Friday 1 April 2016

, , ,

Memandang aspirasi tukin dengan proporsional: yang menanti, yang iri dan yang mencibiri

 Parto: monggo diwaos, anda boleh tidak setuju, lho..

Dari penelusuran saya, tukin yang tidak dibayarkan untuk PNS non dosen di PTNBH disikapi bermacam-macam. Selain ada yang berani terang-terangan menuntut, ada yang menyatakan institusinya adem saja, namun memendam gejolak tentang tukin. Gejolak dalam hal ini, condong pada keingin tahuan kenapa tidak memperoleh, yang cenderung ingin juga mendapatkan. Karena situasi, maka gejolak ini hanya dipendam saja.

Demo, sesungguhnya (saya setuju) adalah jalan terakhir setelah beberapa jalan tidak menemui hasil. Pertanyaannya, terkait demo tukin ini, apakah sudah ditempuh jalan-jalan lain?

Sebelum menjawab hal ini, kita perlu melihat kondisi sosial psikologis tendik. Tendik, merupakan staf pendukung di perguruan tinggi (PT). PT dalam hal ini merupakan institusi yang melakukan kegiatan akademik dalam arti luas, antara dosen dan mahasiswa. Dosen dan mahasiswa inilah, yang kemudian disebut dengan civitas akademika. Staf tendik, secara kultur menjadi penghuni kelas ketiga, meski kadang berebut posisi hegemoni juga dengan mahasiswa. Posisi ini diteguhkan pula dengan kenyataan pejabat di PT memang didominasi oleh staf dosen, secara politis tendik menjadi terhegemoni. Lengkap sudah posisi ini, karena hegemoni dilakukan (terjadi) secara struktur dan politis, dan juga secara kultural.

Demo oleh tendik, beda dengan demo yang dilakukan oleh dosen atau mahasiswa. Mahasiswa demo, ya tinggal demo, nanti bisa ganti jadwal kuliah. Kalau toh tidak dapat mengganti jadwal, maka bisa mengulang semester berikutnya. Dosen yang demo serta meninggalkan jam mengajar, maka tinggal membuat jadwal ulang dengan mahasiswa untuk mata kuliah yang ditinggalkan. Selesai.

Demo, yang dilakukan staf tendik memang memiliki risiko besar, sehingga saya mengatakan perlu nyali besar untuk berani turun dan melakukan demo. Tendik yang demo, harus melawan diri sendiri, perlu keberanian. Selain itu juga perlu nyali untuk melawan tekanan dari atasan.

Baik, kembali ke demo tukin. Demo yang dilakukan adalah menuntut sesuatu yang menjadi HAK. Minimal HAK sebagaimana yang diyakini orang yang melalukan demo. Dari berita yang tersebar, tukin yang dituntut adalah pra Perpres 138 2015. Artinya, ada dasar hukum yang diyakini staf tendik, yang mengantarkan tendik pada pemahaman bahwa mereka memiliki hak pula untuk mendapatkan tukin. Terkait hal ini, silakan baca tulisan serupa di blog ini.

Beberapa tanggapan
Tanggapan terkait demo staf tendik ini bermacam-macam. Tanpa saya menuliskan siapa yang memberi tanggapan, saya coba tampilkan intinya pada tulisan ini, untuk kita cermati.
  • “dari pada demo, mending instrospeksi, apakah sudah bekerja dengan baik, tidak bolos, dan lainnya”
  • “dari pada demo menghabiskan enerji, mending tingkatkan profesionalitas, nanti kita akan berikan penghargaan” 
  • “kerja dulu yang benar, tidak usah mikir tukin, saru”
  • “teman saya yang dapat tukin, yang kerjanya tambah bagus cuma 1 banding 100”
  • “jika tukin diberikan pada yang tidak berhak, bukankah itu tidak tepat” --> tidak berhak, dalam hal ini memiliki kemungkinan dua arti: tidak berhak karena aturan tidak memungkinkan, dan tidak berhak karena kinerjanya buruk.
Ketika saya telusur, pandangan di atas dikeluarkan oleh orang yang tidak bersangkutan dengan tukin, namun memang terpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung dengan adanya tukin.  Pandangan tersebut, muaranya pada kinerja. Artinya ada keraguan bahwa tendik berhak mendapat tukin, jika dikaitkan dengan kinerja yang ditunjukkannya.

Paijo: “lah, dari pandangan di atas, kita malah bisa mengintip karakter mereka, ya tho Kang?” 
Karyo: “Iyo, kang. Betul, kita baca saja sebagai hiburan”

Bagi saya, ada yang aneh dengan pandangan di atas. Pandangan di atas seolah-oleh merampatkan tendik dengan karakter yang sama: kinerjanya kurang. Padahal, yang tidak mendapatkan tukin itu semuanya. Baik yang kinerjanya bagus maupun yang tidak atau kurang bagus.

Tukin, merupakan hal yang  terkait aturan hukum dan telah jelas pengecualian dan syaratnya. Sedangkan kinerja, selain terkait kompetensi kerja, terkait juga dengan kemampuan atasan dalam membina, serta bagaimana dulu atasan melakukan rekruitmen.

Ada satu tanggapan menarik, “kalau saya jadi tendik, mungkin saya juga akan melakukan hal serupa”. Dari kalimatnya, tentunya bisa ditebak bahwa yang mengeluarkan pernyataan tersebut bukan dari staf tendik. Agaknya, apapun maksudnya, ada kesamaan pandangan si pembuat pernyataan dengan tendik. Tanggapan bernada positif lainnya, dilakukan untuk mengkounter tanggapan miring terhadap demo, “jangan berprangka buruk pada demo, ketahui dulu alasan mengapa melakukan demo”, kemudian “kami melakukan ini untuk mencari kejelasan yang lama sekali tidak muncul”.

Yang perlu dibuat terang terkait tukin untuk PTNBH (khususnya pra Perpres 138) kepada staf tendik PNS adalah aturan apa yang menahan tidak bisa cairnya tukin tersebut, kemudian juga penjelasan kenapa pernah mendapatkan dan kemudian tidak mendapatkan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah apa pendapat institusi terhadap hak tendik atas tukin ini. Berhak, atau tidak berhak? Pandangan inilah, yang akan menjadi amunisi awal, untuk bersama-sama mencari kejelasan.


Sebagai “bapak”, PTNBH bersama tendik harus mencari sebab dan memberikan penjelasan kepada staf tendik. “Dijereng, digelar” secara bersama-sama, agar diketahui bersama, apa masalahnya. Diskusikan, atau perbandingkan logika aturan yang dipahami oleh tendik dengan logika yang menjadi dasar tidak diberikannya tukin. Saya kira, sebagai PT yang berstatus PTNBH, memiliki ahli-ahli yang dapat melakukan kajian terbaik terkait aturan ini.

Saya khawatir, jika tidak ada kejelasan yang bisa mematahkan logika yang dibawa oleh tendik, maka masalah tukin di PTNBH hanya akan menjadi noda hitam yang statusnya menggantung sepanjang masa, dan berpengaruh pada hubungan baik antar unit dan elemen yang ada. Namun, jika ternyata logika aturan yang dilontarkan tendik adalah yang lebih kuat, maka yang menjadi haknya pun harus diberikan.

Selain itu, sudah selayaknya orang yang tidak berkepentingan dengan tukin, untuk tidak membuat pernyataan yang berpotensi menyulut polemik. Kita harus hormati, usaha tendik dalam menyampaikan aspirasinya. Dengan tinggat pendidikan dan pekerjaan yang lebih bervariasi dibanding dosen dan mahasiswa, tendik memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Tidak bisa, serta merta disamakan dengan mahasiswa. Atau sebagai sesama pihak yang mendapatkan gaji, sangat tidak bisa dipandang dengan cara untuk memandang dosen.





Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi