Tuesday 24 October 2017

, , ,

Disrupsi(on) bagi pustakawan: ujian tentang cara Tuhan memberi rejeki


perlu senjata untuk mendisrupsi
Purwo.co -- New Oxford Dictionary mengartikan disruption sebagai “…. or problems that interrupt an event. Kamus Inggris Indonesia mengartikan sebagai gangguan. Sementara di Kamus Bahasa Indonesia, diartikan sebagai tercerabut dari akarnya. Arti lainnya, misalnya, yang tercantum pada buku Disruption tulisan Rhenald Kasali (2017), disruption diartikan sebagai inovasi (hal. 34), yang menggantikan sistem lama dengan cara baru.

Tulisan ini, tentunya masih sangat dangkal, sesuai pemahaman saya yang belum pungkas, bacaan saya yang juga belum saya selesaikan. 

Mungkin, arti disrupsion bisa digabung menjadi “gangguan pada sebuah keadaan, dalam bentuk inovasi, yang menjadikan pemain lama terancam atau bahkan tercerabut dari kemapanannya”.

Disruption, sebagai sebuah inovasi terkadang dianggap sebagai ancaman bagi pemain lama. Ojek dan taksi online, misalnya,  yang mengganggu keberadaan taksi dan ojek konvensional. Keduanya mampu menghadirkan layanan yang mudah, murah dan praktis, serta harga yang dapat dilihat di muka. Atau platform toko online yang menjamur, serta pengaruhnya pada toko atau swalayan besar yang sudah ada.

Ekonomi berbagi
Taksi online dan toko online, sesungguhnya tidak selalu memiliki apa yang mereka jual. Barang ada di berbagai tempat, moda transportasi yang ditawarkan ada di berbagai garasi pemilik motor/mobil. Biaya produksi ditanggung oleh banyak orang, demikian pula biaya perawatan kendaraannya. Hal ini menyebabkan biaya yang biasanya ditanggung oleh perusahaan taksi atau mall, bisa ditekan. Akibatnya biaya yang harus dibayarkan konsumen menjadi murah.

Paijo: "wah, seneng yak. murah. Tapi, kalau murah plus bonus, lalu bisnis ojek/taksi online itu untungnya dari mana?". 

Ancaman ini, menurut Rhenald Khasali, pada buku yang sama, ada  pengecualian. Kunci pengecualian itu ada pada inovasi, membentuk ulang , re-shape (mencari bentuk lain) model bisnis dengan cara baru.

#####

Ojek dan taksi online, dapat merebut pasar atau mencipta pasar baru karena dirasa lebih murah dan mudah, serta real time dalam hal biayanya. Toko online, kurang lebih sama. Mudah, tidak perlu mobilitas, sehingga jika ada selisih harga sehingga lebih mahal, tidak begitu dipermasalahkan. Adanya informasi harga di awal, dan jelas, menjadikan konsumen percaya. Kalau cocok, lanjutkan. Jika dirasa mahal, dibatalkan.

Karyo: "wah, kalau sudah mudah, mudah, dan orang kecil bisa menikmati, ya pemain lama bakal terganggu".

Re-shape layanan dari incumbent (pemain lama) sebagai bentuk respon pada disruption dapat kita lihat dari usaha mereka melakukan duplikasi model. Misalnya taksi konvensional membuat apps, dengan iming-iming harga yang lebih murah. Mall konvensional menyediakan apps dan juga layanan antar pada konsumen. Mereka ingin menawarkan mudah dan murah pada konsumen. Dua layanan tersebut sebelumnya telah ada di toko online. Kita bisa melihat adanya SayTaxi, atau baliho sebuah mall yang menawarkan layanan antar barang. Berhasilkah?

Pemain konvensional (toko dan taksi konvensional), agaknya lupa, bahwa taksi dan toko online memainkan peran berbagi modal. Rhenald Khasali menyebutnya sebagai economic sharing. Berbagi modal ini, menjadikan harga taksi online menjadi lebih murah. Berbagi modal tersebut tidak dilakukan oleh yang konvensional.

Disruption pada pustakawan: sudah ada sejak dulu
Terkait pustakawan, apa saja disruption yang muncul, dan apa respon pustakawan pada disruption tersebut?

intip yang siap digoreng, apakah terdisrupsi?
Ketika dahulu perpustakaan menyediakan buku fisik, maka kemunculan komputer untuk mencatat koleksi agar pencariannya mudah, menjadi gangguan pertama bagi para pustakawan incumbent. Kemudian, ketika muncul katalog terpasang, dan pencatatan sirkulasi secara elektronik, menjadikan gangguan bagi pustakawan yang kurang bisa menggunakan komputer.

Paijo: "dulu ada hingar-bingar di internal pustakawan, tentang adanya lowongan kerja pustakawan namun diperuntukkan bagi sarjana selain pustakawan, itu juga sebagai bentuk gangguan, Yo?"
Karyo: "sangat mungkin, Jo"

Lowongan pustakawan tapi syaratnya bukan sarjana perpustakaan juga bentuk gangguan. Padahal (bisa jadi) institusi tersebut memang memerlukan pustakawan yang paham ilmu lain untuk mengoptimalkan peran perpustakaannya. Pustakawan justru meresponnya dengan mengajukan senjata undang-undang atau aturan, yang menyatakan bahwa yang berhak menjadi pustakawan itu alumni (ilmu) perpustakaan. Pustakawan telah terganggu (terdisrupsi). Mereka lupa, bahwa di lain tempat ada alumni (ilmu) perpustakaan yang bekerja sebagai administrasi kantor, yang seharusnya domainnya alumni sekolah administrasi. Saling mengganggu.

Yang paling baru terkait kepala perpustakaan sekolah yang diangkat dari guru (yang kekurangan jam mengajar).

Respon itu, sama dengan respon taksi konvensional, yang menggunakan senjata regulasi dan meminta bemper pemerintah untuk membela mereka.

Ketika Google begitu gagah dan saktinya memberikan jawaban atas pencarian yang dilakukan manusia, lalu bagaimana posisi katalog perpustakaan? Ketika e-book dan e-jurnal akses terbuka begitu mudah diakses dari internet, lalu apa peran pustakawan?  Ya, saat itu, sebagai institusi yang ada di bawah institusi induk, perpustakaan mengambil (diberi maupun meminta) peran sebagai penyedia dan penjaga e-jurnal dan e-book yang dilanggan. Perpusakaan menyeleksi, melanggan dan menyajikan. Perpustakaan pun menjadi penting, dan merasa perannya penting. Namun..

Ketika muncul Sci-hub sebagai mesin perantara ke koleksi teks lengkap tanpa harus direpotkan dengan login dan bahkan langganan, lalu bagaimana posisi pustakawan? Lepas dari debat terkait legal-tidaknya sci-hub. Sci-hub telah mengganggu model bisnis database jurnal, sekaligus mengganggu peran pustakawan. Kalau pustakawan mempublikasikan sci-hub, maka akan masuk ke ranah ilegal, dan tentunya jurnal yang dilanggan menjadi tidak berguna, atau paling tidak aksesnya akan menurun. Rugi. Kerja pustakawan akan terdisrupsi. Jika tidak mempublikasikan sci-hub (baik dengan cara massal atau dari mulut ke mulut), maka pemustaka akan kesulitan mendapatkan artikel yang tidak dilanggan perpustakaan.

Paijo: "Sci-hub kui panganan opo, Yo?"
Karyo: "gethuk goreng. Eh, sik bikin Sci-hub kui uayu lho, Jo!"

Akhirnya, pustakawan malu-malu kucing dalam penggunaan sci-hub dan teman-temannya.

“Pustakawan sebagai perantara literasi pada referensi yang terpercaya”, demikian kilah pustakawan untuk menunjukkan bahwa pustakawan tetap benar-benar penting. Padahal, pemberi petunjuk pada sumber informasi valid, bukanlah domain pustakawan secara tunggal. Banyak orang selain pustakawan yang memiliki kemampuan ini. Ada pula pustakawan yang justru belajar kepada mereka. Bahkan, orang yang sudah dilatih pustakawan untuk mencari informasi yang benar, dapat menularkan kemampuannya pada orang lain. Sehingga, ketika manusia sudah bisa membedakan informasi valid dan tidak valid secara mandiri, apa yang hendak dilakukan pustakawan?

Memang, kapan kondisi tersebut terjadi?, mungkin masih lama. Sehingga peran perpustakaan tersebut masih diperlukan.

Gangguan pada eksistensi pustakawan, sebagaimana munculnya ojek/taksi online sebagai bentuk “gangguan” pada yang konvensional, sesungguhnya adalah proses alamiah. Proses tersebut merupakan keniscayaan kemajuan jaman dan teknologi. Toh, di dalamnya ada proses positif yang harus diapresiasi. Nilai positif pada kehadiran ojek online, misalnya: terbukanya lapangan kerja, semakin dekatnya produsen dan konsumen, dan lainnya. Kenyataan bahwa yang konvensional turun pendapatannya, merupakan sebuah tamparan, bahwa mereka harus berinovasi jika ingin pendapatannya tetap atau naik.

Baca juga: Pustakawan itu menanggung tiga citra: dirinya, perpustakaannya, dan ilmu perpustakaan

Sementara itu, pada munculnya Google, sci-hub, menjadikan pemustaka mudah memperoleh referensi yang dibutuhkan, bahkan gratis tanpa membayar. Hal ini, akan mengurangi tugas pustakawan untuk mencarikan informasi untuk pemustaka. Energi yang mengendap ini, seharusnya bisa disalurkan pada bentuk layanan lain, layanan baru, layanan hasil dari re-shape model peran yang telah ada, sebagai bentuk dari “menyelamatkan”diri dari gangguan yang ada.

Gangguan pada dunia kerja pustakawan, atau dalam dunia kepustakawanan sudah ada sejak lama. Namun, sampai saat ini pustakawan masih ada. Ya… walaupun ada tanda-tanda bakal hilang, setidaknya ini dituliskan oleh Rhenald Khasali dalam tulisannya di Kompas. Namun sepertinya prediksi hilangnya pustakawan hanya dipandang dari sisi pengelola buku saja, dan tergantikan oleh mudahnya akses ebook dan ejurnal. Namun jika dipandang akan berkurang, agaknya cukup logis dikenapan pada penerjemah, pustakawan.


Paijo: "hmm, jadi kesimpulan hilangnya pustakwan itu, karena dari pandangan pekerjaan pustakawan yang meminjamkan dan mengembalikan buku saja, Yo?"Karyo: "sepertinya demikian, jika pustakawan mau tetap ada, maka..."

Jumlah pustakawan dalam sebuah perpustakaan, yang dulu misalnya ada 10, sekarang cukup 5 orang, menunjukkan adanya pengaruh dari disrupsi pada dunia kepustakawanan. Jika jumlahnya tetap, kemungkinan mereka akan rebutan pekerjaan.

Pertanyaannya, apa bentuk layanan baru pustakawan, sebagai cara pustakawan untuk menjadikan dirinya tetap ada?

Meski kata Pak Rhenal disrupsi itu ada pada model bisnis, namun agaknya saya cenderung kepada dua hal. Entah model bisnis, atau produknya, perlu dibentuk ulang, diperbarui.

PT Pos, ketika muncul internet, mampu bertahan dengan melakukan berbagai pembaruan layanan. Ketika kegiatan kirim surat sudah semakin sedikit, maka layanan kirim selain surat harus dikuatkan. Jaringan PT Pos yang luas, dapat dioptimalkan. Semuanya ada dalam satu payung konsep “pengiriman”.

Lankes, menyebut pustakawan memiliki payung besar terkait perannya ditengah kehidupan manusia. Memfasilitasi komunitas untuk meningkatkan kualitas mereka, dengan cara membentuk pengetahuan baru, “the mission of librarian is to improve society through facilitating knowledge creation in their communities”. Konsep ini mungkin dapat dijadikan panduan re-shape peran pustakawan.

Informasi semakin dekat dengan pemustaka melalui berbagai teknologi, pemustaka pada suatu waktu mampu memilih sendiri yang berkualitas atau tidak berkualitas karena diajarkan oleh orang tua mereka yang lebih dahulu memahami, pemustaka dapat secara mandiri mengunduh ebook atau e-article yang diperlukan dari sumber manapun. Dari sisi pustakawan, institusi butuh kemampuan lain dari pustakawan untuk mendukung institusi, kebutuhan akan jumlah pustakawan pada sebuah perpustakaan menjadi berkurang.

i-Jakarta, i-Jogja, IoS (Indonesia one Search), dan semacamnya, sepertinya bisa dianggap sebagai sebuah usaha untuk selamat dari disrupsi. Namun, parahnya, ide untuk membuat “i” tersebut tidak sepenuhnya (untuk memperhalus penyebutan “bukan”) ide dari pustakawan.  Produk tersebut muncul atas kebaikan ideatornya, yang mengajak pustakawan untuk bersama mewujudkannya.

Produk di atas, menjadi salah satu usaha bermain cantik menghadapi mudahnya mengakses informasi yang tersedia di internet. Pustakawan mengelolanya, mewadahi dalam bentuk “i”, dan menyajikan kepada pemustaka. Namun, itu bisa menjadi gangguan lagi di masa depan. Karena kehadirannya pasti akan mengambil peran-peran pustakawan yang selama ini ada. Proses sirkulasi akan berkurang, dan lainnya.

Terjunnya pustakawan ke kerumunan pemustaka, misalnya: pustakawan di perpustakaan daerah yang menyambangi masyarakat pemustaka yang belum terjangkai “i”, kemudian mengadakan berbagai kegiatan bersama mereka, dalam payung besar sebagaimana disampaikan Lankes juga bisa dianggap sebagai bentuk re-shape produk layanan pustakawan. Luasnya wilayah kerja perpustakaan daerah, menjadikan pustakawannya relatif tidak begitu kesulitan dalam menciptakan produk layanan baru bagi pemustakanya.

Kemampuan baru para pustakawan, disesuaikan dengan kebutuhan institusi induk, dalam rangka mendukung visi misi insitusi tersebut, sangat diperlukan. Kemampuan-kemampuan ini akan sangat dinamis, sesuai perkembangan jaman. Kemampuan pustakawan membaca keadaan menjadi sangat penting. Mungkin, ini bisa disamakan dengan konsep “realtime” pada disrupsi yang disampaikan Rhenald Kasali. Apa yang dibutuhkan saat ini, pustakawan mampu memberikannya pada pemustaka.

Jika ditarik ke pustakawan, mengacu pada Lankes, “fasilitating knowledge creation” merupakan produk besarnya. Caranya bisa bermacam dan dapat dilakukan pustakawan dengan selalu menempel pada pemustaka. Layanan turunan dari “fasilitating knowledge creation” akan selalu berubah sesuai kebutuhan, perkembangan teknologi, dan kemampuan pemustaka. 

Jika suatu saat, layanan terkait “fasilitating knowledge creation” menjadikan makna pustakawan menjadi kabur, ya tidak apa-apa. Mungkin akan muncul sebutan baru, yang lebih tepat bagi pekerjaan tersebut, bukan lagi pustakawan, sehingga pustakawan yang melakukan cara-cara lama akan berkurang.

Atau, bukan makna pustakawan yang kabur, namun makna perpustakaan yang harus mengikuti definisi pustakawan.

Ketika pustakawan berkurang, maka pustakawan kudu mencari pekerjaan lain atau menciptakan pekerjaan baru. Kenyataan ini akan menjadi penyaring alamiah, siapa yang masih kuat dengan profesi pustakawan, dan siapa yang yang sudah tidak kuat.

Kapan profesi pustakawan akan hilang? Ya, ketika sudah tak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk orang lain. Atau ketika orang lain sudah bisa melakukan sendiri, apa yang saat itu pustakawan tawarkan.

Di sinilah letak keyakinan pustakawan diuji, terkait keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Tunggal itu murah dalam memberikan rejeki melalui berbagai pintu. Usaha menjemput rejeki dari berbagai pintu, dengan berbagai kompetensi, sebagai sebuah ikhtiar manusia untuk memberi nafkah keluarganya, menjadi sebuah kewajiban.

Paijo: "Ya, yang diuji bukan hanya pustakawan. Tapi tapi semua ummat manusia kudu yakin, bahwa rejeki itu jalannya banyak".

Seorang kawan, mengingatkan saya tentang tulisan yang pernah saya tulis, "kalau semua manusia itu pustakawan, dan jagad raya itu perpustakaan, maka disruption itu tak akan berpengaruh".


Di tulis di tanah leluhur Rakai Garung, Sambisari
diunggah pada blog, 24 Oktober 2017 pukul 12.45 siang, Sekip, Yogyakarta.

Bahan bacaan:

  1. The Atlas of New Librarianship, karya David Lankes
  2. Sekilas The New Librarianshio Field Guide, karya David Lankes
  3. Disruption, karya Rhenald Kasali (2017). Tapi ketika menulis esai ini, baru sampai pada halaman 147
  4. http://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman.soal.disruption.
  5. http://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/18/060000426/inilah-pekerjaan-yang-akan-hilang-akibat-disruption-
Tambahan:
  1. https://learnoutlive.com/the-digital-revolution-kills-jobs-faster-than-it-creates-new-ones/
  2. https://www.thejobnetwork.com/8-jobs-that-won't-exist-in-2030/


Share:

1 comment:

Terimakasih, komentar akan kami moderasi