Monday 30 October 2017

, , , ,

Macapat, samroh dan shalawat Jawa di Sambisari: sebuah piwucal kehidupan penuh makna

Tulisan ini tentang dusun yang saya tinggali sekarang: Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Sebuah dusun, yang di wilayahnya terletak sebuah candi, yang konon dibangun pada masa Mataram kuno, pada jaman Rakai Garung. (Silakan lihat http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_sambisari)

###

Pentas Macapat
Tahun lalu, seorang bapak yang sudah berumur lebih setengah abad, naik ke atas panggung yang dibangun kokoh di selatan Candi Sambisari. Macapatan, begitu salah satu rangkaian acara yang beliau isi. Bait-bait macapat begitu fasih dilantunkan. Suaranya yang merdu -yang sudah sering saya dengar ketika beliau menjadi imam sholat- menjadikan bait macapat yang dibacakannya terdengar berat dan sarat makna. Dia dikenal dengan Pak Slamet, ro’is di kampung Sambisari.


***

Tahun ini, Sabtu malam Minggu, tanggal 28 Oktober 2017, Pak Slamet kembali naik panggung, pada acara yang sama seperti tahun lalu, rangkaian peringatan Sumpah Pemuda. Lokasinya saja yang berbeda. Kali ini tidak sendiri, namun satu grup dengan beberapa anggota.

Ada beberapa kelompok yang mengisi pertunjukan pada malam itu. Namun, sebagai anak muda jaman old, saya memilah hiburan yang memang sesuai dengan minat saya. Hiburan yang bukan sekadar hiburan. Hiburan yang memiliki makna, dan punya kelas budaya yang benar-benar berbudaya.

Wis, lah. Nanti bingung sampeyan sama apa yang saya maksudkan…

Suasana Kirab Budaya
Macapat, samroh/hadrah, dan shalawat jawa. Tiga pentas tersebut yang menjadi pilihan saya. Setidaknya, menurut saya, isi dari pentas tersebut baik, ada nilai pendidikannya, dan layak ditonton segala umur. Syair yang disampaikan pun memiliki pesan-pesan kebaikan, bukan syair yang miskin makna, semacam lagu curhat ndak nggenah “bojo g*l*k” yang dibiarkan sampai ke telinga anak-anak.

Malam itu, tiga orang melantunkan bait-bait macapat. Karena terlambat mendokumentasikan, tidak banyak syair yang saya bisa ingat dari pementasan tiga orang tersebut. Kalimat doa, dan syair yang sepertinya dikhususkan bagi Sambisari, “mugi manggiho raharjo”, adalah penggalan bait mocopat yang dilantunkan Pak Slamet.

Setelah pertunjukkan mocopatan selesai, disusul penampilan kelompok pengajian ibu-ibu yang membawakan beberapa lagu khasidah. Beberapa lagu tersebut antara lain: kisah rasul, seribu satu jalan, ciri orang munafik.

Seribu macam cara manusia mencari uang
Ada yang menjual koran, ada yang menjual kehormatan
Beruntunglah mereka yang bekerja dengan cara halal
Merugilah mereka yang bekerja dengan cara haram

Samroh Ibu-ibu
Bait di atas, merupakan bagian dari lagu “seribu satu jalan”. Lagu tersebut memuat makna tentang berbagai jalan Allah memberikan rejeki kepada manusia. Serta mengingatkan agar mencari rejeki secara istiqomah dalam jalur halal, karena akan menjadikan keberuntungan baginya di dunia dan akherat.

Melihat penampilan ibu-ibu di atas panggung, seperti kembali ke masa lalu, ketika grup Nasida Ria populer membawakan lagu-lagu khasidahnya. Ibu-ibu ini bergantian menyanyikan lagu yang berbeda. Sebelum berganti lagu dan penyanyi, mereka memperkenalkan penyanyi berikutnya sekaligus judul lagunya. “Lagu berikutnya, kisah rosul yang akan dibawakan oleh Ibu Siti, selamat menikmati”, begitu kalimat pengantarnya. Kalimat tersebut diucap dengan sederhana, datar, namun penuh penghormatan. Menunjukkan kematangan dan penjiwaan atas pentas yang mereka lakukan.

Paijo: “Tidak dengan teriak keras-keras seperti grup musik sebelah, Yo?”
Karyo: “iyo, Jo. Kelas atau derajad musik, akan membedakan cara penyanyi dan personilnya dalam bersikap. Coba bandingkan wae, Jo!” 

Berikutnya, disusul penampilan Sholawat Jawa Madyo Laras. Grup sholawat ini berdiri pada tahun 1994, yang dibidani oleh Pak Zainuri. Sampai saat ini memiliki 34 anggota, yang terdiri dari berbagai usia.

Grup ini pernah memperoleh juara harapan 1 pada lomba sholawat jawa se kabupaten Sleman.  “Pernah pentas pula di masjid Gedhe Kauman”, demikian disampaikan Pak Giyatno, salah satu personilnya.

Poro miyarso kakung miwah putri
Monggo-monggo sekecakno lenggah
Sinambi midangetake slawat Nabi Kang Agung
Pun tindakken mawi boso jawi

Amugi paringo ngapunten kang agung
Dumateng poro konco kulo
Ingkah tansah memuji Kanjeng Nabi
Mugi dadosno piwucal…

Sholawat Madya Laras
Bait di atas, merupakan salah satu bait pengantar yang dilantunkan salah satu personil. Sangat mungkin pendengaran saya salah, sehingga apa yang saya tulis di atas tidak seperti teks aslinya. Namun, kita bisa membaca, bahwa ada pesan yang dalam pada bait tersebut.

Pertama, bait tersebut memberi penghargaan pada siapapun yang datang, mempersilakan duduk sambil nanti mendengarkan sholawat nabi yang dilantunkan menggunakan bahasa jawa. Disusul doa, semoga diberikan ampunan untuk yang selalu memuji atau bersolawat kepada nabi, serta harapan semoga sholawat bahasa jawa ini bisa menjadi pelajaran bagi siapapun yang mendengarkan.

Pentas malam itu ditemani oleh rintik hujan. Bersyukur, panitia telah menyiapkan tenda besar untuk mengantisipasinya. Pak Dukuh Bayu, tampak hilir mudik, menemui para penonton dan tanpa sungkan, mengulurkan tangan lebih dahulu untuk menyalami mereka. Tidak terkecuali, dengan saya. Uluran tangan untuk salaman itu saya sambut dengan penuh hormat.

Kami pun pulang, membawa oleh-oleh “piwucal” melalui bait-bait mocopat, samroh dan shalawat jawa yang dipentaskan malam itu.

###

Gunungan hasil panen
Sambisari, kata seorang kawan merupakan daerah yang telah memiliki peradaban sejak lama. Keberadaan Candi Sambisari menjadi buktinya. Tinggal di daerah ini, terkadang saya membayangkan, dulu orang hilir mudik berjalan di sela-sela pepohonan besar dari dan menuju candi, untuk bersembahyang dengan berbagai ubo-rampenya.

Disusul dengan keberadaan Masjid Quwwatul Muslimin, yang disinyalir merupakan masjid paling tua di wilayah ini. Keberadaan pemakaman di barat masjid yang beberapa nisannya tertulis tahun wafat 1900-an awal, yang penghuninya memiliki nama yang terpengaruh budaya Arab, menunjukkan pula bahwa pernah ada Islam yang kuat di daerah ini. Prediksi saya, pada nisan yang tanpa tahun, sangat mungkin lebih tua lagi.

Sholawat Jawa, macapatan dan samroh/hadrah di atas, agaknya menjadi budaya yang menggabungkan semangat beragama dengan tetap menghargai tradisi lokal. Ketiganya memuat ajaran hidup. Ketiganya merupakan hiburan, yang tidak sebatas hiburan.


Paijo: "Warisan ini harus dijaga, jangan sampai Sambisari kehilangan jati dirinya"
Karyo: "Bener, Jo. Jangan sampai, tegerus jaman, hilang tak berbekas, tergantikan kesenian atau hiburan yang  jauh dari nilai pendidikan. Kasihan anak-anak kita nanti".





Selamat hari sumpah pemuda
Jangan jadi sampah, namun juga jangan buang sampah sembarangan.

Petilasan Rakai Garung
9 Sapar 1951 - 30 Oktober 2017
5.59 pagi



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi