Friday 1 February 2008

Membunuh Kreativitas --tentang HAKI--

sumber jawa pos

Oleh Nurul Barizah

Tulisan ini mencermati fatwa MUI tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dikeluarkan sebagai respons atas permohonan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP). Prinsipnya, mendukung usaha pemerintah memerangi banjir pembajakan di Indonesia.

Berdasarkan fatwa tersebut, pelanggaran HKI di Indonesia sudah berada pada taraf mengganggu, merugikan, dan membahayakan berbagai pihak, terutama para pemegang hak, negara, dan masyarakat. Karena itu, MUI mengeluarkan fatwa tentang status hukum Islam HKI sebagai petunjuk bagi umat Islam.

Intinya, pertama, HKI yang mendapat perlindungan hukum Islam adalah HKI yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua, setiap bentuk pelanggaran, termasuk pembajakan, adalah zalim. Status hukumnya haram.

Permasalahan

Lalu, apa permasalahannya? Tentu, ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam fatwa tersebut.

Pertama, ditetapkan bahwa HKI yang mendapat perlindungan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, secara incontrario, berarti MUI mengakui bahwa tidak semua HKI itu sesuai dengan Islam, atau ada HKI yang bertentangan dengan hukum Islam.

Namun, fatwa itu tidak menjelaskan lebih lanjut, mana HKI yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak, dan apa batasannya. Pada ketentuan umum, MUI menjelaskan cakupan HKI, namun tidak menjelaskan bagian mana yang tidak Islami.

Kedua, penjatuhan status hukum haram terhadap pelanggaran hukum publik (hukum tentang HKI) sama artinya dengan menganggap bahwa penggunaan HKI tanpa izin pemegang hak adalah zalim dan melanggar hukum Allah bagi setiap pelanggarnya.

Mencampurkan konsep haram (hukum Allah) dengan pelanggaran hukum positif adalah kurang tepat karena seseorang dianggap melanggar hukum positif jika telah ada putusan pengadilan yang tetap. Hukum positif adalah hukum yang dinamis, dapat berubah setiap waktu.

Jika konsep haram dikaitkan dengan hukum positif, maka konsep haram juga akan berubah-rubah sesuai dengan kondisi. Bukankah hal ini tidak malah membinggungkan?

Ketiga, sifat pelanggaran HKI itu termasuk innocent infringement atau passive infringement. Artinya, pelanggaran bisa terjadi tanpa adanya niat untuk melanggar atau tanpa adanya kesengajaan. Apakah passive infringement ini termasuk HKI yang sesuai dengan Islam menurut fatwa tersebut?

Jika passive infringement juga haram karena melanggar hukum positif, pertanyaannya, bagaimana seseorang yang di luar prediksinya atau secara kebetulan menciptakan desain atau merek tertentu dan ternyata hasilnya sama dengan desain yang sudah ada sebagai perbuatan yang zalim dan haram? Tidakkah ini akan membunuh kreativitas?

Bagi yang mengikuti fatwa tersebut, barangkali, lebih baik memilih tidak kreatif daripada melakukan dosa. Karena itu, fatwa MUI tersebut menjadi kontraproduktif.

Keempat, dalam invensi di bidang bioteknologi, sumber daya genetik, varietas tanaman, pelanggaran pasif merupakan masalah yang serius. Kasus Monsanto v Percy Schemeiser jadi keprihatinan berbagai pihak. Scheimeiser, seorang petani Kanada, mengembangkan canolanya sendiri, sedangkan tetangga petani lainnya membeli bibit Roundup Ready Canola dari perusahaan Monsanto. Dia juga menyimpan sebagian hasil panen untuk ditanam pada musim tanam berikutnya seperti petani Indonesia.

Ternyata berdasarkan investigasi pihak Monsanto, ditemukan Roundup Ready Canola tanpa lisensi tumbuh di ladang miliknya. Meski bukti di pengadilan meyakinkan Canola tersebut menyebar ke ladang Schemeiser tanpa disengaja, secara alamiah dengan proses; (1) penyerbukan silang oleh serangga dan angin; (2) bibit terbang dari truk tetangga yang tutupnya lepas dan kantong bibit yang bocor; dan (3) bibit yang menempel dari alat-alat pertanian yang tidak dibersihkan.

Namun, putusan pengadilan tetap menyatakan Schemeiser bersalah dan menghukum membayar denda serta ganti rugi miliaran.

Jika kasus tersebut terjadi di Indonesia dan menimpa petani kecil, apakah petani yang di lahannya tumbuh secara tidak sengaja suatu tanaman yang dilindungi HKI tanpa lisensi termasuk dalam kategori haram berdasarkan pandangan MUI? Dan petaninya dianggap melakukan dosa?

Jika demikian, betapa tidak fairnya perlindungan HKI itu, betapa tidak adilnya aturan Islam yang dimanifestasikan dalam fatwa tersebut. Bukankah Islam itu agama yang adil? Kenapa yang dipermasalahkan cuma VCD bajakan, software bajakan, kepentingan siapa sebenarnya di balik itu semua? Kepentingan negara Indonesia? Kepentingan masyarakat Indonesia? Tentu MUI sudah tahu jawabannya.

Pengguna Hak

Terakhir, maraknya pembajakan HKI seharusnya tidak semata-mata dilihat dari perspektif pemegang hak saja, tetapi juga pengguna hak. HKI tidaklah hanya norma hukum positif yang melindungi karya intelektual dan alat untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi.

HKI juga mesti dipahami menyeluruh dari berbagai perspektif, filosofi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Juga dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhan dalam akses terhadap barang-barang publik dan vital lainnya.

HKI bukan hanya pembagian kue ekonomi dan wealth creation bagi pemegang hak, tetapi juga berkaitan langsung dengan distribusi sumber daya langka. Lebih-lebih di bidang kesehatan, HKI merupakan masalah hidup dan mati.


Nurul Barizah, dosen Hukum Hak Kekayaan Intelektual pada Fakultas Hukum Unair, sedang menempuh program PhD pada University of Technology, Sydney
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi