Monday 24 July 2017

,

Menulis di jurnal: ikut-ikutan, kebutuhan, atau terperangkap pada keadaan?

Paijem sedang pusing. Dia dikejar waktu agar segera menerbitkan tulisannya di jurnal. Paijem, mahasiswa tingkat akhir, pada jenjang studi paling prestisius itu, memang diwajibkan menulis di jurnal, agar proses belajarnya pungkas. Selain itu, konon katanya, agar jumlah publikasi yang lahir dari negeri ini semakin banyak. Malu pada negeri tetangga, yang jumlah penduduknya lebih sedikit, tapi publikasinya lebih banyak.

Purwo.co - Tidak ada yang menyangkal, jurnal, sebagai terbitan berkala dengan tingkat keilmiahan tertentu, saat ini sedang jadi buah bibir, terutama pada kalangan ilmuwan. Mirip seperti bunga desa, atau bunga kampus yang dibicarakan karena  kecantikannya. 

telo bakar, agak gosong
Jurnal banyak dicari, baik sebagai wadah tulisan, ataupun (isinya) sebagai referensi. Dia akan didekati karena kualitas isinya. Kadang, jika kesulitan menimbang isi, orang akan mencari bantuan pihak yang menyediakan angka-angka kualitas jurnal.

Orang yang tulisannya terbit di jurnal dengan kualifikasi apapun, akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang naik sekian persen, dibanding sebelumnya. Tentunya, terkait ilmu yang digelutinya. Tidak jauh beda dengan Odet di serial OK-Jek, yang kegantengannya naik setelah sisiran belah tengah dan pakai minyak wangi, waktu memacak diri menjemput Nurul. Masalah jaket dan celana jin yang dia pakai robek, tidak jadi masalah. 

Jika tulisan yang terbit di jurnal tersebut dikutip banyak orang, maka kepakaran ilmuwan menjadi tidak diragukan. Semua mata akan tertuju padanya, diperebutkan untuk bicara di berbagai forum terhormat. Jadwal manggung menjadi padat. Orang berebut menjemput kedatangannya, dengan penuh harap bisa ngobrol dan mencerap ilmunya. Satu mobil, atau sekedar memboncengkan akan terpatri dalam ingatan, dan menjadi bahan cerita pada handai taulan. "Saya pernah menjemput Paijo, lho. Ilmuwan yang baru selesai kuliah doktornya, masih fresh, dan artikelnya terbit di jurnal-jurnal top."

Maka, jika ingin kaffah dalam pergulatan ilmiah, ingin memiliki tingkat kePD-an dan kegantengan naik beberapa persen, serta naik level (ke)ilmuwan(nya), maka menulislah di jurnal. Apalagi, jika menulis di jurnal yang memiliki angka metrik yang tinggi. Selain terkenal, anda akan dapat bonus menggiurkan. Namun anda harus siap modal, karena kadang ada yang mematok harga, atau harus melewati acara konferensi yang juga perlu biaya. Atau anda harus sabar menunggu antrian para pe-review yang siap menghakimi tulisan anda.

Jurnal tetap akan diagungkan, meski ada kekurangan. Istilah jurnal abal abal, kita masih ingat?  Namun jurnal tetaplah jurnal,  yang dibekingi ilmuwan dengan pengalaman intelektual dan gelar segudang. Cap jurnal predator pun, akan di lawan. Meski itu masih taraf dimungkinkan. 

Begitulah jurnal, wadah, yang semakin banyak orang ingin menitipkan tulisannya di sana, maka semakin naik tingkat kegantengan jurnal tersebut. Bahkan, tidak sampai diterbitkan di jurnal tersebut pun tidak mengapa, asal pe-review berkenan mengomentari artikelnya. Antrian yang panjang, kadang menjadikan jurnal mendahului takdirnya. Ketika tahun baru berjalan, namun sudah terbit artikel untuk tahun atau periode yang akan datang. 
"Mendahului takdir, yang dianggap ilmiah, sepertinya ya cuma terkait penerbitan jurnal".
Sistem bersepakat, bahwa identitas jurnal memang lebih prestisius.  Kesepakatan itu tentunya berimplikasi luas. Itulah sistem, yang bisa kalem, bisa juga kejam.

Pendorongan orang kepada orang untuk menulis di jurnal, pun penghargaan pada orang yang menulis di jurnal, juga bermunculan.  Sebaliknya, orang dengan artikel jurnal sedikit, akan tersisih, atau disisihkan oleh keadaan. Orang dengan keadaan yang demikian, pengembaraan intelektualnya dianggap belum paripurna,  ilmunya dianggap belum teruji. 

Artikel yang telah masuk jurnal, jangan coba-coba letakkan di tempat lain. Bisa kena pinalti, meskipun itu tulisan anda sendiri, kecuali anda punya nyali. Setelah jurnal menerbitkan tulisan anda, maka jurnal memiliki hak tunggal penyebaran tulisan anda, kecuali jurnal mengatakan lain.  Maka membaca aturan main sebuah jurnal harus teliti. Bahkan, sangat mungkin untuk jurnal tipe tertentu, anda akan kesulitan memperoleh artikel anda sendiri yang telah diterbitkan sebuah jurnal. Anda pun harus membayar untuk memperolehnya. Aneh? Tidak! Itulah bisnis.
Kejam, namun demikianlah kesepakatan itu. 
Jurnal memang berbeda dengan blog. Blog, sebagai sebuah media yang kasta keilmiahannya di bawah jurnal, juga merupakan media untuk menulis. Jarak kasta blog ini semakin jauh, sejak muncul blog beromset, dengan berita gorengan, yang mempermainkan psikologi masyarakat, untuk menaikkan klik, demi segepok dollar.  Blog-blog tersebut, tentu sangat menyakiti,  merendahkan dan mencemarkan martabat blogger, terutama yang baru belajar, seperti saya.

Blog, oleh para ilmuwan tidak disarankan untuk dikutip begitu saja, atau bahkan tidak boleh sama sekali. Alasannya, bebeda dengan jurnal yang memiliki pe-review, blog (pribadi) tidak memilikinya. Orang bisa menulis di blog, semaunya, sekali klik maka terpampanglah tulisannya di dunia maya. Coba bandingkan dengan proses jurnal yang harus melalui reviewer, bahkan kadang berbulan-bulan baru bisa terbit. Atau bahkan berbulan-bulan malah baru dapat komentar reviewer, itupun jika masih beruntung. Jika tidak, maka penantian lama hanya berbuah penolakan saja.

------

Apa tujuan menulis?

Setiap orang berhak menentukan tujuan dia menulis. Terpaksa dilakukan untuk mengejar angka kredit, demi meraih jenjang guru besar, pustakawan utama, honor, aktualisasi diri, kewajiban akademik, mengikuti tren, atau alasan karena tidak mau kalah dengan seseorang. Atau mungkin alasan sakral ingin menyebarkan ide dan pikirannya sebagai sebuah bentuk ibadah, serta alasan lainnya. Mana alasan yang didahulukan? hanya masing-masing penulislah yang mengetahuinya.

"Menuliskah buku! maka namamu akan dikenang harum, bahkan setelah meninggal". "Menulislah, maka kamu akan mengubah dunia".  "Menulislah!, maka kamu akan hidup abadi". "Menulislah!, maka kamu akan cepat naik pangkat". "Menulislah!, maka kamu akan....". Atas bisikan tersebut, maka, seseorang menulis . Atau ada pula yang tanpa bisikan tersebut, secara sadar seseorang menulis.  Entah agar namanya harum dikenang, entah karena berharap tulisannya bisa mengubah dunia. 

Setiap orang punya keunikannya sendiri dalam menulis. Menulis di blog, memiliki kebebasan, tanggungjawab, dan kemerdekaannya sendiri. Demikian pula, menulis buku, di jurnal, konferensi, atau sekedar menulis dalam bathin kita. Di manapun, berusahalah agar tulisan kita hidup, dan memiliki makna. 

Bukan tentang di mana kita menulis, tapi apakah kita butuh menulis? Bukan tentang apakah tulisan kita akan mengubah dunia, tapi apakah kita sendiri sudah berubah menjadi seperti yang kita tulis (tawarkan) pada orang lain?

Kepada para blogger yang senasib belum mampu menulis di jurnal, yakinlah!, Tuhan bersama kita. Teriring do'a, semoga artikel Paijem segera terbit, agar ilmunya segera sempurna. Yang penting lagi, setelah terbit, Paijem tetap menulis. Tidak kalah penting lagi, tulisan dan risetnya bermanfaat bagi ummat manusia. Aamiin.

Salam sambel bawang.

Sambisari,
hari ke duapuluh empat, bulan ke tujuh, tahun duaribu tuju belas.
dua belas, tiga enam pagi
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi