Monday 2 October 2017

Pustakawan bukan siapa-siapa*)

Purwo.co – SEORANG KAWAN MENGGEBU, mengatakan bahwa pustakawan merupakan agen perubahan. Benteng literasi bagi generasi penerus, mengenalkan berbagai sumber informasi yang valid, di tengah gempuran informasi aliran sesat yang ada di sekitar.

Heroiknya pustakawan, akan terkait pula terkait dengan buku. Tragedi perbukuan, baik 0 buku, atau pembakaran buku, merupakan tragedi yang menunjukkan bahwa pustakawan sebagai pengelola buku, memiliki peran penting, dianggap penting untuk menjaga harga diri buku, atau kadang juga dianggap berbahaya. Agar tidak terjadi tragedi 0 buku, maka pustakawan harus ditempatkan pada tempat yang semestinya.

Paijo: “gandrik!, pengelola buku?. Sampeyan bisa diprotes nulis “pengelola buku”.

Tuah literasi (li-terasi), yang selama ini digaungkan selalu didekatkan dengan pustakawan. “Literasi itu penting, dan pustakawan memiliki peran penting di dalamnya”, demikian katanya. “Pustakawan seperti kita, bukan hanya mengolah buku, meminjamkannya, tapi kita juga harus bisa mengajar”, begitu timpal tambahannya.

Tuah literasi juga diformalkan melalui gerakan literasi, populer dengan simbol L, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangan kanan. Bentuknya jadi seperti pistol. Dor... Wujudnya macam-macam: gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah, gerakan literasi….

Tapi satu yang terlupa, gerakan literasi pustakawan.

Simbol L itu, seolah ingin menunjukkan bahwa peran pustakawan semakin penting, bahkan penting sekali. Simbol L menjadi ruh dan menyatukan semangat pustakawan, dia menjadi perekat. Dia harus mampu mendobrak ke atas, sebagaimana jari telunjuk, dan menyebar ke sekitar sebagaimana ibu jari, yang keduanya membentuk huruf L tadi.

Melalui simbol L itu, pustakawan merumuskan peran-perannya di dunia pendidikan, dan juga di masyarakat. Peran baru dilakukan, dimunculkan, dan bukti keberhasilannya diposting di media sosial. Tentunya, agar semua orang, atau setidaknya teman-teman di jejaring sosialnya melihat dan tahu bahwa dia punya peran penting, bukan main-main, terkait huruf L tersebut.

Foto-foto dengan jari tangan membentuk L kerap dijumpai. Tentu dengan pose-pose aduhai. Menunjukkan keseksian dunia literasi.

Li-terasi, entah mulai kapan dia populer. Literasi, dulu dikenalkan di bangku kuliah dengan arti ke-melek-huruf-an. Arti yang mungkin tidak semua mahasiswa paham benar apa makna sesungguhnya. Waktu itu, yang penting “saya dengar, saya lihat (soal), saya bisa menjawab dengan benar”.

Dengan label “gerakan”, seolah literasi merupakan bentuk perlawanan, perjuangan pustakawan untuk merebut (atau menunjukkan) peran mereka dalam rangka mewujudkan kondisi yang ideal.  Merebut dari siapa? Entah. Itupun jika benar-benar merebut. Atau apa yang mau direbut? Atau mencari peran yang selama ini dianggap tidak diperhatikan? Atau mengais peran-peran yang tercecer?


###

INDONESIA PASTI BAHAGIA, melihat lulusan baru pendidikan perpustakaan. Karena dengan demikian, akan muncul pustakawan-pustakawan baru yang siap menjadi agen literasi pada siswa-siswa, pelajar dan mahasiswa di negeri ini.

Produk hasil didikan para dosen ilmu perpustakaan ini siap ditempatkan di mana saja. Di sekolah kota atau pelosok, di perguruan tinggi, di lembaga sosial, atau bahkan di perusahaan, serta di kampung-kampung menjadi “dai” literasi.


Konon, kabarnya masih banyak perpustakaan sekolah yang belum memiliki pustakawan. Perpustakaan ini, jumlahnya menjadi lahan penempatan para alumni ilmu perpustakaan. Jumlah inilah, salah satunya yang dijadikan bahan tawaran pada alumni SMA, agar masuk ke program studi perpustakaan, dan tentunya, menjadi agen perubahan, agen literasi pada para generasi bangsa.

Paijo: “Kalau tak ada alumni SMA yang mau masuk jurusan perpustakaan, piye ya Yo?”
Karyo: “bubar, Jo. Alumni dari SMA ini penting bagi keberlangsungan sekolah perpustakaan”.

Namun kenyataan di lapangan tidak selalu indah.

Pustakawan bukan siapa-siapa
Pustakawan butuh makan. Kadang, mereka tidak bisa hidup hanya dari status pustakawan. Ada yang masih jadi pustakawan dengan pangkat rendah, bergaji kecil. Sehingga harus nyambi ini-itu untuk mempertahankan agar dapur tetap ngebul. Undangan kondangan pernikahan teman sejawat, bisa berakibat fatal, dan membuat kepala puyeng. Selain galau karena ditinggal menikah,  juga harus menyiapkan amplop beserta isinya, atau paling tidak kado terakhir sebagai ucapan melepas lajang.

"Semoga berbahagia, jangan lupa berdoa dan olah raga", demikian katanya setelah memasukkan amplop di kotak yang disediakan.

Selain tuntutan untuk mencari pasangan menikah, pustakawan juga dituntut untuk pintar-pintar mencari rejeki untuk menafkahi. Mereka harus mendapatkan pasangan yang siap lahir bathin, menjadi pasangan hidup pustakawan.

Pustakawan bukan siapa-siapa
Mereka tipe pejuang kelas tinggi. Yang telah ditempatkan di pustakawan, ada yang berkorban dengan bersekolah lagi di jurusan perpustakaan, dengan harapan menjadi pegawai tetap di tempatnya bekerja. “Berjuang”, demikian konon istilahnya. Maka, mereka berbondong melanjutkan sekolah lagi, baik di universitas modern maupun konvensional. Namun, konon kabarnya, setelah lulus ada yang tidak ditempatkan di perpustakaan lagi, namun di rotasi ke bagian lainnya. Mungkin, bagian lain itu dianggap lebih penting.

Demikianlah awalannya, pustakawan bukan siapa-siapa.

Pustakawan bukan siapa-siapa
Pustakawan, juga bukan tuah yang membanggakan semua orang. Itulah mengapa, ada pustakawan yang bekerja di perpustakaan, namun ketika ditanya pekerjaan, jawabnya “buruh”. “Saya cuma buruh saja, kok”. Atau karena kerjanya di universitas, lebih senang dikenal dengan sebutan dosen.

Ya, orang kampung jika tahu kerjanya di universitas, langsung dianggap “dosen”. Keliru, tapi membuat yang disebut senang, ya dibiarkan saja.

Status pustakawan, memang bukan apa-apa. Sangat jarang anak sekolah yang menyebut pustakawan sebagai cita-citanya. Jika kemudian ternyata menjadi pustakawan, itu karena “paksaan” sejarah, sebagian besar bukan karena memperjuangkan profesi itu sejak lama, secara sadar.

Kepopuleran pustakawan sebagi cita-cita, jauh dibanding tentara, polisi, dokter, atau guru. Itu sudah kenyataan sejarah.

Pustakawan memang bukan siapa-siapa.
Organisasi profesi yang semestinya mengayomi,  kadang malah bertolak belakang. Pelatihan kepala perpustakaan sekolah, yang tidak sedikit pustakawan yang mengeluhkan, justru masih dilakukan. Aturan yang ada di atasnya, dijadikan bemper pengesahan kegiatan ini.  Entah, kepentingan apa yang ada di belakangnya. Ini seolah menunjukkan pada dirinya sendiri, bahwa pustakawan bukan siapa-siapa, bahkan bagi organisasi profesinya.

Ah, namun harus diakui bahwa organisasi kepustakawanan memanjakan pustakawan dengan dunia ilmiah, melalui kegiatan bertajuk call for paper. Pustakawan didorong untuk menulis (ilmiah) dan mengirimkannya. Namun, kadang ditarik biaya yang tidak sedikit. Tak sedikit pustakawan yang kandas keinginannya, karena kurang dana.

Pustakawan memang bukan siapa-siapa
Hadirnya tentu diharapkan menjadi sumber jawaban atas berbagai pertanyaan. Namun terkadang alih-alih menjadi filter berita hoax, malah terhanyut pada berita hoax yang seharusnya disaringnya. Atau menjawab pertanyaan tetangga tentang harga cabe sekilo, pustakawan merasa kesulitan.

Ya, memang tidak semua harus bisa dijawab oleh pustakawan. Tentunya berat untuk memberi jawaban pada semua pertanyaan. Justru itulah, menunjukkan bahwa pustakawan memang bukan siapa-siapa.


Pustakawan bukan siapa-siapa.
Di kampung atau di masyarakat, banyak orang yang beperan selayaknya pustakawan,meskipun dia tidak (bukan) alumni dari pendidikan formal pengelolaan perpustakaan. Mereka megelola buku, serta koleksi lainnya, serta membuat kegiatan yang berguna bagi masyarakat. Dan mereka bisa melakukannya.

Peran ini, tak urung, memberikan ruang tafsir pegiatnya tentang pustakawan. Apa sebenarnya peran pustakawan di masyarakatnya? Sebatas apa gerakan literasi yang digaungkan itu berpengaruh pada tetangganya?

Baca juga: Hati-hati masuk jurusan ilmu perpustakaan!!! #inpassing

Pustakawan bukan siapa-siapa
Konon, kabarnya ada penolakan atas kebijakan sebuah institusi yang membuka lowongan pengelola perpustakaannya untuk orang dari alumni selain program studi perpustakaan. “Itu hak alumni perpustakaan, bukan yang lainnya…”, begitu katanya. Mereka tidak sadar, bahwa ada juga alumni ilmu perpustakaan yang bekerja sebagai tenaga administrasi di perguruan tinggi, misalnya. Tidak ada alumni manajemen perkantoran yang protes. "Saya sudah berhenti menawarkan software saya. Lah kalah sama gerakan pustakawan menyebarkan open source", konon kabarnya ada yang mengatakan demikian.

Bahkan mungkin ada juga pustakawan yang bekerja menjadi teller di bank, tidak ada alumni keuangan, perbankan, yang protes. Atau kita tidak tahu?


Pustakawan bukan siapa-siapa
Di tengah perjuangan pustakawan yang masih panjang, justru para ilmuwan gencar memopulerkan ilmu informasi. Entah, mana yang lebih luas. “Informasi” dianggap lebih kekinian, lebih mutakhir, lebih bisa mengayomi semua aspek kegiatan kerja-kerja pustakawan. Para ilmuwan, dengan kepakarannya hendak meletakkan posisi yang benar, antara ilmu perpustakaan dan ilmu informasi. “Di luar negeri, ilmu perpustakaan sudah ditinggalkan, beralih ke ilmu informasi, i-science”, begitu kurang lebihnya. Para pakar yang dikenal dengan ilmu perpustakaan, mendadak menjadi lebih (ingin) populer dengan ilmuwan informasi. Kenyataan ini menunjukkan, pustakawan memang bukan (si)apa-(si)apa. Seolah status pustakawan ditinggalkan, dan diminta “berjuang” sendirian.

"Saya profesional informasi", celetuk yang lainnya. Tidak apa-apa. Semua itu pilihan. Pustakawan memang buka (si)apa-(si)apa.


Pustakawan bukan siapa-siapa
Menjadi pustakawan perlu nyali. Keberanian. Jika tidak maka dia akan mengungsi. Jika hanya setengah-setengah, maka dia akan pergi ke profesi lain. Profesi yang lebih mapan, dengan tingkat strata sosial yang lebih tinggi, yang tidak perlu lagi perjuangan yang berdarah-darah.

Ironisnya, setelah mereka pindah itu, mereka mengatakan: "pustakawan itu penting". Atau mengritik pustakawan.

Jika penting, mengapa pindah profesi?

Ah. Pustakawan memang bukan siapa-siapa.


Pustakawan bukan siapa-siapa
Diskusi tentang “ilmu” perpustakaan seolah tidak berakhir. Bahkan pada hal paling mendasar: ontologi. Diskusi dilakukan di meja kuliah, kuliah umum, konferensi, dan lainnya.

Para ilmuwan perpustakaan (dan informasi) ngotot, bahwa ilmu perpustakaan itu ada. Namun, ternyata, meskipun tentunya bisa berubah, nomenklatur menyebutkan lain. “Perpustakaan dan Sains Informasi”.

Baca juga: Sudah terang: tidak ada ilmu perpustakaan
Karyo, dengan tampang lusuh sepulang dari sawah mengatakan, “Diskursus tentang ilmu perpustakaan itu, tak akan berpengaruh pada kerja-kerja kita, Jo. Aku dhewe menyadari. Tapi aku yakin, Jo. Sembilan puluh sembilan persen (99%) yang menentukan orang lain mengamini perpustakaan itu sebagai ilmu atau bukan, tidak terletak pada ilmuwan perpustakaannya. Namun, justru akan dilihat dari kerja-kerja kita ini, sebagai pustakawan”.

Pustakawan bukan siapa-siapa
Sejarah telah mencatat, bahwa profesi pustakawan tidak sepopuler dokter, tentara, polisi atau guru. Tidak apa-apa, memang demikian adanya. Sejarah selalu akan menunjukkan buktinya. Jika suatu saat nasib pustakawan harus seperti “dukun bayi” di pelosok kampung, yang sekarang semakin jarang, ya harus diakui. Tidak apa-apa, itu adalah bagian dari ketentuan sing wis ginaris deneng Gusti.


Pustakawan bukan siapa-siapa. Jika ingin tahu mereka, datanglah ke perpustakaan yang dikelolanya. Lihatlah apa yang mereka lakukan. Atau, lihatlah institusi pendidikan yang mencetak mereka, bagaimana kurikulumnya. Atau, maaf, lihatlah diklat-diklat yang mereka ikuti. Diklat itu ada yang mencukupkan mereka untuk bisa disebut pustakawan.

Pustakawan adalah manusia biasa, sama seperti yang lainnya.


###


Paijo, sambil leyeh-leyeh dan mengipaskan capingnya yang sudah sobek sebelah, menjawab ucapan Karyo, “Pustakawan itu bukan siapa-siapa. Ojo rumongso biso, tapi biso’o rumongso. Mung sak dermo nglampahi. Mau ada ilmu perpustakaan atau tidak, tidak masalah. Ada hal lain yang lebih perlu dicurahi energi untuk difikirkan, ilmu urip.”.

Sambisari, Senen Kliwon, tanggal 11 Suro 1951
lima, tiga sembilan pagi


*judul dicontek dari esai seorang kawan “mahasiswa bukan siapa-siapa”, tulisan Rachmad Resmiyanto. http://rachmadresmi.blogspot.com/2006/03/mahasiswa-bukan-siapa-siapa.html






Share:

6 comments:

  1. mungkin pancen kiprahe pustakawan sing durung terlihat jelas. persoalan literasi minat baca, aspek penting dan menentukan masa depan bangsa. sopo sing paling berwenang, berkompeten, bertanggungjawab terhadap persoalan tsb? guru, pustakawan, orang tua, masyarakat, pemda ?
    fakta literasi masih sgt menyedihkan, nomor hampir terbawah di dunia

    ReplyDelete
  2. Wis sing penting manut karo sing gawe urip, Insya Allah slamet uripe...ra sah mikir penting ga profesimu

    ReplyDelete
  3. Wis sing penting manut karo sing gawe urip, Insya Allah slamet uripe...

    ReplyDelete

Terimakasih, komentar akan kami moderasi