Kawan seperguruan, mari kita bersama lihat paper-paper Siti Nur Azizah di Scopus. Dapat saya ambil dengan dasar ID 57441632500.
Saya menemukan 6 paper terindeks Scopus.
Berikut ini daftarnya:
~ sesungguhnya tidak ada tafsir tunggal dalam ilmu dan tren pengembangan perpustakaan ~
Kawan seperguruan, mari kita bersama lihat paper-paper Siti Nur Azizah di Scopus. Dapat saya ambil dengan dasar ID 57441632500.
Saya menemukan 6 paper terindeks Scopus.
Berikut ini daftarnya:
Sembilan pilihan tersebut yaitu: partisipatif, transparan, responsif, tidak diskriminatif, mudah dan murah, efektif dan efisien, akuntabel, sikap, dan terakhir etika. Penanya mendasarkan pilihan ini pada penelitian yang dilakukan Asih Setiawati (2018) yang terbit pada jurnal Wacana Kinerja, dengan DOI: 10.31845/jwk.v21i2.98.
Saya berfikir, bahwa jika indikator itu didasarkan pada sebuah riset, pasti semuanya penting. Jika diminta menentukan 3 prioritas, maka harus dicermati dengan sebaik-baiknya.
****
Setelah berfikir sejenak, saya memilih 3 prioritas ini sebagai jawaban: etika, akuntabel, dan responsif.
Namun, setelah saya jawab, ternyata ada pertanyaan berikutnya: apa alasannya, dan berikan contoh program nyata implementasi prioritas tersebut!. Hedew.
Oke. Begini ceritanya.
Tiga pilihan saya itu, merupakan hasil pemetaan dengan skema “mana menjadi dasar yang mana”. Ya, tentu saja, alasan dan proses saya saat memilih sangat mungkin ada kelemahannya. Namun, saya pastikan bahwa memilih dengan berfikir, bukan ngitung benek. Wk Wk
Etika saya pilih menjadi prioritas pertama, karena etika menjadi dasar dari 8 hal lainnya. Etika juga saling terkait dengan indikator sikap. Di perguruan tinggi, persoalan etika belum, bahkan tidak akan selesai. Jika toh sudah baik, perlu di jaga. Artinya tetap sama: tidak akan selesai. Lihat saja meski perguruan tinggi itu dianggap benteng moral dan etika, kasus-kasus etika tetap saja muncul: mulai dari pelecehan, sampai dengan joki & plagiat, juga korupsi dan korupsi. Bahkan pernah menjadi headline berita media besar.
Uisin, tho?
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Saya bilang, mulai dari hal kecil, “Gerakan dosen menyapa lebih dulu”. Jadi, jika dosen ketemu mahasiswa, ketemu tenaga kependidikan, mereka harus menyapa lebih dahulu. Bukan sebaliknya. Ini sepele, tapi sangat mungkin berdampak besar di kemudian hari. Mahasiswa, dan tendik akan punya role model dalam bergaul, khususnya di kampus.
Apalagi, dosen merupakan pusat dari proses akademik. Dosen itu yang utama mengajar, dan seharusnya juga yang mendidik mahasiswa. Dosen merupakan satu-satunya unsur sivitas akademika yang stay di kampus. Berbeda dengan unsur sivitas lain: mahasiswa, yang berganti setiap periode. Maka, dosen akan tetap menjadi sorotan sebagai contoh penerapan etika dan moral. Cara bicaranya, intonasinya, kata-kata yang diucapkannya, tulisannya, gaya hidupnya, pergaulannya, integritasnya, juga "nya-nya" yang lain.
Merah hitamnya mahasiswa, dosenlah yang menjadi acuannya.
Tidak berhenti di Gerakan dosen menyapa. Dosen juga harus diawasi agar tidak tergelincir pada pelanggaran etika lainnya. Caranya? Ada di prioritas ke-3.
Bagimana dengan tendik dan mahasiswa? Pokoke dosen duluan, wis. wkwk
Berikutnya akuntabel. Akuntabel, sesuai pada paper Setiawati (2018), berarti adanya pemahaman pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Indikator ini saya tempatkan pada posisi kedua, karena setelah etika sebagai dasar, maka kerja harus punya wujud nyata untuk dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Jika seorang pelayan publik mampu memaknai akuntabel dan tergerak untuk mempertanggungjawabkan secara publik, maka ada beberapa indikator lain yang akan ikut terimplementasikan, misalnya: efektif dan efisien, mudah dan murah, transparan. Tiga indikator yang saya sebut terakhir, ikut mendukung proses pertanggungjawaban.
Apa program nyatanya?
Dilakukan ekspose terbuka hasil kerja, pada tiap unit. Sehingga setiap bagian (dari unit tersebut) mengetahui apa yang dicapai bagian lain. Hasil-hasil ini juga dipublikasikan terbuka melalui berbagai media, untuk diketahui pihak dari luar unit (atau diketahui unit lain dalam 1 organisasi).
Terakhir responsif. Saya tempatkan ini di prioritas ke-3, karena sikap responsif akan mendukung akuntabel. Responsif sendiri akan men-drive aspek partisipatif, dan aspek tidak diskriminatif.
Apa program nyatanya? Semua unit layanan harus memasang kontak respon cepat, dan kontak aduan.
Mendaki itu mudah, seperti halnya mengejar cita-cita. Tapi kalau sudah tercapai, sesudah sampai di puncak, perjalanan kembali itulah yang berbahaya” (Pak Jaga, dalam Profesi Wong Cilik, halaman 264).
******
Saya melihat, pada tenaga kependidikan (tendik) di perguruan tinggi, ada keadaan yang berpotensi menimbulkan post power syndrome. Untuk siapa?Potensi ini, khususnya berkaitan dengan jabatan struktural (eselon) yang ada di lingkungan tenaga kependidikan.
Pada tenaga kependidikan, jarang saya temui seorang tenaga kependidikan yang menduduki jabatan struktural (eselon), kemudian berhenti (atau membatasi) pada suatu waktu tertentu, lalu kembali menjadi staf pelaksana biasa, tidak lagi memimpin.
Yang jamak terjadi, dia akan naik jabatan (jika berprestasi).
Namun, jabatan yang lebih tinggi tentu saja terbatas. Maka, kemungkinan kedua, yang umum terjadi adalah menduduki jabatan itu sampai pensiun. Atau dipihdahtugaskan, dengan tetap pada jabatan atau jenjang jabatan yang sama.
Menurut saya, "kebiasaan" ini jika terus berlangsung berpotensi kurang sehat.
Setidaknya, kurang sehat ini terjadi pada dua kemungkinan.
Pertama, menghambat proses sirkulasi (bukan rotasi, lho) tendik potensial. Kedua, jika muncul perubahan, berpotensi kaget.
Perubahan, owah gingsiring jaman yang membuat kaget ini, paling tidak ada dua hal. Pertama perubahan teknologi, yang kedua perubahan kebijakan.
***
Kondisi ini, secara umum berbeda dengan dosen. Saat menduduki jabatan stuktural, kemudian selesai, maka kembalilah dosen itu ke jabatan dan pekerjaan aslinya: dosen yang mengajar. Keadaan berjalan normal.
Setidaknya begitulah yang umum terjadi.
***
Di dunia ini, tidak ada yang tetap, kecuali perubahan. Begitu filosof masa lampau memandang keniscayaan perubahan.
Orang jawa punya rumus owah gingsiring jaman. Jaman yang selalu berubah. Jika ada pada masa kurang baik, maka orang Jawa berharap, “Semoga suatu saat nanti akan nemahi (menemui) rejo rejaning jaman (zaman yang sejahtera)”.
Namun, orang jawa juga siap jika owah gingsiring jaman itu berlaku sebaliknya. Mereka punya rumus manjing ajur ajer, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan tetap memegang prinsip.
Pada kasus potensi post power syndrome di atas, rasanya (khususnya saya) tenaga kependidikan perlu belajar dari ungkapan Alimudin, seorang mantan bong supit, masih dalam buku Profesi Wong Cilik.
Alimudin jauh hari sudah meramalkan, bahwa karena obah osiking jaman (owah gingsiring jaman dalam ungkapan bahasa Banjarnegara), dia harus bergeser dari profesi bong supit, cari usaha lain. “Bisa manjing ajur ajer, agar tidak terkejut dan makan hati…”, ungkapnya.
***
Sehingga...
Menjadi PR besar bagian SDM, untuk menginternalisasikan cara pandang yang tepat atas sebuah pekerjaan dan jabatan. Membuat keadaan “berhenti menjabat”, khususnya jabatan eselon merupakan hal biasa, bukan akhir segalanya. Tengoklah lagi kutipan kata-kata Pak Jaga pada awal tulisan ini.
Prestasi besar bagian SDM bukanlah saat pegawainya sukses menduduki jabatan-jabatan penting. Namun kesuksesan bagian SDM adalah saat pegawai yang menduduki jabatan itu turun, tanpa post power syndrome.
Semua yang naik, harus siap untuk turun. Meski perjalanan turun itu lebih berbahaya, karena harus menahan beban berat tubuh, dia tetap harus turun. Karena pangkat lan jabatan mung sampiran.
Turun dan mendarat harus dilakukan dengan soft. Landing dengan soft pun, harus disiapkan jauh-jauh hari. Tidak serta merta menjelang turun.
![]() |
https://www.instagram.com/p/CavlKMzP0CM/ |
Tentu bisa.
Pemimpin dan pejabat merupakan dua hal yang berbeda. Pemimpin lebih luas dan lebih tinggi tingkatannya dari sekedar pejabat.
Setelah landing, pada keadaan tanpa jabatan formal, mengacu Robin Sharma pada bukunya Leader Who Had No Title, seorang tenaga kependidikan tetap dapat memainkan perannya sebagai leader. Pemimpin tidak harus dengan memiliki jabatan (formal). Semua bisa menjadi pemimpin dalam arti luas, seluas-luasnya. Pemimpin model ini, justru bisa lebih merdeka.
“Kunci utama mencapai kemenangan spiritual adalah mengalahkan perasaan tertindas, tertekan, terkalahkan, dan lain sebagainya.” (Batur, dalam Profesi Wong Cilik, hal. 248).
Sambisari,
9 Maret 2023
05.42 pagi
Buku LI-nya FPPTI terbit November 2022. Jika dihitung sampai saat ini, saat tulisan ini saya buat, usia terbitnya sekitar 3-4 bulan. Pada halaman sampul tertulis judul dan logo FPPTI + tahun 2022. Judul lengkapnya Panduan Literasi Informasi Pendidikan Tinggi. Tidak ada nama penulis.
Nama-nama yang bertanggung jawab atas buku ini ditulis di halaman ii. Nama yang ditulis dikelompokkan pada beberapa peran. Pertama tertulis Tim Pengarah (4 nama), Penyusun (1 nama dengan keterangan “Ketua Tim”), Tim Perumus (5 nama), Tim Ahli (5 nama), Tim Penyusun (5 nama), Tim Pelatih (2 nama), Tim Reviewer (2 nama), Editor (2 nama), Sekretaris (2 nama). Total ada 28 nama.
Pada halaman iii tertulis hak cipta 2022 Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Pada halaman iv tertulis Katalog dalam Terbitan (KDT), yang memuat informasi penerbit Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti dan FPPTI.
Namun yang saya belum paham, pada bagian lain di halaman iv, yang tegas ditulis sebagai penerbit hanya FPPTI.
Munculnya nama Kemenristekdikti ini dikuatkan oleh Ketua FPPTI pada halaman v, yang menyebutkan bahwa buku ini lahir dari usulan FPPTI pada Dirjen PRP Kemenristekdikti.
***
Berdasar pembacaan saya, yang sebagian telah saya tuangkan pada 3 tulisan sebelumnya, maka ada beberapa catatan pungkasan saya pada buku ini.
Pertama, buku ini terbit November 2022 dengan penerbit (sebagaimana tertulis pada KDT) Kemenristekdikti dan FPPTI. Jika dirunut, pada 2021 Ristek menyatu dengan Kemendikbud. Maka bisa dianggap buku ini terbit terlambat. Diterbitkan oleh institusi, yang saat tahun terbit, institusi tersebut sudah tidak ada.
Kedua, naskah buku ini saya anggap belum selesai sepenuhnya. Setidaknya saya berkesimpulan demikian karena saya (dengan segala kekurangan saya) menemukan berbagai kesalahan yang seharusnya tidak terjadi untuk sebuah buku yang ditulis oleh nama-nama kredibel dan telah tinggi jam terbangnya. Apalagi diberi testimoni sangat positif oleh dua akademisi, salah satunya merupakan guru besar.
Kesalahan tersebut, yang sepele misalnya salah ketik, juga pilihan kata yang tidak tepat. Kemudian yang agak berat misalnya kalimat yang rancu, definisi yang tanpa referensi, bahkan ada referensi yang saya belum temukan di daftar pustaka.
Ketiga, sebagai sebuah buku panduan, buku ini tetap dapat digunakan untuk pustakawan yang hendak belajar menjalankan praktik mengajar literasi informasi sesuai dengan konsep yang diusung buku ini. Namun, jika hendak digunakan sebagai pengayaan teoritis, menurut saya tidak sepenuhnya (bahkan kurang) layak.
Kenapa? Ada pernyataan yang tanpa dilandasi argumen ilmiah dan referensi. Misanya pada penentuan jurnal atau konferensi yang kredibel dengan melandaskan pada Scopus, Beallslist, ScimagoJR, juga ScolarlyOA.
Keempat, dengan catatan-catatan kekurangannya, buku ini dapat dijadikan contoh karya yang berbeda antara idealisme isi dan kenyataannya.
Misalnya, pada halaman 78 disebutkan tindakan plagiarisme yang tidak disengaja. Dua diantaranya tidak konsisten dalam menggunakan model sitasi, dan jumlah antara sumber yang dikutip dalam teks berbeda dengan yang tercantum dalam daftar pustaka.
Sebatas yang saya lihat, buku ini tidak konsisten dalam menggunakan model atau gaya penulisan sitasi dan referensi, juga berbeda jumlah antara referensi yang ada di teks dan daftar pustaka.
Dengan kalimat pendek, kesimpulan saya: meski mendakwa diri sebagai panduan literasi, buku ini sendiri kurang literasi.
***
Sebagai tambahan informasi, pada halaman sampul belakang, tertulis testimoni dari 2 pengajar Ilmu Perpustakaan.
Terima kasih
Kenapa tidak urut Bab 4?
Bab 4 halamannya cukup banyak, sehingga berpotensi membuat saya lelah fisik dan pikiran. Saya cari yang sedikit halamannya saja.
Bab 2 berjudul Penelusuran Sumber Informasi yang Reflektif, dimulai dari halaman 25 sampai 43. Total 19 halaman.
Halaman 25 kita mulai dari bagian tujuan instruksional. Bagian ini terdiri dari 10 baris, kurang lebih 70 kata, yang hanya dimuat dalam 1 kalimat. Bayangkan saat membaca, agaknya kesulitan ambil nafas. Terengah-engah.
Halaman 26 terdapat saltik “post tes”. Lanjut di halaman 27 muncul “praktek”, “weaving” yang pada bagian glosari (?) ditulis “Waving”.
Eh, kenapa di akhir glosari saya beri tanda tanya?
Coba cek di KBBI, ya.
Pada halaman ini juga muncul “dimana”. Agaknya ada pengaruh “where” dalam bahasa Inggris.
Pada halaman 28 masih muncul “praktek”, bahkan lebih dari 1 kali. Ada pula ketidakkonsistenan penulisan huruf pada kata yang mengawali tahapan.
Pada halaman 29 muncul “dimana”, serta penggunaan yang kurang tepat pada kalimat.
Kalimatnya begini, “Ada beberapa pengertian topik, dimana berasal dari Bahasa Yunani, yaitu topoi yang artinya inti utama…(dst)”.
Keanehan lain terdapat pada kalimat ini, “Dari dua definisi tersebut memiliki kesamaan, yaitu topik merupakan pokok pembicaraan atau permasalahan yang dibahas.”
Halaman 30 muncul domain Rama dan Garuda yang menginduk ke ristekdikti. Muncul juga kata “peserta”, yang kurang sinkron dengan “Saudara” di Bab 5.
Masih di halaman 30, penjelasan tentang Contribution terasa rancu. Lihat tangkapan layar di bawah ini.
Pada halaman 31 terdapat awal kalimat, “Berdasarkan tahapan di atas tadi, …”.
Kemudian ada penyebutan “Misalnya:” untuk mengawai tabel. Alangkah lebih oke jika langsung disebut nomor tabelnya.
Pada halaman 32 terdapat 2 kalimat yang harusnya ada pada paragraf yang sama, namun dipisah.
Kemudian ada kalimat, “Dari pencarian menggunakan website xxxx, misalnya ditemukan kata kunci pencarian dari kata-kata di atas adalah:”. Aneh, ndak?
Halaman 33 terdapat kata “form” tanpa cetak miring. Sederhana, sih. Tapi tetap keliru.
Pada halaman ini masih saja muncul “dimana” yang dekat dengan “where” sebagai penghubung dalam ungkapan bahasa Inggris.
Penyebutan informasi dalam tabel dengan tanpa menyebut tabel juga terjadi di halaman 33.
Bukankah menyebutnya nomor tabel merupakan hal dasar dalam menulis ilmiah?
Lanjut ke halaman 34. Muncul “sintaks”. Cek di KBBI, ya.
Halaman 35 muncul kata “frase” ketika menjelaskan tanda petik dua dalam strategi pencarian. Kalimat lengkapnya silakan lihat pada gambar di bawah ini.
Jika dicari di KBBI, frasa (pakai a) berarti gabungan dari dua kata atau lebih. Cek di KBBI.
Halaman 36 masih terdapat kata “sintaks”, juga “dibawah”. Pada halaman 37 ada kekeliruan penulisan “sciencedirect” pakai “s”.
Halaman 38 terdapat 3 kata “adalah”, yang dipakai untuk menyebutkan contoh. Menurut saya, lebih tepat menggunakan “yaitu”, atau “misalnya”. Coba cek arti “adalah” di KBBI. Pada halaman 38 juga terdapat kalimat yang rancu, bahkan ada 2.
Begini kalimat itu:
1. Informasi tentang sumber primer yang disusun secara sistematis supaya mudah diakses.
2. Sumber tersier (..) merupakan memuat informasi berupa saringan, rangkuman atau kumpulan dari sumber primer dan sekunder.
Halaman 39 terdapat tabel yang tanpa nama dan nomor. Tentu ini beda dengan tabel sebelumnya. Muncul pula “adalah”, serta kalimat yang belum selesai. Begini kalimat itu, “Sumber referensi ini ada yang tercetak atau biasa disebut dengan buku referensi.”
Selain tercetak tidak disebutkan.
Masih di halaman 39, terdapat definisi “data” namun tanpa referensi. Hal serupa ada di halaman 40, yang terdapat definisi kearifan lokal tanpa referensi.
Halaman 40 juga terdapat “disini”, juga pengulangan “dilakukan” dalam 1 kalimat. Halaman 41 juga terdapat pengulangan kata “melihat” dalam 1 kalimat, kemudian diulangi pada kalimat berikutnya.
Halaman 42 terdapat kata “rate” yang dipetik. Apakah ada maksud khusus dari “rate” ini hingga perlu diapit tanda “? Mungkin lebih tepat dicari istilah pengganti saja.
Halaman 43 terdapat contoh soal dan jawabannya.
Contoh soal itu begini, “Carilah semua website tentang korupsi dari semua website berdomain pendidikan universitas”.
Soal di atas tidak diakhiri oleh tanda baca apapun. Di bawah soal terdapat jawaban: intitle:korupsi site:edu
Apakah jawaban tersebut sudah mewakili perintah pencarian ke “semua”?
Bagimana dengan domain *.ac.id?
*****
Paijo: sudah kumplit 19 halaman, Kang?
Referensi:
https://ivanlanin.wordpress.com/2009/12/15/di-mana/
Karyo: Lanjut, Jo?
Bab 5 terdiri dari 18 halaman, mulai dari 103-120, judulnya Diseminasi Pengetahuan Baru. Bab ini merupakan bab yang hampir terakhir, sebelum penutup. Oia, postingan ini merupakan lanjutan dari postingan sebelumnya, yang ada di sini.Paijo: Gass, Kang.
Total 17 halaman, ya. Semua ada catatannya.
Karyo: Weh. Setiap halaman kamu baca, Jo? Kamu mengambil alih tugas editor. Njuk oleh bayaran piro? Trus apa tulisanmu di atas sudah benar semua tanpa salah.
Paijo: Weh, ya ndak bayaran, tho. Ini kerja probono. Aku bukan proyektor, Kang. Hh. Dan tentu saja, tulisanku pasti ada salahnya. Tugas sidang pembaca untuk mengoreksinya.
Karyo: Wuih, gayamu, Jo.
Eh, terlewat.
Terakhir, halaman 120 yang hanya terdiri dari setengah halaman. Namun, apakah lolos dari coretan saya? Tidak. Silakan cek, ya. :)
Gass. Total 18 halaman.
Berbagai kegiatan berjudul LI pun dikembangkan, baik semacam pelatihan maupun seminar atau lainnya. Termasuk oleh FPPTI, organisasi hebat pustakawan perguruan tinggi, yang akhirnya menerbitkan buku tentang LI.
Bukan yang pertama sih, tapi patut dihargai. Sebelumnya ada beberapa perpustakaan atau pustakawan yang sudah menyusun buku-buku tentang LI.
Tujuannya satu: meningkatkan posisi tawar pustakawan. Lainnya merupakan tujuan turunan saja.
*****
Selasa, 14 Februari 2023, di hari valentine dan tepat 1 tahun menjelang pemilu 2024, saya hadir di acara Musda FPPTI DIY.
Sst. Ini kegiatan saya ikut seminar pertama secara luring, setelah sekian lama mengundurkan diri dari hiruk pikuk kegiatan serupa. :)
Di depan pintu masuk ruang acara, ada meja yang memajang buku-buku. Tampaknya juwalan.
Saya dekati. Semua buku yang ada di meja tentang perpus. Akeh pokoke. Salah satunya ya buku LI-nya FPPTI tadi. Judulnya “Panduan Literasi Informasi Pendidikan Tinggi”, terbit November 2022, penerbitnya FPPTI.
Buku setebal 148 halaman ini dibandrol 110.000 diskon 10%. Dua lembar uang 50-an ribu saya berikan ke penjual, saya dapat kembalian 1000. Harganya jadi 99.000.
Mahal?
Iya. Untuk ukuran buku setebal 148 halaman, menurut saya mahal. Jika dibelanjakan untuk buku lain, uang 99.000 sudah dapat buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat-nya Mark Manson. Atau sudah bisa bawa pulang Homo Deus-nya Harari, atau kalau mau Sapiens, tinggal nambahi sedikit.
Tapi, buku LI-nya FPPTI itu tetap saya beli.
Kenapa?
Saya penasaran. Setelah pernah merasa kecewa oleh buku LI yang terbit sebelumnya, saya berharap banyak pada buku LI-nya FPPTI ini.
Oia, apa sebab saya kecewa pada buku LI yang sebelumnya saya beli?
Karena isinya (pinjem istilah Pak Faiz, kawan saya) klak-klik.
***
Setelah saya dapat kembalian 1000 rupiah, buku saya terima, lalu saya duduk manis di kursi deretan belakang. Saya buka buku baru itu. Saya bolak-balik halaman isinya. Acak.
Mak jenggirat.
Kesan pertama saya ada pada penomoran halaman. Terdapat 4 halaman yang isinya berupa tabel dan berurutan, tepatnya nyambung. Disajikan berdampingan tapi ungkur-ungkuran, landscape, nomornya ada di sisi luar.
Bisa dibayangkan. Betapa sulit jadinya saat hendak membaca.
Anda sulit membayangkan?
Maafkan.
Halaman yang saya maksud yaitu 20-21, 22-23.
**
Oke. Mari kita lihat daftar isinya. Buku ini, sebagaimana diklaim dalam sambutan ketua umum FPPTI (hal. v), difungsikan sebagai instrumen pemetaan kompetensi literasi informasi, selain itu juga berwujud modul pelatihan LI.
Dari dua klaim fungsi buku di atas, isi buku dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian 1 berjudul Panduan dan Framework Literasi informasi. Bagian ini hanya berisi 1 bab saja, yang isinya dibagi dari a sampai g. Framework yang dibahas dalam bagian ini, sayang sekali tidak dilengkapi dengan gambar.
Kemudian Bagian 2 yang diberi judul Modul Literasi Informasi. Bagian ini terdiri dari 4 bab, di awali dengan GBPP (Garis Besar Pengajaran Pelatihan). Setiap bab, agaknya, merupakan penjabaran 4 framework yang dijelaskan di Bagian 1.
Oia, "Bagian" yang saya tuliskan di atas ada dalam isi, mengawali Bab terkait. Namun, "Bagian" itu tidak ditulis pada daftar pustaka. Kenapa? Entahlah.
Setiap framework pada Bagian 2 diulas dalam bentuk SAP alias Satuan Acara Pelatihan.
Saudara-saudara yang berbahagia.
Pada bagian inilah, akhirnya lagi dan lagi… saya menemukan panduan teknis. Ada petunjuk yang berbentuk instruksi klak-klik. Misalnya hal 92-93 tentang Mendeley, 101 tentang edit video, 98 tentang Canva, 109 tentang academia edu, 113 tentang ScimagoJR, serta masih ada lainnya.
Ada pula gambar yang semestinya sudah tidak relevan lagi. Gambar pada halaman 91 berupa tangkapan layer menu literature search di Mendeley. Padahal, fitur ini sudah lama tidak ada di Mendeley Desktop. Mendeley Desktop pun sebenarnya sudah tidak didukung lagi sejak 1 September 2022, sebulan sebelum buku terbit.
***
Berikutnya terkait tata tulis. Saya nemu beberapa kekeliruan. Misalnya “paraphrase”, yang jika dicari di KBBI akan ditemukan “parafrasa”, pakai “a” bukan “e”. Lebih jelas dapat dilihat di halaman 87. Pada halaman vi juga terdapat saltik. Pada halaman 48 terdapat kesalahan penulisan "di". Pada halaman tersebut "disitus" ditulis gandeng. Juga "diatas". Mungkin juga ada di halaman lainnya.
Cetak miring untuk istilah asing juga kurang konsisten. Misalnya di halaman 55, essential oil tidak dicetak miring. Padahal, masih di halaman yang sama, ada istilah asing yang dicetak miring.
Pada halaman 69-72, terdapat penulisan contoh kerangka tulisan. Namun, rasanya jarak barisnya sangat mengganggu pembaca.
Buku ini diklaim terbit November 2022. Terhitung baru. Usianya pun, jika dihitung sampai saya menulis review ini, baru 3-4 bulan. Namun, pada halaman 15, saat menjelaskan tentang url Sinta, masih menggunakan sinta.ristekbrin.go.id. Ketidakkonsistenan penulisan URL Sinta juga terlihat di halaman 112. Pada halaman ini, URL Sinta ditempel pada domain ristekdikti, bukan ristekbrin sebagaimana halaman 15. Itupun Sinta2. Padahal, URL Sinta sudah berganti menjadi kemdikbud.
Kemungkinan ini akibat penulisan bareng-bareng, yang penyelaras bahasa-nya kurang kuat berperan.
***
Pada halaman 76, ada penjelasan tentang plagiat yang diambil dari Permendikbud tahun 2010. Padahal, sudah ada Permen baru terkait penegakan integritas dalam publikasi, yaitu Permendikbud nomor 39 tahun 2021 yang di dalamnya juga membahas tentang plagiat.
Jika buku ini terbit November 2022, semestinya acuan tentang plagiat dapat dipakai yang lebih baru.
-----------***-------------
Catatan (mungkin) yang terakhir.
Pada daftar pustaka tercantum 13 karya. Dari 13 karya itu, yang terbit 2016 ada 2, 2019 ada 1, 2020 ada 1, selain itu terbitan 2013 dan lebih tua lagi. Paling tua, saya lihat tahun 1999. Judulnya the plague of plagiarism.
Sebagai karya yang terbit 2022, agaknya, hmmm, referensinya kurang kuat.
Pada penulisan daftar pustaka pun ada ketidakkonsistenan. Ada judul karya yang ditulis dengan title case, ada pula yang sentence case.
Duh.
Referensi framework pada buku ini diklaim dinisbahkan pada Information Literacy Competency Standards for Higher Education dari ACRL 2018, sebagaimana disebutkan pada halaman v, serta pada Bagian 1 halaman 4.
Namun, saya coba cek di daftar Pustaka, tidak saya temukan referensi di atas.
Nah.
Kalau dari URL ini, https://alair.ala.org/handle/11213/7668, Information Literacy Competency Standards for Higher Education itu berangka tahun 2000, bukan 2018. Yang lebih baru dari 2000 ada, yaitu 2016. Namun judulnya "Framework for Information Literacy for Higher Education" bukan seperti yang ditulis pada buku LI-nya FPPTI.
Lalu, buku itu pakai referensi yang mana?
Entahlah.
-----**--------
Oke. Dari beberapa catatan di atas, apakah buku literasi ini sudah masuk kategori literate?
Monggo, jika perlu dijawab, boleh dijawab.
Kemudian, apakah buku ini layak dibeli.
Nah. Kalau ini, ya jelas layak-lah. Wong saya juga beli. :)
Kawan, kalau anda punya uang berlebih, dan ingin tahu LI, belilah. Itung-itung menghargai karya FPPTI, organisasi hebat perpustakaan perguruan tinggi Indonesia.
Namun, jika anda tipis uang, jangan beli. Pinjamlah saja di perpustakaan.
Saran saya logis, kan?
Apalagi buku ini dibuat dengan melibatkan banyak orang, dengan beragam peran. Mulai dari pengarah, penyusun, perumus, tim ahli, tim pelatih, reviewer, editor, dan sekretaris. Total saya hitung ada 28 nama untuk semua peran itu.
Selain itu, di sampul belakang juga tertulis testimoni 2 begawan ilmu perpustakaan Indonesia. Yang, tentu saja, sebelum memberi testimoni pasti sudah membaca keseluruhan isi buku.
Kurang apa lagi?
Kurang referensi? #ups
Apa sebab?
Zulkifli Halim merupakan anggota legislatif pertama yang berinisiatif melaporkan kinerjanya pada publik.
Ya. Peristiwa di 2004 itu, tepatnya 13 Februari 2004 (sesuai dokumen arsip yang masih saya simpan) berjudul Dialog Publik dan Pertanggungjawaban Anggota DPR RI atas nama Zulkifli Halim. Silakan lihat gambar untuk lebih jelasnya.
Pada dokumen riwayat rekor, menerangkan bahwa ZH melaporkan (kinerja) kepada masyarakat karena dia mewakili suatu daerah pemilihan.
Lalu, apa hubungannya dengan anggota MWA UT (Unsur Tendik)?
Bukan rekornya yang penting, melainkan apa yang dilakukannya.
*****
Begini saudara...
Sebelumnya, saya tekankan bahwa yang saya tuliskan di bawah ini, tidak terikat pada MWA UT pada universitas tertentu saja.MWA merupakan kependekan dari Majelis Wali Amanah. Sebuah lembaga yang ada di perguruan tinggi tertentu. Tendik, atau tenaga kependidikan menjadi salah satu unsur dari MWA.
MWA UT yang ada di UGM, misalnya, pada periode terakhir saat tulisan ini dibuat, diangkat dari hasil proses pemilihan internal para tendik. Artinya, anggota MWA UT dianggap benar-benar mewakili tendik. Sebagaimana anggota DPR mewakili rakyat di daerah pemilihannya (DAPIL).
Anggota MWA UT di universitas lain mungkin juga demikian. Ditentukan melalui proses pemilihan.
Nah.
Maka, sebagaimana Zulkifli Halim di atas, ada tiga hal yang bagi saya menarik dan lebih baik jika dilakukan anggota MWA UT.
1. Menulis
Tentu saja yang saya maksud yaitu menuliskan berbagai pengalaman yang dirasakan saat menjadi anggota MWA. Senangnya, susahnya, sulitnya, mudahnya. Tantangannya, pengalamannya, dan tentu juga bagaimana menghadapi dan menjalaninya saat harus sekaligus bertugas sebagai tenaga kependidikan.
Bisa tulisan berkala, maupun tulisan pertugas. Sebagai anggota unsur tendik, hanya 1 orang saja, ada di antara tokoh besar (menteri, pejabat BUMN, dosen, pengusaha, dll) tentu banyak pengalaman berharga yang perlu diketahui (terutama) tendik lainnya.
Tentu saja, yang sangat rahasia tidak perlu dituliskan.
Pengalaman ini akan membuka cakrawala berfikir tendik lain yang berpotensi melanjutkannya di MWA.
Jangan sampai pengalaman itu hanya tersebar di lingkaran tertentu, yang dekat dengan anggota tersebut saja. Jika demikian, maka tentu saja akan menutup orang di luar lingkaran untuk punya keberanian mendaftar sebagai anggota MWA. Serta akan memperburuk proses kaderisasi anggota MWA.
Hasil pencarian di Google |
Gambar di atas merupakan hasil pencarian saya di Google. Dengan kata kunci "pengalaman menjadi anggota MWA", hanya ditemukan 5 hasil. Tentu ini kurang menggembirakan.
Menulis, menjadi hal wajib yang harus dilakukan MWA UT.
2. Membuat laporan
Sebagaimana Pak Zulkifli Halim, karena MWA UT merupakan produk hasil pilihan tendik, maka selayaknya dia menulis, membuat laporan kinerjanya pada tendik yang diwakilinya. Dengan demikian, informasi akan tersebar ke semua tendik, tidak hanya kepada tendik yang ada dalam circle anggota tersebut saja.
Senada dengan nomor 1, hal ini akan lebih membuka cakrawala tendik-tendik lain dalam memahami apa itu MWA dan bagaimana peran MWA UT.
3. Jalan-jalan ke fakultas
Menarik yang dilakukan MWA UT di UI ini, https://www.fkm.ui.ac.id/diskusi-bersama-wakil-mwa-ui-unsur-tendik-dan-tendik-fkm-ui/, melakukan diskusi dengan wakil di fakultas. Hendaknya hal ini dilakukan lebih luas dan meningkat kualitasnya.
Diskusi ini, tentu saja bisa dilakukan dengan berbagai metode, luring maupun daring. Hasil diskusi kemudian ditulis dan dan disebarkan
*****
Penutup
Ya!
Menulis, mengarsip pengalaman, merupakan aktivitas penting agar sejarah tidak terputus. Agar pengalaman dapat tersebar luas.
Menulis, kaitannya dengan MWA UT, merupakan bagian dari usaha agar kualitas tendik di MWA semakin meningkat.
Pemilihan MWA UT melalui pilihan oleh para tendik merupakan bentuk kemajuan demokrasi di kampus. Namun tidak hanya sampai di situ. Produk demokrasi itu harus menjaga demokrasi yang melahirkannya. Sekaligus juga dijaga, agar tetap demokratis.
Tentu saja, yang saya maksud bukan hanya MWA UT universitas tertentu saja. Melainkan dari universitas manapun.
Salam waras! *)
Data pendukung:
____
Sambisari, 22 Januari 2023
Ngahad Pon 29 Jumadilakir Ehe 1956
11.41 siang
*) "Waras" sering diucapkan Ketua DGB UGM, Prof. Maksum, terutama (yang saya ketahui) saat membuat rapat pengukuhan Guru Besar UGM.
"Percaya itu mudah, namun berpikir itu sulit. Berpikir tentang mengapa kita percaya, itu lebih sulit lagi - Erik Pevernagie (hal:30)
Buku ini hadir didasari oleh banyaknya informasi yang beredar, sehingga diperlukan sikap kritis (tajam analisisnya) dan skeptis (ragu/tidak langsung percaya).
Filsafat terbagi menjadi 3 bagian, etika yang berkaitan dengan baik-buruk; estetika yang berkaitan dengan indah-tidak indah atau harmoni; serta logika yang berkaitan dengan benar-salah.
Begini kurang lebih contoh di keseharian
Ketika ada rekan kerja mengaku melakukan kesalahan, maka kita harus peduli (logika). Selain itu, secara etika semestinya kita memberi saran padanya; saran itu kita sampaikan dengan cara yang baik, sopan, tidak menyakiti (estetika).
Buku ini membahas dua hal. Pertama bias, kemudian pada bagian kedua membahas sesat pikir. Terdapat 22 bias yang dibahas, serta 11 jenis sesat pikir.
Bias, dalam KBBI berarti:
1. Action Bias: Orang hanya melihat tindakan, tidak melihat ketepatan, fungsi, efektivitasnya.
Contoh:
Saat menghadapi tendangan pinalti, kiper yang tidak memilih diam, namun lebih memilih bergerak ke kanan atau kiri. Kiper ingin dianggap yang penting sudah berusaha. Padahal tendangan juga bisa mengarah ke tengah.
Secara psikologis lebih baik melakukan sesuatu dibanding diam saat menghadapi ketidakpastian
2. Association bias: menghubungkan sesuatu dengan yang lain, padahal tidak ada hubungannya.
Contoh:
3. Availability bias: Menggambarkan sesuatu atau menyimpulkan dengan bukti yang paling mudah ditemukan atau muncul di pikiran.
Contoh:
Solusi:
4. Framing: Bukan apa yang kau katakan, tapi bagaimana kau mengatakannya
Contoh:
600 warga kena wabah, ada dua pilihan strategi:
600 warga kena wabah, ada dua pilihan strategi:
Kedua kelompok strategi di atas hasilnya sama. Namun, kemungkinan besar, pada kelompok pertama orang akan memilih strategi 200 warga selamat, sementara pada kelompok kedua akan dipilih menyelamatkan 33%. Kedua pilihan ini sama (200 = 33% dari 600)
"Mengetahui kebenaran itu mudah; yang sulit itu menjadi benar"
- Hazrat Inayat Khan
1. Kesalahan karena berbelok kepada orangnya
Mengubah pembicaraan pada orang yang membuat pernyataan, bukan kebenaran pernyataannya
Terdiri dari:
a. Argumentum ad hominem -> menyerang karakter
b. Argumentum ad verecundiam -> merujuk orang yang dianggap punya otoritas mendukung pernyataannya, namun:
c. Anonymous authorities -> otoritas yang ditunjuk tidak disebutkan
Contoh:
"kabarnya akan tahun depan akan ada piknik ke Singapura"
"akan ada tambahan libur di tahun depan"
d. Style over substance -> mempermasalahkan cara penyampaian dibanding substansi yang disampaikan
Contoh:
****
"belajar supaya mampu (berfikir), tidak keliru dalam berfikir, tidak tertipu oleh kekeliruan orang lain, dan tidak tersesat oleh kekeliruan diri sendiri" (vi)