Sunday 8 April 2007

,

Ilmu dan Kebijakan: unsur perpustakaan

George Makdisi menyebutan bahwa ada 6 istilah yang digunakan secara terpadu untuk menggambarkan perpustakan. Tiga pertama adalah bayth (kamar/ruang), khizanah (lemari),  dan dar (rumah), sedangkan tiga kedua adalah hikmah (kebijakan), ilm (ilmu) dan kutub (buku-koleksi).

Ini cukup beralasan, dengan keenam istilah ini maka dalam peradaban muslim dikenal Bayth al Hikmah, Dar al Hikmah, Bayth al Kutub dan yang semacamnya. Perpustakaan terbesar dalam dunia Islam adalah bayth al hikmah yang didirikan  harun al Rasyid pada 830 M.  Di sinilah perpustakaan, lembaga riset dan biro penerjemahan digabungkan. Adalah Al Kindi (807-973M), filosof Islam  pertama yang menerjemahkan karya Aristoteles ke bahasa Arab merupakan orang yang aktif mengelola perpustakaaan ini. Selain beliau ada Musa Al Khawarizm, sang penemu al jabar pun bergelut dengan bayth al hikmah.

Pustakawan pada masa ini adalah juga Ilmuwan.

Adalah Al Nadim, orang yang menciptakan Al Fihrist (daftar isi/index) untuk koleksi yang ada di bayth al Hikmah, yang mengutip sekitar 60.000 buku. Dalam karyanya ini Nadim menyebutkan bahwa pustakawan di Bayth al Hikmah merupakan sosok  yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat karena kecendikiawanan mereka.

Eloknya, meskipun dibangun dimasa Islam oleh daulah Islam, pada masa Al Ma'mun, perpustakaan ini juga dikelola oleh  sejumlah cendikiawan muslim dan non muslim, sebuah kolaborasi indah. Keunggulah bayth al hikmah, hanya dapat dikalahkan oleh perpustkaan Madrasah Nizamiyah pada 1065 M, yang memiliki pustakawan tetap dengan gaji tinggi.

Pada masa sejarah muslim klasik, perpustakaan memegang peranan penting. Sehingga perpustakan dibangun sedemikian rupa, dengan berbagai ruangan untuk berbagai tujuan. Gallery, rak buku, ruang kuliah, perdebatan, riset  termasuk untuk hiburan musikal. SM Imaddudin, menyebutkan bahwa  perpustakaan pada sejarah muslim dirancang sedemikian rupa, sehingga keseluruhan perpustakannya dapat tampak dari satu titik pusat

Koleksi perpustakaan pada masa klasik Islam sangat unggul. Ini berkaitan dengan para scientis lintas bidang pada masa ini sangat subur bermunculan.  Dari segi jumlah, ada 1,6 juta koleksi dalam 40 ruangan pada perpustakaan Khazain al Qusu di Kairo. Diperlukan 400 onta untuk mengangkut buku koleksi Sahib ibn Abbad, 120 onta  dengan 600 peti untuk koleksi pribadi pustakawan Al Wakidi (pustakawan muslim abad ke 9). 100.000 koleksi pada Madrasah Al Fadhiliah, padahal pada masa itu belum ada percetakan. Selain itu perpustakaan ini memiliki 2 buah bola bumi, padahal saat itu peradaban barat masih meyakini bahwa bumi ini datar.

Para bibliofil (pecinta buku)  pada masa ini dengan bangga mengundang para ilmuwan atau cendikiawan lain untuk berkunjung ke perpustakaannya, yang juga diberi makan dan tempat  menginap. Setidaknya ini dilakukan oleh pustakawan Ali ibn yahya al Munajjim dengan perpustakaan pribadinya yang dinamakan Khizanah Al Hikmah.  Lain lagi dengan Ja'far ibn Muhammad al Mausilli dengan Dar al Ilm-nya. Dia membuka pintu perpustakannya untuk semua orang. Bahkan  jika ada orang asing datang dan mempunyai kesulitan finansial, Mausilli memberinya buku dan uang.

Buku di wakafkan  untuk kemanfaatan ilmu pengetahuan.
Perpustakaan sebagai lembaga yang sedemikian rupa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Baru pada masa ini perpustakaan sedemikian banyak  lengkap dan banyak dikunjungi, terjadi pada negeri Muslim, demikian Stellhorn Mackensen menyebutkan.

Informasi tulisan ini bersumber dari:
Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam abad 21: menjangkau informasi.  Bandung: Mizan, 1993
Share:

2 comments:

  1. Subhanallah,,saya suka artikel ini..

    ReplyDelete
  2. #1: terimakasih mas, ini saya resensi dari buku kok

    ReplyDelete

Terimakasih, komentar akan kami moderasi