Thursday 13 July 2017

, , , , ,

Menaklukkan Scopus secara bermartabat

Purwo.co Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi melalui peraturan nomor 20 tahun 2017 memberlakukan beberapa ketentuan terkait dosen. Bagi dosen dengan jabatan lektor kepala harus menghasilkan paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi; atau paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Sementara itu, bagi professor harus menghasilkan paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional; atau paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Dikaitkan dengan jurnal internasional, atau jurnal internasional bereputasi, nama Scopus mencuat.

Ketika membahas Scopus, hal pertama yang harus digaris bawahi adalah pengindeks, bukan penerbit. Scopus yang saat ini populer di Indonesia, merupakan alat pengindeks ribuan jurnal internasional. Pengindeksan dilakukan dengan menerapkan kriteria tertentu. Indeks yang dilakukan, kemudian diolah, dan hasilnya adalah berbagai informasi tentang artikel, penulis, jurnal, institusi atau bahkan negara. Bisa dianalogikan dengan Google Scholar, namun dengan menerapkan syarat tertentu. Jika ingin karyanya terindeks Scopus, maka seorang penulis harus mencari jurnal yang telah terindeks Scopus.

Tidak banyak jurnal di Indonesia yang masuk di dalam indeks Scopus. Tercatat sampai pada tanggal 3 Maret 2017, terdapat 26 jurnal dari Indonesia yang terindeks Scopus. Sementara itu, data tanggal 3 Maret 2017 menunjukkan kurang lebih 58.000 dokumen terindeks Scopus dengan afiliasi penulis dari Indonesia. Jika diperbandingkan, maka kecil kemungkinan 58.000 dokumen tersebut diterbitkan semua pada 26 jurnal yang disebutkan sebelumnya. Sebaliknya, besar kemungkinan, dari 58.000 dokumen tersebut lebih banyak diterbitkan di berbagai jurnal yang penerbitnya bukan institusi di Indonesia.

Kondisi di atas cukup memprihatinkan. Jika genre jurnal dari luar Indonesia yang mewadahi tulisan akademisi Indonesia ini bukan open-access, maka akses pada hasil tulisan yang sudah terbit di jurnal luar Indonesia tersebut pun akan sulit, karena harus membayar. Inilah masalahnya, dikhawatirkan hasil riset akademisi Indonesia justru akan dikuasai oleh penerbit raksasa di luar negeri dan sulit diakses akademisi Indonesia, karena harganya yang begitu mahal. Masalah lain yang muncul, meskipun menurut saya hanya efek sampingan, adalah terjebaknya akademisi pada jurnal atau konferensi abal-abal, karena ketidaktahuan dan ketidak hati-hatian ketika dipacu untuk menerbitkan tulisan pada level internasional.

Tulisan yang bagus, dan jurnal yang berkualitas
Kemristekdikti, sepertinya menghendaki agar akademisi di Indonesia semakin produktif meneliti dan menulis. Dilanjutkan dengan menerbitkan tulisan tersebut di jurnal yang berkualitas. Terdapat dua kata kunci yang perlu digaris bawahi, yaitu tulisan bagus, dan jurnal yang berkualitas. Tentunya tulisan yang bagus dan jurnal yang berkualitas, perlu kriteria. Mulai dari proses riset yang berkualitas, tema tulisan, editor, reviewer, layout, impact factor jurnal dan lainnya.
Kemristekdikti perlu standard untuk menilai dua hal di atas. Pada wilayah inilah, Scopus dipakai sebagai standard. Entah Scopus yang menawarkan, atau Kemristekdikti yang memilih dan memutuskan.
Tentunya ada kekhawatiran yang muncul pada para dosen lektor kepala dan profesor, hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Mulai dari kemungkinan ketidaktahuan tentang jurnal bereputasi yang dimaksudkan Kemristekdikti, tidak cukupnya jurnal di Indonesia sebagai wadah publikasi, pemahaman yang belum sepenuhnya benar tentang Scopus. Sebab lainnya bisa juga karena iklim meneliti dan menulis yang belum bagus karena kewajiban mengajar yang harus dipenuhi, ditambah beban administrasi yang harus diselesaikan. Atau budaya akademik, khususnya menulis di jurnal, pada masing-masing bidang ilmu yang berbeda-beda.

Kolaborasi menaklukkan Scopus
Sebatas pengetahuan penulis, Scopus hanya merupakan alat. Kriteria yang dimiliki Scopus, oleh pengelola jurnal dapat dijadikan sebagai tolok ukur posisi jurnal yang dikelolanya. Pengelola jurnal pun dapat menentukan target-target perbaikan pengelolaan jurnalnya, disesuaikan dengan kriteria yang dimiliki Scopus, untuk kemudian mendaftakan jurnal pada pengindeks tersebut. Terindeksnya jurnal di Scopus, berarti sama dengan menaklukkannya, sehingga nilai tawar jurnal akan menjadi tinggi di mata penulis. Jika telah terindeks, pengelola dapat mengetahui posisi jurnal diantara jurnal lain dengan scope dan focus yang sama dari berbagai negara, melalui angka quartile, h-indeks, citescore, impact factor, dan lainnya.
Sementara itu, bagi penulis artikel, data olahan Scopus dapat digunakan untuk memperoleh informasi posisi dia di antara penulis lain dari berbagai negara. Dinilai dari konten artikel, tidak ada ruginya. Jika tulisan dan jurnal terindeks, maka sebenarnya Scopus mengakui, namun tidak memiliki. Mengakui kualitas artikelnya, namun tidak memiliki fisik file artikel yang ditulis oleh penulis. Tidak ada ruginya, bukan?.

Menaklukkan Scopus dan berbagai pengindeks lainnya dengan cara demikian, lebih bermartabat dari pada menggunggat Scopus dan pengindeks lainnya. Meningkatnya jumlah jurnal Indonesia yang terindeks Scopus, berarti semakin meningkat pula wadah menulis bagi para akademisi Indonesia.
Dari paparan di atas, kondisi ideal untuk menaklukkan Scopus ditopang dua hal. Pertama, dari sisi penulis sendiri serta dukungan lingkungan untuk meneliti dan menulis. Kedua, tersedianya jurnal berkualitas, khususnya yang dikelola oleh kampus. Selain itu, dukungan elemen lain, misalnya pustakawan dalam mendukung proses komunikasi ilmiah para akademisi juga perlu ditingkatkan.

Dunia perjurnalan di Indonesia, sedang memperlihatkan keseriusannya. Munculnya Arjuna sebagai sarana akreditasi secara online, munculnya Relawan Jurnal Indonesia yang siap membantu pengelolaan jurnal, dibentuknya unit khusus yang mengurusi jurnal di berbagai perguruan tinggi, lahirnya Sinta Dikti sebagai alat monitor produktifitas akademisi, merupakan beberapa contoh keseriusan tersebut. Dari sisi pustakawan, mulai bermunculan pustakawan yang juga belajar dunia penerbitan ilmiah, berbagai metrik jurnal, dunia tata tulis, untuk mendampingi pemustaka dalam proses scholarly communication. Dukungan tersebut, tentunya adalah hal positif, untuk bersama-sama menaklukkan Scopus.

Keseriusan pengelola jurnal di Indonesia, agar dapat menaklukkan berbagai pengindeks tersebut, harus terus dipacu. Dengan semakin banyak yang terindeks Scopus, maka, pilihan jurnal terbitan Indonesia sebagai wadah karya akademisi Indonesia juga akan semakin banyak. Setelah terindeks, kualitas tetap harus dijaga. Jangan sampai, karena telah terindeks Scopus, kemudian mengendorkan tata kelola jurnal, menerima artikel dengan tanpa proses yang benar, hanya karena pesanan pejabat yang hendak naik pangkat. Jika telah banyak jurnal yang mampu menaklukkan Scopus, maka Scopus sudah bukan barang aneh dan menakutkan lagi. Submit artikel yang bagus pada jurnal bereputasi, menjadi jamak dilakukan. Terindeks Scopus, nantinya hanya menjadi bonus saja.

Satu hal lagi yang harus diperhatikan agar riset tidak sia-sia, yaitu kemudahan akses artikel hasil riset. Memilih jurnal open access, akan meningkatkan sebaran tulisan hasil riset, terutama bagi yang berkepentingan, namun terbatas secara finansial.

Ditulis bulan maret 2017. Baru diunggah bulan Juli 2017
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi