Sunday 8 April 2007

Perpustakaan, bukan sekedar pinjam kembali

Salah satu prinsip Perpustakaan seperti yang diungkapkan oleh Ranganatan, seorang ahli matematika dari India yang juga dianggap sebagai bapak Perpustakaan India adalah "Library is a Growing Organisme".
Perpustakaan merupakan sumber daya, lebih dari sekedar sumber. Sumberdaya, dalam konsepnya bisa diperbaharui dan bisa juga habis. Perpustakaan, dalam hal ini hendaknya menempatkan diri sebagai organisme yang selalu berkembang dan selalu bisa diperbaharui.

Selama ini Perpustakaan dalam kegiatan kesehariannya cenderung terjebak pada kerja-kerja teknis dan mekanis. Hal ini terlihat dari kecenderungan Perpustakaan yang hanya [lebih besar]  memperhatikan kegiatan mencari dan menemukan kembali informasi. Pola penemuan yang diseragamkan dengan index, kata kunci dan seabrek fasilitas lainnya, sehingga penggna seolah dipaksa mengikuti  sistem yang sudah ditetapkan Perpustakaan.
Hal ini terkadang  cenderung mengabaikan aspek kemanusiaan manusia. Orang yang datang keperpustakaan dalam situasi ketidakpastian disodori sistem Perpustakaan yang cenderung mekanis dan positivis. Sedangkan karakter  sistem itu mengandung kepastian. Akhirnya akan ada 2 hal yang saling bertentangan yang dibenturkan.
Manusia dalam proses pencarian megalami berbagai fase yang menunjukkan karakter atau perilaku informasinya. Fase-fase tersebut menunjukkan kesenjangan yang dialami. Kesenjangan literature, yang mengindikasikan keadaan yang mana seseorang tidak mengetahui literature apa yang hendak di cari untuk menghilangkan ketidakpastian dalam dirinya. Kesenjangan yang lainnya bisa berupa ketidak tahuan dimana mencari informasi yang dibutuhkan, bahkan kesulitan menetapkan apa yang harus dicarinya.

Situasi ketidakpastian ini merupakan sesuatu yang liar, dan tidak teratur. Dalam keadaan ini orang, selain menemukan informasi dengan sesuai sistem sering pula informasi ditemukan dengan cara yang tidak diduga-duga. Informasi diemukan secara kebetulan, dan bahkan justru tidak melalui sistem yang telah ditetapkan.

Butler (1976) dalam Pendit (2003)  menyatakan bahwa Perpustakaan harus melalui tiga fase. Pertama adalah bookman, kemudian mekanis dan yang terakhir adalah social minded.
Fase bookman merupakan fase dimana Perpustakaan dikelola dengan cara-cara tradisional, belum ada sentuhan teknologi dan mekanisme yang menonjol. Sedangkan fase mekanis, merupakan fase dimana Perpustakaan berlomba-lomba untuk menerapkan mekanisme-mekanisme yang pada umumnya diwujudkan dalam berbagai bentuk teknologi informasi dalam Perpustakaan. Fase social minded, berarti kinerja Perpustakaan menitikberatkan pada aspek manusia. Aspek manusia dengan berbagai karakternya, serta aspek pengembangan keilmuan cenderung menjadi pokok dalam kegiatannya.

Lebih sekedar pinjam kembali.
Jika di telisik dari sejarah Perpustakaan, maka Perpustakaan pada jaman keemasan suatu bangsa merupakan entitas yang sulit di didustakan. Jaman Al Makmun dengan Perpustakaan bait al Hikmahnya, yang berpusat di  Baghdad merupakan salah satu contohnya. Dalam Perpustakaan ini tidak sekedar mencari dan menemukan informasi, namun banyak kegiatan keilmuan yang juga dilakukan dalam Perpustakaan ini. Penerjemahan karya Yunani kedalam bahasa Arab, merupakan salah satu contohnya. Kegiatan penerjemahan inilah yang kemudian mengantarkan kecemerlangan bangsa Arab, Timur Tengah pada masa daulah Abbasiyah. Banyak sekali ilmuan-ilmuan muncul, baik ilmuan yang bergerak dalam bidang theologi maupun ilmuan dalam rumpun ilmu umum.
Sebut saja Ibn Sina, sang ahli kedokteran, yang juga merupakan seorang filosof.  Karya Ibn Sina, Al Kanun yang di Barat dikenal dengan The Canon dan Ibn Sina yang dikenal dengan Avicenna. Karya ini mengilhami dunia kedokteran sampai berabad-abad.

Angka arab berbasis desimal, yang kita pakai sekarang juga merupakan  hasil dari modifikasi para ilmuan pada masa ini. Angka arab yang menggantikan angka Romawi dirasa sangat besar manfaatnya. Apalagi ketika angka 0 [nol] ditemukan.
Hal ini membuktikan  bahwa perpustakaan merupakan wahana berdialektika, berproses dengan berbasis keilmuan. Tidak ada paksaan atas suatu paham, tidak ada paksaan atas suatu  ide. Semua bergumul dan saling mempengaruhi.  Bukan sekedar pinjam dan kembali.

Perpustakaan buka sekedar gudang koleksi, dimana  koleksi yang dirasa  diperlukan dimasukkan didalammya. Perpustakaan juga bukan sekedar unit yang dibangun hanya untuk meneguhkan diri, hanya untuk membanggakan diri, ataupun sekedar melengkapi peraturan formal saja.

Masih banyak contoh perkembangan ilmu yang didukung oleh  Perpustakaan.
Hal yang menarik menurut saya adalah adanya spesialisasi yang tidak dikotomis  pada kalangan ilmuan. Para ilmuan selain menguasai ilmu-ilmu pragmatis yang kegunaannya lebih nyata, juga menguasai aspek filosofis ilmu.  Aspek dasar pengembangan ilmu sangat kentara dalam pemikiran mereka. Sebagaimana kita tahu dalam mendalami ilmu, kita harus tahu bentul konsep ontologi ilmu, episemologi ilmu dan sudut aksiologi ilmu.

Dari berbagai penjabaran ilmu dalam sebuah perpustakaan, maka hendaknya kita dapat memahami betul, apa sesungguhnya yang di kaji oleh ilmu itu [ontologi], bagaimana ilmu muncul dan metodenya seperti apa [epistemologi] dan aspek kemanfaatan ilmu [aksiologi].

Purwoko, pustakawan Teknik Geologi UGM
Share:

2 comments:

  1. Tulisannya bagus, lalu apa yang bisa kita lakukan dalam kondisi nyata? Berhadapan dengan teman-teman dan berbagai formalitas yang ada selama ini. Sudahkah mereka yang sering menyebut dirinya sebagai pustakawan memiliki frame of reference yang sama? Ataukah kita juga masih mengawangkan semua tulisan dan ide kita karena kita masih dikondisikan pada tataran pembelajaran semata, sementara itu setelah purna semua kembali kepada kenyataan yang kita hadapai dalam dunia kerja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mas Afan.
      Memulai dari diri sendiri. Kadang kita harus menganggap orang yang mengedepankan formalitas dan semacamnya sebagai orang lain.

      Delete

Terimakasih, komentar akan kami moderasi