Saturday 14 October 2017

Pustakawan itu menanggung tiga citra: dirinya, perpustakaannya, dan ilmu perpustakaan

dikutip dari Arnold Hirshon
Purwo.co - Perpustakaan dan (ilmu) perpustakaan, bergantung pada pustakawan. Sesungguhnya pustakawan adalah kunci.

Pustakawan, merupakan sosok yang menggerakkan kerja-kerja di perpustakaan.  Perpustakaan dan pustakawan, merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Perpustakaan tanpa pustakawan, tentunya kurang optimal. Pustakawan tanpa perpustakaan, maka penyebutan pustakawan menjadi kurang afdal. Tentunya, perpustakaan dalam hal ini, adalah perpustakaan dalam arti seluas-luasnya.

Karena saling terkait, maka keduanya tidak dapat dipisahkan, dan tentunya terkait citra, akan saling mempengaruhi. Namun, sekali lagi, pustakawan adalah kunci. Perpustakaan yang baik  akan mempengaruhi citra pustakawan, tetapi perpustakaan dianggap baik itu tergantung pustakawannya.  Pustakawan yang baik, akan berpengaruh pada citra perpustakaan. Dan jika kerja-kerja pustakawan ini sampai pada level tertentu, maka pandangan orang di luar perpustakaan tentang status ilmu perpustakaan, akan terpengaruh. 


Tiga citra tersebut sesungguhnya dibebankan pada pustakawan.  Mulai dari citra pustakawan (dirinya sendiri), citra perpustakaan, dan citra ilmu perpustakaan.


Citra pustakawan (dirinya sendiri)
Sebagai orang yang bertanggung jawab pada berjalannya fungsi perpustakaan, maka pustakawan melakukan berbagai hal dia dianggap perlu. Mulai dari menjalankan tugas rutin, maupun tugas lainnya yang berkaitan dengan hubungan pada atasan, komunikasi pada pemustaka, komunikasi antar unit, layanan yang diberikan pada unit lain, kerja pengembangan, dan lainnya. 

Kerja-kerja tersebut, akan mempengaruhi citra (gambar) dirinya pada orang lain. Orang lain (pemustaka, dan orang luar perpustakaan) akan menilai si pustakawan dari manfaat yang dia peroleh ketika berhubungan dengan si pustakawan.  Citra ini harus dijaga oleh pustakawan, agar tetap baik di mata orang lain, atau menjadi baik jika pustakawan sebelumnya dianggap kurang baik. 

Setiap pustakawan adalah mufassir, dan pustakawan merupakan pemegang otoritas tafsir atas perpustakaannya.

Hal yang perlu diingat, citra pustakawan ini terkadang dimaknai secara personal. Pengangkatan citra dilakukan untuk pribadi-pribadi, bukan atau tidak menarik citra tempat dia bekerja. Hal ini, tentunya kurang elok.


Citra perpustakaan
Segala yang dilakukan pustakawan dalam rangka menggerakkan perpustakaannya, akan mempengaruhi citra perpustakaannya. Baik-buruknya perpustakaan, akan dimulai dari si pustakawannya sendiri.

Pustakawan yang pintar, tidak otomatis akan membawa citra baik untuk perpustakaannya, jika kepandaian itu tidak diaplikasikan pada pengembangan perpustakaan. Pustakawan yang justru sibuk dengan kerja-kerja di luar wilayah perpustakaanya dan "melupakan" rumah utamanya, juga demikian, justru akan berpotensi berpengaruh buruk pada perpustakaannya. 

Untuk membangun citra perpustakaan, pustakawan perlu keberanian (menjadi benar-benar pustakawan, pustakawan paripurna), bertindak lokal namun berefek global, dan fokus pada perpustakaan yang dia kelola. 

Perlukah pustakawan memunculkan dirinya di gelanggang yang lebih tinggi?. Perlu. Namun, selama pemunculan itu terkait dengan dirinya sebagai pustakawan, maka tetap dia harus membawa nama "pustakawan" dan perpustakaan tempat dia bekerja. 

Masuk ke dalam pentas yang lebih tinggi, tapi tidak dengan nama "pustakawan", sama dengan pengkhianatan profesi.
Dengan membawa nama pustakawan/pengelola perpustakaan tertentu, maka secara langsung akan mengangkat citra perpustakaannya. 

Citra ilmu perpustakaan
Perpustakaan sebagai ilmu, agaknya masih diragukan. Benarkah benar-benar ilmu yang harus dipelajari di bangku kuliah secara formal, atau memang…ya, cukup melalui jalur kursus atau pengalaman otodidak saja. Setidaknya ini ditunjukkan dengan nomenklatur yang saat tulisan ini dibuat, tidak menyebutkan ilmu. Tertulis "perpustakaan dan sains informasi".
Baca juga: Sudah terang: tidak ada ilmu perpustakaan
Pandangan positif dari orang selain pustakawan pada “ilmu” perpustakaan, ditentukan oleh kerja-kerja pustakawannya. Karena mereka, orang-orang itu melihat yang nyata di lapangan, apa yang mereka rasakan dari layanan pustakawan, bukan sekadar yang ada di atas kertas yang dipresentasikan di berbagai konferensi. Kerja nyata ini, hanya dilakukan oleh pustakawan

Ada kenyataan pengelola perpustakaan yang tidak alumni prodi ilmu perpustakaan, ternyata bisa mengelola perpustakan dengan modal kemauan belajar sepanjang hayat. Ketika ternyata hasilnya sama dengan yang dikelola orang yang alumni sekolah perpustakaan, akan menjadi kenyataan yang cukup berpengaruh. Setidaknya, bagi institusi yang menaungi perpustakaan tersebut.

Kenyataan tersebut akan mendorong pada kesimpulan-kesimpulan, misalnya: tak perlu alumni sekolah perpustakaan untuk mengelola perpustakaan, atau jika telah dikelola oleh alumni sekolah perpustakaan, maka justru dia dipindah ke bagian lain yang dianggap lebih penting. “Cukup dikelola alumni SMA, saja. Nanti bisa sambil belajar”, begitu kira-kira.

Bagi pustakawan yang meyakini bahwa ilmu perpustakaan itu benar-benar ada, maka hendaknya dia menunjukkan pada kerja-kerjanya. Namun, bagi pustakawan yang menganggap ilmu perpustakaan itu tidak ada, maka kepatuhan pada pimpinan adalah cukup baginya. 

Beratnya beban citra pustakawan
Tiga hal di atas menunjukkan beratnya citra yang harus ditanggung oleh pustakawan, disamping perjuangan dirinya sendiri untuk tetap bertahan menjadi pustakawan.

Pustakawan harus selalu belajar agar kemampuannya selalu sesuai dengan perkembangan jaman, agar perpustakaannya tidak ketinggalan, dan agar dia selalu bisa menguasai dan menerapkan berbagai hal baru terkait perpustakaan.

Pustakawan bukan orang yang berhenti di teori-teori di atas kertas. Pustakawan itu mempelajari, melakukan dan mempublikasikan. Dan untuk “melakukan”, membutuhkan keberanian.

Karyo: "Saya pernah dengar curhat orang yang sebelumnya menjadi praktisi, bukan pustakawan, Jo. Tapi akhirnya menyerah karena beratnya beban yang harus ditanggungnya. Kemudian si praktisi ini pindah menjadi akademisi.
Paijo: "Abot yo, Kang."

Demikian pula pustakawan, jika tidak kuat dengan tanggungjawab menjaga 3 citra di atas, maka sangat mungkin dia meloncat pindah ke profesi lain yang lebih mapan, dengan tingkat strata sosial lebih tinggi, dan tentunya lebih prestisius.

Ilmu perpustakaan itu ada atau tidak, tidak ditentukan oleh debat atau diskusi ilmiah para ilmuwan perpustakaannya. Namun 99% ditentukan oleh kerja-kerja pustakawan. 

Agar tanggungan citra tersebut terasa ringan, maka cukuplah bagi pustakawan untuk bekerja sebaik-baiknya, pasrah dan serahkan hasilnya pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika memang dirasa ada profesi lain yang bisa dimasuki dan lebih baik untuk anda, cobalah. Tidak ada larangan. Tapi, tentunya andapun boleh tidak setuju dengan saya.



Tanah leluhur Rakai Garung, Sambisari.
tanggal 14, bulan sepuluh tahun 2017
01.33 dini hari



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi