Wednesday 15 November 2017

,

Menerbitkan artikel: memilih prestise atau kemudahan akses?

Karyo: "kok melamun, Jo?"
Paijo: "jian, saya itu sudah meneliti, menulis hasilnya, saya kirim ke jurnal, proses, terbit. Lah kok setelah terbit, saya sendiri sebagai penulis ndak bisa mendapatkan hasil tulisan saya. Lah aneh, tho?"

Karyo
: "sabar, Jo. Kui jenenge bisnis"

Purwo.co -- Tidak dipungkiri, bahwa menulis artikel untuk jurnal, saat ini menjadi salah satu ukuran kepakaran seseorang, khususnya di dunia akademik. Dosen, mahasiswa, pustakawan, dan siapapun. Angka yang muncul dan menginformasikan berapa kali dikutip, akan meningkatkan citra dirinya. Ada lagi angka yang disebut h-index, g-index dan lainnya.

Ingat, lho. Hanya salah satu.

Jeguran neng kali
Artikel, tentunya bermula dari sebuah penelitian, apapun jenisnya. Ditulis, dikirim ke jurnal, melewati berbagai proses dan kemudian terbit. Tentunya jika tidak ditolak.

Jurnal bisa dibedakan menjadi beberapa macam. Ada yang lokal, dengan reviewer terbatas dari institusi tertentu; nasional dengan reviewer dari satu negara tertentu; atau internasional yang memiliki reviewer dari berbagai negara, dan penulisnya juga dari berbagai negara. Begitu kira-kira.

Artikel dalam jurnal ada yang dapat diakses bebas oleh orang lain, ada yang harus berbayar. Ada pula jurnal yang memiliki angka-angka yang membedakan kelasnya dengan jurnal lainnya. Ada angka quartile, h-indeks, dan lainnya.

Jurnal, ada yang dijual dan ternyata banyak pula yang membeli. Kemampuan institusi untuk membeli akan membedakan status institusi tersebut di antara institusi lainnya. Ada pula jurnal yang gratis, dan tetap banyak dicari, ada juga yang digratiskan tapi kurang diminati. Jurnal yang dijual, sekaligus diakui memiliki kualitas yang bagus, akan merasa jumawa dengan jurnalnya.

“Harus beli terus. Kalau ada jeda, kemudian mau beli lagi maka harga naik”. Semacam orang jual properti di tivi-tivi itu. Jurnal yang demikian, biasanya merupakan jurnal internasional yang telah memiliki posisi tawar. Banyak artikel pakar diterbitkannya. Orang yang terlibat di dalamnya, tentu akan merasa naik tingkat intelektualnya beberapa derajad. Baik sebagai reviewer atau sebagai penulis. Semakin banyak yang membutuhkan, semakin banyak pakar yang memasukkan tulisannya, maka akan semakin kuat posisi tawar jurnal tersebut.

Sebagai pustakawan, saya kadang merasa sedih ketika penulis artikel meminta bantuan mencarikan artikelnya sendiri yang sudah terbit di jurnal, dan dia sendiri tidak bisa mengaksesnya karena oleh jurnal dibuat berbayar. Ini memang sangat dimungkinkan. Bahkan penulis sendiri tidak bisa mengunduh artikelnya yang sudah terbit.

Paijo: “Edian kui”.

Rekan-rekan yang berbahagia. Jurnal atau database jurnal yang populer, seolah ingin menguasai semua lini proses ilmiah. Ya, namanya bisnis, tentunya wajar. Mulai dari menerbitkan artikel, menilai artikel, penilaian jurnal, membuat metrik untuk proses ilmiah, manajemen referensi, dan lainnya. Intinya dari mencari informasi, mengunduh, mengelola, menulis, menerbitkan, menilai hasil terbitan dan wadah terbitan (jurnal).

Dan, itu dijual.

Ini jadi dilema. Di satu sisi, ilmuwan bernafsu ingin menerbitkan artikelnya di jurnal yang bagus (dengan berbagai angka yang disematkan pada jurnal tersebut), tapi di sisi lain, tulisan yang dia tulis juga harus mudah diakses orang lain, sehingga proses ilmiah yang terjadi setelahnya menjadi lancar.

Menerbitkan artikel di jurnal luar negeri + akses berbayar, sama dengan memberikan gratis penelitian kita pada orang kaya (mampu membeli artikel), serta justru membatasi akses diri sendiri + bangsa. Apa sebab?

Coba bayangkan. Peneliti yang meneliti menggunakan uang negara, setelah selesai penelitian, ditulis dan diterbitkan di jurnal yang penerbitnya di LUAR NEGERI. Ini keanehan pertama. Yang membiayai negara/rakyat sendiri, atau dia bisa dapat bantuan karena dia warga Indonesia, tapi hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal LUAR NEGERI.

Paijo: "itu kalau yang membiayai negara. Nek golek dewe, Kang?"
Karyo: "karepmu, Jo"
Karyo: "kalau masih bebas diakses, ya ndak papa, Jo".
 

Efek dari keanehan pertama tersebut, akan sangat terasa jika jurnal tersebut ternyata berbayar. Kalau masih bebas diakses, ndak masalah. Lah, kolega sendiri, atau warga negara Indonesia, yang satu tumpah darah dengannya, mau unduh kudu bayar. Hopo ora nggumuni?

Maka, saya ulangi lagi kalimat di atas: menerbitkan artikel di jurnal yang terbit di luar negeri, dan bukan open access = memberikan hasil penelitian kita pada orang kaya, serta membatasi akses bagi saudara atau tetangga kita sendiri.

Antara prestis dan kemudahan akses
Mencari cethul ketika banjir
Ilmuwan yang mendahulukan penyebaran ilmu dibanding prestisius, mestinya akan mendahulukan jurnal yang memudahkan proses aksesnya, dibanding kepopuleran jurnal. Sebagai ilmuwan, harusnya mendahulukan manfaat dari pada prestis. Pemilihan jurnal, bukan hanya didasarkan pada angka-angka statistik yang melekat (lebih tepatnya dilekatkan) pada jurnal. Namun, setelah pertimbangan tersebut, harus periksa lagi dengan pertimbangan “mudah tidaknya dokumen tersebut diakses orang lain”.

Bagaimana caranya? Ya diterbitkan di jurnal yang tepat dan ideal. Jurnal ideal untuk publikasi adalah jurnal bergenre open access, serta dikelola sendiri.

Mengapa open access?, karena menjamin semua orang dari semua tingkatan ekonomi bisa mengunduhnya secara gratis. Tanpa harus membayar, dan direpotkan dengan proses bayar-membayar model kartu kredit dan semacamnya. Jika mudah diakses, maka manfaat ilmu untuk ilmu dan untuk ummat manusia akan terasa.  Dikelola sendiri, maksudnya jika ranahnya institusi, maka jurnal tersebut dikelola institusi itu sendiri. Ya, tentunya jika ada orang lain dari institusi lain yang ingin menerbitkan, ya boleh saja.

Paijo: “kalau dikelola sendiri, nanti pilih kasih, Kang?”
Karyo: “kalau itu terkait profesionalisme, Jo. Ketentuan sebaran reviewer kudu dipenuhi. Kudu profesional. Hora njuk, diakeb dewe!”

"Lah, kalau tak punya?" Ya terbitkan di jurnal open access lainnya, di manapun. Karena open access akan menjamin kemudahan akses hasil penelitian tersebut.

Kebahagiaan hakiki seorang penulis, adalah ketika tulisannya banyak dibaca orang (kemudian dikutip).


Artikel lebih tinggi derajadnya dibanding jurnal
Kualitas artikel lebih tinggi derajadnya dibanding kualitas jurnal. Saya kira pernyataan ini harus diakui. Bagi para penulis, ini harus diyakini, karena terkait harga diri mereka sebagai ilmuwan. Dengan keyakinan ini, maka selayaknya, penulis memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dari pada jurnal.

Kita masih ingat kasus-kasus jurnal abal-abal. Jika ada artikel yang terbit di jurnal yang teridentifikasi abal-abal, maka artikel tersebut bisa digugurkan jika digunakan sebagai syarat administrasi dengan tujuan tertentu. Atau kasus sebaliknya, artikel abal-abal yang terbit di sebuah jurnal yang bukan abal-abal. Bagaimana kasus ini dilihat dari kaidah “artikel lebih tinggi derajadnya dibanding jurnal?”.

Untuk kasus pertama, meski (sengaja atau tidak sengaja) terbit di jurnal abal-abal, maka artikel akan tetap menjadi sebuah artikel. Dia akan dibaca, dan diakui kebenaran analisisnya, jika memang analisisnya benar. Derajad artikel tetap akan ada di atas jurnal.

Untuk kasus kedua, sudah jelas bahwa artikel tersebut abal-abal. Misal artikel yang diatasnamakan penyanyi dangdut Indonesia, yang pernah terbit tahun 2012. “Artikel” tersebut tidak bisa disebut artikel, sehingga tidak dikenai pernyataan di atas.

"Loh, kan itu sudah dianggap artikel?"

Okelah, ketika artikel tersebut terbit, dan terbukti abal-abal, sekarang artikel tersebut (artikel yang nama penulisnya penyanyi dangdut) sudah tidak lagi ada di jurnal, sudah dihapus. Jurnal akan rusak jika memuat artikel abal-abal. Hal ini, secara langsung membuktikan bahwa nilai artikel lebih tinggi dari jurnal.  Tapi artikel bagus, tidak akan rusak substansinya ketika diterbitkan oleh jurnal abal-abal. Artikel akan mempengaruhi kualitas jurnal. Artikel tetap lebih tinggi derajadnya dibanding jurnal.

Loh, menerbitkan artikel di jurnal butuh waktu je. Berbulan-bulan, bahkan sampai hampir setahun.

Paijo: “Nah, itulah, perlu terobosan, Kang. Trus, prestise atau kemudahan akses?
Karyo
: "kalau bisa ya dua-duanya, Jo"


Sambisari,
Rebo Wage, 25 Mulud 1951 Dal
5.33 esuk



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi