra Sabha Pramana, Presiden Jokowi mampir di Digilib Cafe ini.

Saya berfikir, konsep pidato kuliah umum Presiden memang agak nyrempet dengan konsep Digilib Cafe-nya Fisipol UGM. Benar saja, ketika saya, Mas Bagus dan Kang Arizal (barrista dan juga mahasiswa pasca Geologi UGM) datang ke Cafe ini, disuguhi dengan video kedatangan Presiden bersama menteri, rektor, gubernur dan pejabat lainnya. Mereka ngopi bareng.  Kurang lebih demikian. 

Eh, sebenarnya kami hendak berempat dengan Pak Alfa, mahasiswa S3 FT UGM, namun batal.

*** 

Kami berkunjung untuk studi banding, serta mencoba merasakan langsung ketemu barista, ngobrol kemudian merasakan sensasi memesan kopi dan makanan, menikmati sambil ngobrol di dalamnya. Ingin membuktikan desas desus, bahwa ngopi, khususnya di café bisa meningkatkan kreatifitas, memunculkan ide-ide segar dan orisinil. 

### 

di depan racikan kopi
Sebenarnya, cafe di perpustakaan sudah ada di beberapa tempat. Kafe yang cukup populer di kalangan pustakawan yaitu Kafe Pustaka di Universitas Negeri Malang. Kafe ini memiliki jargon "Kate nengdi, Bro? Ngopi kene lho, iso pinter: Sembari Ngopi Membangun Literasi". 

Ngopi, konon kependekan dari "ngobrol - pinter", begitu yang saya pernah dengar langsung dari Kepala Perpustakaan UM, Prof. Djoko Saryono. Ngobrol, diskusi, seminar juga bagian dari pustaka, bedanya dengan buku hanya pada wadahnya saja. Kalau buku, wadahnya kertas-kertas, kalau seminar maka wadah ilmunya ya kepala-kepala itu. "Diskusi dan seminar adalah bentuk dari pustaka juga", ini juga ungkapan dari Prof. Djoko. 

Ada beberapa acara di kafe ini; kudap buku, konser mini, baca puisi dan lainnya terkait dengan literasi. 

###

Bagimana dengan digilib cafe FISIPOL UGM ini?

Digilib cafe di FISIPOL UGM, sejauh yang saya tahu merupakan cafe terbaru di perpustakaan UGM. Menyusul cafe-cafe sebelumnya. Cafe ini berada di lantai 2, sementara lantai 1 untuk bank. Informasi yang saya peroleh, lantai 3 nantinya diproyeksikan untuk co-working space, dan lantai paling atas untuk perpustakaan. Saat kami datang, baru lantai 1 dan 2 saja yang difungsikan. 


melihat dan menunggu kopi diracik
Memasuki gedung tempat cafe ini berada, kami disuguhi dengan baliho besar yang memperlihatkan konsep besar dari co-working space yang dibangun FISIPOL. Kemudian pada pintu masuk terdapat tempat selfie dengan gambar yang kekinian. 

Sebelum masuk menuju lantai 2, terdapat mesin ATM yang siap memberi sangu sebelum ngopi. Ya, untuk jaga-jaga, siapa tahu ada yang lupa bawa uang, atau lupa ngetap e-money-nya. Kan malu pas mau bayar kok ndak bawa uang. Eit, jangah salah, ding. Bisa bayar secara cashless, kok. Tinggal gesek.

### 

Sampai di lantai 2, barista sudah menunggu, dan menyapa ramah. Saya ketemu dua orang barista: satu mahasiswa satunya lagi bukan. 

Dengan sok nggaya dan sok akrab, saya terus terang bahwa saya tak tahu menahu tentang kopi, "apa yang direkomendasikan, mas?". Pertanyaan to the point untuk menutupi keawaman saya pada dunia kopi. Akhirnya beberapa gambar menu kopi diperlihatkan kepada saya. Menu tersebut ada di tablet SAMS***, tinggal geser kiri kanan saja. Bukan hanya kopi, namun juga ada nasi goreng, mi, roti dan lainnya.

ngopi ala orang kaia
"Ini kopi yang kemarin dipesan Pak Jokowi, Mas. Kalau ini pakai susu, ini agak pahit....". Dengan PD saya pesan, "Saya pesan yang sama dengan pesanan Pak Jokowi, ya". Ini sesungguhnya strategi saya saja, sekali lagi agar tidak begitu ketahuan kebodohan saya tentang perkopian. Saya pesan coffe latte, dan mi goreng. Mas Bagus, teman saya pesan single origin. Sebenarnya saya ngrasani, "kok namanya pakai bahasa asing, ya?. Mbok namanya itu pakai bahasa jawa. Kopi ireng, kopi aseli, kopi jahe, atau apalah". 

### 

Latte yang saya pesan disajikan dalam cangkir, ada buihnya (foam), kemudian tercetak hiasan daun di atasnya. Embuh apa namanya, pokoknya kayak gitu. Sementara Single Origin disajikan dengan 3 gelas: cangkir untuk hasil seduhan kopi, cangkir kopi untuk minum, serta air putih untuk menetralkan. Ketiganya diletakkan di atas beki dari kayu. Air kopi ini defaultnya pahit, dan disediakan gula yang bisa ditambahkan sendiri.

Sementara, Kang Arizal yang datang lebih dulu memesan kopi sama roti. Nama menunya saya tidak tahu. Dia juga menyiapkan beberapa bijih kopi yang belum dihaluskan, yang kadang langsung digigit alias dikletak (jawa) begitu saja. Pahit, mungkin. Tapi kayake enak. "Saya sudah terbiasa menikmati kopi tanpa gula", katanya. Kang Rizal ini pernah beberapa tahun di Brazil, bekerja. Sehingga tahu banyak tentang kopi.  "Brazil merupakan negara penghasil kopi", terangnya. 

##

Ketika kami masuk, hanya ada 2 meja dipakai. Cafe ini sepi karena mahasiswa belum kuliah aktif. Kemudian beberapa dosen datang, memilih menu, kemudian mencari kursi sendiri. Saya sempat ketemu dengan salah satu dosen FISIPOL yang pernah ngajar saja ketika kuliah, namanya Bu Hermin. Teman-teman yang sering mendengarkan RRI (Radio Republik Indonesia), pasti pernah mendengarkan suara beliau membawakan tema analisis terkait komunikasi. Beliau dosen Ilmu Komunikasi. Setelah saling menyapa dan berbasa-basi, kamipun melanjutkan agenda masing-masing.

###

tablet, menampilkan menu untuk dipesan
Harga makanan dan minuman di cafe ini, menurut Kang Rizal yang juga seorang barista, relatif murah dan terjangkau. Namun jika dibandingkan dengan ngopi di angkringan, ya jelas murah di angkringan. 

Karena saya memang penasaran, ya tetap saya bayar. Latte yang saya minum dihargai Rp.18.000, sementara single origin dihargai Rp.13.500. Untuk mie goreng di harga Rp.18.500 ribu per porsi.

Suasananya cafe ini nyaman. Ada kelompok meja dengan 2 kursi atau 4 kursi yang terbuat dari kayu, kursi sofa simple yang cukup nyaman untuk duduk. Ada pula ruang tertutup dengan sekinar 10 kursi mengitari meja + papan tulis.  Ruang ini bisa untuk rapat/diskusi dalam jumlah 10-an orang. Lantai 1, 2,3,4 dihubungkan oleh tangga tangga di sisi sebelah pojok tenggara. Langit-langit tiap lantai merupakan cor beton, sehingga aktivitas antar lantai tidak akan saling mengganggu. Fungsi ruang pada tiap lantai akan terjaga.

Pada bagian tengah ada panggung kecil, dengan desain agak tinggi dari lantai lainnya + latar belakang bertuliskan DIGILIB-CAFE lengkap dengan logo cangkir

di pintu masuk
Kami ngobrol ngalor ngidul. Kang Rizal banyak bercerita tentang perkopian di Jogja, pengalamanannya menjadi barista, pergeseran cara belajar mahasiswa jaman sekarang, dan pemanfaatan kopi + cafe untuk kumpul dan bertukar ide. 

"Mahasiswa sekarang perlu tempat yang bisa bebas ngobrol. Cafe + kopi menjadi paduan yang pas saat ini. Trend perkopian konsisten naik di Jogja", demikian Kang Rizal bercerita. 

Tak ketinggalan, Kang Rizal juga mengajari kami cara minum kopi. Jian, tak kira tinggal minum saja. Ternyata, misalnya pesanan Single Origin yang karena cara minumnya berbeda, maka harus menggunakan 3 gelas dengan fungsi masing-masing. Latte pesanan saya, karena tak mau repot, gula langsung saya tuang, saya aduk, lalu minum. Ora nganggo repot

Memang benar, ketika ngopi, rasanya plong“Mak pyar”, seperti komentar konco ronda setelah nyeruput kopi yang dibawa Kang Gimin, teman ronda juga. “Mak pyar”, juga saya rasakan setelah menyeruput kopi latte yang baru saja saya pesan, apalagi ketika masih panas. Harganya yang sekian kali lipat dibanding kopi di angkringan Kang Bayat, sudah terlupakan bersamaan dengan sruputan pertama. Pokoknya majas, sakti sekali kopi ala café ini untuk menghilangkan beban hidup, apalagi beban utangan. Ilang babar blas.


poster besar di depan pintu masuk


ruang pertama setelah pintu


tangga

 
panggung dalam cafe


"It's more than cafe. It's a coworking space for creativity", demikian jargon yang tertempel di beberapa sudut cafe ini. Ada juga "turn on your ideas". Konsep cafe ini, perpaduan cafe, co-working space dan perpustakaan untuk mendorong munculnya ide-ide dari siapapun, serta tempat berkumpulnya orang-orang yang membawa ide tersebut sehingga dimungkinkan adanya kolaborasi positif antar mereka. 

Mau mendiskusikan ide secara santai, ke cafe. Mau mengerjakan ide tersebut bersama-sama, bisa ke co-working space. Dan jika perlu referensi dari ide yang hendak dieksekusi, tersedia perpustakaan.

Begitulah cafe jaman now, perpustakaan jaman sekarang, cara belajar mahasiswa jaman sekarang, trend perpusakaan jaman sekarang. Semua perlu biaya. Baik membuatnya, maupun membeli kopinya. Sediakan uang yang lebih dari yang biasanya digunakan untuk membeli kopi instant. Maka anda bisa menikmati kopi di cafe, nggaya, dan kekinian. 


###


Selesai ngopi Paijo menuju kasir. Membuka dompet, menyodorkan kartu e-money untuk membayar. Di nota tertera Rp.31.500 untuk dua kopi yang gelasnya lebih kecil dari gelas yang biasa dia pakai ngopi di angkringan Kang Bayat. Diapun ingat lagi ketika sore-sore mampir angkringan Kang Bayat. Cukup Rp.18.000-an sudah bisa makan nasi piring dengan lauk sate dan beberapa gorengan  + minum jeruk anget, itupun berdua dengan istrinya. Paijo terbayang wajah istrinya. "Maafkan aku, istriku", Paijo membisik. Nota itu buru-buru dimasukkan ke kantong tersembunyi, agar istrinya tidak tahu, bahwa dia baru saja menghabiskan jatah ngangkring 2 x, untuk sekali ngopi.

Namun, sejurus kemudian Paijo ingat, bahwa niatnya bukan ngopi, tapi studi banding. "Ah, nanti saya beralasan ini biaya studi banding saja. Aman.."

Paijo merenung, apa iya untuk mengeluarkan ide kreatif harus mengeluarkan uang lebih besar dari biaya ngangkring malam malam, berdua dengan istri di angkringan Kang Bayat dekat rumah?. Rp.18.000-an sudah dapat nasi piring lauk pecel dua porsi, jeruk atau teh anget, lawuh sate plus beberapa gorengan. "Ah, kayake saya milih mencari ide kreatif dengan cara tradisionil saja, 
nang angkringan, atau sambil nyambel bawang, sambel kepik, atau lawuh putul goreng. Wedange degan yang metik dari depan rumah. Hora level yen nongkrong di cafe. Hora popo yen ora disebut kekinian". Paijo milih mikir kepenak, ayem luwih penting bagi Paijo.



Sekip, 3 Januari 2018
15.56

Info lainnya tentang cafe di perpustakaan:
  1. http://fisipol.ugm.ac.id/news/kunjungi-digilib-cafe-jokowi-akhirnya-ketemu-creative-hub-di-fisipol/id/
  2. http://surabaya.tribunnews.com/2017/05/31/asyiknya-ngopi-literasi-ala-kafe-pustaka
  3. http://www.unsyiah.ac.id/berita/perpustakaan-unsyiah-sediakan-warkop




Share:

6 comments:

  1. Cafe baru...di kampusku. Perlu singgah nggak ya..? Ngajak siapa y?..kapan enak nya?
    Mahasiswa jaman now...harus ngafe y?
    Kalo nggak? Nggak now gitu ya...
    By the way..senang baca tulisan Pak Pur ttg cafe baru di fisipol UGM. Jadi aware ttg suasana, menu and budgetnya. Berharap ada yang seperti itu di MIPA...jadi bisa minum coffee late panas kalo lagi penat mikir bukti teorema..apalagi ada teman ngopi yang bisa bantu mikirin bukti teoremanya...half solved.

    Thanks Pak Pur..

    Nur

    ReplyDelete
  2. Mengutip tulisan Mas pur di atas: "Apa benar ketika ngopi, khususnya di café bisa meningkatkan kreatifitas, memunculkan ide-ide segar dan orisinil?”. Itu yang ingin saya buktikan.", ternyata terbukti, dengan hadirnya tulisan mas pur ini....thanks mas pur, sudah terbukti

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe,
      saya sepertinya milih nyambel bawang saja, bu. Cafe tidak ramah di kantong.

      Delete
  3. kemarin sempet nyoba
    cuma ga ada ruangan untuk merokok ya :D

    ReplyDelete

Terimakasih, komentar akan kami moderasi